Sunday, 1 January 2017

(Cerpen) Kisah Cinta dari Andalusia


Hari sudah merangkak menjelang siang. Saat seorang laki-laki duduk di atas kuda putih kesayangan sambil menyusuri jalanan berkerikil di antara kebun anggur yang subur. Namanya, Ahmad Abu Walid. Seorang pengembara yang tidak jelas asal usulnya. Ia berkelana dari desa satu ke desa lain, dari negeri satu ke negeri lain. 

Laki-laki itu mengenakan topi terbuat dari sorban yang melilit di kepala. Soal rupa, usah ditanya. Hampir tidak terlihat bentuk hidung dan bibirnya karena tertutup jambang yang sangat semak dan tak terawat. Dua-tiga orang yang berpapasan selalu menatap aneh hingga kepala mereka memutar ke belakang. Ada khawatir yang menggelayut di hati para penduduk itu, takut laki-laki itu penyamun, orang jahat, atau apalah.

Ahmad Abu Walid, dibalik topi yang sudah tidak jelas warna aslinya itu ia menatap hamparan desa baru yang membentang indah di depan. Belum pernah ia memasuki sebuah desa sesegar ini. Rambatan anggur dengan buahnya yang segar bergelayutan. Petani-petani dengan pakaian indah memetik buah-buah yang telah masak, mengumpulkan ke dalam keranjang-keranjang rotan. Ia membiarkan kudanya berjalan lambat, berirama pada setiap langkah yang menapak di atas kerikil.

Kuda putih yang ia tumpangi berhenti, tentu saja atas perintah laki-laki yang menjadi tuannya. Seorang gadis memanggil-manggil. Laki-laki itu memperhatikan dari balik topi. Gadis dengan baju lusuh penuh tambalan. Topi lebar yang ia pakai pun sobek di sana sini. Wajahnya dipenuhi penyakit kulit yang memberikan kesan buruk rupa.
“Tuan, saya menjual susu domba segar. Sudikah tuan membelinya?” Tawar gadis itu sambil menunjukkan keranjang yang hanya dipenuhi lima botol susu.
Lama laki-laki menjawab. Sengaja membuat gadis itu menunggu.
“Saya akan membeli semuanya.” Ucap laki-laki itu yang membuat gadis penjual susu terperanjat kaget sekaligus bahagia. Segera ia memasukkan lima botol susu miliknya ke dalam kantung dari kulit domba, lalu menyerahkan kepada pembeli yang duduk di atas kuda. Sebagai imbalan, gadis itu menerima sepuluh keping uang Andalusia.
Laki-laki itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan sang gadis yang memandang hingga hilang di kejauhan. Kini ia memasuki kawasan rumah-rumah penduduk desa itu. Rumah-rumah yang begitu indah dengan bunga-bunga bugenvil aneka warna yang berbunga lebat. Masing-masing rumah juga memiliki kereta kuda.

“Keindahan yang sungguh memikat.” Ucapnya tidak mampu menyembunyikan kekaguman. Ia sudah singgah di banyak negeri, melihat puluhan kastil, namun tak ada yang terlihat sesempurna ini di matanya. Di tengah kesibukan mengagumi rumah-rumah itu, sebuah kereta kuda berlalu di sampingnya. Laki-laki itu mengalihkan perhatian, mengamati wajah samar di balik tirai tipis yang terpasang di jendela kereta kuda. Wajah seorang wanita jelita. Dengan kesal laki-laki itu menghempaskan tangan di atas kepala kudanya, hingga hewan itu meringkik, karena ia tak bisa melihat wajah wanita itu dengan jelas. Meskipun begitu ia tetap duduk diam di atas kudanya, memandangi kereta kuda yang membawa si jelita hingga hilang di ujung pandangan.

