Thursday, 5 January 2017
Sunday, 1 January 2017
(Cerpen) Kisah Cinta dari Andalusia
Hari sudah merangkak menjelang siang. Saat seorang laki-laki
duduk di atas kuda putih kesayangan sambil menyusuri jalanan berkerikil di
antara kebun anggur yang subur. Namanya, Ahmad Abu Walid. Seorang pengembara
yang tidak jelas asal usulnya. Ia berkelana dari desa satu ke desa lain, dari
negeri satu ke negeri lain.
Laki-laki itu mengenakan topi terbuat dari sorban yang
melilit di kepala. Soal rupa, usah ditanya. Hampir tidak terlihat bentuk hidung
dan bibirnya karena tertutup jambang yang sangat semak dan tak terawat.
Dua-tiga orang yang berpapasan selalu menatap aneh hingga kepala mereka memutar
ke belakang. Ada khawatir yang menggelayut di hati para penduduk itu, takut
laki-laki itu penyamun, orang jahat, atau apalah.
Ahmad Abu Walid, dibalik topi yang sudah tidak jelas warna
aslinya itu ia menatap hamparan desa baru yang membentang indah di depan. Belum
pernah ia memasuki sebuah desa sesegar ini. Rambatan anggur dengan buahnya yang
segar bergelayutan. Petani-petani dengan pakaian indah memetik buah-buah yang
telah masak, mengumpulkan ke dalam keranjang-keranjang rotan. Ia membiarkan
kudanya berjalan lambat, berirama pada setiap langkah yang menapak di atas
kerikil.
Kuda putih yang ia tumpangi berhenti, tentu saja atas
perintah laki-laki yang menjadi tuannya. Seorang gadis memanggil-manggil.
Laki-laki itu memperhatikan dari balik topi. Gadis dengan baju lusuh penuh
tambalan. Topi lebar yang ia pakai pun sobek di sana sini. Wajahnya dipenuhi
penyakit kulit yang memberikan kesan buruk rupa.
“Tuan, saya menjual susu domba segar. Sudikah tuan membelinya?” Tawar gadis itu sambil menunjukkan keranjang yang hanya dipenuhi lima botol susu.
Lama laki-laki menjawab. Sengaja membuat gadis itu menunggu.
“Saya akan membeli semuanya.” Ucap laki-laki itu yang membuat gadis penjual susu terperanjat kaget sekaligus bahagia. Segera ia memasukkan lima botol susu miliknya ke dalam kantung dari kulit domba, lalu menyerahkan kepada pembeli yang duduk di atas kuda. Sebagai imbalan, gadis itu menerima sepuluh keping uang Andalusia.
Laki-laki itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan sang
gadis yang memandang hingga hilang di kejauhan. Kini ia memasuki kawasan
rumah-rumah penduduk desa itu. Rumah-rumah yang begitu indah dengan bunga-bunga
bugenvil aneka warna yang berbunga lebat. Masing-masing rumah juga memiliki
kereta kuda.
“Keindahan yang sungguh memikat.” Ucapnya tidak mampu
menyembunyikan kekaguman. Ia sudah singgah di banyak negeri, melihat puluhan
kastil, namun tak ada yang terlihat sesempurna ini di matanya. Di tengah
kesibukan mengagumi rumah-rumah itu, sebuah kereta kuda berlalu di sampingnya. Laki-laki
itu mengalihkan perhatian, mengamati wajah samar di balik tirai tipis yang terpasang
di jendela kereta kuda. Wajah seorang wanita jelita. Dengan kesal laki-laki itu
menghempaskan tangan di atas kepala kudanya, hingga hewan itu meringkik, karena
ia tak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas. Meskipun begitu ia tetap
duduk diam di atas kudanya, memandangi kereta kuda yang membawa si jelita hingga
hilang di ujung pandangan.
Laki-laki itu tetap berjiwa pengelana. Walau desa indah itu
sempurna memikat hati, ia tetap melanjutkan perjalanan. Malam harinya ia sudah
berada beratus-ratus kilo dari desa indah yang ada di Andaluasia. Ia menyewa
kamar dengan harga murah, sekadar untuk istirahat lalu besok kembali menyusuri
jalan-jalan yang berdebu di musim panas. Ahmad baru memejamkan mata beberapa
puluh menit ketika sebuah mimpi singgah dalam lelapnya. Ia melihat seorang
gadis dengan kecantikan seperti para peri. Kecantikan tiada bandingan dan
terlihat sangat jelas. Mata bulat bercahaya, alis hitam yang terlukis sempurna,
dagu menggantung, dan bentuk wajah berbentuk bulat telur. Wanita itu juga
mengenakan selendang di atas rambut, menciptakan sihir yang tidak terceritakan.
“Aku di sini untuk melengkapimu, Tuan Ahmad Abu Walid.” ucap wanita itu seraya
tersenyum. Anehnya, laki-laki itu seolah
tak punya suara untuk sekedar menanyakan nama si gadis. Hingga ia perlahan
hilang bersama kabut yang semakin mengecil. Sambil menggapai-gapai, ia terus
memanggil-manggil si gadis hingga terbangun dari mimpi.
