Tuesday 17 November 2015

Not In My Name: Sebuah Catatan setelah Peristiwa #ParisAttack



Aku jarang sekali menuliskan sesuatu yang sedang populer, tapi entahlah malam ini. Sesaat setelah menyusuri portal-portal berita online seperti HuffingtonPost, Telegraph, BBC, ABC, dan sejenisnya, aku jadi tertarik untuk membuat sedikit catatan. Mungkin tidak akan disertai oleh data-data aktual, tapi it comes from my deep heart. Ini catatanku sebagai Muslimah.

Saat pertama kali mendengar penyerangan di Paris beberapa hari lalu, aku langsung berseru lirih. “Ah, ada lagi. Semoga ini serangan oleh para preman. Semoga bukan orang-orang yang mengaku sebagai Muslim lagi yang terlibat.”

Hingga kemudian, berita di televisi meluluh lantakkan semua kata semoga yang telah kuucapkan. Nama-nama seperti Mostefai, Muhammad, Abdeslam, Bilal, Samy, pun bermunculan di antara sederet tersanga teroris yang melakukan penyerangan.

Ya, Allah. 

Lagi-lagi. Tiba-tiba bulu tanganku berdiri. Membayangkan kehidupan saudara-saudari Muslim yang tinggal di negeri minoritas membuatku cemas. 

Selama ini Muslim selalu dipandang sebelah mata, terlebih setelah peritiwa teror yang terjadi bertubi-tubi. Aku hanya takut situasi kembali seperti pasca hancurnya menara kembar pada 9/11, dimana Islamofobia merebak bagaikan virus mematikan. 

Meskipun banyak warga Amerika saat ini tidak lagi percaya bahwa insiden 9/11 disebabkan ulah Muslim ekstrimis, tetap saja peristiwa tersebut terus diulang-ulang oleh mereka yang membenci Islam. Seolah isu terorisme tidak boleh reda sedikit saja. 
Aku sampai bertanya-tanya, kenapa Barat terlihat begitu ‘tertarik’ pada Islam?


Sekarang, pasca PrisAttack, lihatlah di sosial media, banyak sekali kalangan Non-Muslim yang melemparkan hujatan bagi Muslim secara umum. Mereka menjadikan Muslim sedunia sebagai pelampiasan atas kemarahan, kesedihan, dan kehilangan yang sedang dialami. Ini terkesan seperti tetanggamu yang membunuh, tapi kamu yang dihakimi. 



Tweet hujatan ditanggapi dengan cara berbeda oleh kalangan non muslim. Banyak juga di antara mereka yang ikut dalam barisan Muslim untuk mengeluarkan tweet dengan hastag Not In My Name sebagai pernyataan bahwa ISIS bukanlah bagian dari Islam. 



Memikirkan soal ISIS, yang muncul dalam benakku hanyalah tidak habis pikir. Dulu sebelum kemunculan ISIS, aku selalu haru dan bangga tiap kali melihat bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid. 

Tapi ISIS merusak semua itu. Panji Rasulullah mereka rubah menjadi monster yang menakutkan, sehingga setiap bendera itu muncul, yang kita pikirkan adalah ‘Sekelompol Muslim yang mencintai kekekerasan, sadis, brutal, pembunuh, teroris!’. Tidak ada lagi wibawa dan kemuliaan panji Rasulullah yang tampak di mata kita.


Percaya atau tidak, saat ini Islamofobia tidak hanya melanda kaum non muslim, melainkan juga dalam tubuh Muslim sendiri. Kita merasa takut pada orang-orang berjenggot lebat, berjubah, bersorban, dan wanita yang mengenakan burqa. Telah terbentuk mindsheet dalam diri kita untuk menyimpulkan bahwa mereka yang berpenampilan seperti itu pasti sekejam ISIS, atau Syiah.

Sebagai Muslim, aku paham betul Islam sama sekali tidak pernah mengajari kekerasan. Sejak kecil, aku tahu ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan jihad ke medan perang, tapi sejak kecil pula aku paham, jihad yang dimaksud bukanlah penyerangan membabi buta dengan menghabisi kehidupan orang tidak bersalah.

Beberapa ayat Al Quran memang tampak gelap apabila dibaca sepotong-potong, salah satunya adalah ayat yang memerintakan jihad. Tapi kamu tidak akan paham maksud sebenarnya dari ayat tersebut sebelum kamu mempelajari apa itu Islam sesungguhnya, sebelum kamu membaca seluruh isi dan ajaran Islam.

Selama 20 tahun aku hidup sebagai Muslim, aku tidak pernah memiliki anggapan bahwa Islam adalah agama yang mencintai permusuhan dan peperangan. Sebaliknya, aku selalu menyalahkan diri sendiri, “Kenapa aku tidak bisa menjadi Muslim yang baik? Kenapa aku tidak kunjung bisa meneladani keindahan budi Rasulullah SAW?”

Temanku, jika kata-kataku kasar dan menyakiti, itu adalah murni dari diriku sendiri. Jangan salahkan Islam, karena Nabi SAW mengajarkan kami untuk berbicara lemah lembut, begitu juga yang diperintahkan Al Quran.
Dari Abu Syuraih, ia berkata pada Rasulullah “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.”
Beliau bersabda, “Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.” HR. Thobroni
Hadis lain dari Adi bin Hatim menyebutkan,“Selamatkanlah diri kalian dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.” HR. Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 1016
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159).
Bahkan untuk perkataan saja, Islam mengaturnya dengan begitu indah, apalagi dalam hal yang lebih besar dari itu. Jika pada musuh saja, Islam meminta agar kita berlemah lembut, lalu bagaimana bisa Islam disimpulkan sebagai agama yang mengajarkan tindakan brutal dan sadis, dengan membunuh orang-orang yang tidak bersalah?

