Showing posts with label Tentang Hati. Show all posts
Showing posts with label Tentang Hati. Show all posts

Saturday, 11 March 2017

Secret Garden, Alchemist, and My Past



Dulu ketika masa-masa SD, sekitar umur 6 hingga 10 tahun, aku sangat suka merajut dan menyulam di kain strimin dengan benang wol. Sulaman dan rajutanku tidak ada yang sempurna selesai. Semuanya hanya setengah-setengah, karena aku malah jatuh cinta dengan desain lain lalu memulai dari awal lagi. Taplak meja belum selesai, eh sudah bikin tas. Gambar bunga baru setengah, eh sudah bikin gambar kartun. Begitu seterusnya.

Sekarang, aku sudah lupa caranya menyulam dan merajut. Namun buku-buku sulaman yang tersisa dalam lemari selalu membuat ingatanku terlempar. Setahun sekali, aku membuka-buka kembali segala hal yang tersisa dari masa lalu. Buku-buku, pakaian, hingga pernak-pernik. Masa lalu yang indah, yang selalu kurindukan. Terkadang aku berpikir untuk mencicipi kembali masa lalu tersebut. Ladang jagung, deretan kebun kelapa, ikan-ikan di parit, pot-pot bunga, gubuk, dan kebun kecil kami (aku dan sepupuku). Ah, semua itu seumpama lukisan indah dalam hidupku yang selalu indah untuk dikenang. 

Di perantauan, ratusan mil dari kampung halaman, setiap malam saat teman-teman kamarku sudah tertidur, masa lalu itu selalu singgah dalam pikiran. Aku merindukan gambar-gambar dalam buku panduan menyulam. Sebuah kastil di tengah pegununungan yang puncaknya diselimuti salju, rumput hijau, jalan lebar yang diapit bunga-bunga, dan gadis kecil dengan pakaian tradisional yang menjinjing keranjang. Hingga sekarang aku tidak mengetahui di mana tempat itu persisnya. Mungkin di desa-desa Inggris, mungkin di Denmark, atau mungkin hanya sebatas hayalan.

Aku juga pernah membaca sebuah novel anak yang paling berkesan hingga kini. Judulnya Secret Garden karya Frances Hodgson Burnett. Sebuah novel terjemahan yang pertama kali diterbitkan tahun 1910. Entah mengapa, ceritanya yang sederhana seperti tidak mau pergi dari kepalaku. Para anak kecil yang menjadi tokohnya seperti hidup. Aku bisa membayangkan mereka meski tidak pernah sekali pun menonton versi filmnya. 


Novel Secret Garden melambungkan impian dan imajinasi anak-anakku. Bahkan sampai sekarang, saat umurku sudah 19, aku masih tetap bermimpi bisa memasuki dan melihat langsung taman rahasia mereka. Seperti yang pernah kukatakan, terkadang aku merasakan sakit dan nyilu yang tidak beralasan. Aku bisa menangis tanpa sebab. Di saat seperti itu, aku merindukan masa kecil, aku ingin kembali kecil seperti Mary dan Dickon yang menemukan taman rahasia. Di sana mereka hidup dalam dunia mereka sendiri: menanam mawar, menyaksikan tumbuhan bertunas, menghirup udara segar, mendengar kicauan burung, memetik bunga lonceng, dan berjemur di musim panas. 

Hal lain yang membuatku sangat merindukan masa lalu adalah novel The Alchemist karya Paulo Coelho. Kisah Santiago yang mengejar harta karun di Piramida membuatku terkesan. Sejak membaca The Alchemist, aku merindukan ladang-ladang di Andalusia. Bahkan mendengar kata Andalusia saja, yang terlintas dalam kepala adalah angin, kebun, pepohonan, deretan anggur, dan domba-domba. Aku rindu tempat-tempat seperti itu. Tempat yang sedikit sebanyaknya mengingatkan pada kebun-kebun di pulauku tercinta. 

Kalian, teman-temanku yang baik hati, masa lalu memang tidak pernah bisa dilupakan. Ada masanya saat kita benar-benar lelah dan satu-satunya obat yang membuat kita jadi lebih baik adalah masa lalu. Indah tidaknya masa lalu seseorang tidaklah dilihat dari semua keinginannya yang terpenuhi. Bukan pula masa lalu yang dipenuhi boneka barbie, baju-baju kembang, mobil remote mahal, atau jalan-jalan ke tempat indah. 

