Friday 9 December 2016

Sabret gönül, Sabret... Bersabarlah Wahai Hati, Bersabarlah...




Sabret gönül, sabret.
Sakın küsme kaderine, şükret.
Her kışın bir baharı var, elbet.
Yeter ki sen sabret.

Bersabarlah wahai hati, bersabarlah.
Jangan pernah mengeluh dengan nasibmu, bersyukurlah.
Setiap musim dingin akan ada musim seminya, itu pasti.
Cukuplah kamu bersabar.

Aforisme di atas kudengar saat kedatangan pertama di Istanbul, sekitar sepuluh tahun lalu. Seorang lelaki Turki berusia hampir tujuh puluh mengucapkan kalimat tersebut ketika mendapatiku menangis di tepian Bosphorus.

Dulu sekali, sebelum pertemuanku dengan Stefani, aku adalah seorang wanita Muslim yang tidak menjalankan Islam dengan baik. Agama hanya sebatas formalitas bagiku. Setiap hari waktuku dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan yang umum dilakukan oleh muda-mudi Barat yang mengagungkan jargon work hard play hard. Teman-teman Rusiaku bilang, ‘Jika ingin bahagia, genggamlah erat-erat jargon tersebut dalam hati dan terapkan dalam kehidupan. Maka kebebasan yang sebenarnya akan terlihat. Begitulah seharusnya kita menikmati hidup.’

Tapi, setelah bertahun-tahun aku hidup sesuai jargon itu, kebahagiaan seperti yang mereka katakan tak kunjung kurasakan. Aku menemukan diriku seperti seorang musafir yang berteduh di bawah rerantingan kering, di tengah gurun tidak berujung. Aku bosan dengan hidup yang begitu-begitu saja.

Saat berpesta aku akan tertawa sepuasnya, minum sebanyak-banyaknya, dan seperti biasa semua berujung ke tempat tidur. Hingga di pagi hari, aku menemukan diriku terlentang di bawah selimut dengan seprei yang kusut. Entah siapa partnerku tadi malam, aku pun tidak bisa mengingat dengan jelas.

Yang kutahu, saat terbangun, para lelaki itu sudah lenyap entah ke mana. Barangkali sudah memeluk tubuh wanita lain. Kesenangan tadi malam hanya menyisakan diriku sendiri yang tidak berdaya, yang sudah harus bersiap-siap untuk kembali bekerja.

Hal-hal seperti itulah yang membuatku sering menangis tanpa sebab. Seperti ada belati tajam yang setiap saat dihujamkan tepat ke ulu hati. Apa arti kebahagiaan? Mengapa saat aku berada di tempat indah yang dimpikan jutaan orang, aku tak kunjung merasakan sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya? Mengapa kebahagiaan saat berpesta bersama teman-teman bisa menguap tanpa sisa?

Apakah hidup ini hanya sebatas seperti ini saja? Dan waktu itu, beberapa jam sebelum pertemuan dengan Stefani, aku menangis di tepian Bosphorus, meratapi kepedihan yang membuatku begitu menderita. Mungkin Bapak tua itu merasa kasihan sehingga ia mendekatiku dan menyampaikan aforisme yang begitu indah.

Hari ini, aku dan Elsa sudah duduk di dalam pesawat Turkish Airlines yang akan membawa kami menuju kota Antalya. Lalu dari Antalya, kita akan mengambil jalan darat sejauh 168 km menuju sebuah kota bernama Kas. Kudengar, Kas adalah kota kecil cantik yang dibangun di tepi laut biru, dan berdasarkan pengetahuan Elsa, di sanalah berdiri masjid tempat Mustafa bertugas. Sebuah masjid berwarna krem dengan satu menara runcing yang menunjuk angkasa.
“Kau menyimpan semua fotonya?” tanyaku saat bus yang kami tumpangi mulai berjalan.

Pandangan Elsa tertuju ke luar jendela, pada awan tipis yang terbang seumpama kapas. “Sejak hari pertama aku mencintainya hingga dua tahun lalu, aku mengunjungi dinding facebooknya setiap hari. Tidak ada satu pun foto yang ia masukkan atau yang ditandai teman-temannya  dalam periode tersebut luput dari perhatianku. Semuanya tersimpan rapi dalam satu folder di tablet maupun laptop. Hingga sekarang.” katanya lirih.

