Sabret gönül, sabret.
Sakın küsme kaderine, şükret.
Her kışın bir baharı var, elbet.
Yeter ki sen sabret.
Bersabarlah wahai hati, bersabarlah.
Jangan pernah mengeluh dengan nasibmu, bersyukurlah.
Setiap musim dingin akan ada musim seminya, itu pasti.
Cukuplah kamu bersabar.
Sakın küsme kaderine, şükret.
Her kışın bir baharı var, elbet.
Yeter ki sen sabret.
Bersabarlah wahai hati, bersabarlah.
Jangan pernah mengeluh dengan nasibmu, bersyukurlah.
Setiap musim dingin akan ada musim seminya, itu pasti.
Cukuplah kamu bersabar.
Aforisme di atas kudengar saat kedatangan pertama di Istanbul,
sekitar sepuluh tahun lalu. Seorang lelaki Turki berusia hampir tujuh puluh
mengucapkan kalimat tersebut ketika mendapatiku menangis di tepian Bosphorus.
Dulu sekali, sebelum pertemuanku dengan Stefani, aku adalah
seorang wanita Muslim yang tidak menjalankan Islam dengan baik. Agama hanya
sebatas formalitas bagiku. Setiap hari waktuku dihabiskan dengan
kegiatan-kegiatan yang umum dilakukan oleh muda-mudi Barat yang mengagungkan
jargon work hard play hard.
Teman-teman Rusiaku bilang, ‘Jika ingin bahagia, genggamlah erat-erat jargon
tersebut dalam hati dan terapkan dalam kehidupan. Maka kebebasan yang
sebenarnya akan terlihat. Begitulah seharusnya kita menikmati hidup.’
Tapi, setelah bertahun-tahun aku hidup sesuai jargon itu,
kebahagiaan seperti yang mereka katakan tak kunjung kurasakan. Aku menemukan
diriku seperti seorang musafir yang berteduh di bawah rerantingan kering, di
tengah gurun tidak berujung. Aku bosan dengan hidup yang begitu-begitu saja.
Saat berpesta aku akan tertawa sepuasnya, minum
sebanyak-banyaknya, dan seperti biasa semua berujung ke tempat tidur. Hingga di
pagi hari, aku menemukan diriku terlentang di bawah selimut dengan seprei yang kusut.
Entah siapa partnerku tadi malam, aku pun tidak bisa mengingat dengan jelas.
Yang kutahu, saat terbangun, para lelaki itu sudah lenyap entah ke
mana. Barangkali sudah memeluk tubuh wanita lain. Kesenangan tadi malam hanya
menyisakan diriku sendiri yang tidak berdaya, yang sudah harus bersiap-siap
untuk kembali bekerja.
Hal-hal seperti itulah yang membuatku sering menangis tanpa sebab.
Seperti ada belati tajam yang setiap saat dihujamkan tepat ke ulu hati. Apa
arti kebahagiaan? Mengapa saat aku berada di tempat indah yang dimpikan jutaan
orang, aku tak kunjung merasakan sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya? Mengapa
kebahagiaan saat berpesta bersama teman-teman bisa menguap tanpa sisa?
Apakah hidup ini hanya sebatas seperti ini saja? Dan waktu itu,
beberapa jam sebelum pertemuan dengan Stefani, aku menangis di tepian
Bosphorus, meratapi kepedihan yang membuatku begitu menderita. Mungkin Bapak
tua itu merasa kasihan sehingga ia mendekatiku dan menyampaikan aforisme yang
begitu indah.
Hari ini, aku dan Elsa sudah duduk di dalam pesawat Turkish Airlines
yang akan membawa kami menuju kota Antalya. Lalu dari Antalya, kita akan
mengambil jalan darat sejauh 168 km menuju sebuah kota bernama Kas. Kudengar,
Kas adalah kota kecil cantik yang dibangun di tepi laut biru, dan berdasarkan
pengetahuan Elsa, di sanalah berdiri masjid tempat Mustafa bertugas. Sebuah
masjid berwarna krem dengan satu menara runcing yang menunjuk angkasa.
“Kau menyimpan semua fotonya?” tanyaku saat bus yang kami tumpangi mulai berjalan.
Pandangan Elsa tertuju ke luar jendela, pada awan tipis yang
terbang seumpama kapas. “Sejak hari pertama aku mencintainya hingga dua tahun
lalu, aku mengunjungi dinding facebooknya setiap hari. Tidak ada satu pun foto
yang ia masukkan atau yang ditandai teman-temannya dalam periode tersebut luput dari
perhatianku. Semuanya tersimpan rapi dalam satu folder di tablet maupun laptop.
