Kamu tahu, teman. Tadi selama perjalanan bus dari Sarajevo menuju Mostar,
aku duduk bersebelahan dengan seorang gadis Indonesia. Namanya Sofia. Tidak ada
yang istimewa dari fisiknya. Ia sangat tinggi jika dibandingkan dengan
gadis-gadis Asia kebanyakan. Aku tidak mengerti mengapa hatiku berbunga-bunga
ketika ia mengatakan akan mengunjungi Old
Town di Mostar.
“Aku melakukan perjalanan sendiri. Berangkat dari Indonesia sepuluh hari
yang lalu, menjelajah Turki selama delapan hari, kemudian terbang ke Sarajevo
dan mengelilingi kota itu dalam waktu dua hari, barulah sekarang aku akan ke
Mostar.”
“Tidak bersama rombongan tur?”
Dia menggeleng, “Aku tidak suka perjalanan bersama rombongan tur, karena
tidak pernah sempat untuk menikmati perjalanan akibat banyaknya tempat yang
harus didatangi dalam waktu singkat. Foto menjadi bukti aku pernah ke tempat
tersebut, tapi hatiku tidak pernah menghayati suasananya. Foto tersebut tidak
ada bedanya dengan foto yang kuedit dengan software di komputer.”
“Hmm...Kamu mencintai semenanjung
Balkan?” tanyaku lagi.
“Tidak tahu persis. Tapi aku mencintai Ottoman dan ingin menjelajahi semua
tanah yang pernah dijajakinya.” Jawabnya sambil memandang keluar, menembus
jendela, pada lanskap bebukitan yang diselubungi kabut tipis.
“Kamu tahu gambar siapa ini?”
Entah apa yang mendorongku untuk menunjukkan sebuah gantungan kunci
ranselku. Terdapat mainan berbentuk lingkaran dengan gambar manusia di
tengahnya. Mainan kunci itu terbuat dari perak dan merupakan tiruan dari medali
coztanzo do ferrara.
Muhammad Al-Fatih di medali Coztanzo do Ferrara. (Sumber: klik di sini) |
“Mereka bilang itu gambar Sultan Mehmet II.” jawabnya jelas.
Apa maksud kalimat ‘mereka bilang’ yang diucapkannya? Aku sempat mengerutkan
dahi beberapa saat. Melihat wajahku yang dipenuhi tanda tanya, ia memberikan
penjelasan.
“Coba lihat baik-baik, berapa umur laki-laki tua dalam mainan kuncimu ini?”
tanyanya.
“Hmm...65 sampai 70. Bisa jadi lebih tua lagi.”
“Berapa usia Sultan Mehmet ketika berhasil menaklukkan Konstatinopel?”
Aku berusaha mengingat potongan kisah Al-Fatih yang pernah diceritakan
adikku Jasmina dulu, sewaktu kita masih di tanah Ottoman.
“Dua puluh satu—kalau tidak salah.”
“Ya, Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan Konstatinopel pada usia 21.
Bayangkan bagaimanakah bentuk wajah pemuda umur 21?”
“Bersih, tidak keriput pastinya, dan kemungkinan besar tidak berjenggot
lebat.” Aku coba menerka-nerka. Setidaknya begitulah penampilan kebanyakan
pemuda.
“Sekarang coba ingat-ingat kembali bagaimana rupa Sultan Mehmet II yang ada
dalam semua lukisan.”
“Tua, berjenggot, seperti yang kau lihat dalam mainan kunciku ini. Dan di
beberapa lukisan lain, digambarkan Al Fatih bersama pasukannya, ia terlihat
seperti laki-laki berusia 35 sampai 40.”
“Penaklukkan yang dilakukan oleh laki-laki berusia 35 sampai 40 adalah hal
biasa. Tapi tidak biasa untuk seorang pemuda berusia 21 tahun, terlebih yang
ditaklukkan adalah imperium Romawi yang telah dibangun selama 650 tahun. Di
sanalah—menurutku—letak kesalahan para pelukis itu. Mereka enggan menampilkan
kehebatan Al Fatih, bahkan terkesan merendahkan kebesaran dan kewibawaan
Al-Fatih yang berusia 21 itu dengan menggambarnya menjadi lebih tua. Terlebih-lebih
gambar yang ada dalam mainan kuncimu itu, meskipun—misalnya—itu adalah lukisan
untuk Fatih yang sudah berusia lanjut, tetap saja terlihat jelas propaganda
Barat untuk meghilangkan kekaguman orang-orang kepada Al Fatih. Bayangkan
ketika anak kecil yang belum mengetahui sejarah melihat lukisan-lukisan itu,
seketika akan membentuk mind shet di
kepala mereka bahwa Al Fatih adalah lelaki tua. Bukankah lelaki tua selalu
dianggap wajar saat melakukan hal-hal hebat? Berbeda halnya ketika anak kecil
tersebut mendapati lukisan Al Fatih yang muda—layaknya pemuda umur
21—menunggang kuda dengan pasukan di belakangnya, bisa dipastikan anak-anak
akan memahami bahwa Sang Sultan adalah pemuda hebat, karena mampu menaklukkan
Konstatinopel pada usia muda.”
