Photo credit: http://pix.avaxnews.com |
Musim dingin telah berlalu, tapi dinginnya seperti tak mau beranjak meninggalkan kota ini. Matahari sudah hampir tenggelam ketika aku berdiri seorang diri di sisi laut dekat Eminonu. Semburat kuning keemasan hingga oranye sudah mulai menghiasi langit Istanbul sejak beberapa menit lalu. Beberapa kawanan burung terlihat terbang rendah di kejauhan, mungkin mereka tengah bersiap-siap untuk kembali ke peraduan.
Kurapatkan jaket. Napas yang baru saja kuhembuskan masih berbentuk uap. Aku memejamkan mata, membiarkan ruh kota ini semakin dalam menyelusup ke dalam jiwa.
“Aku juga akan selalu berdoa untuk kebaikanmu.” Kalimat yang pernah dituliskan Mustafa begitu lembut melintas dalam ingatan, selembut angin senja yang menyusup ke balik jaket tebalku sore ini.
Seperti waktu-waktu sebelumnya, tiap kali mengingat cintaku pada lelaki itu, hati ini terasa begitu perih. Seolah ada sebuah belati tajam yang sengaja dihujamkan tepat di ulu hati. Mataku menerawang hingga segala yang terlihat kini berubah kabur.
Sebuah kapal ferry melintas perlahan. Para penumpangnya masih duduk-duduk santai seolah tidak berniat untuk beranjak sedikit pun. Sore di penghujung musim dingin yang begitu memikat, terlebih saat dinikmati dari tengah laut yang biru, kurasa tidak seorang pun mau bersegera meninggalkan momen seperti ini.
Hingga dua tahun lalu, aku juga punya impian besar untuk menumpang ferry di Istanbul. Tidak sendirian. Dalam setiap hayalan, aku selalu melihat diriku bersama seorang lelaki yang kucintai. Dia berdiri di sampingku di geladak dan burung-burung camar terbang rendah di depan kami, lalu dia dengan sabar menceritakan sejarah kota ini padaku. Meski cerita itu sudah sangat fasih dalam ingatan, aku yakin, jika dia yang bercerita maka tidak akan pernah ada kata bosan bagiku.
Aku berusaha tersenyum mengingat impian itu. Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Seharusnya tidak ada satu pun kesedihan boleh kurasakan saat ini. Bukankah dulu jauh-jauh hari aku sudah berjanji untuk menerima segala hal yang terjadi di masa depan, meskipun itu menyakitkan?
Azan Maghrib baru saja berkumandang dan aku segera melangkahkan kaki untuk menuju Masjid. Sepanjang aku menyusuri jalan, alunan piano dari Toygar Isikli berjudul Bahar menguar dari sebuah cafe. Tidak ada satu pun musik karya toygar yang tidak kusukai, termasuk yang terdengar saat ini. Aku bahkan lebih senang mendengarkan alunan piano dan biola Toygar dibandingkan simfoni dari Beeethoven. Tak lama, lagu berjudul Seni Seviyorum yang dinyanyikan oleh Orhan Olmez menguar dari cafe yang lain. Ah, lagu ini selalu berhasil membuat hatiku nyilu sekali.
Aku semakin mempercepat langkah menuju Blue Mosque sebelum iqamah dikumandangkan. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini, aku sudah berkali-kali ikut shalat berjamaah di Masjid Biru itu dan tidak pernah sekali pun aku mendapatinya dalam keadaan sepi. Namun di waktu-waktu shalat, para pengunjung non Muslim tidak perbolehkan masuk ke areal dalam Masjid sehingga kita bisa shalat dengan lebih khidmat.
“.... Ampuni dosa-dosanya, mudahkan segala urusannya, dan lapangkan rejekinya. Semoga dia selalu dipenuhi kebahagiaan. Semoga Engkau selalu melimpahkan kasih sayang dan rahmat untuknya beserta keluarga...” aku tidak mungkin pernah melupakan permohonan ini di antara deretan doa panjangku. Usai berdoa untuk kebaikan dunia dan akhiratku sendiri, untuk kedua orangtua, untuk guru-guru dan sahabat, untuk suamiku kelak, aku pasti akan berdoa untuknya. Untuk Mustafa, lelaki yang sampai detik ini tidak sekali pun pernah kulihat wajahnya di dunia nyata. Lelaki yang namanya masih mekar dengan indah di dalam hati hingga hari ini.
*Untuk
seseorang yang namanya akan selalu indah untuk dikenang. Semoga dirimu selalu
berbahagia, di sana. Bersama keluarga kecilmu...
Halooo Tante... apa kabar??
ReplyDeletesemoga baik baik aja yaaa