Sumber: klik di sini |
“Berapa banyak hati yang menanti di dunia
ini? Lalu berapa banyak pula mereka yang kecewa dengan penantian, merenungi
cinta yang mengerikan?”
“Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal itu?”
Aku berusaha tersenyum tipis, mengusap
kepala dengan kedua telapak tangan. Laki-laki yang duduk dengan jarak setengah
depa di sampingku menoleh, pastilah menanti jawaban dari pertanyaannya. Senja
ini kami duduk menghadap selat tenang yang tidak lagi tampak biru, bercerita
tentang apapun sambil mengamati kumpulan camar-camar yang terbang rendah,
sesekali mereka menukik tajam, menyentuh ombak kecil dan menciptakan percikan
putih.
“Aku telah membaca banyak tulisan tentang
penantian yang menyesakkan. Tentang mereka yang berharap tanpa berani
mengungkapkan. Hanya kesedihan dan rasa sakit yang mampu kutangkap dari
tulisan-tulisan itu. Mereka yang menangis setiap senja datang, berharap air
mata mampu menghadirkan cinta dalam sebuah hati di ujung sana.” jawabku sedikit
menoleh ke arahnya yang mendengarkan takzim.
“Kamu sendiri?”
Sesaat aku tersentak dengan pertanyaan
singkatnya, ada sesuatu yang terasa menjatuhi hatiku, sangat berat hingga sulit
rasanya untuk sekadar menarik napas. Tentu saja aku merasakannya, dan
barangkali, inilah mengapa perasaanku turut sakit saat membaca semua tulisan
yang tersiksa itu. Tentu aku tidak akan lupa bagaimana sibuknya aku mengunjungi
jejak-jejaknya, walau sebatas jejaknya yang maya. Lalu bagaimana bahagianya aku
kala memandangi sosok yang tersenyum diam itu, dan hanya memandang saja, tak
sekalipun berani menyapa.
“Tapi kamu tidak pernah paham.” jawabku
akhirnya. Menutupi wajah yang pias, lelah.
“Lalu apa yang bisa kulakukan jika
kudatangi kamu di waktu sekarang? Bukankah kamu telah menulis ratusan catatan
ingin menyelesaikan pendidikan, pengabdian, dan mencukupi segala kebutuhan
keluargamu sebelum waktu itu datang? Aku hanya tidak ingin kamu meleburkan
semua mimpi yang telah kau bangun.”
Langit jauh di depan sana mulai kemerahan,
membawa embusan angin yang lebih kencang dari sebelumnya. Aku tahu dia
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dengan pandangan jauh ke depan,
entah memikirkan apa. Atau mungkin, entah menyembunyikan apa yang tidak
diucapkan, meminta aku kembali membuat perandaian.
“Jawabanmu barusan adalah harapanku. Hanya
saja masalahnya, tak semua dari pemilik tulisan itu menjumpai jawaban terang.
Hanya mampu menerka-nerka, melemparkan banyak tanya, dan semuanya semakin
menyakitkan.”
“Jangan khawatirkan mereka, bukankah cinta
akan menemukan sendiri jalannya? Mereka hanya butuh untuk berbahagia dengan
segala harapan dan ketidak pastian itu.”
“Ya, semoga...” Aku menyambung lirih.
Semoga aku bisa begitu...
Beberapa detik kemudian kami berdiri,
berjalan dengan arah yang berbeda, meninggalkan bangku panjang bercat putih yang
sejak tadi mendengarkan. Matahari sudah merangkak semakin dekat dengan garis di
ujung sana. Kilauan bewarna emas di atas selat itu memang cantik, sekaligus
membuat nyilu.
Duhai hati, sungguh akupun tidak tahu
kalimat apa yang keluar dari lisannya nanti. Di sini kita berteman, bercerita
tentang penantian dan perasaan yang ditahan. Di sini juga kita membuat berbagai
pernyataan, berbagai kemungkinan, yang semuanya hanya berubah pertanyaan.
Semakin menumpuk, dan tidak mengerti kapan akan terjawab.
Bogor, 20 April 2014, 1.39 dini hari
*Untuk siapa saja yang saat ini sedang
berharap, mendoakan, dan menanti dengan kemungkinan tak pasti. Bersabarlah
duhai hati, bersabarlah...Karena setiap musim dingin, akan ada musim seminya...
"...menanti dengan kemungkinan tak pasti..." itulah yang saya rasakan saat ini. Di tempat saya sekarang, negara Yaman, sedang memasuki musim panas.
ReplyDeleteSemoga penantian dan kesabarannya akan berbuah manis...
DeleteJika itu tentang ketidakpastian, maka itulah aku saat ini :)
ReplyDeleteYa, itulah kita Mbak....
DeleteHabis bacanya saya jadi galau.. Tapi benar tuh, setelah musim dingin yang menggigit akan ada musim semi.. In sya Allah :)
ReplyDeleteYa Mbak, menggalaukan hati yang sudah galau memang kesannya. Hehe
DeleteInsya Allah.....
sabar ,kalau sudah waktunya pasti tiba ya :)
ReplyDeleteMakasih kunjungannya Mak Lidya :)
Deletetetap semangat ya kak, semua masalah dan cobaan pasti ada jalan keluarnya ;)
ReplyDeleteIya....semangat juga ya :) makasih...
Deleteaaah, bener banget kak. harus sabar dalam penantian. keep spirit for us :)
ReplyDeleteIya dek......fighting :)
Deletetenang saja...suatu waktu semuanya bakalan terjawab....
ReplyDeletenamun tidak menjamin jawaban yg ada sesuai dengan harapan....
keep happy blogging always...salam dari makassar :-)
Begitulah....Allah tahu apa yang kita butuhkan. :) Salam kembali....
Deletecie ciee... setiap musim dingin, pasti akan ada musim semi...
ReplyDeletesungguh terbayang indahnya
Hihi...makasih ya udah berkunjung :)
DeleteMbak Sofia puitis ya :) hobi baca novel roman ya :p hehe..
ReplyDeleteNggak pernah punya novel roman Mbak, selain roman Islaminya Habiburrahman, Asma Nadia, dan beberapa yg lain. Kalau memang beber puitis, mungkin akibat baca-baca tulisan puitis di blog teman. Makasih Mbak kunjungannya :)
DeleteKalimat penutupnya saya suka. ^^
ReplyDeleteThanks dek :)
DeleteAku gak jemu baca dari awal sampe akhir soff. semuanya aku rasain didalam tulisan ini. hehe. melayang***
ReplyDeleteWah say....jangankan kamu, aku yang nulis aja selalu galau sendiri setiap baca ulang. Makasih ya Shob sudah berkunjung ;)
Delete