Penjelasan gadis di sampingku itu membuatku merenung. Ya, benar juga.
Selama ini aku memang sempat menaruh heran dengan lukisan-lukisan Al Fatih,
hanya saja malas untuk memikirkannya.
“Aku setuju dengan pemikiranmu. Bahkan aku sempat melihat sebuah lukisan Al
Fatih yang menyeramkan. Bermahkota mewah, wajah gelap, bahu tinggi, jenggot
panjang, kumis tebal yang mirip dengan kumis bajak laut, dan sorot mata yang
memancarkan kekejaman hatinya.” Kataku sambil mengingat kembali detil lukisan
yang pernah kulihat di internet.
Lukisan Sultan Mehmet II oleh Alikasapoglu |
“Bukan mutlak pemikiranku. Tapi dulu aku pernah memikirkannya, maksudnya
sebelum membaca dari buku-buku. Lukisan yang kau maksud itu lukisannya
Alikasapoglu, ya?”
Kukatakan padanya bahwa aku lupa siapa pembuat lukisan itu. Gadis itu membuat
suasana hatiku semakin aneh. Seandainya ia mengatakan bahwa apa yang
diucapkannya adalah mutlak pemikirannya,
aku pasti akan percaya saja. Tetapi ia memilih mengatakan hal yang sejujurnya,
satu lagi plus untuknya.
Sumber: Klik di sini |
Bus terus melaju, semakin jauh meninggalkan kota Sarajevo di belakang sana.
Pegunungan dengan pesona Balkan yang disepuh salju menghiasi lanskap di
sepanjang jalan. Titik-titik salju yang menempel di jendela membuat kaca itu
berembun dan kabur. Bus di negara empat musim selalu dilengkapi dengan pemanas
ruangan, jadi kamu tidak perlu takut mati membeku saat berkunjung ke negaraku.
Aku menggesekkan kedua telapak tangan, kemudian mendekatkannya ke depan
bibir. Sial. Sepertinya tubuhku tidak begitu normal hari ini, dingin yang
kurasakan seperti menusuk-nusuk tulang. Beberapa detik aku berusaha
mengatasinya, salah satunya dengan merapatkan jaket. Tapi sejauh ini aku malah
semakin kedinginan. Tidak ada jalan lain, terserahlah apa respon wanita di
sampingku. Dengan tergesa-gesa aku membuka tas, mengeluarkan sebotol kecil
wine, kemudian menenggaknya hingga habis.
“Kenapa melihatku begitu?” tanyaku mendapati gadis itu melihatku tidak
berkedip.
Ia terkesiap, cepat-cepat mengalihkan perhatian ke layar ponselnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Aku menggumam kecil, menutup kembali
botol wine yang telah kosong.
“Jawabanku tidak akan merubah apapun.” ucapnya lirih, masih menatap layar
ponselnya.
Dia benar. Kebiasaanku yang satu ini tidak mungkin bisa dirubah lagi.
Anggur sudah seperti seorang istri bagiku, yang tak mungkin sanggup
kutinggalkan. Jika disuruh memilih, apakah aku akan bertahan hidup dengan istri
seorang wanita atau anggur, tentu aku tidak akan berpikir apa-apa lagi, anggur
di atas segalanya. Kenikmatan wanita bisa kucari, tapi tanpa anggur, aku bisa
mati. Ibuku tidak tahu tentang kebiasaanku ini. Selama ini aku hanya minum
tanpa sepengetahuannya.
“Kamu membenci laki-laki peminum?”
“Belum pernah ada laki-laki peminum yang mendekatiku, jadi aku tidak tahu
apakah aku akan membencinya atau tidak.”
“Padaku?”
Pertanyaan singkat ini keluar begitu saja, tanpa bisa aku menahannya.
Kuarahkan wajahku padanya, menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibirnya.
Kulihat ia menarik napas dalam, lalu menoleh ke arahku.
“Apakah aku terlihat membencimu?” tanyanya jelas, membuatku kebingungan
harus menjawab bagaimana.
“Kamu seorang psikolog?” Pertanyaanku ini keluar tanpa ada hubungan dengan pertanyaannya. Tentu saja.
Dia menggeleng, “Aku seorang penulis.”
Asik bacanya. Lanjuut... :D
ReplyDeleteMkasih Mbak :)
Deletebaca tulisan ini aku sambil membayangkan ada disana
ReplyDeleteMakasih Mak Lidya ;)
Deleteaku sukaa ^_^
ReplyDeleteMakasih Mbak :)
Delete