Laki-laki itu tetap berjiwa pengelana. Walau desa indah itu sempurna memikat hati, ia tetap melanjutkan perjalanan. Malam harinya ia sudah berada beratus-ratus kilo dari desa indah yang ada di Andaluasia. Ia menyewa kamar dengan harga murah, sekadar untuk istirahat lalu besok kembali menyusuri jalan-jalan yang berdebu di musim panas. Ahmad baru memejamkan mata beberapa puluh menit ketika sebuah mimpi singgah dalam lelapnya. Ia melihat seorang gadis dengan kecantikan seperti para peri. Kecantikan tiada bandingan dan terlihat sangat jelas. Mata bulat bercahaya, alis hitam yang terlukis sempurna, dagu menggantung, dan bentuk wajah berbentuk bulat telur. Wanita itu juga mengenakan selendang di atas rambut, menciptakan sihir yang tidak terceritakan. “Aku di sini untuk melengkapimu, Tuan Ahmad Abu Walid.” ucap wanita itu seraya tersenyum.  Anehnya, laki-laki itu seolah tak punya suara untuk sekedar menanyakan nama si gadis. Hingga ia perlahan hilang bersama kabut yang semakin mengecil. Sambil menggapai-gapai, ia terus memanggil-manggil si gadis hingga terbangun dari mimpi. 

Mimpi yang membuatnya gundah. Wajah gadis itu masih tersisa jelas, juga suaranya yang terus terdengar. Ahmad keluar dari kamar sempit, menaiki kuda menuju puncak bebatuan. Ia pandangi malam dengan kerlip lampu desa-desa di bawah sana sambil mencoba melupakan wajah si gadis dalam mimpi. 

Pagi-pagi sekali Ahmad sudah jauh meninggalkan desa tempatnya bermalam. Begitu terus, hingga waktu membawanya ke musim panas kembali. Ia sudah memiliki uang cukup banyak di kantung, hasil dari bekerja di toko sepatu milik orang Moor. Ia bisa menggunakan uang itu untuk lima bulan perjalanan. Tapi, entah mengapa. Sejak ia melihat gadis jelita dalam mimpinya, laki-laki itu menjadi aneh. Ia memiliki kesenangan untuk selalu menatap malam, merenungkan banyak hal. Mungkinkah ia telah jatuh cinta pada gadis yang datang dalam tidurnya? Begitukah yang dilakukan setiap laki-laki apabila mereka sedang merindukan wanita pujaannya?

Entah mengapa pula, musim panas membawa angin rindu dari desa indah yang tertinggal begitu jauh di belakang. Meski sudah berulang kali mencoba menahan kata hati yang mendesak-desak, pada akhirnya Ahmad menyerah. Firasat mengatakan bahwa gadis jelita yang ada dalam mimpinya adalah gadis yang ada di balik tirai kereta kuda yang pernah ia lihat. Mungkin ini petunjuk Tuhan.

Jadilah, walau sudah beratus-ratus kilometer desa itu tertinggal di belakang. Laki-laki itu memutuskan memutar arah. Sama seperti pertama kali datang, ia tetap bersama kuda putih kesayangan. Tapi sekarang, pakaian yang ia kenakan tak sekusam dulu. Ia membeli beberapa pakaian di tengah perjalanan. Cinta membuatnya ingin terlihat lebih baik. Walau ia tak tahu, apakah cinta itu memang ada di desa yang kini didatanginya untuk kedua kali. Tak ada perubahan pada desa itu, tidak seperti dirinya yang sedikit mau berubah. Begitu juga dengan penduduk yang berpapasan dengannya. Mereka tak sekali pun mau tersenyum. Mungkin karena wajah laki-laki itu masih menyeramkan. Tapi mereka tak lagi memandangi hingga wajah mereka memutar ke belakang. Hey, itu sebuah perubahan.
“Tuan! Tuan dengan kuda putih!”
Ahmad menghentikan kudanya, masih di tempat yang sama seperti setahun yang lalu, tempat ia membeli lima botol susu domba. Laki-laki itu menunggu sang gadis mendekati kudanya sambil mengamati dari balik topi. Mencari perubahan. 

