Setelah menonton
ulang Sang Pencerah, entah kenapa tiba-tiba aku tergerak untuk menulis sedikit
tentang sang sutradara, Hanung Bramantyo. Sebelumnya ingin aku sampaikan bahwa
tulisan ini hanyalah penilaianku secara pribadi terhadap beliau tanpa ada unsur
atau niat lain di baliknya (Takut banget ya kesannya?)
Beberapa waktu lalu, sesaat setelah peluncuran film terbaru Hanung berjudul Hijab, aku membaca banyak sekali tulisan-tulisan ‘miring’ tentang si sutradara. Aku juga membaca langsung status salah satu penulis ternama Indonesia yang mengatakan Hanung adalah anggota Jaringan Islam Liberal, termasuk bagaimana penilaian buruk si penulis untuk film ini. Responku sama seperti ketika membaca hal kontroversi lainnya, pilih diam. Jadi pembaca rahasia di banyak tulisan. Untuk apa ikut komentar jika tidak tahu mana yang sesungguhnya benar dan mana yang sesungguhnya salah.
Beberapa waktu lalu, sesaat setelah peluncuran film terbaru Hanung berjudul Hijab, aku membaca banyak sekali tulisan-tulisan ‘miring’ tentang si sutradara. Aku juga membaca langsung status salah satu penulis ternama Indonesia yang mengatakan Hanung adalah anggota Jaringan Islam Liberal, termasuk bagaimana penilaian buruk si penulis untuk film ini. Responku sama seperti ketika membaca hal kontroversi lainnya, pilih diam. Jadi pembaca rahasia di banyak tulisan. Untuk apa ikut komentar jika tidak tahu mana yang sesungguhnya benar dan mana yang sesungguhnya salah.
Terkait film Hijab
sendiri, aku belum menontonnya sampai sekarang. Jadi aku tidak akan berkomentar
soal ini. Dari beberapa tulisan yang kubaca, ada juga yang masih mau menulis
dengan akal sehat. Maksudnya tulisan mereka berisi tentang kelebihan dan
kekurangan film tersebut, tidak hanya hujatan yang membabi-buta seperti yang
ditulis oleh tidak sedikit orang.
Jauh sebelum film
Hijab, Hanung juga menerima banyak hujatan saat filmnya berjudul Perempuan
Berkalung Sorban keluar. Film ini kutonton ketika masih di pesantren bersama
teman-teman sekamar. Benar, kami sependapat dengan banyak orang, bahwa film
Perempuan Berkalung Sorban memang tidak baik dijadikan tontonan publik, terutama
bagi non Muslim. Karena film ini seperti berbicara pada banyak orang bahwa,
‘Ini lho Islam. Wanita-wanitanya dikekang. Tidak boleh sekolah tinggi. Para
lelakinya bajingan, poligami. Ini lho anak pesantren, sesudah tamat langsung
terjun ke dalam pergaulan bebas.’ Meskipun benar juga bahwa semua itu masih terjadi
dalam lingkungan Muslim, hanya saja semua itu bukanlah hal yang dibenarkan dalam
Islam. Yang diajarkan dalam Islam adalah kebalikan dari film tersebut. Setiap
ayah memuliakan anak perempuannya, suami memuliakan istrinya, wanita
mendapatkan pendidikan yang baik, poligami adalah pintu darurat yang tidak
pernah dianjurkan dalam Quran maupun hadis, anak pesantren banyak lho yang
berprestasi dan tumbuh jadi pemuda-pemudi saleh-saleha. Seharusnya
kebaikan-kebaikan seperti ini saja yang diangkat. Sebagai santri, tentu kami
tahu bahwa saat ini tidak ada lagi deskriminasi seperti itu di kalangan
pesantren, kalau pun ada mungkin di pesantren antah berantah. Kesimpulannya
untuk film Hanung yang satu ini, aku juga berpendapat sama dengan kebanyakan
orang.