Dulu, aku hanya punya satu buah boneka barbie pemberian nenek yang terus kumainkan meski tangan dan kakinya patah. Tapi, aku juga banyak boneka  barbie dari jagung-jagung yang masih muda. Rambut jagung aneka warna sering kukepang dengan banyak model. Aku memainkan mereka di bawah pohon kelapa sambil menunggu Bapak dan Ibu. Tak jarang aku sampai tertidur setelah kenyang memakan bekal. Aku sering mengumpulkan bunga-bunga liar kecil berwarna putih dan ungu yang banyak tumbuh di kebun kami. Saat itu aku merasa sedang dikelilingi pelayan-pelayan yang membantuku mandi dengan taburan bunga. 
Photo by by Laura Corebello
Ketahuilah, aku juga tidak pernah jalan-jalan ke tempat bagus. Paling jauh adalah kota kecil bernama Selat Panjang tempat nenek dan kakekku tinggal. Dulu, aku merasa Selat Panjang adalah kota terkeren dan terindah yang pernah kulihat. Dari kapal kayu yang perlahan menuju dermaga, aku sangat bahagia menyaksikan kota yang dipenuhi lampu kerlap-kerlip  di malam hari. Jauh berbeda dengan pulauku yang gelap seolah pulau mati. Namun sekarang, aku baru tahu, jarak antara pulau tempatku tinggal dan Selat Panjang begitu dekat, hanya tetangga. Masih sama-sama di pesisir provinsi Riau. Dulu semua tampak jauh karena kami menumpangi kapal yang lambat. Saat berangkat pukul 16.00 sore, kami baru sampai Selat Panjang sekitar pukul 24.00 atau 01.00 dini hari. Sekarang, dengan speed boat, jarak tempuh itu bisa dilipat jadi 2 jam saja. 

Malam ini, aku sangat menrindukan masa lalu. Aku merindukan mereka yang tertawa dan menangis bersama hanya karena hal-hal sepele di masa itu. Aku merindukan angin di ladang jagung kami.

Saturday, 27 February 2016

HIKMAH RESIGN KERJA


Photo by: @mualiiime
Pekerjaanku di perusahaan Singapore berakhir di 30 Desember lalu. Sampai sekarang aku masih sering merindukan teman-teman di sana. Walau kadang mereka njengkelin buanget, tapi kalau diingat-ingat banyak juga kebaikannya. Ternyata melupakan orang-orang yang pernah mengisi hari-hari kita itu nggak gampang, meskipun cuma bentaran doang. Kebayang aja wajahnya Kris yang selalu aja tergesa-gesa kalau ngajarin, ngatain seenak hati, plus suka bilang “...Hmmm anyway...”. 

Wednesday, 15 October 2014

Jika Memang Rasa Itu Tidak Pernah Sampai

Source: click here
Aku ingin melihat wajahmu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warnaJalaluddin Rumi

Siang itu di kotaku sedang berada di puncak musim panas, ketika seorang gadis berlari ke arahku. Debu dan dedaunan kering yang tersapu oleh kakinya beterbangan.

“Seorang laki-laki sangat setia menantiku, bahkan ia sudah terang-terangan mengatakan untuk datang melamar. Keluargaku sudah mengenalnya karena memang dia adalah tetanggaku. Dan, dia adalah ustadzku dulu ketika di Pesantren.” Ceritanya tanpa diminta. Aku menutup halaman sebuah buku yang sejak tadi kubaca, melihat ke wajahnya yang sembab. Sepertinya ia sudah memikirkan masalah ini selama beberapa hari terakhir.

“Lalu masalahnya? Bukankah seharusnya kamu bahagia?” aku bertanya. Dalam hati aku justru menganggap hal yang dialami sahabatku itu sebuah anugerah. Perempuan mana yang tidak bahagia jika mendapat kemuliaan dan penghargaan setinggi itu dari seorang laki-laki?

“Tidak sedikit pun aku mencintainya. Sungguh sejak bertahun-tahun lamanya dia terus mencoba, tapi selama itu pula hatiku tidak pernah tersentuh olehnya. Sofi, aku wanita sederhana dan juga menginginkan cinta yang sederhana. Aku hanya ingin suatu hari laki-laki yang kucintai juga mencintaiku dan datang pada orang tuaku. Pengorbanan, pembuktian cinta, atau segala macam pernak-pernik seperti yang sudah diberikan laki-laki yang tadi kuceritakan sama sekali tidak kubutuhkan. Aku hanya ingin hidup dan mengabdikan diriku kelak pada laki-laki yang kucintai. Itu saja.” Ceritanya dengan mata yang penuh harapan.

“Itu bukan perkara sederhana. Aku sendiri tidak memiliki kepandaian yang cukup untuk bisa menyederhanakan walau sekadar lewat kata-kata. Terkadang, kita memang harus mengikhlaskan dia yang kita harapkan. Bukan karena tidak mencintainya, tapi seperti itulah cara untuk menghargai. Menghargai takdir, menghargai pilihannya, dan menghargai kehidupan kita sendiri.”

Aku bukan seorang yang ahli dalam masalah seperti ini. Lebih sering jawaban yang kuberikan hanya diam dan lebih banyak mendengarkan. Namun dalam tulisan, aku merasa memiliki sedikit waktu lapang untuk berpikir sebelum menjawab atau mengungkapkan sesuatu. Itulah sebabnya kuberanikan untuk menuliskan cerita sahabatku ini, seorang gadis manis yang menurutku memang benar sangat sederhana.

“Lalu aku harus menerima laki-laki itu?” tanyanya kembali.