Sayang, tak ada perubahan sama sekali. Tak ada sedikit pun, gadis itu tetap berpakaian kumal dan memiliki wajah yang buruk, hal itu membuat Ahmad kecewa. Seharusnya setiap orang akan lebih baik dari waktu ke waktu.
“Saya senang Tuan kembali ke desa ini. Sudikah Tuan membeli susu-susu domba ini?” Tawar sang gadis buruk rupa sambil memperlihatkan botol-botol susu yang kini berpuluh-puluh jumlahnya. Sang laki-laki tersenyum di balik jambang lebat. Peningkatan jumlah botol susu? Hey, ini sebuah perubahan.
“Tentu saja. Saya akan membeli semuanya” Ia berseru, membuat si gadis begitu senang. Dengan cepat ia membungkus botol-botol susu dan menyerahkan kepada Ahmad. Sebagai imbalan, laki-laki itu memberi sekantung uang Andalusia.
“Ini terlalu banyak, Tuan.”
“Ambil saja.” Kata sang laki-laki lalu segera memacu kudanya berlari kencang.
“Tuan! Boleh saya mengetahui nama Anda?!!!” Teriak sang gadis.
“Ahmad Abu Walid!!!” Jawabnya terdengar samar bersama kepulan debu.
Tujuan laki-laki itu datang kembali ke desa ini belumlah terpenuhi, karena itu ia memacu cepat kudanya menuju rumah-rumah penduduk yang semakin indah, berharap bisa melihat wajah gadis jelita yang ada di dalam kereta setahun lalu. Ia menunggu di atas kudanya yang diam, mengamati setiap kereta kuda yang lewat.

Namun hingga matahari mulai merendah ke Barat, yang dinanti tak kunjung menampakkan wajah. Ia tak kecewa, terus setia menanti. Tak beberapa lama, ia melihat sosok gadis itu. Bukan lagi di dalam kereta kuda, melainkan di depan sebuah rumah. Ia terlihat begitu anggun dari kejauhan. Semakin yakinlah laki-laki itu bahwa si gadis jelita yang hadir dalam mimpinya adalah gadis yang kini dilihatnya. Gadis itu membawa keranjang di tangan lalu memetik beberapa buah apel yang merah di halaman rumah. Baru saja Ahmad berniat turun dari kuda untuk mengajak gadis itu berkenalan, si gadis sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Dan niat itu pun urung ia lakukan.  

Saat langit Barat mulai menyemburkan warna merah, Ahmad kembali melanjutkan perjalanan. Pertemuan tadi sudah cukup sebagai bekal hingga kunjungan tahun depan. Melihat sekilas sosok gadis itu sudah cukup baginya sebagai teman perjalanan. Kali ini tidak ada lagi cerita tentang perjalanan jauh, juga tidak ada negeri-negeri baru yang sangat ingin ia lihat, karena Ahmad sudah bertekad akan bekerja keras, mengumpulkan uang, membangun rumah indah lalu melamar gadis pujaannya. 

Sejak hari itu, ia memulai usaha sebagai penjual pakaian. Satu bulan pertama, usahanya masih biasa saja. Dua bulan kemudian, ia mulai memikirkan ide-ide baru untuk desain pakaian yang dijual. Karena pengalamannya bekerja di toko sepatu, kini pada bulan keempat usaha pakaian itu sudah begitu maju. Apalagi ia pandai berbicara dalam berbagai bahasa negeri lain, semakin banyaklah pembeli yang mendatangi tokonya. Para pembeli itu berasal dari kalangan bangsawan dan orang-orang istana. 