Mimpi yang membuatnya gundah. Wajah gadis itu masih tersisa
jelas, juga suaranya yang terus terdengar. Ahmad keluar dari kamar sempit, menaiki
kuda menuju puncak bebatuan. Ia pandangi malam dengan kerlip lampu desa-desa di
bawah sana sambil mencoba melupakan wajah si gadis dalam mimpi.
Pagi-pagi sekali Ahmad sudah jauh meninggalkan desa
tempatnya bermalam. Begitu terus, hingga waktu membawanya ke musim panas
kembali. Ia sudah memiliki uang cukup banyak di kantung, hasil dari bekerja di toko
sepatu milik orang Moor. Ia bisa menggunakan uang itu untuk lima bulan
perjalanan. Tapi, entah mengapa. Sejak ia melihat gadis jelita dalam mimpinya,
laki-laki itu menjadi aneh. Ia memiliki kesenangan untuk selalu menatap malam,
merenungkan banyak hal. Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada gadis yang datang
dalam tidurnya? Begitukah yang dilakukan setiap laki-laki apabila mereka sedang
merindukan wanita pujaannya?
Entah mengapa pula, musim panas membawa angin rindu dari
desa indah yang tertinggal begitu jauh di belakang. Meski sudah berulang kali
mencoba menahan kata hati yang mendesak-desak, pada akhirnya Ahmad menyerah. Firasat
mengatakan bahwa gadis jelita yang ada dalam mimpinya adalah gadis yang ada di
balik tirai kereta kuda yang pernah ia lihat. Mungkin ini petunjuk Tuhan.
Jadilah, walau sudah beratus-ratus kilometer desa itu
tertinggal di belakang. Laki-laki itu memutuskan memutar arah. Sama seperti
pertama kali datang, ia tetap bersama kuda putih kesayangan. Tapi sekarang,
pakaian yang ia kenakan tak sekusam dulu. Ia membeli beberapa pakaian di tengah
perjalanan. Cinta membuatnya ingin terlihat lebih baik. Walau ia tak tahu,
apakah cinta itu memang ada di desa yang kini didatanginya untuk kedua kali.
Tak ada perubahan pada desa itu, tidak seperti dirinya yang sedikit mau
berubah. Begitu juga dengan penduduk yang berpapasan dengannya. Mereka tak
sekali pun mau tersenyum. Mungkin karena wajah laki-laki itu masih menyeramkan.
Tapi mereka tak lagi memandangi hingga wajah mereka memutar ke belakang. Hey, itu
sebuah perubahan.
“Tuan! Tuan dengan kuda putih!”
Ahmad menghentikan kudanya, masih di tempat yang sama
seperti setahun yang lalu, tempat ia membeli lima botol susu domba. Laki-laki
itu menunggu sang gadis mendekati kudanya sambil mengamati dari balik topi.
Mencari perubahan.
Sayang, tak ada perubahan sama sekali. Tak ada sedikit pun, gadis
itu tetap berpakaian kumal dan memiliki wajah yang buruk, hal itu membuat Ahmad
kecewa. Seharusnya setiap orang akan
lebih baik dari waktu ke waktu.
“Saya senang Tuan kembali ke desa ini. Sudikah Tuan membeli susu-susu domba ini?” Tawar sang gadis buruk rupa sambil memperlihatkan botol-botol susu yang kini berpuluh-puluh jumlahnya. Sang laki-laki tersenyum di balik jambang lebat. Peningkatan jumlah botol susu? Hey, ini sebuah perubahan.
“Tentu saja. Saya akan membeli semuanya” Ia berseru, membuat si gadis begitu senang. Dengan cepat ia membungkus botol-botol susu dan menyerahkan kepada Ahmad. Sebagai imbalan, laki-laki itu memberi sekantung uang Andalusia.
“Ini terlalu banyak, Tuan.”
“Ambil saja.” Kata sang laki-laki lalu segera memacu kudanya berlari kencang.
“Tuan! Boleh saya mengetahui nama Anda?!!!” Teriak sang gadis.
“Ahmad Abu Walid!!!” Jawabnya terdengar samar bersama kepulan debu.
Tujuan laki-laki itu datang kembali ke desa ini belumlah
terpenuhi, karena itu ia memacu cepat kudanya menuju rumah-rumah penduduk yang
semakin indah, berharap bisa melihat wajah gadis jelita yang ada di dalam
kereta setahun lalu. Ia menunggu di atas kudanya yang diam, mengamati setiap
kereta kuda yang lewat.
Namun hingga matahari mulai merendah ke Barat, yang dinanti tak kunjung menampakkan wajah. Ia tak kecewa, terus setia menanti. Tak beberapa lama, ia melihat sosok gadis itu. Bukan lagi di dalam kereta kuda, melainkan di depan sebuah rumah. Ia terlihat begitu anggun dari kejauhan. Semakin yakinlah laki-laki itu bahwa si gadis jelita yang hadir dalam mimpinya adalah gadis yang kini dilihatnya. Gadis itu membawa keranjang di tangan lalu memetik beberapa buah apel yang merah di halaman rumah. Baru saja Ahmad berniat turun dari kuda untuk mengajak gadis itu berkenalan, si gadis sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Dan niat itu pun urung ia lakukan.