“Jika aku menjawab pertanyaanmu, akan ada pertanggung jawaban yang berat saat jawaban itu kamu tunaikan. Aku tidak bisa memberikan jawaban apapun. Namun, kamu bisa memantapkan hatimu dengan cara meminta petunjuk pada-Nya. Petunjuk dari-Nya adalah jaminan untukmu agar tidak ada penyesalan.”

“Baiklah...” ucapnya sambil melayangkan pandangan ke langit biru yang sangat cerah sekligus menyilaukan.

"Lalu, apakah kamu menyimpan seseorang dalam hatimu kini?" aku bertanya lagi.

Ia mengangguk kecil, "Tapi dia tidak pernah tahu dan aku pun tidak memiliki cukup keberanian untuk memberi tahu..."

Aku menelan ludah, tidak tahu harus menimpali seperti apa. Pembicaraan  kami berakhir setelah beberapa kalimat lagi. Ia harus pergi untuk mengikuti perkuliahan selanjutnya dan meninggalkan aku sendiri dengan seribu pertanyaan.

Berapa banyak wanita yang memiliki masalah sama seperti sahabatku itu, ketika ia yang diharapkan tidak pernah menyadarinya, sebaliknya yang tidak dikagumi justru datang berkali-kali? Dan untuk laki-laki yang setiap saat namanya disebut-sebut oleh sang wanita, yang sosoknya dikenang meski tanpa berani menyapa, tidak bisakah hatinya tersentuh sedikit saja? Lalu untuk ia para wanita yang menyimpan rapat-rapat rasanya, tidak jugakah laut dan daratan mau membantu menyampaikan perasaan itu?

Sahabatku, barangkali sekali lagi kita harus tersadar. Apa yang tersimpan dalam hati seorang anak manusia di luar kendali manusia yang lain. Jika rasa itu memang tidak pernah sampai, tidak ada salahnya kita menuruti kalimat Rumi, yaitu dengan melihat wajahnya pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna. Semoga suatu saat kelak, wajah yang selalu kamu hadirkan itu mau tersenyum padamu, atau kamu yang sudah bisa mengganti wajah itu dengan ia yang selama ini menghadirkanmu dalam doa-doanya.

Bogor, 16 Oktober 2014


Wednesday, 3 September 2014

Bagaimana Nanti Setelah Menikah?

Kisah sejoli pertama

Siang itu sangat panas. Setelah mengunjungi Taman Boneka dan Anjungan Sulawesi (lupa Sulawesi mananya), aku dan seorang temanku bernama Rifa duduk di kaki lima gedung yang menghadap Tugu Pancasila. Itu adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di TMII, sebenarnya sebuah kunjungan nebeng. Rifa harus menemani Paman (paket komplit: bawa istri, anak umur 2 tahun dan adik sang istri) berkeliling Jakarta, jadi mau nggak mau akupun ikut. Tentu banyak gratisannya (red—dibayarin).

Merasa tahu diri, kami berdua pun memilih menunggu, sementara keluarga sang paman naik kereta gantung (Skyway—kalau di Genting) untuk menikmati TMII dari ketinggian. Kan mahal tuh tiketnya, daripada ngabisin budget Sang Paman yang mau liburan bersama keluarga, mending kita memisahkan diri aja. Alasan tentu super banyak, bilang sudah sering naik Skyway-lah, capek jalanlah, pengen beli es-lah, de es be yang intinya cuma satu ‘sayang keluar duit’. Hehe

Di tengah ketermenungan kami berdua itulah, datang sepasang muda-mudi yang kemudian duduk sekitar tujuh depa di depan kami. Sang wanita mengenakan rok hitam lebar, baju lebar, plus kerudung lebar juga. Sedangkan sang laki-laki mengenakan celana bahan warna hitam plus kemeja. Kalau kamu sering main ke Masjid Kampus, pasti sangat familiar dengan gerak-gerik dan cara berpakaian mereka, ala aktivis ROHIS banget.

Tapi bukan hal tersebut yang membuat mereka menarik perhatianku, karena akupun suka dengan gaya anak-anak Rohis, terkesan adem. Melainkan keduanya duduk sangat dekat sehingga aku menyimpulkan mereka adalah pasutri muda. Mustahil, sepasang Adam dan Hawa yang berpenampilan seperti mereka jalan berdua dan duduk sedekat itu jika belum ada ikatan yang sah.

Duduk bersebelahan, bergandengan tangan, bercengkerama ria, saling pandang. Ah, pasti seperti itu yang sering kita bayangkan perihal pasangan muda. Namun pasangan yang ini sangat berbeda. Sejauh pengamatanku, ditambah antena pendengaran yang sengaja kupertajam untuk tujuan ‘nguping’, mereka hanya diam. Barangkali hanya satu atau dua patah saja yang keluar. Menariknya, di space tak sampai sepuluh senti antara keduanya itu terdapat kumpulan bunga krisan kuning, terbungkus rapi dalam plastik bunga dan ditambah pita merah jambu. Sang bunga tergeletak begitu saja, menjadi saksi kebisuan mereka.


