Aisiya
melirik jam tangan. Pukul 8.30. Kelas tafsir hadist Mustafa tentu sudah
berjalan sejak 30 menit lalu. Ia sedikit ragu untuk mengetuk pintu ketika
kakinya telah sampai di depan kelas. Setelah membaca basmallah, Aisiya
mengetuknya tiga kali.
Pintu
tersebut ditarik seseorang dari dalam. Dan sosok lelaki muda, mengenakan kemeja
berwarna biru, dasi, juga jas hitam, muncul dengan wajah datar. Tapi kemudian
setelah tahu siapa yang ada di luar pintu, ia menampakkan sebuah senyuman.
“Rahma.
Silakan masuk. Kau boleh duduk di kursi yang kosong. Aku akan menyelesaikan
kelas ini 1,5 jam lagi.”
Aisiya
mengangguk sopan. Selama beberapa detik ia melihat seluruh isi kelas, menimbang
ke mana seharusnya ia duduk. Seluruh siswa di kelas itu memandang padanya
dengan mata bertanya-tanya. Gadis itu jadi salah tingkah.
Mehmet.
Remaja itu. Kebetulan kursi di sampingnya kosong. Aisiya segera menuju ke sana.
“Boleh
aku duduk si sini?” Tanyanya menunjuk satu kursi kosong di samping remaja
Bosnia berambut jagung itu.
“Sure.” Jawabnya disertai senyuman ramah.
Di
depan kelas, Mustafa memperkenalkan siapa Aisiya kepada siswanya. Sebagian
besar menoleh pada wanita Indonesia itu, tersenyum, menyapa hi, atau hanya
sekadar memandang dengan wajah ramah.
Aisiya
mengeluarkan sebuah buku notes kecil lengkap dengan pulpennya ketika Mustafa
melanjutkan penjelasan. Di papan tulis sudah tertulis dengan tinta spidol
beberapa patah kalimat Arab, sementara di tangan pria itu ada sebuah kitab
hadist yang cukup tebal.
“Apa
yang dia jelaskan?” Aisiya bertanya pada Mehmet, menunjuk Mustafa dengan
anggukan dagunya.
“Dia
menjelaskan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Hakim dan Tarmidzi. Ini hadist
tersebut. Kau bisa menyalinnya jika mau.” Mehmet menyodorkan buku tulisnya pada
Aisiya.
Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Apabila ummatku sudah mengagungkan dunia, maka tercabutlah dari mereka
kehebatan Islam. Dan apabila ummatku meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar
(dakwah), maka diharamkan bagi mereka keberkahan wahyu. Dan apabila ummatku
saling mencaci maki satu sama lain, maka jatuhlah mereka dari pandangan Allah
subhanahu wa ta’ala.”
Aisiya
mengangguk-angguk. Untuk sementara ia menyalin hadist yang telah ditulis Mehmet
dengan rapi dalam bahasa Arab dan terjemahan bahasa Inggris. Pemuda ini cukup
cerdas. Padahal Mustafa menerjemahkan hadist tersebut ke dalam bahasa Bosnia,
namun ia berinisiatif sendiri menulisnya dalam bahasa Inggris. Pantas saja jika
ia sama sekali tidak tampak sedikit pun kesulitan saat berkomunikasi dengan Aisiya,
meski sedikit terbata-bata.
Mustafa
terus menjelaskan. Terkadang ia meminta para siswa untuk bertanya, dan semuanya
berlomba-lomba mengacungkan tangan.
“Dia
guru favorit.” Mehmet memberi kode pada Aisiya.
“Apa
yang istimewa darinya?” Aisiya memandang sesaat pada lelaki yang berdiri di
depan papan tulis.
“Bahasa
Bosnia-nya luar biasa. Padahal ia baru satu tahun di sini. Ia hafal Al Quran
sejak usia 9 tahun. Lidahnya bergerak dalam lima bahasa: Turki, Arab, Bosnia,
Inggris, dan Prancis. Dia mengajarkan Quran dan Hadist dengan cara yang berbeda
dari kebanyakan guru. Anda tahu, setiap seminggu sekali, biasanya di sore
Kamis, ia akan membagi siswa laki-laki dalam beberapa kelompok. Satu kelompok
terdiri dari tiga orang. Kami ditugaskan untuk mengetuk pintu-pintu rumah orang
Muslim, kemudian mengajak para lelaki di rumah itu agar menunaikan shalat di
Masjid. Itulah cara Mustafa Hoca melatih kami berdakwah, sekaligus bertazkiah.”