Memasuki bulan kesepuluh, nama laki-laki itu terkenal di seluruh pelosok negeri. Kekayaan yang dimiliki tak ternilai jumlahnya. Ia sudah membangun rumah yang memiliki keindahan mengalahkan istana yang ada di negerinya. Meskipun di tengah kesibukan mengurusi usaha pakaian, ia tetaplah merasa sepi. Setiap malam matanya tertuju pada langit gelap, berbintang, bulan sabit, hingga bulan penuh. Menghitung hari agar cepat sampai pada musim panas. Hingga akhirnya, waktu membawa Ahmad kembali pada kunjungan ketiga di desa yang sudah memikat hatinya. Ia sudah menyiapkan semua yang harus disiapkan.

Hari sedang merangkak mendekati siang saat itu. Saat seorang laki-laki duduk di atas kuda putih kesayangannya. Soal rupa, tidak usah ditanya. Wajahnya sungguh tampan tanpa jambang semak seperti dulu. Pakaiannya indah tiada tara, ia lebih memesona dari pangeran-pangeran yang dimiliki seluruh negeri. Setiap penduduk yang berpapasan dengannya pasti tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala, memberi penghormatan. Dialah Ahmad Abu Walid.

Ahmad berhenti, masih di tempat yang sama sepeti setahun dan dua tahun yang lalu. Tempat ia membeli susu domba kepada seorang gadis buruk rupa. Tapi, kali ini laki-laki itu berhenti tanpa panggilan dari sang gadis. Ia berhenti karena merasa seperti ada yang tidak sempurna pada kunjungannya kali ini. Ia diam di atas kuda, menunggu sang gadis penjual susu datang. Mungkin kali ini gadis itu terlambat. Hingga tiga jam kemudian, sang gadis belum juga menampakkan sosoknya. 

Ia memutuskan melanjutkan perjalanan menuju rumah-rumah penduduk. Hingga sampailah ia di depan rumah gadis jelita yang ia kasihi. Halaman rumah itu dipenuhi rangkaian bunga di sana-sini. Orang-orang berpasang-pasangan berdansa dengan gaun-gaun pesta yang indah. Sang laki-laki mulai memiliki firasat tidak nyaman. Ia memanggil seorang penduduk.
“Pesta apakah ini?” tanyanya.
“Pernikahan gadis tercantik desa ini. Lihatlah, mereka pasangan yang sempurna.” jawab laki-laki separuh baya yang Ahmad tanyai sambil menunjuk sepasang pengantin di tengah para tamu. Wanita jelita itu? Dia semakin jelita dengan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya.
Mendapati kenyataan itu, bagai terhempas ke jurang rasa sakit yang mendera hati Ahmad. Semua usaha yang sudah ia lakukan seakan hancur bertumpuk di dasar jurang yang dalam. Laki-laki itu melihat sekilas pada pasangan pengantin yang ditunjuk penduduk tadi, ya... memang pasangan yang sempurna. Kini, tinggallah penyesalan yang tersisa di hatinya. Andai saja ia lebih berani setahun yang lalu. Andai saja ia tidak perlu menunggu musim panas untuk melamar gadis itu. Andai saja. Andai saja. Andai saja. 

Ia melanjutkan perjalanan tanpa semangat, memutuskan ini adalah kunjungan terakhirnya di desa itu. Tak ada lagi yang diharapkan. Ia kembali pada kesibukan mengurusi bisnis pakaian. Kini tokonya telah membuka cabang di berbagai tempat. Banyak bangsawan yang menawarkan putri mereka, namun tak satu pun bisa menarik hatinya. Ia telah memiliki segalanya, tapi tak kunjung merasa bahagia. Setiap malam ia tetap bermain dengan wajah jelita itu, membayangkannya di tengah hembusan angin malam yang datang dari lembah-lembah. Begitu terus yang dilakukan Ahmad hingga musim panas kembali datang. Aneh, rasa rindu pada desa itu kembali hadir bersama aroma musim panas, membuatnya tak mampu menepati janji. Keesokan hari, ia memacu kudanya kembali ke desa itu. Entah ada apa di sana sehingga rindu itu selalu datang. Hatinya tertambat di sana, di antara kebun-kebun anggur yang subur. 

