Saturday, 19 April 2014

Antara Sarajevo dan Mostar

Kamu tahu, teman. Tadi selama perjalanan bus dari Sarajevo menuju Mostar, aku duduk bersebelahan dengan seorang gadis Indonesia. Namanya Sofia. Tidak ada yang istimewa dari fisiknya. Ia sangat tinggi jika dibandingkan dengan gadis-gadis Asia kebanyakan. Aku tidak mengerti mengapa hatiku berbunga-bunga ketika ia mengatakan akan mengunjungi Old Town di Mostar.

“Aku melakukan perjalanan sendiri. Berangkat dari Indonesia sepuluh hari yang lalu, menjelajah Turki selama delapan hari, kemudian terbang ke Sarajevo dan mengelilingi kota itu dalam waktu dua hari, barulah sekarang aku akan ke Mostar.”

“Tidak bersama rombongan tur?”

Dia menggeleng, “Aku tidak suka perjalanan bersama rombongan tur, karena tidak pernah sempat untuk menikmati perjalanan akibat banyaknya tempat yang harus didatangi dalam waktu singkat. Foto menjadi bukti aku pernah ke tempat tersebut, tapi hatiku tidak pernah menghayati suasananya. Foto tersebut tidak ada bedanya dengan foto yang kuedit dengan software di komputer.”

Hmm...Kamu mencintai semenanjung Balkan?” tanyaku lagi.

“Tidak tahu persis. Tapi aku mencintai Ottoman dan ingin menjelajahi semua tanah yang pernah dijajakinya.” Jawabnya sambil memandang keluar, menembus jendela, pada lanskap bebukitan yang diselubungi kabut tipis.

“Kamu tahu gambar siapa ini?”

Entah apa yang mendorongku untuk menunjukkan sebuah gantungan kunci ranselku. Terdapat mainan berbentuk lingkaran dengan gambar manusia di tengahnya. Mainan kunci itu terbuat dari perak dan merupakan tiruan dari medali coztanzo do ferrara.

Muhammad Al-Fatih di medali Coztanzo do Ferrara. (Sumber: klik di sini)

“Mereka bilang itu gambar Sultan Mehmet II.” jawabnya jelas.

Apa maksud kalimat ‘mereka bilang’ yang diucapkannya? Aku sempat mengerutkan dahi beberapa saat. Melihat wajahku yang dipenuhi tanda tanya, ia memberikan penjelasan.

“Coba lihat baik-baik, berapa umur laki-laki tua dalam mainan kuncimu ini?” tanyanya.

“Hmm...65 sampai 70. Bisa jadi lebih tua lagi.”

“Berapa usia Sultan Mehmet ketika berhasil menaklukkan Konstatinopel?”

Aku berusaha mengingat potongan kisah Al-Fatih yang pernah diceritakan adikku Jasmina dulu, sewaktu kita masih di tanah Ottoman.

“Dua puluh satu—kalau tidak salah.”

“Ya, Muhammad Al-Fatih berhasil menaklukkan Konstatinopel pada usia 21. Bayangkan bagaimanakah bentuk wajah pemuda umur 21?”

“Bersih, tidak keriput pastinya, dan kemungkinan besar tidak berjenggot lebat.” Aku coba menerka-nerka. Setidaknya begitulah penampilan kebanyakan pemuda.

“Sekarang coba ingat-ingat kembali bagaimana rupa Sultan Mehmet II yang ada dalam semua lukisan.”

“Tua, berjenggot, seperti yang kau lihat dalam mainan kunciku ini. Dan di beberapa lukisan lain, digambarkan Al Fatih bersama pasukannya, ia terlihat seperti laki-laki berusia 35 sampai 40.”

“Penaklukkan yang dilakukan oleh laki-laki berusia 35 sampai 40 adalah hal biasa. Tapi tidak biasa untuk seorang pemuda berusia 21 tahun, terlebih yang ditaklukkan adalah imperium Romawi yang telah dibangun selama 650 tahun. Di sanalah—menurutku—letak kesalahan para pelukis itu. Mereka enggan menampilkan kehebatan Al Fatih, bahkan terkesan merendahkan kebesaran dan kewibawaan Al-Fatih yang berusia 21 itu dengan menggambarnya menjadi lebih tua. Terlebih-lebih gambar yang ada dalam mainan kuncimu itu, meskipun—misalnya—itu adalah lukisan untuk Fatih yang sudah berusia lanjut, tetap saja terlihat jelas propaganda Barat untuk meghilangkan kekaguman orang-orang kepada Al Fatih. Bayangkan ketika anak kecil yang belum mengetahui sejarah melihat lukisan-lukisan itu, seketika akan membentuk mind shet di kepala mereka bahwa Al Fatih adalah lelaki tua. Bukankah lelaki tua selalu dianggap wajar saat melakukan hal-hal hebat? Berbeda halnya ketika anak kecil tersebut mendapati lukisan Al Fatih yang muda—layaknya pemuda umur 21—menunggang kuda dengan pasukan di belakangnya, bisa dipastikan anak-anak akan memahami bahwa Sang Sultan adalah pemuda hebat, karena mampu menaklukkan Konstatinopel pada usia muda.”