“Apa
itu tazkiah?”
“Tazkiah
dalam Al Quran adalah menyucikan diri atau bisa juga diartikan sebagai cara
untuk membuka hati. Ummat Islam saat ini begitu banyak, tapi mereka tidak
mengamalkan agama. Zaman dahulu, Rasulullah salallahu
‘alahi wassalam dan para sahabat
tidak mengetuk pintu rumah Muslim, melainkan para kafir Qurays. Namun zaman
sekarang tidak sama. Islam sudah menjadi asing bagi penganutnya sendiri. Banyak
Muslim hafal beberapa ayat Al Quran, tetapi mereka tidak shalat. Tahu khamr dan
perjudian adalah dosa, tetapi tetap dilakukan.
Di sinilah pentingnya tazkiah,
yaitu pembersihan hati. Karena Islam ini sangat berat diamalkan bagi mereka
yang hatinya gelap. Orang-orang Islam yang menjalankan sesuatu yang haram,
bukan mereka tidak tahu hal itu haram. Mereka tahu. Namun mereka tidak memiliki
kekuatan untuk mengamalkan agama karena mata hatinya tertutup. Dan di sini pula
pentingnya mendakwahkan Islam dengan cara serupa seperti yang pernah
dicontohkan oleh Rasulullah salallahu
‘alahi wassalam. Dakwah tidak
cukup hanya di Masjid-Masjid, kita perlu mendatangi mereka. Kita para Muslim
harus bergerak, mengamalkan Islam dengan kaffah, barulah kemudian kemuliaan
Islam ini dengan sendirinya akan dilihat oleh non Muslim.”
Beberapa
saat Aisiya tidak bisa berkata-kata. Ia menggelengkan kepalanya. Takjub.
“Wow.
Mehmet. Masya Allah. Semoga Allah merahamatimu. Kau berbicara layaknya da’i
yang sudah berpengalaman bertahun-tahun.” Puji Aisiya.
“Insya
Allah. Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk amar
maruf nahi munkar seperti yang
telah disebutkan dalam hadist ini. Itu artinya setiap Muslim mengemban
kewajiban untuk mendakwahkan agama ini. Dan semoga Allah merahmati Mustafa
Hoca.” Pemuda itu tersenyum. Wajahnya ketara sekali bahwa ia begitu bahagia
sebagai seorang remaja Muslim.
***
Tepat pukul 10 kelas Mustafa
selesai. Ia mengajak seluruh kelas membaca doa kafaratul majelis, kemudian
mengucap salam sebelum akhirnya keluar.
Aisiya mengikuti.
“Apa bahan tulisanmu sudah
cukup?” tanya pemuda itu tanpa melihat Aisiya yang berjalan tidak jauh darinya.
“Masih ada beberapa hal yang
perlu kutanyakan.” Jawab Aisiya sambil berusaha menenangkan hatinya yang sejak
tadi gemetar tidak jelas.
“Kau akan mendapatkan jawaban
seiring dengan berjalannya waktu.”
Mereka terus berjalan tanpa
bicara apapun. Aisiya menunggu aba-aba dari lelaki di depannya mengenai apa
yang harus dilakukan selanjutnya. Apakah lelaki itu akan mengajaknya duduk di
suatu tempat? Di sebuah cafe? Atau mungkin duduk di tepi sungai Neretva yang
masih mengeluarkan uap dingin?
Tiba di depan pintu gerbang, Aisiya
berhenti ketika mereka berpapasan dengan tiga orang lelaki paruh baya. Usia
mereka jauh di atas Mustafa. Mungkin tertaut dua puluhan tahun. Semuanya
berjenggot dan memakai jubah, celana cingkrang, persis seperti orang Arab.