Kembali ia berhenti sejenak di tempat ia biasa membeli susu domba. Entah kemana gadis itu. Mungkin ia telah pergi meninggalkan dunia yang menyakitkan ini. Laki-laki itu menambatkan kudanya di pagar, ia duduk merenung di bawah pohon zaitun sambil memandangi kebun-kebun. Saat resahnya benar-benar berada di ujung kesanggupan, saat itulah seorang laki-laki tua menghampiri, mengulurkan setangkai anggur masak.
“Seharusnya engkau tidak boleh bersedih karena cinta, Nak. Jangan terlalu merasa memiliki sesuatu jika kamu tidak mau merasakan sakitnya kehilangan sesuatu. Anggaplah semua yang diberikan padamu hanya titipan, perlakukan ia sebagaimana titipan, kamu merawatnya, menyayanginya sebatas titipan. Hingga jika ia pergi darimu, tak berlarut-larut lukamu. Kamu hanya bersedih karena merasa belum sempurna menjaga titipan itu. Cinta sejatinya kidung kebahagiaan yang membuatmu terus memperbaiki diri untuknya. Lepaskanlah... Jika ia adalah cinta sejati, ia akan pulang ke rumahnya pada waktu yang tepat.” Nasehat si laki-laki tua hingga membuat Ahmad meneteskan air mata tanpa sadar. Ia mengangkat kepala, ingin mengucapkan terimakasih untuk nasehat tak ternilai yang baru saja didengar. Anehnya, tak ada seorang pun di sampingnya. Laki-laki tua itu hilang seperti terbawa angin.
Maka mulai saat itu, Ahmad mulai belajar menunaikan nasehat laki-laki tua. Ia bertekad akan melepaskan cinta di hati dan menanti siapakah yang akan dititipkan kepadanya. Dengan tersenyum ia melanjutkan perjalanan. Berhenti beberapa detik di depan rumah yang mengadakan pesta setahun yang lalu. Mungkin gadis itu sedang hamil tua saat ini atau mungkin sudah memiliki seorang anak berumur dua bulan. Laki-laki itu tersenyum, mengabarkan bahwa ia telah menerima takdirnya. Ia kembali memacu kuda, menikmati perjalanan dengan melewati jalan yang berbeda dari biasa diambil. Tiba-tiba saja jiwa petualangnya kembali datang, ia rindu pada tempat-tempat baru.

