Pesawat Turkish
Airlines yang kita tumpangi mendarat tidak begitu halus di Sarajevo International
Airport, bandara terbesar sekaligus tersibuk di Bosnia Herzegovina. Tiket yang kita beli
dari salah satu website booking adalah tiket penerbangan langsung menuju
Sarajevo, tidak harus transit terlebih dahulu di Wina, Austria.
Dua jam dua
menit selama penerbangan kuhabiskan dengan memandang keluar jendela, pada
awan-awan tipis yang melayang. Seolah mereka tercipta hanya untuk terbang bebas
tanpa beban. Dan jika sudah sampai waktunya, mereka akan berubah dalam wujud
lain berupa tetes hujan atau salju yang meluncur menuju bumi, kembali menemukan
sebuah kehidupan baru.
Perangkat hiburan yang
disediakan di depan kursi tidak kusentuh sama sekali. Kamu pun begitu. Sejak tadi—kuperhatikan—kau
justru lebih sibuk membaca buku yang kau bawa dari Tanah Air. Kita hanya
sesekali berbicara, selebihnya lebih banyak terisi oleh deru mesin pesawat.
“Zdravo. Dobro jutro.
Welcome in Sarajevo International Airport. Thank you for chose a flight with us.” Seorang pramugari yang berdiri melepas kepergian penumpang di pintu kabin
menyapa, ucapan yang sama untuk penumpang lainnya. Senyum dan bentuk wajahnya
khas Turki, sangat cocok dipadukan dengan seragam biru donkernya.
Angin musim dingin
menyambut kita begitu keluar dari pesawat. Tidak ada perbedaan yang kontras
antara Turki dan Bosnia Herzegovina, suhu yang tidak jauh berbeda dan waktu
yang hanya memiliki selisih satu jam.Ini adalah kali pertama aku menginjakkan
kaki di bandara ini.
Dulu selama perang 1992-1995, penerbangan umum ditutup
sementara waktu dan hanya dipakai untuk kegiatan kemanusiaan, seperti
mengantarkan bantuan-bantuan dari seluruh dunia untuk korban perang. Bandara
ini baru kembali beroperasi normal satu tahun setelah perang usai.
Kita berjalan
mengikuti lorong yang mengantar menuju conveyor dan petugas pemeriksaan.
“Hvala (thanks)” ucapmu dengan bahasa Bosnia setelah petugas imigrasi
laki-laki yang memeriksa paspormu.
“Da li govorite
bosansky? Odakle ste? (Apakah bicara bahasa Bosnia? Dari mana asalmu?)” Wajah petugas itu terlihat semangat
“Razumijem bosansky,
just little. (Aku bisa sedikit)”Jawabmu dengan memberikan sedikit senyuman, kemudian
berlalu meninggalkan mejanya. Aku sendiri kaget saat mendapati kamu mengerti
sedikit bahasa Bosnia.
“Kau tahu, bandara ini telah
menerima beberapa international award.” Aku berseru sambil melihat kembali ke
arah pintu bandara.
“Baguslah.” Kau merespon pendek.
Seperti kebanyakan bandara internasional, pastinya di terminal
keberangkatan dan kedatangan penerbangan internasional selalu dipenuhi dengan
wajah-wajah antarbangsa. Sekumpulan turis berwajah Cina terlihat baru keluar
dari pintu exit bangunan bandara, wajah senang jelas sekali tergambar dari
wajah mereka. Aku sudah hapal dengan kebiasaan orang Cina, mereka tidak pernah
kehabisan suara. Selalu saja berisik ketika berbicara dengan sesama mereka. Seketika
mereka mengerubungi seorang laki-laki separuh baya yang membawa kertas
bertuliskan sesuatu di depan dadanya. Kemungkinan besar ia adalah tour guide yang akan memandu perjalanan
para turis Cina itu.
Seorang laki-laki menghampiri. Dengan bahasa Bosnia ia menawari kita untuk
naik ke taksinya. Aku tidak mau berpikir lama, ditambah udara yang semakin
menusuk tulang, langsung saja kuterima tawarannya. Koper kecil di tanganku
seketika berpindah tangan, supir yang kuterka berumur lima puluh itu mengangkut
ke bagasi taksinya. Senyum ramah tetap tersungging di bibir laki-laki tua itu ketika
ia mempersilakan kita masuk ke dalam taksi.
