Wednesday, 28 December 2016

Ia yang Serupa Bayangan

Aku dan Alena sedang berjalan menyusuri sebuah gang sempit yang diapit pepohonan kering, ketika pembicaraan ini terjalin. Kami berdua mengenakan jaket musim dingin untuk berlindung dari terpaan angin yang kian mengamuk. Dedaunan cokelat yang tadi masih bertahan di dahannya, kini sudah berhamburan jatuh, mengguyur kami berdua.

"Tadi adalah kali pertama aku mendengar suaranya." Kataku memulai cerita pada Alena.

Gadis di sampingku menoleh, mengernyit heran. Mungkin ia tengah menerka, siapakah dia yang kumaksud.

"Ya, Alena. Setelah bertahun lamanya ia hanya berani menjadi bayangan di belakangku. Yang selalu hilang tiap kali aku menoleh ke belakang. Tapi tadi, entahlah sebuah kebetulan apa yang mempertemukan kita lewat telepon." Aku langsung bercerita tanpa memikirkan apakah Alena mengerti atau tidak.

Tapi kemudian ia berseru, "Aha! Dia! Aku tahu. Oh, benarkah? Bukannya dia sama sekali tak pernah menghubungimu?"

Aku mengangguk. "Sekali pun tidak. Tapi seperti yang kau tahu Alena, dia dekat sekali dengan ayahku. Dia sanggup menelepon ayahku dengan nomor luar negerinya. Percakapan kami yang singkat tadi pun karena dia menelepon ke ponsel ayahku, kemudian tanpa curiga apa-apa aku mengangkatnya. Jantungku seperti berhenti saat dia menyebutkan nama."

"Apa yang ingin dia bicarakan dengan ayahmu, Mariam?" Tanya Alena tak paham.

"Dia menanyakan salah satu lahan yang ia beli dua tahun lalu, tak jauh dari rumahku. Juga bertanya kabar. Sejenis itu. Dia masih sering menghubungi ayahku untuk berbincang ringan. Dia juga bilang, akan segera mengakhiri pekerjaannya di negara orang, ingin kembali ke Indonesia, kemudian mau belajar agama beberapa waktu di pesantren. Ia mengaku lemah pengetahuan agama, jadi ingin belajar lagi."

"Sebuah kegiatan memantaskan diri?" Alena bertanya, tertawa kecil.

Aku memukul pundaknya. "Sekarang aku jadi ingin tahu rupanya, Alena. Aku masih tidak habis pikir dengan semua keputusannya. Sejak ia mengungkapkan maksudnya pada ayahku tiga tahun lalu, kami belum pernah sekali pun bertemu. Tapi mengapa ia bisa begitu yakin denganku? Dia juga tak sekali pun menghubungiku. Aku hanya tahu namanya saja. Selebihnya aku tak pernah berani menanyakan pada ayah atau ibu. Aku membiarkan cerita tentangnya terkubur sebagai misteri. Biarpun begitu, aku sangat menghormati kemuliaan sikapnya yang dewasa. Kurasa laki-laki seperti ini begitu tulus ketika mencintai. Bayangkan, ia hanya melihatku sekali, kemudian mendengar cerita tentangku dari ayahnya, kemudian dengan mantap dia langsung datang bersama walinya pada ayahku. Seperti yang kamu tahu Alena, waktu itu aku sedang berkuliah di kota lain, jadi saat ayah menyampaikan berita kedatangannya sekaligus meminta jawaban, aku menjawab mantap: tidak. Nyatanya, setelah menerima jawaban pahit, ia tetap tak memutuskan silaturrahim. Ia tetap berlaku baik dan sering menelepon ayahku. Betapa anggun sikapnya ini."

"Kenapa kau tak mau memberi satu kesempatan padanya untuk memperkenalkan diri padamu?" Tanya Alena.

"Aku takut." Jawabku jujur. "Aku tak tahu apa alasanku untuk takut. Tapi sejak dulu aku memang tak pernah berani untuk menggali informasi tentang dia. Biarlah seperti ini, Alena. Akan lebih baik jika aku tak tahu banyak tentangnya. Cukup aku tahu namanya, suaranya, dan dimana ia bekerja saja."

"Baiklah jika itu keputusanmu. Tapi jika aku ada di posisimu, aku tidak akan mengabaikan laki-laki seperti ini." Ujar Alena.

Kami terus berjalan menyusuri jalanan berangin ini. Jaket panjang kami beterbangan ke belakang.

1 comment:

  1. benarkah itu mbak ... kalau layangan serupa bayangan ????

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...