“Fa, lihat itu.” Aku memberi kode pada temanku agar ikut melihat. “Sejak tadi mereka hanya diam. Sibuk dengan ponsel masing-masing. Bahkan seringkali masing-masing dari mereka tersenyum, bukan karena saling bercengkerama, tapi karena ada sesuatu yang menarik dari layar ponselnya. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Atau apa mungkin mereka ngobrol via chatt BBM?”

Temanku hanya tersenyum. Memandangi beberapa saat kemudian kembali pada ponselnya. Sementara aku sendiri? Sungguh, hatiku seperti berkelana ke masa depan. Membayangkan diri ini menjadi sang wanita. Menikah dengan laki-laki sedingin itu, jarang bicara, dan matanya seperti kehilangan cinta. Istri di samping seperti kalah menarik dibandingkan status teman di media sosial. Ternyata nih setelah aku baca dari sebuah sumber, istilah untuk seseorang yang lebih memilih gadget ketimbang memperhatikan pasangannya disebut phubbing, berasal dari kata snubbing (mengejek). Bahkan sebuah hasil survei menyebutkan 45% orang selingkuh karena kekasih terlalu asik main smartphone. Duh!

Kembali pada cerita tentang aku yang seketika berteriak jauh di dalam hati, mengatakan aku tidak akan sanggup menjalani kehidupan pasca nikah seperti pasangan yang kulihat. Bukan seperti itu pernikahan yang kuimpikan. Namun barangkali, Allah ingin menegurku saat itu, mengingatkanku agar jangan memiliki ekspekstasi tinggi tentang kehidupan setelah menikah. Semuanya memang sudah berusaha maksimal untuk menemukan yang terbaik, tapi siapa yang bisa memastikan?

“Ya Allah, nikahkanlah aku dengan lelaki yang shalih yang menyejukkan hatiku (tenang dipandang) dan aku pun membahagiakan hatinya, wahai Dzat yang Mahaluhur dan mulia.”

Setelah hampir setengah jam, kami berdua beranjak meninggalkan kaki lima bangunan.

“Selamat siang.” Sebuah sapaan membuatku menoleh seketika.

Oh my God! Could you guess who?

Dia adalah pemuda Negro yang fisiknya...nggak perlu deh aku jabarin panjang lebar. Pernah nonton di televisi kan? Nah, nggak jauh beda kok.

Senyumnya ramah. Aku hanya membalas ‘selamat siang’ lirih. Benar-benar tanpa senyuman, kemudian berlalu begitu saja.

Kenapa di saat aku membayangkan perihal jodoh, malah pemuda Negro yang datang? Pertanda apa? Hehe... We never know what will happen in the future. But, Turkishman still be number one in my heart at this time (nyengir).


Kisah Sejoli Kedua

Usai mengelilingi TMII, perjalanan selanjutnya adalah Ancol. Sama seperti TMII, ini adalah kunjugan pertamaku ke Ancol. Sungguh kasihan...

Cerita dimulai saat kami masuk ke dalam gedung Sea World (kali ini bayar setengah harga, setengahnya lagi dibayarin). Banyak ikan-ikan cantik pastinya, berasa jalan-jalan di bawah laut. Adem juga di sana. Dan yang lebih spesial banyak orang asing di sana. Bule-bule ganteng bawa kamera sampai saudagar minyak dari Timur Tengah yang bawa paket combo keluarga juga ada.

Begitu selesai keliling-keliling, pose-pose nempel di aquarium, akhirnya kelelahan juga dan memilih duduk di lantai berundak yang menghadap aquarium super jumbo, banyak karang dan bener-bener mirip laut. Sampai-sampai ada beberapa penyelam di sana, asik aja mereka selfie dalam air. Terus kita jadi penontonnya. Mau ikutan nyelam, eh masak harus bayar 500 ribu. Lagi-lagi sayang duit!

Saat itulah mataku menangkap sepasang muda-mudi berwajah Arab. Laki-lakinya tinggi jangkung dengan jambang tipis dan bergaya maskulin gitulah. Sedangkan si wanita berpakaian tertutup (bukan abaya), maksudnya pakai baju kaos panjang dan celana panjang plus pashmina hitam. Cantik udah pasti. Hidungnya yang mancung itu aja udah bisa bikin mata laki-laki Indonesia sebesar globe di ruang kepala sekolah. Belum lagi maskara yang membuat matanya terkesan punya sihir. Ah, pokoknya pasangan yang ideal banget.

Source: click here
Terus aja aku mengamati mereka dari kejauhan. Para penyelam yang salto-jungkir balik, pakai gaya bebek sampai gaya ikan kekurangan oksigen pun kalah menarik dibanding keromantisan mereka. Bukan romantis pakai peluk-pelukkan di depan umum seperti pasangan yang ada di pojok lain, karena aku menyimpulkan kedekatan mereka ini seperti dua orang sahabat atau kakak-adik. Atau jangan-jangan memang iya?

Tapi rasanya mustahil mereka sahabatan atau saudara kandung, ‘cause i saw their chemistry clearly. Saling bergantian mengambil gambar, selfie berdua, jalan beriringan sambil melihat foto-foto hasil bidikan, tertawa lepas, dan kalau salah satu dari mereka dirasa kurang cocok posenya, satu yang lain akan memberi tahu sebelum membidikkan kamera.

