Saturday 11 March 2017

Secret Garden, Alchemist, and My Past



Dulu ketika masa-masa SD, sekitar umur 6 hingga 10 tahun, aku sangat suka merajut dan menyulam di kain strimin dengan benang wol. Sulaman dan rajutanku tidak ada yang sempurna selesai. Semuanya hanya setengah-setengah, karena aku malah jatuh cinta dengan desain lain lalu memulai dari awal lagi. Taplak meja belum selesai, eh sudah bikin tas. Gambar bunga baru setengah, eh sudah bikin gambar kartun. Begitu seterusnya.

Sekarang, aku sudah lupa caranya menyulam dan merajut. Namun buku-buku sulaman yang tersisa dalam lemari selalu membuat ingatanku terlempar. Setahun sekali, aku membuka-buka kembali segala hal yang tersisa dari masa lalu. Buku-buku, pakaian, hingga pernak-pernik. Masa lalu yang indah, yang selalu kurindukan. Terkadang aku berpikir untuk mencicipi kembali masa lalu tersebut. Ladang jagung, deretan kebun kelapa, ikan-ikan di parit, pot-pot bunga, gubuk, dan kebun kecil kami (aku dan sepupuku). Ah, semua itu seumpama lukisan indah dalam hidupku yang selalu indah untuk dikenang. 

Di perantauan, ratusan mil dari kampung halaman, setiap malam saat teman-teman kamarku sudah tertidur, masa lalu itu selalu singgah dalam pikiran. Aku merindukan gambar-gambar dalam buku panduan menyulam. Sebuah kastil di tengah pegununungan yang puncaknya diselimuti salju, rumput hijau, jalan lebar yang diapit bunga-bunga, dan gadis kecil dengan pakaian tradisional yang menjinjing keranjang. Hingga sekarang aku tidak mengetahui di mana tempat itu persisnya. Mungkin di desa-desa Inggris, mungkin di Denmark, atau mungkin hanya sebatas hayalan.

Aku juga pernah membaca sebuah novel anak yang paling berkesan hingga kini. Judulnya Secret Garden karya Frances Hodgson Burnett. Sebuah novel terjemahan yang pertama kali diterbitkan tahun 1910. Entah mengapa, ceritanya yang sederhana seperti tidak mau pergi dari kepalaku. Para anak kecil yang menjadi tokohnya seperti hidup. Aku bisa membayangkan mereka meski tidak pernah sekali pun menonton versi filmnya. 


Novel Secret Garden melambungkan impian dan imajinasi anak-anakku. Bahkan sampai sekarang, saat umurku sudah 19, aku masih tetap bermimpi bisa memasuki dan melihat langsung taman rahasia mereka. Seperti yang pernah kukatakan, terkadang aku merasakan sakit dan nyilu yang tidak beralasan. Aku bisa menangis tanpa sebab. Di saat seperti itu, aku merindukan masa kecil, aku ingin kembali kecil seperti Mary dan Dickon yang menemukan taman rahasia. Di sana mereka hidup dalam dunia mereka sendiri: menanam mawar, menyaksikan tumbuhan bertunas, menghirup udara segar, mendengar kicauan burung, memetik bunga lonceng, dan berjemur di musim panas. 

Hal lain yang membuatku sangat merindukan masa lalu adalah novel The Alchemist karya Paulo Coelho. Kisah Santiago yang mengejar harta karun di Piramida membuatku terkesan. Sejak membaca The Alchemist, aku merindukan ladang-ladang di Andalusia. Bahkan mendengar kata Andalusia saja, yang terlintas dalam kepala adalah angin, kebun, pepohonan, deretan anggur, dan domba-domba. Aku rindu tempat-tempat seperti itu. Tempat yang sedikit sebanyaknya mengingatkan pada kebun-kebun di pulauku tercinta. 

Kalian, teman-temanku yang baik hati, masa lalu memang tidak pernah bisa dilupakan. Ada masanya saat kita benar-benar lelah dan satu-satunya obat yang membuat kita jadi lebih baik adalah masa lalu. Indah tidaknya masa lalu seseorang tidaklah dilihat dari semua keinginannya yang terpenuhi. Bukan pula masa lalu yang dipenuhi boneka barbie, baju-baju kembang, mobil remote mahal, atau jalan-jalan ke tempat indah. 

Dulu, aku hanya punya satu buah boneka barbie pemberian nenek yang terus kumainkan meski tangan dan kakinya patah. Tapi, aku juga banyak boneka  barbie dari jagung-jagung yang masih muda. Rambut jagung aneka warna sering kukepang dengan banyak model. Aku memainkan mereka di bawah pohon kelapa sambil menunggu Bapak dan Ibu. Tak jarang aku sampai tertidur setelah kenyang memakan bekal. Aku sering mengumpulkan bunga-bunga liar kecil berwarna putih dan ungu yang banyak tumbuh di kebun kami. Saat itu aku merasa sedang dikelilingi pelayan-pelayan yang membantuku mandi dengan taburan bunga. 
Photo by by Laura Corebello
Ketahuilah, aku juga tidak pernah jalan-jalan ke tempat bagus. Paling jauh adalah kota kecil bernama Selat Panjang tempat nenek dan kakekku tinggal. Dulu, aku merasa Selat Panjang adalah kota terkeren dan terindah yang pernah kulihat. Dari kapal kayu yang perlahan menuju dermaga, aku sangat bahagia menyaksikan kota yang dipenuhi lampu kerlap-kerlip  di malam hari. Jauh berbeda dengan pulauku yang gelap seolah pulau mati. Namun sekarang, aku baru tahu, jarak antara pulau tempatku tinggal dan Selat Panjang begitu dekat, hanya tetangga. Masih sama-sama di pesisir provinsi Riau. Dulu semua tampak jauh karena kami menumpangi kapal yang lambat. Saat berangkat pukul 16.00 sore, kami baru sampai Selat Panjang sekitar pukul 24.00 atau 01.00 dini hari. Sekarang, dengan speed boat, jarak tempuh itu bisa dilipat jadi 2 jam saja. 

Malam ini, aku sangat menrindukan masa lalu. Aku merindukan mereka yang tertawa dan menangis bersama hanya karena hal-hal sepele di masa itu. Aku merindukan angin di ladang jagung kami.

5 comments:

  1. Nonton filmnya deh Secret Garden... kembang-kembangnya nyenengin bangettt...

    ReplyDelete
  2. Saya kangen rumah juga dah ga sabar nih pengen cepet mudik aja :)

    ReplyDelete
  3. aku belum pernah nonton film ini..sepertinya bagus ya...boleh donk kapan2 nonton...

    ReplyDelete
  4. Belum pernah nonton filmnya. Eh dulu wkt kecil aku patahin kepala barbie asli dari Amerika pemberian uwaku. Ngenes ya :')

    ReplyDelete
  5. Aku suka banget film Secret Garden. Dulu pernah diputar di TV waktu aku masih sekolah. Apalagi kisahnya happy ending, trus akhirnya berjodoh. Novel Al Chemist juga salah satu buku yang aku baca berulang-ulang. Btw aku blm pernah ke Selat Panjang, sayangnya.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...