Masih ingatkah kamu peristiwa selepas perang Badar, ketika pasukan Muslim membawa pulang para tawanan dari Badr menuju Madinah? 

Kala itu pasukan Muslim memilih BERJALAN menuntun onta mereka, sementara PARA TAWANAN DUDUK DI ATAS. Pasukan Muslim MEMBERIKAN ROTI mereka kepada para tawanan, sementara mereka cukup dengan BEBERAPA BUTIR KURMA. 

Apakah ada di dunia ini orang-orang yang rela berkorban demi kelompok musuh seperti itu? 

Jika Islam memiliki sejarah tentang peperangan, jangan lupa, semuanya punya catatan sejarah yang sama. Ketika Turki Ustmani berekspansi ke Eropa, di saat yang sama Eropa juga menjajah wilayah Timur. Jaman itu memang begitulah tradisinya. 

Sejak dulu rumus yang terjadi selalu sama, mereka melupakan kejahatan yang mereka lakukan, sebaliknya mem-BOLD kejahatan yang dilakukan para Muslim kacangan. 

Mereka lupa pada peperangan yang telah mereka kobarkan, sebaliknya mengungkit-ngungkit peperangan yang dilakukan Muslim, untuk kemudian menyimpulkan, “Islam adalah agama yang identik dengan perang.” 

Mereka pura-pura lupa kalau Hitler telah membantai 6 juta orang Yahudi dan 60 juta orang pada perang dunia II. Mereka tidak ingat kalau Joseph Stalin (Uncle Joe) telah membunuh 20 juta orang dan 14,5 juta telah mati kelaparan. Mereka juga tidak mau memikirkan kalau Mao Tse Tsung dari Cina telah membunuh 14-20 juta orang.

Tidak, mereka tidak ingat semua itu. Yang paling mereka ingat adalah hancurnya menara kembar pada tahun 2001 dengan 2977 korban tewas. Kenapa mereka menamai penjahat dari Islam ini teroris sementara dari agama lain tidak? 

www.asiansunday.co.uk

Padahal, jangankan meneror dengan aksi pembunuhan, menakut-nakuti saja tidak diperbolehkan dalam Islam, 
“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Daud no. 5004 dan Ahmad 5: 362)
Namun, teror demi teror yang terjadi dalam setahun ini semakin menguatkan pendapat publik bahwa Islam adalah agama teroris. Imbasnya bukan hanya pada ISIS, tapi juga seluruh umat Muslim di dunia. 
“Hal seperti ini sering terjadi atas dasar tujuan yang berbeda-beda. Ketika saya masih Kristen, saya tidak pernah ketakutan. Beberapa peristiwa tidak menyentuh kehidupan saya secara langsung karena saya adalah warga Amerika berkulit putih. Tapi ketika saya menjadi Muslim, tiba-tiba semuanya menjadi kesalahan saya. Orang-orang menganggap saya musuh semalam. Dan ketika saya sudah tidak takut, saya justru takut pada keadaan para wanita yang saya bimbing. Hmm seperti, apa yang akan saya lakukan ketika ada seseorang yang menyakiti mereka? Atau ketika mereka mendapatkan perlakuan tidak sopan? Aku benar-benar kehilangan akal.” Ucap seorang pemuda Muslim Amerika pada MuslimGirl.Net
Sebagai warga Indonesia, kita bersyukur hidup dalam sebuah lingkungan yang menjunjung tinggi solidaritas umat beragama. Meskipun di dunia maya, masih saja saling menghujat, mengadu domba, namun dalam kehidupan nyata, kita menghargai satu sama lain. Antara Muslim, Kristian, Hindu, Budha, bisa dikatakan kita hidup dalam harmoni. 

Jadi ketika terjadi peristiwa teror di negara nun jauh di sana, kita tidak akan menerima imbas secara langsung. But, when I think about sisters and brothers living there, I know it will not easy to be passed.

Untuk kita yang mengaku Muslim, ayo sedikit demi sedikit ikut menyuarakan kebenaran Islam melalui media. Kita memang tidak pernah tahu kebenaran yang terjadi di balik semua teror yang mengatas namakan Islam tersebut. Apakah hanya propaganda, konspirasi, atau memang sebuah kebenaran, kita tidak tahu pasti. 

Yang pasti banyak tulisan dan berita di media raksasa yang sengaja dibuat untuk menggiring opini publik bahwa Islam adalah agama teroris. Inilah yang harus diperbaiki dengan cara halus. 

Membalas hujatan dengan hujatan tidak akan merubah apa pun, justru kebencian mereka terhadap Islam semakin menjadi-jadi. Ingatlah selalu, sesuatu yang indah dan damai haruslah disiarkan dengan keindahan dan kedamaian itu sendiri.
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9)

Let's living our life  in a harmony. No matter you are Muslim or not, hijabi or not, black or blonde hair, white or black, as long as we live in the same planet, same bright sun, same round moon, it means we can share the same love too :) belakhan.com

Lots of Love
Sofia

1 comment:

  1. Saya suka dengan tulisan mba, ini menohok. Walaupun saya seorang non-muslim tapi saya gerah banget melihat media (termasuk sosmed) yang memojokkan islam karena #ParisAttack ini. Bagi saya pembunuh tetap saja pembunuh hubungannya sama nyawa bukan agama. Sedih lihatnya :(

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...