Sepertinya jangankan di Sea World, mereka jalan-jalan di hutan dan semak belukar pun kalau bisa seasik itu, tetap bikin iri makhluk lain, minimal orang utan. Wajar aja kalau spontan hatiku berteriak kegirangan, aku ingin kehidupan rumah tanggaku nanti seperti pasangan itu. Kamu juga maunya begitu kan?

Jadi pertanyaannya, sahabat semua pilih cerita sejoli pertama atau kedua?

Wednesday, 4 June 2014

Untuk Bukti [Bagian II]--Sebuah Fiktif


Source: click here
“We are not my novel, where i can create the story...”
Senja itu masih dingin, saat langkahku baru saja meninggalkan halaman masjid berwarna krem dengan satu menara indahnya. Tujuanku selanjutnya adalah sebuah rumah. Seorang wanita paruh baya baru saja menunjukkan alamat rumah seseorang yang begitu ingin kulihat, ia juga yang menjadi alasanku singgah di kota kecil ini.

“Tidak jauh dari sini. Hanya berjarak dua rumah saja. Saat kamu menemui rumah dengan cat berwarna biru langit, itulah dia.” ucap Ibu itu dengan bahasa yang sebenarnya masih begitu sulit kupahami.

Kukuat-kuatkah hati agar langkah ini tak berbalik arah. Bukankah aku datang hanya untuk membuktikan, tanpa berniat untuk merubah apapun, lalu kenapa harus takut?

Seperti apa wajahnya? Akankah senyumnya seindah yang selama ini kulihat? Mungkinkah hanya aku yang mendapati sorot matanya yang kehilangan cahaya? Aku ingin menyaksikan semua itu.

Di jalanan yang bersepuh putih beku itu aku berdiri. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas, barangkali terlalu enggan menembus dinginnya puncak musim dingin di jalan yang menggigil ini.

Aku berdiri di bawah payung sambil menatap rumah sederhana itu lamat-lamat, pada kaca jendelanya yang kabur. Di rumah itulah kamu kembali selepas melakukan perjalanan, tempatmu melepas penat setiap harinya. Di rumah itu pula wanita jelita yang sejak beberapa bulan lalu kulihat wajahnya tersenyum di sampingmu. Wanita yang setiap hari berpikir keras, hidangan apakah yang akan ia sajikan padamu. Kemudian ia akan memilihkan hasil masakan paling lezat untukmu dan menyisakan yang ‘keasinan’ atau yang ‘gosong’ untuk dirinya sendiri. Ah, kurasa di manapun wanita saleha itu, pasti hal-hal seperti itulah yang akan ia lakukan untuk lelakinya.

Degup jantungku seketika gemuruh saat kulihat seorang laki-laki keluar dari balik pintu bercat biru itu. Dengan sigap tangannya membuka payung merah muda yang sejak tadi digenggaman. Takut kehadiranku mencurigakan, aku berjalan pada sebuah bangku tak jauh dari badan jalan, duduk di sana seolah-olah sedang menanti jemputan. Aku merendahkan payung hingga menutupi sebagian wajah. Dari sinilah kuamati dia yang masih berdiri menunggu. Tak lama keluar seorang wanita semampai dalam balutan coat tebal berwarna donker dan jilbab merah muda. Dari jarak tak kurang dari empat puluh meter ini, aku bisa memastikan bahwa wanita itu benar-benar jelita.

Mereka berjalan beriringan di bawah payung merah muda meninggalkan rumah. Sayup-sayup terdengar suara mereka yang tengah membicarakan sesuatu. Tangan kanan lelaki itu terlihat erat memeluk punggung sang wanita. Indah sekaligus menyakitkan bagiku. Setelah aku membuktikan bahwa masjid berwarna krem itu benar adanya, kini kembali kubuktikan, bahwa lelaki itu benar-benar ada. Ia sama seperti manusia lainnya, bukan hanya sekadar ilusi atau imajinasi belaka. Pun tentang wanita yang sejak beberapa bulan lalu selalu mendampingi setiap foto yang dibagikan. Mereka benar-benar bersama.


Ketika langkah mereka sudah tiba tak jauh dariku, kuberanikan diri untuk sedikit mengangkat payung. Mencuri pandang pada kedua wajah itu. Hanya satu hal yang tak mampu kubuktikan, yaitu tentang sorot mata yang kehilangan cahaya. Keduanya tampak begitu bahagia, senyum yang lepas, seolah-olah kehidupan ini hanyalah taman yang dipenuhi bunga.
“Lalu ceritamu hanya sampai di situ saja?” tanya gadis berambut pirang yang duduk di sampingku, tentu saja dalam bus yang membawa kami menuju Istanbul.
“Yes, you are right.”
“How about him? Is he know about your feeling?”
Aku menggeleng pelan, mencoba tersenyum meskipun itu sangat sulit.
“We are not my novel, where i can create the story...”
Beberapa saat kami sama-sama diam. Gadis itu masih memandangku tak percaya.
“Ketika kau menulis sebuah novel, kau bebas menentukan hati dan hidup para tokoh yang kau ciptakan. Kau buat si lelaki juga menyimpan rasa yang sama pada sang wanita yang sekian lama menanti dalam diamnya, kemudian setelah melewati berbagai rintangan, mereka akan bersama pada akhirnya. Tapi di kehidupan nyata, banyak sekali rasa yang berlayar  tanpa  bisa menepi di dermaga impiannya. Kau harus terus berlayar, tanpa perlu memorak-porandakan rasa lain yang telah bersatu dengan dermaganya, hingga mungkin suatu hari, kau akan bertemu dengan dermaga yang hampir sama dengan yang kauimpikan. Di sanalah kau akan berhenti. Tuhan telah menyiapkan dermaga yang tepat bagi masing-masing kita, dan kurasa, dia bukanlah dermagaku.”