Namun hingga matahari mulai merendah ke Barat, yang dinanti tak kunjung menampakkan wajah. Ia tak kecewa, terus setia menanti. Tak beberapa lama, ia melihat sosok gadis itu. Bukan lagi di dalam kereta kuda, melainkan di depan sebuah rumah. Ia terlihat begitu anggun dari kejauhan. Semakin yakinlah laki-laki itu bahwa si gadis jelita yang hadir dalam mimpinya adalah gadis yang kini dilihatnya. Gadis itu membawa keranjang di tangan lalu memetik beberapa buah apel yang merah di halaman rumah. Baru saja Ahmad berniat turun dari kuda untuk mengajak gadis itu berkenalan, si gadis sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Dan niat itu pun urung ia lakukan.
Saat langit Barat mulai menyemburkan warna merah, Ahmad kembali
melanjutkan perjalanan. Pertemuan tadi sudah cukup sebagai bekal hingga
kunjungan tahun depan. Melihat sekilas sosok gadis itu sudah cukup baginya
sebagai teman perjalanan. Kali ini tidak ada lagi cerita tentang perjalanan
jauh, juga tidak ada negeri-negeri baru yang sangat ingin ia lihat, karena Ahmad
sudah bertekad akan bekerja keras, mengumpulkan uang, membangun rumah indah
lalu melamar gadis pujaannya.
Sejak hari itu, ia memulai usaha sebagai penjual pakaian.
Satu bulan pertama, usahanya masih biasa saja. Dua bulan kemudian, ia mulai
memikirkan ide-ide baru untuk desain pakaian yang dijual. Karena pengalamannya
bekerja di toko sepatu, kini pada bulan keempat usaha pakaian itu sudah begitu
maju. Apalagi ia pandai berbicara dalam berbagai bahasa negeri lain, semakin
banyaklah pembeli yang mendatangi tokonya. Para pembeli itu berasal dari
kalangan bangsawan dan orang-orang istana.
Memasuki bulan kesepuluh, nama laki-laki itu terkenal di
seluruh pelosok negeri. Kekayaan yang dimiliki tak ternilai jumlahnya. Ia sudah
membangun rumah yang memiliki keindahan mengalahkan istana yang ada di
negerinya. Meskipun di tengah kesibukan mengurusi usaha pakaian, ia tetaplah
merasa sepi. Setiap malam matanya tertuju pada langit gelap, berbintang, bulan
sabit, hingga bulan penuh. Menghitung hari agar cepat sampai pada musim panas. Hingga
akhirnya, waktu membawa Ahmad kembali pada kunjungan ketiga di desa yang sudah
memikat hatinya. Ia sudah menyiapkan semua yang harus disiapkan.
Hari sedang merangkak mendekati siang saat itu. Saat seorang
laki-laki duduk di atas kuda putih kesayangannya. Soal rupa, tidak usah
ditanya. Wajahnya sungguh tampan tanpa jambang semak seperti dulu. Pakaiannya
indah tiada tara, ia lebih memesona dari pangeran-pangeran yang dimiliki
seluruh negeri. Setiap penduduk yang berpapasan dengannya pasti tersenyum lebar
sambil menganggukkan kepala, memberi penghormatan. Dialah Ahmad Abu Walid.
Ahmad berhenti, masih di tempat yang sama sepeti setahun dan
dua tahun yang lalu. Tempat ia membeli susu domba kepada seorang gadis buruk
rupa. Tapi, kali ini laki-laki itu berhenti tanpa panggilan dari sang gadis. Ia
berhenti karena merasa seperti ada yang tidak sempurna pada kunjungannya kali
ini. Ia diam di atas kuda, menunggu sang gadis penjual susu datang. Mungkin
kali ini gadis itu terlambat. Hingga tiga jam kemudian, sang gadis belum juga
menampakkan sosoknya.
Ia memutuskan melanjutkan perjalanan menuju rumah-rumah
penduduk. Hingga sampailah ia di depan rumah gadis jelita yang ia kasihi.
Halaman rumah itu dipenuhi rangkaian bunga di sana-sini. Orang-orang
berpasang-pasangan berdansa dengan gaun-gaun pesta yang indah. Sang laki-laki
mulai memiliki firasat tidak nyaman. Ia memanggil seorang penduduk.
“Pesta apakah ini?” tanyanya.
“Pernikahan gadis tercantik desa ini. Lihatlah, mereka pasangan yang sempurna.” jawab laki-laki separuh baya yang Ahmad tanyai sambil menunjuk sepasang pengantin di tengah para tamu. Wanita jelita itu? Dia semakin jelita dengan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya.