Namun satu hal yang membuat Aisiya takjub, Mustafa menjabat tangan bahkan
memeluk satu per satu lelaki itu dengan akrab. Entah apa yang mereka bicarakan,
Aisiya hanya menangkap ucapan salam atau ungkapan-ungkapan lain seperti masya
Allah, subhanallah, dan sejenisnya.
“Namanya Rahma. Seorang
jurnalis dari Indonesia. Dia akan mengikuti beberapa aktivitasku selama
beberapa waktu ke depan untuk bahan tulisannya. Dan Rahma, mereka adalah guru
sekaligus teman-temanku. Mereka datang dari Turki. Kami akan ke rumahku selama
beberapa saat, kemudian bersilaturrahim ke rumah teman-teman sampai tiba waktu shalat Zuhur.
Kau boleh ikut jika mau.” Mustafa memperkenalkan Aisiya pada tiga orang
temannya tersebut, sekaligus menjelaskan
kegiatannya selama beberapa jam ke depan.
“Selam
aleykum wa rahmatullah. Semoga
pekerjaan Anda menjadi jalan untuk dakwah Islam, sehingga setiap huruf yang
Anda tuliskan akan dihitung sebagai amal ibadah di sisi Allah ta’ala.” Lelaki yang memiliki jenggot paling tebal
melambaikan tangan. Senyumnya tulus.
Dua lelaki lain ikut mengucap
salam.
“Waalaikumussalam
wa rahmatullah. Aamiiin insya Allah.” Jawab Aisiya. Sungguh ucapan lelaki tersebut
menyentuh kalbunya. Sejauh ini, meskipun dirinya yakin telah mengamalkan Islam
sebaik mungkin, tapi ia belum pernah meniatkan pekerjaannya sebagai ladang
dakwah. Sejak kecil ia suka menulis, oleh sebab itu ia bercita-cita menjadi
seorang jurnalis. Semakin beranjak dewasa cita-citanya bertambah untuk mengunjungi
negara-negara di seluruh dunia, dan ia berharap profesi jurnalis bisa menjadi
jembatan. Gayung bersambut. Satu tahun bekerja di Detak.com, ia sudah mendapat
tugas liputan ke Balkan. Kini, di negara yang jauh dari pangkuan Ibu Pertiwi
ini, di negara yang Islam tidak terlihat sesemarak di Tanah Air, ia justru
disadarkan bahwa seharusnya seorang Muslim tidak melupakan tugas dakwah dalam
setiap pekerjaan maupun aktivitasnya. Karena sejatinya setiap gerak dan langkah
seorang Muslim itu sendiri adalah dakwah.
“Apakah tidak masalah jika
aku ikut bersama kalian?” Aisiya serba salah. Biasanya para lelaki yang
berpenampilan seperti ini sangat fanatik mengamalkan Islam, Aisiya khawatir
mereka akan beranggapan dirinya adalah Muslimah yang liar. Lihatlah hijabnya
yang biasa saja. Belum lagi tentang dirinya yang berkeliaran hingga sejauh ini
tanpa mahram.
“Insya
Allah tidak. Kita niatkan semuanya
karena Allah ta’ala.” Sambung seorang lagi dengan wajah ramah. Wajah
mereka selalu tersenyum, meskipun tidak pernah sekali pun menatap Aisiya ketika
bicara. Seandainya pun harus melihat, itu hanya pandangan selintas saja demi
menghormati seseorang yang diajak bicara.
Akhirnya mereka sepakat untuk
langsung menuju rumah Mustafa. Empat orang lelaki itu berjalan beriringan di
depan, sementara Aisiya mengikuti beberapa meter di belakang.
Tidak butuh waktu lama untuk
berjalan kaki, karena rumah tugas Mustafa berada tepat di belakang masjid Gazi
Husrev yang bersebelahan dengan madrasah. Pria Turki 25 tahun itu segera
membuka gembok, kemudian mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk.
Aisiya belum lupa kondisi
ruang tamu ini. Sebuah sofa sederhana berwarna marun, lemari yang penuh berisi
kitab, dan sebuah gambar kakbah yang menggantung di dinding. Tak ada kemewahan
apapun yang ditampilkan.