Penjelasan gadis di sampingku itu membuatku merenung. Ya, benar juga. Selama ini aku memang sempat menaruh heran dengan lukisan-lukisan Al Fatih, hanya saja malas untuk memikirkannya.

“Aku setuju dengan pemikiranmu. Bahkan aku sempat melihat sebuah lukisan Al Fatih yang menyeramkan. Bermahkota mewah, wajah gelap, bahu tinggi, jenggot panjang, kumis tebal yang mirip dengan kumis bajak laut, dan sorot mata yang memancarkan kekejaman hatinya.” Kataku sambil mengingat kembali detil lukisan yang pernah kulihat di internet.

Lukisan Sultan Mehmet II oleh Alikasapoglu

“Bukan mutlak pemikiranku. Tapi dulu aku pernah memikirkannya, maksudnya sebelum membaca dari buku-buku. Lukisan yang kau maksud itu lukisannya Alikasapoglu, ya?”

Kukatakan padanya bahwa aku lupa siapa pembuat lukisan itu. Gadis itu membuat suasana hatiku semakin aneh. Seandainya ia mengatakan bahwa apa yang diucapkannya adalah  mutlak pemikirannya, aku pasti akan percaya saja. Tetapi ia memilih mengatakan hal yang sejujurnya, satu lagi plus untuknya.

Sumber: Klik di sini
Bus terus melaju, semakin jauh meninggalkan kota Sarajevo di belakang sana. Pegunungan dengan pesona Balkan yang disepuh salju menghiasi lanskap di sepanjang jalan. Titik-titik salju yang menempel di jendela membuat kaca itu berembun dan kabur. Bus di negara empat musim selalu dilengkapi dengan pemanas ruangan, jadi kamu tidak perlu takut mati membeku saat berkunjung ke negaraku.

Aku menggesekkan kedua telapak tangan, kemudian mendekatkannya ke depan bibir. Sial. Sepertinya tubuhku tidak begitu normal hari ini, dingin yang kurasakan seperti menusuk-nusuk tulang. Beberapa detik aku berusaha mengatasinya, salah satunya dengan merapatkan jaket. Tapi sejauh ini aku malah semakin kedinginan. Tidak ada jalan lain, terserahlah apa respon wanita di sampingku. Dengan tergesa-gesa aku membuka tas, mengeluarkan sebotol kecil wine, kemudian menenggaknya hingga habis.

“Kenapa melihatku begitu?” tanyaku mendapati gadis itu melihatku tidak berkedip.

Ia terkesiap, cepat-cepat mengalihkan perhatian ke layar ponselnya.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Aku menggumam kecil, menutup kembali botol wine yang telah kosong.

“Jawabanku tidak akan merubah apapun.” ucapnya lirih, masih menatap layar ponselnya.

Dia benar. Kebiasaanku yang satu ini tidak mungkin bisa dirubah lagi. Anggur sudah seperti seorang istri bagiku, yang tak mungkin sanggup kutinggalkan. Jika disuruh memilih, apakah aku akan bertahan hidup dengan istri seorang wanita atau anggur, tentu aku tidak akan berpikir apa-apa lagi, anggur di atas segalanya. Kenikmatan wanita bisa kucari, tapi tanpa anggur, aku bisa mati. Ibuku tidak tahu tentang kebiasaanku ini. Selama ini aku hanya minum tanpa sepengetahuannya.

“Kamu membenci laki-laki peminum?”

“Belum pernah ada laki-laki peminum yang mendekatiku, jadi aku tidak tahu apakah aku akan membencinya atau tidak.”

“Padaku?”

Pertanyaan singkat ini keluar begitu saja, tanpa bisa aku menahannya. Kuarahkan wajahku padanya, menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibirnya. Kulihat ia menarik napas dalam, lalu menoleh ke arahku.

“Apakah aku terlihat membencimu?” tanyanya jelas, membuatku kebingungan harus menjawab bagaimana.

“Kamu seorang psikolog?” Pertanyaanku ini keluar tanpa ada hubungan dengan pertanyaannya. Tentu saja.

Dia menggeleng, “Aku seorang penulis.”



6 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...