Di tengah perjalanan, ia tertarik melihat sebuah restoran yang ramai. Ia turun dari kuda lalu segera masuk ke restoran yang sudah menarik perhatiannya. Semua orang yang duduk di sana memberi penghormatan padanya. Sungguh, ini adalah restoran dengan  keindahan tiada tara. Menariknya, tak hanya orang-orang berpakaian indah yang menikmati hidangan di sana, melainkan para petani dan pedagang biasa pun ramai yang singgah untuk menikmati hidangan.
“Tuan, saya senang Anda berkenan singgah kemari. Anda ingin memesan makanan apa?” Sapa seorang gadis dengan pakaian pelayan yang indah. Sang laki-laki mengenali suara itu. Suara yang sama seperti yang didengar dalam mimpi. Ia segera berdiri, memandang wajah gadis yang ada di hadapannya. Benar saja. Dialah gadis itu, gadis yang pernah dilihat dengan jelas di dalam mimpinya. Gadis yang memiliki kecantikan luar biasa.
“Siapa namamu?” Tanya sang laki-laki.
“Maryam Al Arudia.” Jawab gadis itu dengan wajah heran.
“Namaku Ahmad Abu Walid. Sudah lama  aku mencarimu.”
“Ahmad Abu Walid? Tuan, benarkah itu dirimu? Anda yang beberapa tahun lalu membeli semua susu domba yang saya jual?”
Sang laki-laki sungguh tak menyangka jika gadis yang selama ini ia rindukan adalah sang gadis penjual susu. Ia melihat kembali gadis itu dari bawah hingga ujung kepala. Gadis dari bangsa Moor dengan kain yang menutupi rambutnya, hanya wajah cantiknya yang terlihat. Memang benar, itu adalah gadis penjual susu. Kini ia tak lagi menderita penyakit kulit seperti dulu.
“Tuan Abu Walid, saya selalu menunggu kedatangan Anda. Saya ingin berterimakasih kepada Anda. Berkat uang yang Anda berikan, saya bisa membeli obat yang menyembuhkan penyakit kulit yang saya derita, lalu membangun restoran ini. Semua orang tidak lagi jijik melihat saya sehingga restoran ini cepat berkembang. Terimakasih, Tuan.”  Ucap gadis itu sambil menunduk memberi penghormatan.
“Tak perlu berterima kasih. Aku memikirkanmu sepanjang hari, Maryam.” Ucapnya berterus terang, membuat gadis itu membelalakkan mata, mencari-cari arah pembicaraan laki-laki di depannya.
Tanpa berniat membuat Maryam menunggu, Ahmad melanjutkan kalimatnya. “Aku jatuh cinta padamu. Maukah kamu menikah denganku?” Ia berucap dengan bibir bergetar dan kepala tertunduk.
Maryam menutupi wajah dengan kedua tangan, menjerit kecil. “Saya mencintai Anda sejak pertama kali memanggil Anda tiga tahun yang lalu.”
“Mengapa tidak kamu katakan hal ini sejak dulu?”
“Tidak, tidak akan saya lakukan. Saya yakin, Anda tidak akan memiliki perasaan yang sama jika saya mengatakannya saat itu. Saya merelakan Anda melanjutkan perjalanan, karena cinta sejati akan pulang ke rumahnya. Dengan begitu, saya memiliki waktu untuk memperbaiki diri. Saya yakin, semakin baik diri saya, semakin baik pula laki-laki yang akan dititipkan kepada saya hingga saya pantas untuknya dan ia pun pantas untuk saya.”
Sang laki-laki semakin mengagumi bijaknya gadis itu. Ucapannya mengingatkan kepada laki-laki tua misterius yang memberinya nasehat di kebun anggur, di bawah dahan-dahan zaitun.
“Aku laki-laki ke berapa yang datang melamarmu?” Tanya Ahmad sambil tersenyum bercanda.
“Ke-39.” Bisik Maryam malu-malu. “Tapi Anda tetap yang pertama di hati saya.” Tambahnya dengan senyuman indah.
Ke esokan harinya, digelarlah sebuah pesta pernikahan yang begitu indah. Seluruh penduduk diundang termasuk pasangan yang menikah setahun yang lalu. Pernikahan yang sempurna indah dan memberikan satu pelajaran berarti, bahwa cinta yang sejati akan datang pada mereka yang saling memantaskan diri. Di waktu yang tepat.


Ditulis sekitar 2 tahun lalu

Saturday, 31 December 2016

Sarajevo to Mostar, Bosnia & Herzegovina [Fiction]




Pesawat Turkish Airlines yang kita tumpangi mendarat tidak begitu halus di Sarajevo International Airport, bandara terbesar sekaligus tersibuk di Bosnia Herzegovina. Tiket yang kita beli dari salah satu website booking adalah tiket penerbangan langsung menuju Sarajevo, tidak harus transit terlebih dahulu di Wina, Austria. 

Dua jam dua menit selama penerbangan kuhabiskan dengan memandang keluar jendela, pada awan-awan tipis yang melayang. Seolah mereka tercipta hanya untuk terbang bebas tanpa beban. Dan jika sudah sampai waktunya, mereka akan berubah dalam wujud lain berupa tetes hujan atau salju yang meluncur menuju bumi, kembali menemukan sebuah kehidupan baru. 