Hingga sekarang.” katanya lirih.
Oh, Elsa. Seberapa kuatkah cinta itu mencengkeram hatimu? Sihir apa yang bisa membuatmu jatuh cinta pada
lelaki yang tidak pernah kau lihat di dunia nyata? Aku semakin penasaran. Seperti
apa lelaki itu? Apakah ia sungguh-sungguh memesona?
“Wah, kau seperti mata-mata saja, ya?” aku tertawa lirih. “Kalau
aku? Bahkan aku baru tahu kalau suamiku punya akun facebook sekitar seminggu
lalu.”
Elsa menoleh padaku. Matanya menyipit dan cahayanya berubah tajam.
Ia benar-benar terlihat seperti seorang detektif yang sedang melakukan tugas
introgasi. “Kau sudah bersuami?” tanyanya penuh selidik.
Kuanggukkan kepala. “Sure. Umurku sudah 29.” Kataku tanpa rasa
berdosa sedikit pun.
“Lalu mengapa kau mengikutiku? Leave me and go home! Menemani
suami adalah tugas utamamu. Kecuali kalau kau bukan seorang istri yang baik.”
Ucap Elsa dengan nada tinggi. Sungguh, dari suaranya semua orang akan tahu
kalau ia sedang mengusirku.
“Baiklah. Kalau boleh saja mengatakan aku bukan seorang istri yang
baik, tapi tolong biarkan aku tetap bersamamu.” Saat mengatakan ini, kedua
tangan kutangkupkan di depan dada.
Melihat tingkahku, Elsa hanya membalas dengan pandangan tidak
suka. Tapi dia diam saja. Matanya yang tajam menatap kosong lanskap di luar
jendela. Di luar sana, langit berwarna kelabu. Mendung sejak pagi menggelayut
di atas langit Turki. Aku melihat tatapan sendu Elsa. Kesedihan dalam jiwa
temanku ini terlalu banyak, bahkan saat di sampingnya aku bisa merasakan
kesedihan itu.
“Elsa...” kusentuhkan jemariku ke pundaknya yang terselubung jaket
wol.
Dia tidak bergeming sedikit pun, tapi aku percaya ia mendengar.
“Bersabarlah wahai hati, bersabarlah. Jangan
pernah mengeluh dengan nasibmu, bersyukurlah. Setiap musim dingin akan ada
musim seminya, itu pasti. Cukuplah kamu bersabar.” Ucapku mengutip kalimat yang
pernah disampaikan seseorang untukku. “Elsa, sayang. Sungguh aku belum tahu apa
yang telah membuatmu dipenuhi kesedihan seperti ini, tapi aku yakin semua ada
hubungannya dengan tempat yang akan kita tuju. Bersabarlah, sebentar lagi kau
akan bertemu Mustafa.” Aku berusaha menenangkan.
Tarikan napas berat Elsa terdengar. Napas
yang bergetar, seolah ada jutaan kepedihan yang memenuhi hatinya. Aku berharap
Elsa mau menumpahkan lewat air mata, tapi harapanku itu terlalu jauh karena sekali
pun aku tidak pernah mendapati matanya berkaca-kaca.
Hingga detik ini, aku masih terus berpikir,
bagaimana seseorang yang akan segera bertemu pujaan hati bisa bersedih? Apakah
Elsa menjadi seperti ini karena kerinduan yang begitu banyak? Apakah kerinduan
itu berubah menjadi gumpalan menyakitkan dalam dadanya? Kurasa, semua
pertanyaanku itu hanya akan terjawab oleh waktu. Aku harus bersabar hingga tiba
di kota Kas. Sebuah kota kecil di tepi laut biru yang menyimpan seorang lelaki
bernama Mustafa...
*Dedicated for my best friend, Mustafa Balci. Thank you for every memories and the goodness. May Allah gives you a beautiful life in the dunya and akhirah.
awesome...
ReplyDeleteIni kalau diolah lagi bisa jadi novel juga kak.
Menarik.
Oh, aku juga pengen ah suatu hari menulis kisah islami
selama ini cerpen/cerbung/flash fiction ku melulu seputar anak muda secara umum. gak pernah berani bikin yang berbau islami lantaran takut sara dan yang baca jadi tersegmentasi
:(
P.S.
Suka banget cara pemaparan interaksi "aku" dan "elsa" nya
Banyak yang tidak bisa diungkapkan tentang hati. Dan itu adalah rahasia dari sang pemiliknya.
ReplyDeleteayo sofiii bikin novel, kamu bisaaa, kamu tuh bagus mengolah kata dan membuat alurnya
ReplyDeletereligius bgt kak
ReplyDelete