Mobil kuning yang masih cukup bagus itu bergerak meninggalkan bandara.
Salju tipis turun tapi masih jarang-jarang. Setelah mengucapkan selamat datang
dan menanyakan tujuan kita, supir tua itu mengarahkan mobilnya melewati jalan Brace Mulic, kemudian Belok kiri menuju Senada Poturka Sencija. Berdasarkan
penuturannya, ada tiga rute yang bisa ditempuh dari bandara menuju stasiun bus
di tengah kota Sarajevo. Tidak ada perbedaan jarak tempuh yang signifikan di
antara ketiga rute itu. Semuanya tidak memakan waktu lebih dari 20 menit.
Mobil terus
melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Ada getaran halus menyusup dalam
dadaku, mencipatakan keharuan yang indah.
Sarajevo, tidak pernah terbersit
dalam pikiranku untuk mendatangimu, bahkan dahulu semua ini hanyalah mimpi.
Kini kota
ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi bangunan-bangunan hancur dengan asap
membumbung tinggi. Tak ada tank-tank chetnik yang berjalan serupa monster yang
mengejar mangsanya. Tak ada barisan setan yang menembaki penduduk. Tak ada
jeritan luka wanita dan anak-anak. Tak ada air mata yang meleleh dari sudut
mata laki-laki ketika dipisahkan dari anak istrinya. Tak juga terdengar dentuman-dentuman
yang menakutkan dari segenap penjuru kota.
Sekarang
kota ini adalah tempat yang aman, yang indah, dan menyihir. Air mata dan darah
penduduk yang terbunuh bertitah pada bumi untuk menumbuhkan keindahannya.
Aku melihat
bangunan di sepanjang jalan. Beberapa bangunan seperti Masjid tetap terlihat
seperti dulu, bergaya Ottoman dengan menara-menara runcingnya. Gedung-gedung
yang dulu hancur akibat perang telah direkonstruksi kembali sedemikian rupa. Beberapa
bangunan masih mempertahankan keadaan aslinya sebagai peninggalan sejarah.
Tidak bisa dipungkiri, sejak perang 1992-1995, Bosnia identik dengan negara
yang menyeramkan karena dipenuhi sisa-sisa perang. Tidak banyak yang mengetahui
keindahannya. Bahkan sebagian orang menganggap kunjungan ke Bosnia tidak
ubahnya kunjungan ke kota kelam yang berhantu. Tetapi kini bisa kupastikan,
ketika seseorang menginjakkan kaki di atasnya, ia akan terpukau dengan pesona
Bosnia. Pesona semenanjung Balkan seperti yang ada dalam tulisan dan lukisan ada
di sini, di Bosnia.
“Jika kita
terus mengikuti jalan ini, kemudian berbelok tiga kali, sampailah nantinya di
jalan Zelenih Beretki.
Biasanya itu adalah titik pertama Sarajevo yang dikunjungi oleh turis
mancanegara.” Supir tua itu menjelaskan ketika kita melaju di jalan Zvornicka. Telunjuknya
menunjuk kecil ke depan.
“Di sana
memang indah. Kita bisa berjalan-jalan di pinggir sungai Miljacka, lalu menyeberanginya
melewati jembatan Latin dan melihat-lihat Museum Sarajevo 1878-1918.”
Sambungmu dengan suara datar.
Aku jadi teringat salah satu sahabat
asal Bosnia yang bernama Elma Izetbekovic. Kami berkenalan di Jakarta. Waktu itu
dia datang ke Indonesia untuk sebuah persentasi paper di Universitas Indonesia.
Elma pernah bercerita mengenai masa kecilnya di Sarajevo, terutama tentang masa
kecilnya di area Zelenih Beretki.
“Dulu masa kecil kami di Sarajevo, aku
juga sering menyusuri sungai Miljacka dengan sepeda. Area Zelenih Beretki adalah salah satu
tempat kegemaranku untuk menghabiskan waktu libur. Jembatan Latin yang tiangnya
berbentuk lengkungan-lengkungan itu tidak pernah membosankan untuk dipandang.
