Sunday, 11 December 2016

Jangan menangis, Fatihku sayang




Amerika menawarkan keindahan yang memanjakan, terutama gedung-gedung pencakar langit yang selalu membuat mata anak-anak berbinar. 

Jalanan yang rapi, taman-taman kota yang terpelihara, transportasi umum yang bersih, dan manusia-manusia yang berjalan dengan langkah cepat. Semua itu menarik perhatian Fatih. Sejak pertama kali kedatangan di kota Houston, ia tidak melepaskan pandangan sekali pun keluar jendela. Wajah lucunya tidak bisa menyembunyikan kekaguman dan kebahagiaan.

Sam dan Jimmy berpisah di bandara. Jimmy pulang ke apartemen yang terletak di Dallas, sedangkan Sam kembali ke rumahnya di kawasan Spring, sebuah rumah bergaya classic dengan warna putih yang menawan.

Ada sepuluh kamar tidur yang mengisi rumah besar milik Sam, sebuah ruang tamu megah, halaman yang luas dilengkapi taman-taman dan labirin, juga sebuah kolam renang berair biru seukuran lapangan futsal. 

Fatih ditempatkan di salah satu kamar di lantai dua, berhadapan dengan kamar tidur Sam. 

Seorang lelaki berumur 63 tahun asli Amerika dan bisa berbahasa Indonesia dengan fasih diminta Sam sebagai penerjemah, sekaligus sebagai pengasuh Fatih. Nama aslinya John Abraham. Tapi ia lebih senang dipanggil Jono, sebuah nama dari mendiang istri. 

Jono hidup sebatang kara setelah istrinya yang asli Indonesia wafat dua tahun lalu. Dari cerita Jono, ia bersama istri pernah tinggal di Indonesia dari tahun 1990 hingga 1998. Reformasi yang diwarnai dengan bentrokan di segala penjuru Indonesia membuat Jono khawatir. Dan kemudian sang istri diajak untuk kembali ke Amerika. Tiga puluh lima tahun berkeluarga, hidup saling mencintai, namun mereka tidak dianugerahi seorang anak pun.

Jono tinggal di rumah milik keluarga Sam sudah sejak bujangan dulu—sejak ayah Sam masih hidup. Sekembalinya dari Indonesia beserta istri, ia juga kembali ke rumah ini. Entahlah, rasanya Jono sudah sangat nyaman bersama Sam. Laki-laki pemilik biro hukum kenamaan itu sudah dianggap putranya sendiri. 

Sam meminta Jono untuk mengantarkan Fatih ke kamar. Tanpa berniat untuk menemani masa-masa adaptasi putranya, Sam langsung berjalan menuju kamarnya sendiri. Sebuah kamar tidur yang sangat luas. Tempat bersejarah tentang cintanya bersama mantan istri. Ia bahkan melarang asisten rumah tangga mencuci seprei terakhir yang ditiduri Katty. Saat sedang merindukan Katty, sprei itu akan ia peluk sambil berusaha menemukan aroma Katty yang masih tertinggal di sana.

“Kamu tidak berniat menemani anak ini untuk melihat kamarnya, Sam?” Jono bertanya saat Sam hampir menyusup masuk ke kamar.

Sesaat Sam seperti berpikir, kemudian mengangkat tangan. “Aku lelah. Aku yakin Paman bisa jadi teman yang baik untuknya.” Ia ingin melangkah, namun urung. “Dan, oh, tolong Paman perintahkan Frans membawakan wine ke kamarku.” Frans adalah salah satu asisten di rumah ini.

Jono masih terheran-heran, namun malas untuk mendebat. “Baik, Nak. Selamat beristirahat.”

Sam tersenyum datar, mengangguk, lalu hilang di balik pintu. Jono mengusap kepala bocah yang sejak tadi berdiri di sampingnya dan memperhatikan mereka berbicara. 

“Ayo, Nak. Biarkan ayahmu beristirahat. Setelah lelahnya hilang, ia pasti akan mengajakmu berkeliling rumah besar ini. Dia senang sekali membaca buku di halaman yang ada di depan rumah, kupikir dia pasti akan membacakan satu cerita di sana saat musim semi tiba.” Ucapnya sambil membimbing Fatih menuju kamar. Ucapan yang sebenarnya ia sendiri tidak yakin.

