Amerika menawarkan keindahan yang memanjakan, terutama gedung-gedung
pencakar langit yang selalu membuat mata anak-anak berbinar.
Jalanan yang rapi, taman-taman kota yang terpelihara, transportasi umum
yang bersih, dan manusia-manusia yang berjalan dengan langkah cepat. Semua itu
menarik perhatian Fatih. Sejak pertama kali kedatangan di kota Houston, ia
tidak melepaskan pandangan sekali pun keluar jendela. Wajah lucunya tidak bisa
menyembunyikan kekaguman dan kebahagiaan.
Sam dan Jimmy berpisah di bandara. Jimmy pulang ke apartemen yang terletak di Dallas, sedangkan Sam kembali ke rumahnya di
kawasan Spring, sebuah rumah bergaya classic dengan warna putih yang menawan.
Ada sepuluh kamar tidur yang mengisi rumah besar milik Sam, sebuah ruang
tamu megah, halaman yang luas dilengkapi taman-taman dan labirin, juga sebuah kolam
renang berair biru seukuran lapangan futsal.
Fatih ditempatkan di salah satu kamar di lantai dua, berhadapan dengan
kamar tidur Sam.
Seorang lelaki berumur 63 tahun asli Amerika dan bisa berbahasa Indonesia
dengan fasih diminta Sam sebagai penerjemah, sekaligus sebagai pengasuh Fatih. Nama
aslinya John Abraham. Tapi ia lebih senang dipanggil Jono, sebuah nama dari mendiang
istri.
Jono hidup sebatang kara setelah istrinya yang asli Indonesia wafat dua
tahun lalu. Dari cerita Jono, ia bersama istri pernah tinggal di Indonesia dari
tahun 1990 hingga 1998. Reformasi yang diwarnai dengan bentrokan di segala
penjuru Indonesia membuat Jono khawatir. Dan kemudian sang istri diajak untuk
kembali ke Amerika. Tiga puluh lima tahun berkeluarga, hidup saling mencintai,
namun mereka tidak dianugerahi seorang anak pun.
Jono tinggal di rumah milik keluarga Sam sudah sejak bujangan dulu—sejak
ayah Sam masih hidup. Sekembalinya dari Indonesia beserta istri, ia juga
kembali ke rumah ini. Entahlah, rasanya Jono sudah sangat nyaman bersama Sam.
Laki-laki pemilik biro hukum kenamaan itu sudah dianggap putranya sendiri.
Sam meminta Jono untuk mengantarkan Fatih ke kamar. Tanpa berniat untuk
menemani masa-masa adaptasi putranya, Sam langsung berjalan menuju kamarnya
sendiri. Sebuah kamar tidur yang sangat luas. Tempat bersejarah tentang
cintanya bersama mantan istri. Ia bahkan melarang asisten rumah tangga mencuci
seprei terakhir yang ditiduri Katty. Saat sedang merindukan Katty, sprei itu
akan ia peluk sambil berusaha menemukan aroma Katty yang masih tertinggal di
sana.
“Kamu tidak berniat menemani anak ini untuk melihat kamarnya, Sam?” Jono
bertanya saat Sam hampir menyusup masuk ke kamar.
Sesaat Sam seperti berpikir, kemudian mengangkat tangan. “Aku lelah. Aku
yakin Paman bisa jadi teman yang baik untuknya.” Ia ingin melangkah, namun
urung. “Dan, oh, tolong Paman perintahkan Frans membawakan wine ke kamarku.”
Frans adalah salah satu asisten di rumah ini.
Jono masih terheran-heran, namun malas untuk mendebat. “Baik, Nak. Selamat
beristirahat.”
Sam tersenyum datar, mengangguk, lalu hilang di balik pintu. Jono
mengusap kepala bocah yang sejak tadi berdiri di sampingnya dan memperhatikan
mereka berbicara.
“Ayo, Nak. Biarkan ayahmu beristirahat. Setelah lelahnya
hilang, ia pasti akan mengajakmu berkeliling rumah besar ini. Dia senang sekali
membaca buku di halaman yang ada di depan rumah, kupikir dia pasti akan
membacakan satu cerita di sana saat musim semi tiba.” Ucapnya sambil membimbing
Fatih menuju kamar. Ucapan yang sebenarnya ia sendiri tidak yakin.