Mendapati kenyataan itu, bagai terhempas ke jurang rasa
sakit yang mendera hati Ahmad. Semua usaha yang sudah ia lakukan seakan hancur
bertumpuk di dasar jurang yang dalam. Laki-laki itu melihat sekilas pada
pasangan pengantin yang ditunjuk penduduk tadi, ya... memang pasangan yang
sempurna. Kini, tinggallah penyesalan yang tersisa di hatinya. Andai saja ia
lebih berani setahun yang lalu. Andai saja ia tidak perlu menunggu musim panas
untuk melamar gadis itu. Andai saja. Andai saja. Andai saja.
Ia melanjutkan perjalanan tanpa semangat, memutuskan ini
adalah kunjungan terakhirnya di desa itu. Tak ada lagi yang diharapkan. Ia
kembali pada kesibukan mengurusi bisnis pakaian. Kini tokonya telah membuka
cabang di berbagai tempat. Banyak bangsawan yang menawarkan putri mereka, namun
tak satu pun bisa menarik hatinya. Ia telah memiliki segalanya, tapi tak
kunjung merasa bahagia. Setiap malam ia tetap bermain dengan wajah jelita itu,
membayangkannya di tengah hembusan angin malam yang datang dari lembah-lembah.
Begitu terus yang dilakukan Ahmad hingga musim panas kembali datang. Aneh, rasa
rindu pada desa itu kembali hadir bersama aroma musim panas, membuatnya tak
mampu menepati janji. Keesokan hari, ia memacu kudanya kembali ke desa itu.
Entah ada apa di sana sehingga rindu itu selalu datang. Hatinya tertambat di
sana, di antara kebun-kebun anggur yang subur.
Kembali ia berhenti sejenak di tempat ia biasa membeli susu
domba. Entah kemana gadis itu. Mungkin ia telah pergi meninggalkan dunia yang
menyakitkan ini. Laki-laki itu menambatkan kudanya di pagar, ia duduk merenung
di bawah pohon zaitun sambil memandangi kebun-kebun. Saat resahnya benar-benar
berada di ujung kesanggupan, saat itulah seorang laki-laki tua menghampiri,
mengulurkan setangkai anggur masak.
“Seharusnya engkau tidak boleh bersedih karena cinta, Nak. Jangan terlalu merasa memiliki sesuatu jika kamu tidak mau merasakan sakitnya kehilangan sesuatu. Anggaplah semua yang diberikan padamu hanya titipan, perlakukan ia sebagaimana titipan, kamu merawatnya, menyayanginya sebatas titipan. Hingga jika ia pergi darimu, tak berlarut-larut lukamu. Kamu hanya bersedih karena merasa belum sempurna menjaga titipan itu. Cinta sejatinya kidung kebahagiaan yang membuatmu terus memperbaiki diri untuknya. Lepaskanlah... Jika ia adalah cinta sejati, ia akan pulang ke rumahnya pada waktu yang tepat.” Nasehat si laki-laki tua hingga membuat Ahmad meneteskan air mata tanpa sadar. Ia mengangkat kepala, ingin mengucapkan terimakasih untuk nasehat tak ternilai yang baru saja didengar. Anehnya, tak ada seorang pun di sampingnya. Laki-laki tua itu hilang seperti terbawa angin.
Maka mulai saat itu, Ahmad mulai belajar menunaikan nasehat
laki-laki tua. Ia bertekad akan melepaskan cinta di hati dan menanti siapakah
yang akan dititipkan kepadanya. Dengan tersenyum ia melanjutkan perjalanan.
Berhenti beberapa detik di depan rumah yang mengadakan pesta setahun yang lalu.
Mungkin gadis itu sedang hamil tua saat ini atau mungkin sudah memiliki seorang
anak berumur dua bulan. Laki-laki itu tersenyum, mengabarkan bahwa ia telah
menerima takdirnya. Ia kembali memacu kuda, menikmati perjalanan dengan
melewati jalan yang berbeda dari biasa diambil. Tiba-tiba saja jiwa
petualangnya kembali datang, ia rindu pada tempat-tempat baru.
Di tengah perjalanan, ia tertarik melihat sebuah restoran
yang ramai. Ia turun dari kuda lalu segera masuk ke restoran yang sudah menarik
perhatiannya. Semua orang yang duduk di sana memberi penghormatan padanya. Sungguh,
ini adalah restoran dengan keindahan
tiada tara. Menariknya, tak hanya orang-orang berpakaian indah yang menikmati
hidangan di sana, melainkan para petani dan pedagang biasa pun ramai yang
singgah untuk menikmati hidangan.
“Tuan, saya senang Anda berkenan singgah kemari. Anda ingin memesan makanan apa?” Sapa seorang gadis dengan pakaian pelayan yang indah. Sang laki-laki mengenali suara itu. Suara yang sama seperti yang didengar dalam mimpi. Ia segera berdiri, memandang wajah gadis yang ada di hadapannya. Benar saja. Dialah gadis itu, gadis yang pernah dilihat dengan jelas di dalam mimpinya. Gadis yang memiliki kecantikan luar biasa.
“Siapa namamu?” Tanya sang laki-laki.
“Maryam Al Arudia.” Jawab gadis itu dengan wajah heran.
“Namaku Ahmad Abu Walid. Sudah lama aku mencarimu.”