Tiga orang teman Mustafa
khusyuk berbincang dalam bahasa Turki sementara si tuan rumah menyiapkan
sesuatu di dapur. Aisiya hanya diam mendengarkan. Dia tidak diacuhkan, hanya
saja para lelaki paruh baya ini tidak bisa bahasa Inggris. Jadi mereka
kesulitan untuk berkomunikasi.
Selang lima menit kemudian,
Mustafa datang membawa sebuah nampan besar berisi lima gelas teh dan dua piring
kacang almond sangrai. Jas hitam yang tadi ia kenakan saat mengajar kini sudah
ia lepaskan, tersisa kemeja biru pudar yang begitu serasi dengan warna kulit
dan postur tubuhnya.
“Silakan dinikmati. Maaf
tidak bisa menjamu dengan yang lebih baik dari ini.” Pria Turki berwajah tampan
itu meletakkan satu per satu gelas teh ke atas meja. “Rahma, enjoy your tea. It’s Turkish
tea.” Katanya lagi.
“Thank
you.” Aisiya menjawab sambil
memperhatikan gelas berbentuk tulip yang kini tersaji di depannya. Inilah untuk
pertama kali Aisiya melihat gelas—yang kemudian hari ia tahu—dimiliki oleh
hampir seluruh masyarakat Turki.
Empat orang lelaki itu
kemudian tenggelam dalam sebuah diskusi. Sepertinya tentang agama. Aisiya tidak
paham apapun. Hanya saja menyaksikan Mustafa, lelaki yang masih begitu muda ini
bisa berteman akrab dengan orang-orang yang jauh lebih tua, membuat dada Aisiya
bergetar. Terkadang Mustafa mendengarkan takzim, sesekali mengeluarkan
pendapatnya, dan tak jarang ia tersenyum lebar seraya menundukkan kepala. Ah,
meskipun sekarang musim dingin belum beranjak meninggalkan bumi Bosnia, tapi Aisiya
seperti menyaksikan bunga-bunga yang mememekarkan kuncupnya di sepanjang sungai
Neretva.
“Kami saling menasehati dan
mengingatkan tentang pentingnya zikir kepada Allah.” Ucap Mustafa dengan bahasa
Inggis. Ia tahu Aisiya hanya pura-pura mendengarkan dan tak paham apapun.
“Ibrahim Hoca, “ Ia menunjuk temannya yang paling tua, “Mengingatkan kami
tentang 7 baris kalimat yang pernah diucapkan Ustman bin Affan radhiallahu
‘anhu, yaitu:
1. Aku
heran terhadap sikap orang yang mengetahui adanya maut, tetapi ia masih
tertawa.
2. Aku
heran terhadap sikap orang yang mengetahui bahwa dunia akan kiamat, tetapi
masih mencintainya.
3. Aku
heran terhadap sikap orang yang mengetahui bahwa segala sesuatu berlaku menurut
takdir-Nya, tetapi ia masih berduka cita apabila kehilangan sesuatu.
4. Aku
heran terhadap sikap orang yang mengetahui adanya hisab terhadap dirinya,
tetapi masih menimbun-nimbun harta kekayaan.
5. Aku
heran terhadap orang yang mengetahui adanya api neraka Jahannam, tetapi ia
masih berani melakukan maksiat.
6. Aku
heran terhadap sikap orang yang mengenal Dzat Allah ta’ala, tetapi ia mengingat
sesuatu selain-nya.
7. Aku
heran terhadap sikap orang yang mengetahui adanya surga, tetapi masih mencari
kemewahan hidup di dunia.
Ini nasehat yang luar biasa,
Rahma. Dan hanya bisa diresapi oleh mereka yang mata hatinya terbuka. Ketiga
temanku ini masing-masing punya usaha yang maju di beberapa kota di Turki, tapi
masya Allah kehidupan mereka sangat sederhana. Semoga Allah memberimu
kesempatan untuk berkunjung ke rumah-rumah mereka suatu hari nanti, bertemu
dengan istri mereka yang insya Allah para wanita saliha. Kau tahu Rahma, salah
satu penyebab utama kemunduran ummat Islam saat ini tidak lain disebabkan
karena ummat ini telah berubah menjadi pecinta dunia.