Untuk Bukti [Bagian I]

Saturday, 19 April 2014

Tentang Cinta, Harapan, Penantian, dan Ketidak Pastian

Sumber: klik di sini
“Berapa banyak hati yang menanti di dunia ini? Lalu berapa banyak pula mereka yang kecewa dengan penantian, merenungi cinta yang mengerikan?”

“Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal itu?”

Aku berusaha tersenyum tipis, mengusap kepala dengan kedua telapak tangan. Laki-laki yang duduk dengan jarak setengah depa di sampingku menoleh, pastilah menanti jawaban dari pertanyaannya. Senja ini kami duduk menghadap selat tenang yang tidak lagi tampak biru, bercerita tentang apapun sambil mengamati kumpulan camar-camar yang terbang rendah, sesekali mereka menukik tajam, menyentuh ombak kecil dan menciptakan percikan putih.

“Aku telah membaca banyak tulisan tentang penantian yang menyesakkan. Tentang mereka yang berharap tanpa berani mengungkapkan. Hanya kesedihan dan rasa sakit yang mampu kutangkap dari tulisan-tulisan itu. Mereka yang menangis setiap senja datang, berharap air mata mampu menghadirkan cinta dalam sebuah hati di ujung sana.” jawabku sedikit menoleh ke arahnya yang mendengarkan takzim.

“Kamu sendiri?”

Sesaat aku tersentak dengan pertanyaan singkatnya, ada sesuatu yang terasa menjatuhi hatiku, sangat berat hingga sulit rasanya untuk sekadar menarik napas. Tentu saja aku merasakannya, dan barangkali, inilah mengapa perasaanku turut sakit saat membaca semua tulisan yang tersiksa itu. Tentu aku tidak akan lupa bagaimana sibuknya aku mengunjungi jejak-jejaknya, walau sebatas jejaknya yang maya. Lalu bagaimana bahagianya aku kala memandangi sosok yang tersenyum diam itu, dan hanya memandang saja, tak sekalipun berani menyapa.

“Tapi kamu tidak pernah paham.” jawabku akhirnya. Menutupi wajah yang pias, lelah.

“Lalu apa yang bisa kulakukan jika kudatangi kamu di waktu sekarang? Bukankah kamu telah menulis ratusan catatan ingin menyelesaikan pendidikan, pengabdian, dan mencukupi segala kebutuhan keluargamu sebelum waktu itu datang? Aku hanya tidak ingin kamu meleburkan semua mimpi yang telah kau bangun.”

Langit jauh di depan sana mulai kemerahan, membawa embusan angin yang lebih kencang dari sebelumnya. Aku tahu dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dengan pandangan jauh ke depan, entah memikirkan apa. Atau mungkin, entah menyembunyikan apa yang tidak diucapkan, meminta aku kembali membuat perandaian.

“Jawabanmu barusan adalah harapanku. Hanya saja masalahnya, tak semua dari pemilik tulisan itu menjumpai jawaban terang. Hanya mampu menerka-nerka, melemparkan banyak tanya, dan semuanya semakin menyakitkan.”

“Jangan khawatirkan mereka, bukankah cinta akan menemukan sendiri jalannya? Mereka hanya butuh untuk berbahagia dengan segala harapan dan ketidak pastian itu.”

“Ya, semoga...” Aku menyambung lirih.

Semoga aku bisa begitu...

Beberapa detik kemudian kami berdiri, berjalan dengan arah yang berbeda, meninggalkan bangku panjang bercat putih yang sejak tadi mendengarkan. Matahari sudah merangkak semakin dekat dengan garis di ujung sana. Kilauan bewarna emas di atas selat itu memang cantik, sekaligus membuat nyilu.

Duhai hati, sungguh akupun tidak tahu kalimat apa yang keluar dari lisannya nanti. Di sini kita berteman, bercerita tentang penantian dan perasaan yang ditahan. Di sini juga kita membuat berbagai pernyataan, berbagai kemungkinan, yang semuanya hanya berubah pertanyaan. Semakin menumpuk, dan tidak mengerti kapan akan terjawab.


Bogor, 20 April 2014, 1.39 dini hari

*Untuk siapa saja yang saat ini sedang berharap, mendoakan, dan menanti dengan kemungkinan tak pasti. Bersabarlah duhai hati, bersabarlah...Karena setiap musim dingin, akan ada musim seminya...