“Ahmad Abu Walid? Tuan, benarkah itu dirimu? Anda yang beberapa tahun lalu membeli semua susu domba yang saya jual?”
Sang laki-laki sungguh tak menyangka jika gadis yang selama
ini ia rindukan adalah sang gadis penjual susu. Ia melihat kembali gadis itu
dari bawah hingga ujung kepala. Gadis dari bangsa Moor dengan kain yang
menutupi rambutnya, hanya wajah cantiknya yang terlihat. Memang benar, itu
adalah gadis penjual susu. Kini ia tak lagi menderita penyakit kulit seperti
dulu.
“Tuan Abu Walid, saya selalu menunggu kedatangan Anda. Saya ingin berterimakasih kepada Anda. Berkat uang yang Anda berikan, saya bisa membeli obat yang menyembuhkan penyakit kulit yang saya derita, lalu membangun restoran ini. Semua orang tidak lagi jijik melihat saya sehingga restoran ini cepat berkembang. Terimakasih, Tuan.” Ucap gadis itu sambil menunduk memberi penghormatan.
“Tak perlu berterima kasih. Aku memikirkanmu sepanjang hari, Maryam.” Ucapnya berterus terang, membuat gadis itu membelalakkan mata, mencari-cari arah pembicaraan laki-laki di depannya.
Tanpa berniat membuat Maryam menunggu, Ahmad melanjutkan kalimatnya. “Aku jatuh cinta padamu. Maukah kamu menikah denganku?” Ia berucap dengan bibir bergetar dan kepala tertunduk.
Maryam menutupi wajah dengan kedua tangan, menjerit kecil. “Saya mencintai Anda sejak pertama kali memanggil Anda tiga tahun yang lalu.”
“Mengapa tidak kamu katakan hal ini sejak dulu?”
“Tidak, tidak akan saya lakukan. Saya yakin, Anda tidak akan memiliki perasaan yang sama jika saya mengatakannya saat itu. Saya merelakan Anda melanjutkan perjalanan, karena cinta sejati akan pulang ke rumahnya. Dengan begitu, saya memiliki waktu untuk memperbaiki diri. Saya yakin, semakin baik diri saya, semakin baik pula laki-laki yang akan dititipkan kepada saya hingga saya pantas untuknya dan ia pun pantas untuk saya.”
Sang laki-laki semakin mengagumi bijaknya gadis itu.
Ucapannya mengingatkan kepada laki-laki tua misterius yang memberinya nasehat
di kebun anggur, di bawah dahan-dahan zaitun.
“Aku laki-laki ke berapa yang datang melamarmu?” Tanya Ahmad sambil tersenyum bercanda.
“Ke-39.” Bisik Maryam malu-malu. “Tapi Anda tetap yang pertama di hati saya.” Tambahnya dengan senyuman indah.
Ke esokan harinya, digelarlah sebuah pesta pernikahan yang
begitu indah. Seluruh penduduk diundang termasuk pasangan yang menikah setahun
yang lalu. Pernikahan yang sempurna indah dan memberikan satu pelajaran
berarti, bahwa cinta yang sejati akan datang pada mereka yang saling
memantaskan diri. Di waktu yang tepat.
Ditulis sekitar 2 tahun lalu
Saturday, 31 December 2016
Sarajevo to Mostar, Bosnia & Herzegovina [Fiction]
Pesawat Turkish
Airlines yang kita tumpangi mendarat tidak begitu halus di Sarajevo International
Airport, bandara terbesar sekaligus tersibuk di Bosnia Herzegovina. Tiket yang kita beli
dari salah satu website booking adalah tiket penerbangan langsung menuju
Sarajevo, tidak harus transit terlebih dahulu di Wina, Austria.
Dua jam dua
menit selama penerbangan kuhabiskan dengan memandang keluar jendela, pada
awan-awan tipis yang melayang. Seolah mereka tercipta hanya untuk terbang bebas
tanpa beban. Dan jika sudah sampai waktunya, mereka akan berubah dalam wujud
lain berupa tetes hujan atau salju yang meluncur menuju bumi, kembali menemukan
sebuah kehidupan baru.
Perangkat hiburan yang
disediakan di depan kursi tidak kusentuh sama sekali. Kamu pun begitu. Sejak tadi—kuperhatikan—kau
justru lebih sibuk membaca buku yang kau bawa dari Tanah Air. Kita hanya
sesekali berbicara, selebihnya lebih banyak terisi oleh deru mesin pesawat.
“Zdravo. Dobro jutro.
Welcome in Sarajevo International Airport. Thank you for chose a flight with us.” Seorang pramugari yang berdiri melepas kepergian penumpang di pintu kabin
menyapa, ucapan yang sama untuk penumpang lainnya. Senyum dan bentuk wajahnya
khas Turki, sangat cocok dipadukan dengan seragam biru donkernya.
Angin musim dingin
menyambut kita begitu keluar dari pesawat. Tidak ada perbedaan yang kontras
antara Turki dan Bosnia Herzegovina, suhu yang tidak jauh berbeda dan waktu
yang hanya memiliki selisih satu jam.Ini adalah kali pertama aku menginjakkan
kaki di bandara ini.