Sebuah kamar anak laki-laki yang ideal. Didesain oleh tangan profesional sehingga menghasilkan perpaduan yang sempurna. Sehari sebelum kembali ke Amerika, Sam menelepon. Ia perintahkan desainer ruang langganan untuk mengatur ulang kamar tersebut. Selain dilengkapi satu set komputer merek canggih, televisi dengan lebar layar di atas rata-rata, ditambahkan juga ring basket di salah satu sudutnya. Di sisi yang lain, berjejer aneka perlengkapan olah raga seperti papan skateboard, sepatu roda, bola bisbol, bola kaki, dan banyak lagi. Mungkin Sam mengira, anak laki-lakinya tumbuh dengan minat seperti anak-anak Amerika kebanyakan.

“Inilah kamarmu. Kurasa kamu ingin mandi sekarang. Silakan, itu kamar mandimu.” Jono menunjuk sebuah pintu di bagian kiri kamar.

“Aku ingin shalat, paman Jon. Kak Naela dan Umi pasti marah kalau tahu aku sudah meninggalkan  banyak shalat selama di pesawat.” Kata Fatih sambil melepaskan tas punggung. 

Lelaki tua itu membuka mulut, tidak menyangka anak sekecil Fatih ingat pada ritual-ritual seperti yang baru saja disebutkan. Shalat? Ah, ia juga pernah melakukannya. Dulu sekali. Tapi semenjak ia dan sang istri kembali ke Amerika, kegiatan itu ia tinggalkan. Istrinya selalu mengingatkan agar ia menunaikan ibadah tersebut, tapi rasa malas mengalahkan segalanya. 

“Oh, anak yang baik. Silakan shalat, Mr. De Bruyne kecil. Aku akan menunggumu di sini.”

“Paman Jon tidak mau kita shalat bersama?” Fatih kembali bertanya. Wajah lucunya terlihat polos.

Lagi-lagi Jono merasa tersentak. Ia merenung, namun segera menggeleng seraya tersenyum bijak. “Tidak, Nak. Aku sedang sakit pinggang.” Ia beralasan.

Fatih memahami alasan yang diberikan pengasuhnya itu. Setelah memberi tahu bahwa Jono harus segera minum jamu pengurang rasa sakit, bocah itu beranjak ke kamar mandi. Bunyi air yang jatuh ke lantai terdengar gemericik. Entah mengapa, Jono menyukainya. Bunyi itu sama seperti bunyi yang diciptakan oleh sang istri saat membasuh anggota tubuh sebelum shalat. 

Dua menit kemudian, Fatih sudah keluar dan segera mencari sarung dalam kopernya. Ia kenakan sarung tersebut. Lipatan di pinggang ia gulung dengan cekatan. Sebuah peci karet berwarna putih dengan garis biru ia taruh di atas kepala, menutupi rambut pirangnya yang bergelombang. 

Fatih shalat di atas lantai dengan alas sajadah kecil yang telah disiapkan Naela di dalam koper. Dari tempat ia duduk, lelaki tua itu memandangi dengan perasaan haru. Dulu, istrinya juga bermimpi untuk memiliki anak laki-laki yang taat beribadah. Tapi sayang, impian itu harus mereka kubur dalam-dalam setelah dokter mendiagnosa dirinya sebagai laki-laki mandul. Kini Jono bisa merasakan, betapa bahagia sang istri saat melihat anak mereka melaksanakan shalat seperti bocah yang ada di depannya.

“Paman Jon, kenapa diam saja? Oh iya, aku sudah mendoakan agar sakit pinggang paman cepat sembuh.” Setelah selesai shalat, bocah itu berkata sambil melipat sarung.

Jono tergagap, sadar dari lamunannya. “Terimakasih, anak baik. Ayahmu pasti bangga punya anak secerdas dirimu.”

Sore ini setelah menemani Fatih memasukkan pakaiannya ke dalam lemari, Jono membiarkan bocah itu tidur. Karena kelelahan, Fatih bisa tidur dengan cepat dan sangat pulas. Ia sempat minta agar Jono menelepon kakak dan Uminya di Indonesia, tapi laki-laki tua tersebut beralasan tidak memiliki nomor yang bisa dihubungi. Meski kecewa, Fatih masih bisa terima. Ia mohon pada Jono untuk segera minta nomor kakaknya kepada Sam.