Sebagai Pembuka di Episode Ini

Salam sahabat semua. Lama sekali rasanya blog ini tidak kujenguk, alih-alih statistik pengunjungnya menurun drastis. Kayaknya emang kalau blog itu nggak diurus, akibatnya selalu begitu. Maklum, pulsa modemku yang keabisan, jadinya berimbas ke dunia maya (so pasti atuh, Buk!). Baiklah lupakan saja soal itu, di malam Minggu yang berbahagia ini, aku ingin sedikit cuap-cuap berbagi kabar.

Antara Sarajevo dan Mostar

Kamu tahu, teman. Tadi selama perjalanan bus dari Sarajevo menuju Mostar, aku duduk bersebelahan dengan seorang gadis Indonesia. Namanya Sofia. Tidak ada yang istimewa dari fisiknya. Ia sangat tinggi jika dibandingkan dengan gadis-gadis Asia kebanyakan. Aku tidak mengerti mengapa hatiku berbunga-bunga ketika ia mengatakan akan mengunjungi Old Town di Mostar.

“Aku melakukan perjalanan sendiri. Berangkat dari Indonesia sepuluh hari yang lalu, menjelajah Turki selama delapan hari, kemudian terbang ke Sarajevo dan mengelilingi kota itu dalam waktu dua hari, barulah sekarang aku akan ke Mostar.”

Friday, 4 April 2014

Untuk Bukti [Bagian I]

Source: click here
Sore ini langit tampak putih, tak ubahnya warna salju yang sejak tadi turun perlahan. Menyepuh deretan pohon-pohon meranggas dengan ranting-rantingnya yang diam, jalan-jalan yang sepi, kubah-kubah, serta pucuk-pucuk menara khas Ottoman yang mengerucut puncaknya. Beberapa orang yang bersisian denganku merapatkan jaket, seolah tak akan membiarkan angin musim dingin menyentuh kulit mereka sedikit pun.

Ini negeri orang, tetapi kenapa seperti kutemukan separuh waktuku yang lain?

Ini tanah orang, tetapi kenapa seperti kusentuh kembali remah-remah cintaku yang hilang?

Di sini, di depan sebuah Masjid di kota kecil Fatsa aku berdiri, seperti kembali, seperti menemukan napas yang sempat pergi.

Tak ada Hagia Sophia dengan Masjid Biru di sampingnya. Tak ada sebuah jembatan yang menyambung dua benua membentang di kota kecil ini. Tak juga ada bayang-bayang pasukan Muhammad Al-Fatih di mataku. Aku datang kemari bukan demi semua itu, bukan demi meninggalkan jejak demi jejak di tempat-tempat impian itu. Kedatanganku ke kota kecil ini hanya demi sebuah ‘bukti’.

Aku ingin membuktikan bahwa masjid yang gambarnya selalu kupandangi setiap hari benar adanya, bukan hayalan. Aku ingin membuktikan bahwa kota kecil ini nyata wujudnya, bukan maya. Itu saja. Dan jika diizinkan, bolehkah aku buktikan juga satu hal? Bahwa dia, yang wajahnya begitu kukenali juga benar seorang manusia. Manusia yang hidup layaknya manusia lain, yang memiliki hati dan bisa merasakan.

“Kenapa Fatsa? Semua orang yang datang ke Ottoman, selalu ingin melihat Istanbul, Bursa, Cappadocia, dan Konya, bukan kota kecil di tepi laut itu. Apa yang ingin kau lihat?”

Seorang gadis berambut pirang yang duduk di sampingku melemparkan pertanyaannya, tadi ketika kami masih berada dalam satu bus.

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kota kecil itu benar-benar ada.” jawabku dengan sedikit senyuman pias, kemudian mengalihkan pandangan keluar jendela. Lanskap di luar sana beku.

 “Begitu saja?” tanyanya kembali, mengerutkan dahi hingga kedua alisnya bertemu.

Kuanggukkan kepalaku. Apa lagi selain itu? aku tidak pernah berjanji dengan siapapun, tidak juga untuk mengunjungi seorangpun. Fatsa hanya sebuah kota kecil yang lanskapnya tersimpan begitu rapi dalam salah satu bilik di hatiku, tanpa pernah aku melihat wujudnya. Kota kecil itu juga menyimpan seorang anak manusia yang diam-diam kukagumi, sangat diam-diam. Dan sekarang, aku hanya ingin melihatnya. Tak berniat untuk mengubah apapun.

“Pasti ada sesuatu yang membuatmu begitu merindukan kota itu. Ceritakanlah padaku.”

Gadis itu menyikut lenganku, mengerjipkan matanya. Sementara bus terus melaju, menginjak butir-butir salju yang membentuk hamparan menyelimuti jalan. Kutarik napasku dalam, mengingat sesuatu.

“Kamu akan mencintai segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan sesuatu yang kamu cintai.”

“Aku tidak paham. Coba sederhanakan.”

“Kau punya seorang pacar?”