Dulu selama perang 1992-1995, penerbangan umum ditutup
sementara waktu dan hanya dipakai untuk kegiatan kemanusiaan, seperti
mengantarkan bantuan-bantuan dari seluruh dunia untuk korban perang. Bandara
ini baru kembali beroperasi normal satu tahun setelah perang usai.
Kita berjalan
mengikuti lorong yang mengantar menuju conveyor dan petugas pemeriksaan.
“Hvala (thanks)” ucapmu dengan bahasa Bosnia setelah petugas imigrasi
laki-laki yang memeriksa paspormu.
“Da li govorite
bosansky? Odakle ste? (Apakah bicara bahasa Bosnia? Dari mana asalmu?)” Wajah petugas itu terlihat semangat
“Razumijem bosansky,
just little. (Aku bisa sedikit)”Jawabmu dengan memberikan sedikit senyuman, kemudian
berlalu meninggalkan mejanya. Aku sendiri kaget saat mendapati kamu mengerti
sedikit bahasa Bosnia.
“Kau tahu, bandara ini telah
menerima beberapa international award.” Aku berseru sambil melihat kembali ke
arah pintu bandara.
“Baguslah.” Kau merespon pendek.
Seperti kebanyakan bandara internasional, pastinya di terminal
keberangkatan dan kedatangan penerbangan internasional selalu dipenuhi dengan
wajah-wajah antarbangsa. Sekumpulan turis berwajah Cina terlihat baru keluar
dari pintu exit bangunan bandara, wajah senang jelas sekali tergambar dari
wajah mereka. Aku sudah hapal dengan kebiasaan orang Cina, mereka tidak pernah
kehabisan suara. Selalu saja berisik ketika berbicara dengan sesama mereka. Seketika
mereka mengerubungi seorang laki-laki separuh baya yang membawa kertas
bertuliskan sesuatu di depan dadanya. Kemungkinan besar ia adalah tour guide yang akan memandu perjalanan
para turis Cina itu.
Seorang laki-laki menghampiri. Dengan bahasa Bosnia ia menawari kita untuk
naik ke taksinya. Aku tidak mau berpikir lama, ditambah udara yang semakin
menusuk tulang, langsung saja kuterima tawarannya. Koper kecil di tanganku
seketika berpindah tangan, supir yang kuterka berumur lima puluh itu mengangkut
ke bagasi taksinya. Senyum ramah tetap tersungging di bibir laki-laki tua itu ketika
ia mempersilakan kita masuk ke dalam taksi.
Mobil kuning yang masih cukup bagus itu bergerak meninggalkan bandara.
Salju tipis turun tapi masih jarang-jarang. Setelah mengucapkan selamat datang
dan menanyakan tujuan kita, supir tua itu mengarahkan mobilnya melewati jalan Brace Mulic, kemudian Belok kiri menuju Senada Poturka Sencija. Berdasarkan
penuturannya, ada tiga rute yang bisa ditempuh dari bandara menuju stasiun bus
di tengah kota Sarajevo. Tidak ada perbedaan jarak tempuh yang signifikan di
antara ketiga rute itu. Semuanya tidak memakan waktu lebih dari 20 menit.
Mobil terus
melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Ada getaran halus menyusup dalam
dadaku, mencipatakan keharuan yang indah.
Sarajevo, tidak pernah terbersit
dalam pikiranku untuk mendatangimu, bahkan dahulu semua ini hanyalah mimpi.
Kini kota
ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi bangunan-bangunan hancur dengan asap
membumbung tinggi. Tak ada tank-tank chetnik yang berjalan serupa monster yang
mengejar mangsanya. Tak ada barisan setan yang menembaki penduduk. Tak ada
jeritan luka wanita dan anak-anak. Tak ada air mata yang meleleh dari sudut
mata laki-laki ketika dipisahkan dari anak istrinya. Tak juga terdengar dentuman-dentuman
yang menakutkan dari segenap penjuru kota.
Sekarang
kota ini adalah tempat yang aman, yang indah, dan menyihir. Air mata dan darah
penduduk yang terbunuh bertitah pada bumi untuk menumbuhkan keindahannya.
Aku melihat
bangunan di sepanjang jalan. Beberapa bangunan seperti Masjid tetap terlihat
seperti dulu, bergaya Ottoman dengan menara-menara runcingnya. Gedung-gedung
yang dulu hancur akibat perang telah direkonstruksi kembali sedemikian rupa. Beberapa
bangunan masih mempertahankan keadaan aslinya sebagai peninggalan sejarah.
Tidak bisa dipungkiri, sejak perang 1992-1995, Bosnia identik dengan negara
yang menyeramkan karena dipenuhi sisa-sisa perang. Tidak banyak yang mengetahui
keindahannya. Bahkan sebagian orang menganggap kunjungan ke Bosnia tidak
ubahnya kunjungan ke kota kelam yang berhantu. Tetapi kini bisa kupastikan,
ketika seseorang menginjakkan kaki di atasnya, ia akan terpukau dengan pesona
Bosnia. Pesona semenanjung Balkan seperti yang ada dalam tulisan dan lukisan ada
di sini, di Bosnia.