Dan jika sudah lelah, aku akan masuk ke museum Sarajevo 1878-1918atau
yang dikenal dengan museum Austria-Hongaria. Disebut begitu karena memang
museum itu bercerita tentang masa kedudukan Austria-Hongaria di Sarajevo,
selama periode 1878-1918. Tempat terbunuhnya Franz
Ferdinand yang memicu perang dunia pertama pun diduga terjadi di area itu.” Suara
Elma seperti menggema di telingaku, membuatku tersenyum.
Mobil meninggalkan
jalan Zvornicka, berbelok ke kiri memasuki jalan Hamdije Cemerlica. Di trotoar
jalan yang mulai dilapisi salju, tampak para wanita Bosnia yang berjalan dengan
plastik-plastik belanja di tangan. Kini para wanita Bosnia banyak yang mengenakan
kerudung. Dulu, ketika Bosnia masih berada dalam federasi
Yugoslavia, semua hal yang berbau agama tidak boleh diperlihatkan. Masjid-Masjid sepi seperti kuburan. Keadaan itu berbanding terbalik
pasca perang Bosnia, pengalaman pahit selama periode perang sepertinya membawa
para Bosnian pada kesadaran, ditambah lagi dengan syiar Islam yang digemakan
oleh para mujahidin antar bangsa yang membantu Bosnia.
“Lihat para
gadis kami, mereka cantik-cantik, bukan?” tanya Pak Supir.
Aku
membenarkan.
Taksi terus
melaju selama beberapa menit, kemudian berhenti tepat di depan Autobuska stanica Sarajevo—terminal
bus kota Sarajevo.
Setelah kamu yang membayar tarif taksi, bapak supir itu langsung
memutar mobil. Ia memberikan senyuman sebelum melajukan mobil meninggalkan kita.
Kita berjalan menuju tempat pembelian tiket, kemudian bergegas
masuk ke dalam bus. Sepuluh menit kemudian bus bergerak keluar dari terminal. Setelah
berada di badan jalan, bus melaju dengan halus meninggalkan Sarajevo. Lanskap
kota Sarajevo berganti dengan hamparan rerumputan meranggas yang dilapisi salju
tipis. Dua jam tiga puluh menit lagi kami akan tiba di Mostar.
“Kenapa
kau diam saja? Kau tidak menyukai perjalanan kita?” tanyaku akhirnya. Jujur,
sejak tadi aku sedikit tidak nyaman dengan ekspresimu yang datar.
Kau
menutup buku, memandangku sejenak. “Aku menyukainya. Tapi bukan berarti aku
harus terus-terusan tertawa, kan?”
Aku
menggeleng, “Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Baiklah. Aku akan tidur. Barangkali
kau sedang lelah.” Aku menyandarkan kepala, coba memejamkan mata. Detik ini,
sungguh, aku bosan dengan dirimu yang diam.
“Tidurlah.
Aku akan menceritakan sebuah cerita sebagai pengantar tidurmu.” Katamu.
Aku
tersenyum. Dalam hati. Inilah yang aku sukai dari dirimu. Kau selalu
menghadiahiku hal-hal kecil yang tak semua pasangan melakukannya.
Lalu, kau pun mulai bercerita, tentang kisah peperangan di tanah
ini yang begitu memilukan. Ketika melakukan genosida terhadap etinis Bosnia
yang beragama Islam 20 tahun lalu, tentara Serbia benar-benar seperti iblis.
Mereka memisahkan semua laki-laki dewasa
etnis Bosnia, dengan anggota keluarga perempuan dan anak laki-laki di bawah 12
tahun. Setelah itu mereka akan meminta para laki-laki itu berbaris sebelum
akhirnya diberondong senjata mesin.
Mereka tidak mempedulikan jeritan para wanita dan tangisan anak-anak.
Bagi mereka etnis Bosnia tidak berbeda dengan hewan buruan yang layak mati di
ujung senapan. Ketika para tentara itu mengejar orang-orang Bosnia yang
berusaha melarikan diri, mereka menganggapnya seperti sedang berburu. Saat
peluru senapan mereka menjatuhkan orang-orang Bosnia, mereka tertawa
terbahak-bahak dan berteriak senang pada sesama mereka.
“Aku pemburu ulung. Lihatlah aku berhasil menumbangkan lima. Kau
sudah berhasil membidik berapa buronan, Jack?”