Oh, Elsa. Seberapa kuatkah cinta itu mencengkeram hatimu? Sihir  apa yang bisa membuatmu jatuh cinta pada lelaki yang tidak pernah kau lihat di dunia nyata? Aku semakin penasaran. Seperti apa lelaki itu? Apakah ia sungguh-sungguh memesona?

“Wah, kau seperti mata-mata saja, ya?” aku tertawa lirih. “Kalau aku? Bahkan aku baru tahu kalau suamiku punya akun facebook sekitar seminggu lalu.”

Elsa menoleh padaku. Matanya menyipit dan cahayanya berubah tajam. Ia benar-benar terlihat seperti seorang detektif yang sedang melakukan tugas introgasi. “Kau sudah bersuami?” tanyanya penuh selidik.

Kuanggukkan kepala. “Sure. Umurku sudah 29.” Kataku tanpa rasa berdosa sedikit pun.

“Lalu mengapa kau mengikutiku? Leave me and go home! Menemani suami adalah tugas utamamu. Kecuali kalau kau bukan seorang istri yang baik.” Ucap Elsa dengan nada tinggi. Sungguh, dari suaranya semua orang akan tahu kalau ia sedang mengusirku.

“Baiklah. Kalau boleh saja mengatakan aku bukan seorang istri yang baik, tapi tolong biarkan aku tetap bersamamu.” Saat mengatakan ini, kedua tangan kutangkupkan di depan dada.

Melihat tingkahku, Elsa hanya membalas dengan pandangan tidak suka. Tapi dia diam saja. Matanya yang tajam menatap kosong lanskap di luar jendela. Di luar sana, langit berwarna kelabu. Mendung sejak pagi menggelayut di atas langit Turki. Aku melihat tatapan sendu Elsa. Kesedihan dalam jiwa temanku ini terlalu banyak, bahkan saat di sampingnya aku bisa merasakan kesedihan itu.

“Elsa...” kusentuhkan jemariku ke pundaknya yang terselubung jaket wol.

Dia tidak bergeming sedikit pun, tapi aku percaya ia mendengar.

“Bersabarlah wahai hati, bersabarlah. Jangan pernah mengeluh dengan nasibmu, bersyukurlah. Setiap musim dingin akan ada musim seminya, itu pasti. Cukuplah kamu bersabar.” Ucapku mengutip kalimat yang pernah disampaikan seseorang untukku. “Elsa, sayang. Sungguh aku belum tahu apa yang telah membuatmu dipenuhi kesedihan seperti ini, tapi aku yakin semua ada hubungannya dengan tempat yang akan kita tuju. Bersabarlah, sebentar lagi kau akan bertemu Mustafa.” Aku berusaha menenangkan.

Tarikan napas berat Elsa terdengar. Napas yang bergetar, seolah ada jutaan kepedihan yang memenuhi hatinya. Aku berharap Elsa mau menumpahkan lewat air mata, tapi harapanku itu terlalu jauh karena sekali pun aku tidak pernah mendapati matanya berkaca-kaca.

Hingga detik ini, aku masih terus berpikir, bagaimana seseorang yang akan segera bertemu pujaan hati bisa bersedih? Apakah Elsa menjadi seperti ini karena kerinduan yang begitu banyak? Apakah kerinduan itu berubah menjadi gumpalan menyakitkan dalam dadanya? Kurasa, semua pertanyaanku itu hanya akan terjawab oleh waktu. Aku harus bersabar hingga tiba di kota Kas. Sebuah kota kecil di tepi laut biru yang menyimpan seorang lelaki bernama Mustafa...

*Dedicated for my best friend, Mustafa Balci. Thank you for every memories and the goodness. May Allah gives you a beautiful life in the dunya and akhirah.

4 comments:

  1. awesome...

    Ini kalau diolah lagi bisa jadi novel juga kak.
    Menarik.

    Oh, aku juga pengen ah suatu hari menulis kisah islami
    selama ini cerpen/cerbung/flash fiction ku melulu seputar anak muda secara umum. gak pernah berani bikin yang berbau islami lantaran takut sara dan yang baca jadi tersegmentasi

    :(

    P.S.
    Suka banget cara pemaparan interaksi "aku" dan "elsa" nya

    ReplyDelete
  2. Banyak yang tidak bisa diungkapkan tentang hati. Dan itu adalah rahasia dari sang pemiliknya.

    ReplyDelete
  3. ayo sofiii bikin novel, kamu bisaaa, kamu tuh bagus mengolah kata dan membuat alurnya

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...