“Jika kita
terus mengikuti jalan ini, kemudian berbelok tiga kali, sampailah nantinya di
jalan Zelenih Beretki.
Biasanya itu adalah titik pertama Sarajevo yang dikunjungi oleh turis
mancanegara.” Supir tua itu menjelaskan ketika kita melaju di jalan Zvornicka. Telunjuknya
menunjuk kecil ke depan.
“Di sana
memang indah. Kita bisa berjalan-jalan di pinggir sungai Miljacka, lalu menyeberanginya
melewati jembatan Latin dan melihat-lihat Museum Sarajevo 1878-1918.”
Sambungmu dengan suara datar.
Aku jadi teringat salah satu sahabat
asal Bosnia yang bernama Elma Izetbekovic. Kami berkenalan di Jakarta. Waktu itu
dia datang ke Indonesia untuk sebuah persentasi paper di Universitas Indonesia.
Elma pernah bercerita mengenai masa kecilnya di Sarajevo, terutama tentang masa
kecilnya di area Zelenih Beretki.
“Dulu masa kecil kami di Sarajevo, aku
juga sering menyusuri sungai Miljacka dengan sepeda. Area Zelenih Beretki adalah salah satu
tempat kegemaranku untuk menghabiskan waktu libur. Jembatan Latin yang tiangnya
berbentuk lengkungan-lengkungan itu tidak pernah membosankan untuk dipandang.
Dan jika sudah lelah, aku akan masuk ke museum Sarajevo 1878-1918atau
yang dikenal dengan museum Austria-Hongaria. Disebut begitu karena memang
museum itu bercerita tentang masa kedudukan Austria-Hongaria di Sarajevo,
selama periode 1878-1918. Tempat terbunuhnya Franz
Ferdinand yang memicu perang dunia pertama pun diduga terjadi di area itu.” Suara
Elma seperti menggema di telingaku, membuatku tersenyum.
Mobil meninggalkan
jalan Zvornicka, berbelok ke kiri memasuki jalan Hamdije Cemerlica. Di trotoar
jalan yang mulai dilapisi salju, tampak para wanita Bosnia yang berjalan dengan
plastik-plastik belanja di tangan. Kini para wanita Bosnia banyak yang mengenakan
kerudung. Dulu, ketika Bosnia masih berada dalam federasi
Yugoslavia, semua hal yang berbau agama tidak boleh diperlihatkan. Masjid-Masjid sepi seperti kuburan. Keadaan itu berbanding terbalik
pasca perang Bosnia, pengalaman pahit selama periode perang sepertinya membawa
para Bosnian pada kesadaran, ditambah lagi dengan syiar Islam yang digemakan
oleh para mujahidin antar bangsa yang membantu Bosnia.
“Lihat para
gadis kami, mereka cantik-cantik, bukan?” tanya Pak Supir.
Aku
membenarkan.
Taksi terus
melaju selama beberapa menit, kemudian berhenti tepat di depan Autobuska stanica Sarajevo—terminal
bus kota Sarajevo.
Setelah kamu yang membayar tarif taksi, bapak supir itu langsung
memutar mobil. Ia memberikan senyuman sebelum melajukan mobil meninggalkan kita.
Kita berjalan menuju tempat pembelian tiket, kemudian bergegas
masuk ke dalam bus. Sepuluh menit kemudian bus bergerak keluar dari terminal. Setelah
berada di badan jalan, bus melaju dengan halus meninggalkan Sarajevo. Lanskap
kota Sarajevo berganti dengan hamparan rerumputan meranggas yang dilapisi salju
tipis. Dua jam tiga puluh menit lagi kami akan tiba di Mostar.
“Kenapa
kau diam saja? Kau tidak menyukai perjalanan kita?” tanyaku akhirnya. Jujur,
sejak tadi aku sedikit tidak nyaman dengan ekspresimu yang datar.
Kau
menutup buku, memandangku sejenak. “Aku menyukainya. Tapi bukan berarti aku
harus terus-terusan tertawa, kan?”
Aku
menggeleng, “Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Baiklah. Aku akan tidur. Barangkali
kau sedang lelah.” Aku menyandarkan kepala, coba memejamkan mata. Detik ini,
sungguh, aku bosan dengan dirimu yang diam.
“Tidurlah.
Aku akan menceritakan sebuah cerita sebagai pengantar tidurmu.” Katamu.
Aku
tersenyum. Dalam hati. Inilah yang aku sukai dari dirimu. Kau selalu
menghadiahiku hal-hal kecil yang tak semua pasangan melakukannya.
Lalu, kau pun mulai bercerita, tentang kisah peperangan di tanah
ini yang begitu memilukan. Ketika melakukan genosida terhadap etinis Bosnia
yang beragama Islam 20 tahun lalu, tentara Serbia benar-benar seperti iblis.