Sebuah kamar anak laki-laki yang ideal. Didesain oleh tangan profesional
sehingga menghasilkan perpaduan yang sempurna. Sehari sebelum kembali ke
Amerika, Sam menelepon. Ia perintahkan desainer ruang langganan untuk mengatur
ulang kamar tersebut. Selain dilengkapi satu set komputer merek canggih,
televisi dengan lebar layar di atas rata-rata, ditambahkan juga ring basket di
salah satu sudutnya. Di sisi yang lain, berjejer aneka perlengkapan olah raga
seperti papan skateboard, sepatu
roda, bola bisbol, bola kaki, dan banyak lagi. Mungkin Sam mengira, anak
laki-lakinya tumbuh dengan minat seperti anak-anak Amerika kebanyakan.
“Inilah kamarmu. Kurasa kamu ingin mandi sekarang. Silakan, itu kamar
mandimu.” Jono menunjuk sebuah pintu di bagian kiri kamar.
“Aku ingin shalat, paman Jon. Kak Naela dan Umi pasti marah kalau tahu
aku sudah meninggalkan banyak shalat
selama di pesawat.” Kata Fatih sambil melepaskan tas punggung.
Lelaki tua itu membuka mulut, tidak menyangka anak sekecil Fatih ingat
pada ritual-ritual seperti yang baru saja disebutkan. Shalat? Ah, ia juga
pernah melakukannya. Dulu sekali. Tapi semenjak ia dan sang istri kembali ke
Amerika, kegiatan itu ia tinggalkan. Istrinya selalu mengingatkan agar ia
menunaikan ibadah tersebut, tapi rasa malas mengalahkan segalanya.
“Oh, anak yang baik. Silakan shalat, Mr. De Bruyne kecil. Aku akan
menunggumu di sini.”
“Paman Jon tidak mau kita shalat bersama?” Fatih kembali bertanya. Wajah
lucunya terlihat polos.
Lagi-lagi Jono merasa tersentak. Ia merenung, namun segera menggeleng
seraya tersenyum bijak. “Tidak, Nak. Aku sedang sakit pinggang.” Ia beralasan.
Fatih memahami alasan yang diberikan pengasuhnya itu. Setelah memberi
tahu bahwa Jono harus segera minum jamu pengurang rasa sakit, bocah itu
beranjak ke kamar mandi. Bunyi air yang jatuh ke lantai terdengar gemericik.
Entah mengapa, Jono menyukainya. Bunyi itu sama seperti bunyi yang diciptakan
oleh sang istri saat membasuh anggota tubuh sebelum shalat.
Dua menit kemudian, Fatih sudah keluar dan segera mencari sarung dalam
kopernya. Ia kenakan sarung tersebut. Lipatan di pinggang ia gulung dengan
cekatan. Sebuah peci karet berwarna putih dengan garis biru ia taruh di atas
kepala, menutupi rambut pirangnya yang bergelombang.
Fatih shalat di atas lantai dengan alas sajadah kecil yang telah
disiapkan Naela di dalam koper. Dari tempat ia duduk, lelaki tua itu memandangi
dengan perasaan haru. Dulu, istrinya juga bermimpi untuk memiliki anak
laki-laki yang taat beribadah. Tapi sayang, impian itu harus mereka kubur
dalam-dalam setelah dokter mendiagnosa dirinya sebagai laki-laki mandul. Kini
Jono bisa merasakan, betapa bahagia sang istri saat melihat anak mereka
melaksanakan shalat seperti bocah yang ada di depannya.
“Paman Jon, kenapa diam saja? Oh iya, aku sudah mendoakan agar sakit
pinggang paman cepat sembuh.” Setelah selesai shalat, bocah itu berkata sambil
melipat sarung.
Jono tergagap, sadar dari lamunannya. “Terimakasih, anak baik. Ayahmu
pasti bangga punya anak secerdas dirimu.”
Sore ini setelah menemani Fatih memasukkan pakaiannya ke dalam lemari,
Jono membiarkan bocah itu tidur. Karena kelelahan, Fatih bisa tidur dengan
cepat dan sangat pulas. Ia sempat minta agar Jono menelepon kakak dan Uminya di
Indonesia, tapi laki-laki tua tersebut beralasan tidak memiliki nomor yang bisa
dihubungi. Meski kecewa, Fatih masih bisa terima. Ia mohon pada Jono untuk
segera minta nomor kakaknya kepada Sam.