Pertanyaanku barusan terkesan tidak nyambung, wajar saja jika ia menampakkan keterkejutannya. Namun sesaat kemudian ia mengangguk dengan malu-malu.

“Apa lagu kesukaannya?”

You Raise Me Up, Josh Groban!” Ia menjawab cepat, penuh semangat. Ketara sekali dari sorot matanya yang terang.

“Kau juga menyukai lagu itu?”

“Semua yang ia suka, aku juga menyukainya.”

“Begitulah. Cinta selalu memanggil cinta yang lain."

Sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Ya, cinta selalu memanggil cinta yang lain...


Bogor, 04 April 2014


Tuesday, 18 March 2014

Suatu Sore di Suatu Masa: Sebuah Catatan dari Masa Lalu




Suatu sore di suatu masa, kita duduk di tengah ladang jagung sambil menopang dagu dengan dua telapak tangan. Gemerisik daun-daun jagung yang mulai mengering menciptakan irama kecil. Kita sama-sama memiliki imajinasi tinggi, dan aku membayangkan kita tengah duduk di sebuah ladang di Andalusia , menyaksikan Santiago yang sibuk dengan domba-dombanya di atas hamparan rumput. Sementara Engkau, entah apa yang kau pikirkan.

“Mengapa dunia ini tidak memberikan banyak waktu untuk sebuah kebersamaan?” tanyamu dengan mata menerawang, memandangi tanah yang ada di bawah kaki kecil kita.

“Karena ada kebersamaan lain yang harus kita rasakan.” Aku menjawab ringan. Anak rambutku terbang menutupi mata, aku menyisihkan dengan jari telunjuk.

“Tapi aku ingin sebuah kebersamaan yang abadi.”

“Kamu akan bosan.”

Beberapa saat kami diam. Suasana hening hanya diisi oleh embusan angin yang menggoyangkan batang-batang jagung ke kanan dan ke kiri, juga pelepah kelapa yang meliuk-liuk di kejauhan. Tidak ada kelapa di Andalusia, jadi aku anggap saja mereka deretan zaitun.

“Aku iri padamu.” ucapmu lagi dengan sedikit lenguhan.

“Akupun iri padamu.” Sambungku. Baru kali ini kita saling membuka cerita tentang ‘iri’. Selama ini kita hanya bercerita lewat perang dingin. Aku yang diam-diam iri dengan kecantikanmu, dan kurasa, kamu iri pada nasibku.

“Kamu bisa kuliah tanpa susah payah bekerja sepertiku, kamu bisa melihat sudut lain negeri kita yang bahkan belum pernah kutemui keindahannya.”

“Kata Ayahku, aku terlalu kecil dan lemah untuk mencari uang. Itulah mengapa Tuhan memberikanku jalan yang sekarang. Mungkin kamu tidak akan sanggup duduk di bangku perkuliahan, kamu lebih kuat dalam mencari uang.”

“Kamu benar. Tapi aku lelah dengan kehidupanku yang begitu-begitu saja.”

Aku tercenung sejenak. Di bawah awan putih yang berarak, kulihat segerombolan burung-burung kecil melintas dengan formasi segitiga. Ada seranai hari yang diputar kembali dalam kepalaku, kegiatanku di perantauan sana.

“Aku juga lelah.”

“Kamu masih ingat dengan cerita imajinasi kita dulu? Tentang rumah tanah yang kita bangun?” tanyanya mengenang.

Tentu saja ingat. Setiap pulang sekolah atau sesaat menjelang tidur malam, kita selalu bercerita banyak hal, tentang hidup enak di luar pulau kecil kita. Begitu juga ketika kita membangun rumah dari gundukan tanah, kita selalu saja membangun yang mewah. Kita juga pernah bercerita tentang ‘lalang buana’, tentang negeri-negeri yang ingin disinggahi bersama.

“Akankah semua itu menjadi nyata?”

“Jawabannya ada dalam hatimu. Aku tak bisa menjawabnya.” Aku berucap sambil mengalihkan pandangan. Di tengah-tengah ladang jagung ini, berdiri sebuah gubuk kecil yang tinggi beratapkan daun sagu. Dari tempat kita duduk, gubuk itu terlihat bergoyang-goyang ditiup angin. 

“Apa yang harus kutakutkan dalam keadaanku sekarang?”

“Takutlah kau tidak bisa mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan.”

Kita saling berpandangan beberapa saat, kemudian sama-sama tersenyum. Tidak ada yang berubah dari wajahmu, hanya kau sudah tumbuh dewasa sekarang, mungkin aku juga begitu. Angin semakin bertiup kencang, mengacak-acak rambut sebahu kita, yang kita potong bergantian kemaren sore.

Kulirik Santiago yang sedang membacakan buku untuk para dombanya. Tak lama ia bangkit dan memukul-mukulkan tongkatnya, mengajak para domba kembali ke kandang. Matahari sore itu merangkak ke peraduan, menciptakan garis-garis merah keemasan di pucuk-pucuk zaitun.

*Tulisan ini kubuat untuk sepupuku, sahabat pertama sekaligus teman masa kecilku. Betapa banyak cerita kita yang tidak terekam. 



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...