Hari ini aku pulang,
Ada banyak kelelahan yang ingin kulepaskan di kampung halaman.
Aku juga sudah rindu pada semua masakan ibuku, beberapa di antaranya adalah menu tidak pernah kutemui dimana pun.
Aku rindu pada adikku satu-satunya.
Sekarang dia sedang butuh semangat setelah kemaren-untuk pertama kalinya-ia tidak duduk di peringkat pertama.
Dan tentu saja, aku rindu pada Bapak. Aku ingin shalat di belakang Bapak, mendengarkan suaranya.
Aku juga ingin memberi tahu, nanti aku akan singgah di rumah nenekku. Untuk satu malam saja. Rasanya sudah tiga atau empat tahun aku belum berkunjung. Aku selalu ketakutan untuk mengunjungi nenek sendirian, aku takut tidak punya bahan pembicaraan. Kadang aku berpikir mereka tidak menyukaiku, karena itu mereka tak pernah memberiku kesempatan untuk bicara. Selalu begitu. Ah, tak perlu dipikirkan. Aku sudah biasa bermain bersama ketakutan seperti ini. Sayangnya, para dokter psikologis dan kejiwaan yang pernah kudatangi selalu mengatakan: itu bukan masalah. Baiklah, mungkin aku yang berlebihan. Semua orang pasti punya rasa takut. Bahkan seorang yang dikatakan pemberani sekali pun. Pemberani itu bukan berarti tidak takut, melainkan bagaimana kita mampu mengendalikan ketakutan. Iya, kan?
Kau tahu, sekarang hujan. Aku baru saja menatap keluar dari jendela mobil yang basah. Tiba-tiba aku teringat dirimu, teringat kita.
Aku lupa kapan pertama kali kita bertemu, dan kapan terakhirnya. Bagiku, semua pertemuan denganmu adalah mimpi yang hanya datang sebentar. Membekas, tapi perlahan memudar seiring lamanya waktu kita berjauhan. Beberapa minggu lalu aku sempat merasakan perasaan yang begitu kuat untukmu, tapi hari ini perasaan itu mulai lemah. Bukan berarti aku menggantimu dengan yang lain. Tidak. Sejak dulu kamu selalu hidup di hatiku. Dan seperti yang kutulis di atas, kadang kau hidup begitu segar dan terkadang layu. Di saat rasa ini jadi lemah seperti ini, kurasa kamu di sana pun mengalami hal yang sama. Terkadang aku jadi khawatir, tapi setelah kembali kupikir-pikir, aku tak punya alasan untuk khawatir.
Satu lagi, untuk pertemuan selanjutnya mungkin aku tak akan datang. Sejak kemaren aku bingung bagaimana harus memasang wajah di hadapanmu. Apa aku harus tersenyum? Atau aku datar saja dan pura-pura tidak tahu? Hingga detik ini aku masih bingung. Aku takut bertindak bodoh, takut semuanya canggung, atau aku justru tak bisa mengeluarkan suara. Kesimpulannya, aku sungguh tak siap berhadapan denganmu.
Hanya itu yang ingin kusampaikan. Jika ada waktu, kau boleh menulis pesanmu untukku juga.
No comments:
Post a Comment