Mereka memisahkan semua laki-laki dewasa
etnis Bosnia, dengan anggota keluarga perempuan dan anak laki-laki di bawah 12
tahun. Setelah itu mereka akan meminta para laki-laki itu berbaris sebelum
akhirnya diberondong senjata mesin.
Mereka tidak mempedulikan jeritan para wanita dan tangisan anak-anak.
Bagi mereka etnis Bosnia tidak berbeda dengan hewan buruan yang layak mati di
ujung senapan. Ketika para tentara itu mengejar orang-orang Bosnia yang
berusaha melarikan diri, mereka menganggapnya seperti sedang berburu. Saat
peluru senapan mereka menjatuhkan orang-orang Bosnia, mereka tertawa
terbahak-bahak dan berteriak senang pada sesama mereka.
“Aku pemburu ulung. Lihatlah aku berhasil menumbangkan lima. Kau
sudah berhasil membidik berapa buronan, Jack?”
“Sial! Lari mereka ternyata cukup kencang juga. Tapi tidak apa,
aku suka. Justru ini sangat menantangku.”
Kembali mereka terbahak-bahak, melajukan tank-tank baja ke
pemukiman penduduk. Rumah-rumah kebanyakan tidak utuh lagi. Asap membumbung
tinggi dengan bau sangit dan daging terbakar. Mayat menumpuk dimana-mana. Wujud
mereka tidak lagi mudah dikenali, tercabik-cabik, perut terburai, dan tidak
sedikit juga yang telah terpisah jauh dengan kepalanya.
Para tentara Serbia memiliki persediaan senjata yang banyak,
karena mendapat pasokan dari Soviet. Sementara muslim Bosnia hanya melawan
dengan senjata seadanya. Mungkin kamu sudah lupa, apa yang melatar
belakangi perang Bosnia 1992-1995? Baiklah, akan kuingatkan sedikit.
Bosnia Herzegovina adalah sebuah negara di semenanjung Balkan yang
termasuk ke dalam Federasi Yugoslavia. Penduduknya mayoritas beragama Islam
sejak masuknya Islam pada abad ke-14 oleh Dinasti Ottoman. Runtuhnya Uni Soviet
pada tahun 1991 menyebabkan efek domino yang berimbas pada Federasi Yugoslavia,
sehingga harus dipecah menjadi enam negara bagian, yaitu Bosnia, Serbia,
Kroasia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.
Tiga negara yang memiliki perbedaan etnis dan agama paling
mencolok adalah Bosnia dengan etnis Bosnia beragama Islam, Serbia dengan etnis
Serbia beragama Ortodoks, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma. Serbia
memiliki ambisi untuk menyatukan kembali Federasi Yugoslavia dan sangat
menentang berdirinya negara Bosnia yang beragama Islam. Itulah sebabnya mereka
melakukan merampasan wilayah dengan cara menghabisi seluruh penduduk Bosnia.
Orang-orang Serbia menganggap setiap Muslim adalah orang-orang
Turki yang menjajah semenanjung Balkan, sehingga mereka semua—muslim—pantas
diusir. Keyakinan seperti ini mereka tanamkan sejak kecil. Sekolah-sekolah
mereka mengajarkan sebuah syair yang dikenal dengan syair iklil al jabal. Syair ini mengungkapkan penghinaan yang begitu
besar pada Islam.”
Kau mengakhiri cerita. Mataku yang terpejam, sebenarnya tidak bisa
jatuh tertidur. Aku mendengarkan sejak tadi, mendengarkan dengan khidmat.
“Karena itu, aku tidak bisa tersenyum sejak tadi. Negara ini
menyisakan luka yang tak mudah untuk diabaikan begitu saja, Mariam. Tapi satu
hal yang perlu engkau tahu, aku bahagia berada di sampingmu. Aku bahagia bisa
menemanimu mewujudkan mimpi untuk berkunjung ke negara ini. Kau tak pernah bisa
menerka sebesar apa kebahagiaanku.” Katamu pada akhirnya.
Aku membuka mata. Detik ini, sungguh—aku telah mengubah
statementku beberapa menit yang lalu, bahwa aku begitu bahagia dengan dirimu
yang diam. Kau selalu punya alasan yang membuatku jatuh hati berkali-kali.
“Terimakasih. Terimakasih kau telah banyak tahu tentang negara
ini, melebihi aku. Tapi kau juga perlu tahu satu hal, tidak ada orang yang
berhasil tidur dengan kisah pengantar seperti ini. Lain kali, aku akan
membelikanmu buku dongeng pengantar tidur.” Kataku lirih. Bercanda. Tersenyum.
Kali ini aku melihat kau tersenyum tipis. Bus yang kita tumpangi
terus melaju di atas jalanan yang bersepuh salju. Deretan pegunungan khas
Semenanjung Balkan membentang di kanan dan kiri jalan, membuatku tak hentinya
bersyukur.
Hari ini, dua impianku telah diijabah Tuhan. Pertama, adalah
mimpiku untuk menginjakkan kaki di Bosnia, dan kedua adalah mimpiku untuk duduk
di sampingmu.
Subscribe to:
Posts (Atom)