Malam hari setelah selesai makan malam dan shalat Isya, Fatih minta diantar menemui Sam. Ia penasaran ingin lihat ada apa saja di dalam kamar ayahnya.

“Nak, putramu ingin bertemu.” Jono menempelkan telinganya di pintu kamar Sam, setelah mengetuknya sebanyak tiga kali. Ia memang terbiasa memanggil Sam dengan panggilan ‘nak’, karena ia kenal Sam sejak Sam masih kecil. Jono adalah teman baik ayah Sam. Karena itu pula, Jono tahu semua yang terjadi di masa lalu Sam. 

Sedikit samar-samar, namun masih bisa tertangkap cukup jelas di telinga laki-laki tua itu, Sam sedang berbincang di telepon. Mereka menunggu sekian menit hingga akhirnya gagang pintu ditarik dari dalam.

“Yes, Uncle Jhon.” Logat Amerika Sam tidak bisa melafalkan nama Jono dengan tepat. Wajahnya datar saja, pun setelah pandangannya turun pada si kecil Fatih.
Jono ulangi kalimatnya. Kedua tangan ia letakkan di atas bahu Fatih. “Fatih ingin bertemu denganmu.” 

“Oh, ingin bertemu? Aku sedang sibuk sekali, Paman. Mungkin Paman bisa ajak dia main basket di ruang bawah. Kudengar, Steven menambahkan ring basket mahal di sana.” Steven adalah desainer ruang yang mengatur kamar Fatih, juga semua sisi rumah megah ini, termasuk sebuah ruangan indoor luas untuk gym dan olah raga.

“Tapi putramu tidak tertarik dengan olahraga. Dia sangat sedih saat tidak menemukan satu buku cerita pun di kamar barunya. Dan, oh, dia ingin aku menelepon kakak dan neneknya di Indonesia. Bisakah aku dapatkan nomor telepon mereka?”

Beberapa saat Sam memandangi wajah Fatih dengan tatapan aneh, “Tidak berminat pada olahraga? Oh, wanita sialan itu sudah salah mendidik anak ini. Katakan padanya, mulai sekarang ia harus meninggalkan cerita-cerita dongeng dan mulai belajar mencintai olahraga. Katakan juga padanya, mulai sekarang dia harus hidup dengan cara Amerika. Dan laki-laki Amerika akan lebih dihargai saat mereka punya tubuh bagus. Uhm, tentang nomor telepon, aku tidak ingat pernah menyimpannya di mana. Rasanya tidak ada di ponsel.” Ucap Sam sebelum menarik tubuhnya kembali ke kamar. “Selamat malam.” Dan pintu kamar itu kembali tertutup.

Sejak saat ini, Jono tahu satu hal, bahwa sang majikan tidak pernah menyayangi putranya dengan kasih sayang seorang ayah. Sambil menelan ludah kecewa, laki-laki tua itu mengajak Fatih kembali ke kamar. 

“Ayahmu bilang dia sangat senang memiliki anak pintar sepertimu. Mungkin dia akan membelikan buku-buku besok. Jadi apa rencanamu sekarang Mr. De Bruyne kecil, bukankah akan lebih seru kalau kita menonton film kartun bersama?”

“Iya, paman Jon. Aku juga sudah lama tidak menonton kartun.” Sahut Fatih dengan suara riang. 

Mengalihkan kekecewaan seorang anak kecil memang selalu lebih mudah. Kalimat ini ada benarnya, meski tidak seutuhnya benar. Karena pada kenyataannya, setelah selesai menonton kartun, Fatih beranjak tidur sambil menutupkan selimut hingga kepala. Bocah itu menangis merindukan Naela dan Umi Dian. Ia juga kecewa karena ternyata Om Dad-nya tidak lagi perhatian dan mau mengajak bermain seperti dulu.

“Jangan menangis, Fatihku sayang...” suara Naela menyusup halus di telinga bocah 5 tahun itu. Membekas dalam saraf-sarafnya. Kalimat itu terus diingat Fatih hingga jatuh tertidur.

Cukup lama ngubek-ngubek google buat nemuin karakter Fatih yang pas dengan imajinasiku. Akhirnya terpilihlah bocah ini.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...