Pada zaman Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam lalu berlanjut ke masa kekhalifahan para sahabat radhiallahu
‘anhum, Islam bukan hebat karena harta dan kekayaan. Namun ternyata ummat yang
terkenal melarat, pakaian bertambal, satu hari makan dan hari berikutnya lapar,
serta bersenjata apa adanya itu mampu menaklukkan dua imperium besar nan
masyhur yang sudah dibangun sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, yaitu
Persia dan Romawi. Dari peristiwa ini kita bisa mengambil satu poin penting
bahwa kunci keberhasilan ummat ini adalah seperti yang dicontohkan oleh
Rasulullah salallahu ‘alaihi
wassalam dan para sahabat rahimakumullah, yaitu dengan tidak memberi ruang sedikit pun
kepada hati untuk mencintai dunia.
Karena apabila sedikit saja
ummat Islam tergiur pada kemewahan dunia, mereka menjadi lalai, mementingkan
diri sendiri, dan kekuatan untuk mengamalkan agama pun menjadi hilang.” Jelas
Mustafa dengan bahasa Inggris-nya yang di atas rata-rata.
“Tapi, Mustafa. Jika kau
pernah mendengar atau berkunjung ke negara-negara Barat, para gelandangan yang paling
banyak ditemui di pinggiran jalan adalah Muslim. Lihatlah saat ini, ummat Islam
kebanyakan hidup melarat sehingga kaum kafir bisa menertawakan sepuas hati.
Zuhud tidak bisa diterapkan lagi di kehidupan modern seperti sekarang. Ini
menurut pendapatku.” Sanggah Aisiya.
Mustafa tersenyum maklum.
“Seandainya ummat Islam bersama-sama menunaikan perintah agamanya, insya Allah
tidak akan ada lagi peminta-peminta. Kau tahu kenapa banyak peminta-peminta itu
adalah Muslim? Karena kebanyakan dari kita sudah tidak peduli lagi pada
saudaranya. Kita sibuk menimbun kekayaan untuk diri sendiri. Padahal
jelas-jelas dalam Al Quran, Allah meminta kita untuk menginfakkan separuh
harta. Bahkan dalam beberapa hadist, kita diminta untuk menginfakkan harta yang
lebih dari yang kita gunakan sebagai kebutuhan. Kau sudah pernah mendengar
kisah Abu Bakar ketika istrinya ingin sekali makan manisan?”
Aisiya menggeleng.
“Ketika itu Abu Bakar telah
menjabat sebagai khalifah sehingga ia sudah tidak bisa lagi berniaga. Kebutuhan
hidupnya sehari-sehari didapat dari Baitul Mal. Suatu hari istrinya ingin
sekali makan manisan. Ia mengungkapkan hal tersebut pada Abu Bakar. Namun Abu
Bakar tidak punya uang selain jatah yang setiap hari didapat dari Baitul Mal.
Akhirnya sang istri meminta izin untuk menyisihkan sedikit demi sedikit uang dari
pembelajaan setiap hari, dan Abu Bakar pun mengizinkannya. Dalam beberapa hari
uang tersebut sudah terkumpul. Istrinya menyerahkan uang tersebut kepada Abu
Bakar untuk dibelikan bahan-bahan manisan. Abu Bakar berkata, ‘Dari pengalaman
ini sekarang saya tahu bahwa, kita mendapatkan gaji yang berlebihan dari Baitul
Mal.’ Oleh karena itulah uang yang dikumpulkan sang istri dikembalikan ke
Baitul Mal dan dia mengurangi gajinya untuk selanjutnya sebanyak yang
dikumpulkan oleh istrinya setiap hari. Apa hikmah yang bisa kau dapatkan dari
kisah ini, Rahma?”
Aisiya diam selama beberapa
saat. Tiba-tiba pikirannya terlempar jauh ke Tanah Air dimana pejabat saling
berlomba memakan uang rakyat, mengumpulkan kekayaan pribadi, sementara si kaya
terus saja khusyuk hidup dalam kemewahan, dan si miskin sibuk pula menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan rupiah, tidak peduli jalan tersebut halal atau
haram.
