Dulu ketika masa-masa SD, sekitar umur 6 hingga 10 tahun, aku sangat
suka merajut dan menyulam di kain strimin dengan benang wol. Sulaman dan
rajutanku tidak ada yang sempurna selesai. Semuanya hanya setengah-setengah,
karena aku malah jatuh cinta dengan desain lain lalu memulai dari awal lagi. Taplak
meja belum selesai, eh sudah bikin tas. Gambar bunga baru setengah, eh sudah
bikin gambar kartun. Begitu seterusnya.
Sekarang, aku sudah lupa caranya menyulam dan merajut. Namun buku-buku
sulaman yang tersisa dalam lemari selalu membuat ingatanku terlempar. Setahun sekali,
aku membuka-buka kembali segala hal yang tersisa dari masa lalu. Buku-buku,
pakaian, hingga pernak-pernik. Masa lalu yang indah, yang selalu kurindukan. Terkadang
aku berpikir untuk mencicipi kembali masa lalu tersebut. Ladang jagung, deretan
kebun kelapa, ikan-ikan di parit, pot-pot bunga, gubuk, dan kebun kecil kami
(aku dan sepupuku). Ah, semua itu seumpama lukisan indah dalam hidupku yang
selalu indah untuk dikenang.
Di perantauan, ratusan mil dari kampung halaman, setiap malam saat
teman-teman kamarku sudah tertidur, masa lalu itu selalu singgah dalam pikiran.
Aku merindukan gambar-gambar dalam buku panduan menyulam. Sebuah kastil di
tengah pegununungan yang puncaknya diselimuti salju, rumput hijau, jalan lebar
yang diapit bunga-bunga, dan gadis kecil dengan pakaian tradisional yang menjinjing
keranjang. Hingga sekarang aku tidak mengetahui di mana tempat itu persisnya. Mungkin
di desa-desa Inggris, mungkin di Denmark, atau mungkin hanya sebatas hayalan.
Aku juga pernah membaca sebuah novel anak yang paling berkesan hingga
kini. Judulnya Secret Garden karya Frances Hodgson Burnett.
Sebuah novel terjemahan yang pertama kali diterbitkan tahun 1910. Entah
mengapa, ceritanya yang sederhana seperti tidak mau pergi dari kepalaku. Para
anak kecil yang menjadi tokohnya seperti hidup. Aku bisa membayangkan mereka
meski tidak pernah sekali pun menonton versi filmnya.
Novel Secret Garden melambungkan impian dan imajinasi anak-anakku. Bahkan
sampai sekarang, saat umurku sudah 19, aku masih tetap bermimpi bisa memasuki
dan melihat langsung taman rahasia mereka. Seperti yang pernah kukatakan,
terkadang aku merasakan sakit dan nyilu yang tidak beralasan. Aku bisa menangis
tanpa sebab. Di saat seperti itu, aku merindukan masa kecil, aku ingin kembali
kecil seperti Mary dan Dickon yang menemukan taman rahasia. Di sana mereka
hidup dalam dunia mereka sendiri: menanam mawar, menyaksikan tumbuhan bertunas,
menghirup udara segar, mendengar kicauan burung, memetik bunga lonceng, dan
berjemur di musim panas.
Hal lain yang membuatku sangat merindukan masa lalu adalah novel The
Alchemist karya Paulo Coelho. Kisah Santiago yang mengejar harta karun di
Piramida membuatku terkesan. Sejak membaca The Alchemist, aku merindukan
ladang-ladang di Andalusia. Bahkan mendengar kata Andalusia saja, yang
terlintas dalam kepala adalah angin, kebun, pepohonan, deretan anggur, dan
domba-domba. Aku rindu tempat-tempat seperti itu. Tempat yang sedikit
sebanyaknya mengingatkan pada kebun-kebun di pulauku tercinta.
Kalian, teman-temanku yang baik hati, masa lalu memang tidak pernah bisa
dilupakan. Ada masanya saat kita benar-benar lelah dan satu-satunya obat yang
membuat kita jadi lebih baik adalah masa lalu. Indah tidaknya masa lalu
seseorang tidaklah dilihat dari semua keinginannya yang terpenuhi. Bukan pula
masa lalu yang dipenuhi boneka barbie, baju-baju kembang, mobil remote mahal, atau jalan-jalan ke
tempat indah.
Dulu, aku hanya punya satu buah boneka barbie pemberian nenek yang
terus kumainkan meski tangan dan kakinya patah. Tapi, aku juga banyak boneka barbie dari jagung-jagung yang masih muda. Rambut
jagung aneka warna sering kukepang dengan banyak model. Aku memainkan mereka di
bawah pohon kelapa sambil menunggu Bapak dan Ibu. Tak jarang aku sampai tertidur
setelah kenyang memakan bekal. Aku sering mengumpulkan bunga-bunga liar kecil
berwarna putih dan ungu yang banyak tumbuh di kebun kami. Saat itu aku merasa
sedang dikelilingi pelayan-pelayan yang membantuku mandi dengan taburan bunga.
Ketahuilah, aku juga tidak pernah jalan-jalan ke tempat bagus. Paling
jauh adalah kota kecil bernama Selat Panjang tempat nenek dan kakekku tinggal. Dulu,
aku merasa Selat Panjang adalah kota terkeren dan terindah yang pernah kulihat.
Dari kapal kayu yang perlahan menuju dermaga, aku sangat bahagia menyaksikan
kota yang dipenuhi lampu kerlap-kerlip di malam hari. Jauh berbeda dengan pulauku yang gelap
seolah pulau mati. Namun sekarang, aku baru tahu, jarak antara pulau tempatku tinggal dan
Selat Panjang begitu dekat, hanya tetangga. Masih sama-sama di pesisir provinsi Riau. Dulu
semua tampak jauh karena kami menumpangi kapal yang lambat. Saat berangkat pukul
16.00 sore, kami baru sampai Selat Panjang sekitar pukul 24.00 atau 01.00 dini
hari. Sekarang, dengan speed boat, jarak tempuh itu bisa dilipat jadi 2 jam
saja.
Malam ini, aku sangat menrindukan masa lalu. Aku merindukan mereka yang
tertawa dan menangis bersama hanya karena hal-hal sepele di masa itu. Aku merindukan angin di
ladang jagung kami.
Nonton filmnya deh Secret Garden... kembang-kembangnya nyenengin bangettt...
ReplyDeleteSaya kangen rumah juga dah ga sabar nih pengen cepet mudik aja :)
ReplyDeleteaku belum pernah nonton film ini..sepertinya bagus ya...boleh donk kapan2 nonton...
ReplyDeleteBelum pernah nonton filmnya. Eh dulu wkt kecil aku patahin kepala barbie asli dari Amerika pemberian uwaku. Ngenes ya :')
ReplyDeleteAku suka banget film Secret Garden. Dulu pernah diputar di TV waktu aku masih sekolah. Apalagi kisahnya happy ending, trus akhirnya berjodoh. Novel Al Chemist juga salah satu buku yang aku baca berulang-ulang. Btw aku blm pernah ke Selat Panjang, sayangnya.
ReplyDelete