“Sial! Lari mereka ternyata cukup kencang juga. Tapi tidak apa,
aku suka. Justru ini sangat menantangku.”
Kembali mereka terbahak-bahak, melajukan tank-tank baja ke
pemukiman penduduk. Rumah-rumah kebanyakan tidak utuh lagi. Asap membumbung
tinggi dengan bau sangit dan daging terbakar. Mayat menumpuk dimana-mana. Wujud
mereka tidak lagi mudah dikenali, tercabik-cabik, perut terburai, dan tidak
sedikit juga yang telah terpisah jauh dengan kepalanya.
Para tentara Serbia memiliki persediaan senjata yang banyak,
karena mendapat pasokan dari Soviet. Sementara muslim Bosnia hanya melawan
dengan senjata seadanya. Mungkin kamu sudah lupa, apa yang melatar
belakangi perang Bosnia 1992-1995? Baiklah, akan kuingatkan sedikit.
Bosnia Herzegovina adalah sebuah negara di semenanjung Balkan yang
termasuk ke dalam Federasi Yugoslavia. Penduduknya mayoritas beragama Islam
sejak masuknya Islam pada abad ke-14 oleh Dinasti Ottoman. Runtuhnya Uni Soviet
pada tahun 1991 menyebabkan efek domino yang berimbas pada Federasi Yugoslavia,
sehingga harus dipecah menjadi enam negara bagian, yaitu Bosnia, Serbia,
Kroasia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.
Tiga negara yang memiliki perbedaan etnis dan agama paling
mencolok adalah Bosnia dengan etnis Bosnia beragama Islam, Serbia dengan etnis
Serbia beragama Ortodoks, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma. Serbia
memiliki ambisi untuk menyatukan kembali Federasi Yugoslavia dan sangat
menentang berdirinya negara Bosnia yang beragama Islam. Itulah sebabnya mereka
melakukan merampasan wilayah dengan cara menghabisi seluruh penduduk Bosnia.
Orang-orang Serbia menganggap setiap Muslim adalah orang-orang
Turki yang menjajah semenanjung Balkan, sehingga mereka semua—muslim—pantas
diusir. Keyakinan seperti ini mereka tanamkan sejak kecil. Sekolah-sekolah
mereka mengajarkan sebuah syair yang dikenal dengan syair iklil al jabal. Syair ini mengungkapkan penghinaan yang begitu
besar pada Islam.”
Kau mengakhiri cerita. Mataku yang terpejam, sebenarnya tidak bisa
jatuh tertidur. Aku mendengarkan sejak tadi, mendengarkan dengan khidmat.
“Karena itu, aku tidak bisa tersenyum sejak tadi. Negara ini
menyisakan luka yang tak mudah untuk diabaikan begitu saja, Mariam. Tapi satu
hal yang perlu engkau tahu, aku bahagia berada di sampingmu. Aku bahagia bisa
menemanimu mewujudkan mimpi untuk berkunjung ke negara ini. Kau tak pernah bisa
menerka sebesar apa kebahagiaanku.” Katamu pada akhirnya.
Aku membuka mata. Detik ini, sungguh—aku telah mengubah
statementku beberapa menit yang lalu, bahwa aku begitu bahagia dengan dirimu
yang diam. Kau selalu punya alasan yang membuatku jatuh hati berkali-kali.
“Terimakasih. Terimakasih kau telah banyak tahu tentang negara
ini, melebihi aku. Tapi kau juga perlu tahu satu hal, tidak ada orang yang
berhasil tidur dengan kisah pengantar seperti ini. Lain kali, aku akan
membelikanmu buku dongeng pengantar tidur.” Kataku lirih. Bercanda. Tersenyum.
Kali ini aku melihat kau tersenyum tipis. Bus yang kita tumpangi
terus melaju di atas jalanan yang bersepuh salju. Deretan pegunungan khas
Semenanjung Balkan membentang di kanan dan kiri jalan, membuatku tak hentinya
bersyukur.
Hari ini, dua impianku telah diijabah Tuhan. Pertama, adalah
mimpiku untuk menginjakkan kaki di Bosnia, dan kedua adalah mimpiku untuk duduk
di sampingmu.