“Kau benar, Mustafa. Sebab
dari kemunduran ummat Islam saat ini adalah karena kita begitu mencintai dunia,
sehingga mengabaikan hak-hak Allah dan kaum Muslimin.” Kata gadis itu tanpa
menjawab pertanyaan terakhir Mustafa.
“Alhamdulillah atas karunia
Allah yang telah memberimu pemahaman. Perlu kita ingat kembali, Rahma, pada
masa khalifah Umar ibn Khattab, tidak ada lagi satu Muslim pun yang mau
menerima sedekah. Bukan karena hidup mereka berkecukupan, namun karena mereka
merasa cukup atas nikmat Allah. Dalam masing-masing dada ummat tertancap
keyakinan bahwa Yaumil Hisab pasti akan terjadi. Yang dalam sehari hanya bisa
makan satu kali, takut untuk makan dua kali. Mereka takut akan beratnya hisab.
Tapi iman ummat Islam saat ini begitu lemah. Jangankan haqqul yakin tentang
surga neraka dan hisab, kisah-kisah seperti ini saja mereka anggap sebagai
dongeng yang tidak mungkin pernah terjadi.”
***
Pukul 11 siang, lima orang
tersebut meninggalkan rumah Mustafa. Seperti sebelumnya, Aisiya mengambil jarak
beberapa meter di belakang. Diam-diam ia terus memperhatikan keakraban empat
orang lelaki yang berjalan di depannya.
Entah mengapa, ia merasakan
keharuan di dalam kalbu. Melihat empat orang tersebut, ia seperti melihat
sebuah keajaiban Allah yang diturunkan ke bumi. Tiba-tiba matanya kabur. Ia
ingin menangis. Ia rindu kehidupan pada masa Rasulullah salallahu’alaihi wassalam
dan para sahabatnya. Andai saja ia tercipta sebagai sebutir pasir yang ada di
bawah kaki Muhammad salallahu’alahi wassalam, tentu hal itu akan seribu kali
lebih baik daripada kehidupannya saat ini. Mengenggam iman di abad ini terasa
bagaikan menggenggam bara api. Mengamalkan agama sesuai sunnah dianggap aneh
dan bahkan disesatkan.
Apa yang tersisa dari
masyarakat saat ini adalah saling memuji dan bangga apabila mereka berhasil
membangun rumah paling besar, perhiasan paling indah, kendaraan paling mahal,
dan seterusnya. Seolah semuanya lupa bahwa hidup hanyalah sekedip mata. Hari
ini muda, tak terasa esok telah senja. Hari ini sehat, esok terbaring tak
berdaya. Mereka terus berkata satu sama lain bahwa ‘Life is a journey’, tapi di
sisi lain mereka tak memperlakukan hidup itu layaknya perjalanan yang memiliki
tujuan.
Mereka terus berjalan
melewati pasar Bascarsija yang kini padat. Tak hanya masyarakat lokal, pasar
ini juga menjadi magnet bagi turis Mancanegara yang berkunjung ke Sarajevo.
Barang-barang yang dijual di pasar ini, mulai dari sayur-mayur, buah-buahan,
pernak-pernik, pakaian, hingga karpet, semuanya menjelma warna-warni yang indah
dipandang mata.
Tak jarang Aisiya mendapati
wajah-wajah jelita Muslimah Bosnia dalam balutan kerudung yang trendi. Mereka
hilir mudik pasar untuk sekadar jalan-jalan atau berbelanja. Tak ada lagi wajah
sedih atau berkabung, mengisyaratkan bahwa Muslim Bosnia kini telah bangkit
dari luka peperangan. Meski kenangan pahit akan kehilangan orang-orang
tersayang maupun tempat tinggal itu tak pernah bisa pergi dari ingatan, namun
hidup harus terus berlanjut. Karena hakikatnya, hidup adalah tentang menanti
giliran. Cepat atau lambat, masing-masing akan menghadap Sang Pencipta. Segala
sesuatu adalah amanah yang Allah titipkan. Dan bagi mereka yang mafhum akan hal
ini, tentu kehilangan tidak akan pernah memadamkan semangat yang tertancap di
dalam dada.