Terbebas dari film
Hijab, terbebas dari film Perempuan Berkalung Sorban, juga terbebas dari
tuduhan banyak orang bahwa Hanung adalah anggota JIL, jujur aku adalah salah
satu penggemar film-film garapan Hanung. Dua filmnya yang paling kucintai
sampai sekarang adalah Ayat-Ayat Cinta dan Sang Pencerah. Rasanya, tidak ada
satu pun film Indonesia selain dua film yang kusebutkan di atas berhasil
membuatku nangis lagi setiap ditonton ulang. Nuraniku sendiri yang mengatakan bahwa Hanung
adalah sutradara Indonesia yang sangat jenius. Emosi penonton bisa dengan mudah
dijungkir balikkan olehnya. Contohnya saat nonton Ayat-Ayat Cinta, aku akan
sanyum-senyum ketika sampai di bagian pernikahan Fahri dan Aisha, lalu menangis
dahsyat begitu Fahri difitnah dan masuk penjara, terlebih saat teman satu
selnya Fahri menyinggung kisah Nabi Yusuf as.
Jika diperhatikan,
Hanung pintar sekali menentukan momen-momen tertentu yang bisa membuat penonton
merasakan sesak luar biasa. Contohnya saat Noura bersaksi di persidangan, dan
berkata ‘Hati saya hancur... Aku takut...’
lalu terdengar tangisannya yang menyayat. Rasanya saat dengar itu, hatiku ikut
sakit, sesak, entah apa lagi. Contoh kedua di film Sang Pencerah saat
masyarakat membakar Langgar Kidul milik Kiayi Haji Ahmad Dahlan. Saat langgar
tersebut roboh, musik yang dipilih, tangisan, suasana, semuanya dibuat dengan
begitu apik. Di bagian ini, air mataku tidak pernah bisa ditahan meski sudah
diulang-ulang sampai sepuluh kali pun.
Misal, seandainya,
aku adalah seorang pemilik naskah, jujur kukatakan, aku ingin naskah tersebut
jadi sebuah film dari hasil arahan Hanung Bramantyo. Menuliskan hal seperti
ini, bukan berarti aku anggota JIL juga. Maklum saja, akhir-akhir ini media
memang sedang gonjang-ganjing dihantam badai yang entah dari mana asalnya. Satu
tulisan saja bisa jadi penggiring opini publik. Pemikiran individu bisa dengan
mudah putar haluan hanya karena sebuah tulisan atau berita di media. Karena itu
kita harus hati-hati. Setiap baca sesuatu, sebaiknya diselidiki dulu baik-baik.
Kalau belum tahu kebenarannya, mending tidak usah ikut berkicau yang
macam-macam. Bayangkan kalau yang digunjing publik itu ternyata salah, kita
juga ikut dapat dosanya.
Sebab itu, aku
memberikan penilaian untuk Hanung tanpa pengaruh dari pemberitaan miring di
media. Dua film Hanung—Ayat-Ayat Cinta dan Sang Pencerah—duduk di posisi
pertama sebagai film Indonesia yang tidak terlupakan bagiku. Sebab
kuperhatikan, setiap kali menggarap sebuah film, Hanung tidak pernah terlihat
setengah-setengah. Baik itu dialog, setting tempat, figuran, semuanya terlihat
pas dalam dua film tersebut.
Baik sekian dulu, semoga
film-film Hanung selanjutnya adalam film-film yang bermanfaat bagi masyarakat.
Film yang dibuat bukan hanya karena alasan komersil atau booming semata, melainkan juga jadi media penebar kebaikan dan
ilmu. Semoga...
Tidak banyak filmnya saya tonton, hanya ayat-ayat cinta dan Habibie & Ainun jujur keduanya bukan film favorit. Film Indonesia terfavorit saya sampai saat ini masih "mengejar matahari". Tapi segala tuduhan yg dilontarkan padanya bikin miris saja. Semoga kedepannya dia membuat film yang bisa memberikan manfaat.
ReplyDeletedari ke-4 film itu aku baru nonton ayat-ayat cinta aja
ReplyDeleteSaya juga blm nonton Hijab & Perempuan Berkalung Sorban. Gak ikutan komen juga, meski PBS belum nonton sudah sebal duluan, hehe... AAC aku nonton, tapi malah agak kecewa dg filmnya. Film2 komedi Hanung cukup bagus menurutku, sperti Get Married misalnya. Baru2 ini nonton Gending Sriwijaya, salut sih dg spiritnya mengangkat sejarah ke dalam film. Sayang, Sang Pencerah aku belum nonton. Penasaran, padahal.
ReplyDeleteWaah, gue cuma nonton perempuan berkalung sorban aja... :D
ReplyDeleteiya.... film ini katanya mengandung nilai liberal,... merusak citra pesantren dan lain..lain... "ini katanya ya"...
ReplyDelete