Malam hari setelah selesai makan malam dan shalat Isya, Fatih minta
diantar menemui Sam. Ia penasaran ingin lihat ada apa saja di dalam kamar
ayahnya.
“Nak, putramu ingin bertemu.” Jono menempelkan telinganya di pintu kamar Sam, setelah mengetuknya sebanyak tiga kali. Ia memang terbiasa memanggil Sam dengan panggilan ‘nak’, karena ia kenal Sam sejak Sam masih kecil. Jono adalah teman baik ayah Sam. Karena itu pula, Jono tahu semua yang terjadi di masa lalu Sam.
Sedikit samar-samar, namun masih bisa tertangkap cukup jelas di telinga
laki-laki tua itu, Sam sedang berbincang di telepon. Mereka menunggu sekian
menit hingga akhirnya gagang pintu ditarik dari dalam.
“Yes, Uncle Jhon.” Logat Amerika Sam tidak bisa melafalkan nama
Jono dengan tepat. Wajahnya datar saja, pun setelah pandangannya turun pada si
kecil Fatih.
Jono ulangi kalimatnya. Kedua tangan ia letakkan di atas bahu Fatih. “Fatih
ingin bertemu denganmu.”
“Oh, ingin bertemu? Aku sedang sibuk sekali, Paman. Mungkin Paman bisa
ajak dia main basket di ruang bawah. Kudengar, Steven menambahkan ring basket
mahal di sana.” Steven adalah desainer ruang yang mengatur kamar Fatih, juga
semua sisi rumah megah ini, termasuk sebuah ruangan indoor luas untuk gym dan
olah raga.
“Tapi putramu tidak tertarik dengan olahraga. Dia sangat sedih saat tidak
menemukan satu buku cerita pun di kamar barunya. Dan, oh, dia ingin aku
menelepon kakak dan neneknya di Indonesia. Bisakah aku dapatkan nomor telepon
mereka?”
Beberapa saat Sam memandangi wajah Fatih dengan tatapan aneh, “Tidak
berminat pada olahraga? Oh, wanita sialan itu sudah salah mendidik anak ini.
Katakan padanya, mulai sekarang ia harus meninggalkan cerita-cerita dongeng dan
mulai belajar mencintai olahraga. Katakan juga padanya, mulai sekarang dia
harus hidup dengan cara Amerika. Dan laki-laki Amerika akan lebih dihargai saat
mereka punya tubuh bagus. Uhm, tentang
nomor telepon, aku tidak ingat pernah menyimpannya di mana. Rasanya tidak ada
di ponsel.” Ucap Sam sebelum menarik tubuhnya kembali ke kamar. “Selamat malam.”
Dan pintu kamar itu kembali tertutup.
Sejak saat ini, Jono tahu satu hal, bahwa sang majikan tidak pernah
menyayangi putranya dengan kasih sayang seorang ayah. Sambil menelan ludah
kecewa, laki-laki tua itu mengajak Fatih kembali ke kamar.
“Ayahmu bilang dia sangat senang memiliki anak pintar sepertimu. Mungkin
dia akan membelikan buku-buku besok. Jadi apa rencanamu sekarang Mr. De Bruyne
kecil, bukankah akan lebih seru kalau kita menonton film kartun bersama?”
“Iya, paman Jon. Aku juga sudah lama tidak menonton kartun.” Sahut Fatih
dengan suara riang.
Mengalihkan kekecewaan seorang anak kecil memang selalu lebih mudah.
Kalimat ini ada benarnya, meski tidak seutuhnya benar. Karena pada
kenyataannya, setelah selesai menonton kartun, Fatih beranjak tidur sambil
menutupkan selimut hingga kepala. Bocah itu menangis merindukan Naela dan Umi
Dian. Ia juga kecewa karena ternyata Om Dad-nya tidak lagi perhatian dan mau
mengajak bermain seperti dulu.
“Jangan menangis, Fatihku sayang...” suara Naela menyusup halus di
telinga bocah 5 tahun itu. Membekas dalam saraf-sarafnya. Kalimat itu terus
diingat Fatih hingga jatuh tertidur.
Cukup lama ngubek-ngubek google buat nemuin karakter Fatih yang pas dengan imajinasiku. Akhirnya terpilihlah bocah ini. |
No comments:
Post a Comment