Perangkat hiburan yang disediakan di depan kursi tidak kusentuh sama sekali. Kamu pun begitu. Sejak tadi—kuperhatikan—kau justru lebih sibuk membaca buku yang kau bawa dari Tanah Air. Kita hanya sesekali berbicara, selebihnya lebih banyak terisi oleh deru mesin pesawat.

Zdravo. Dobro jutro. Welcome in Sarajevo International Airport. Thank you for chose a flight with us.” Seorang pramugari yang berdiri melepas kepergian penumpang di pintu kabin menyapa, ucapan yang sama untuk penumpang lainnya. Senyum dan bentuk wajahnya khas Turki, sangat cocok dipadukan dengan seragam biru donkernya.

Angin musim dingin menyambut kita begitu keluar dari pesawat. Tidak ada perbedaan yang kontras antara Turki dan Bosnia Herzegovina, suhu yang tidak jauh berbeda dan waktu yang hanya memiliki selisih satu jam.Ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di bandara ini. 

Dulu selama perang 1992-1995, penerbangan umum ditutup sementara waktu dan hanya dipakai untuk kegiatan kemanusiaan, seperti mengantarkan bantuan-bantuan dari seluruh dunia untuk korban perang. Bandara ini baru kembali beroperasi normal satu tahun setelah perang usai.

Kita berjalan mengikuti lorong yang mengantar menuju conveyor dan petugas pemeriksaan. 

Hvala (thanks)” ucapmu dengan bahasa Bosnia setelah petugas imigrasi laki-laki yang memeriksa paspormu.

“Da li govorite bosansky? Odakle ste? (Apakah bicara bahasa Bosnia? Dari mana asalmu?)” Wajah petugas itu terlihat semangat
 
“Razumijem bosansky, just little. (Aku bisa sedikit)Jawabmu dengan memberikan sedikit senyuman, kemudian berlalu meninggalkan mejanya. Aku sendiri kaget saat mendapati kamu mengerti sedikit bahasa Bosnia.

 “Kau tahu, bandara ini telah menerima beberapa international award.” Aku berseru sambil melihat kembali ke arah pintu bandara.

“Baguslah.” Kau merespon pendek.

Seperti kebanyakan bandara internasional, pastinya di terminal keberangkatan dan kedatangan penerbangan internasional selalu dipenuhi dengan wajah-wajah antarbangsa. Sekumpulan turis berwajah Cina terlihat baru keluar dari pintu exit bangunan bandara, wajah senang jelas sekali tergambar dari wajah mereka. Aku sudah hapal dengan kebiasaan orang Cina, mereka tidak pernah kehabisan suara. Selalu saja berisik ketika berbicara dengan sesama mereka. Seketika mereka mengerubungi seorang laki-laki separuh baya yang membawa kertas bertuliskan sesuatu di depan dadanya. Kemungkinan besar ia adalah tour guide yang akan memandu perjalanan para turis Cina itu.

Seorang laki-laki menghampiri. Dengan bahasa Bosnia ia menawari kita untuk naik ke taksinya. Aku tidak mau berpikir lama, ditambah udara yang semakin menusuk tulang, langsung saja kuterima tawarannya. Koper kecil di tanganku seketika berpindah tangan, supir yang kuterka berumur lima puluh itu mengangkut ke bagasi taksinya. Senyum ramah tetap tersungging di bibir laki-laki tua itu ketika ia mempersilakan kita masuk ke dalam taksi.

Mobil kuning yang masih cukup bagus itu bergerak meninggalkan bandara. Salju tipis turun tapi masih jarang-jarang. Setelah mengucapkan selamat datang dan menanyakan tujuan kita, supir tua itu mengarahkan mobilnya melewati jalan Brace Mulic, kemudian Belok kiri menuju Senada Poturka Sencija. Berdasarkan penuturannya, ada tiga rute yang bisa ditempuh dari bandara menuju stasiun bus di tengah kota Sarajevo. Tidak ada perbedaan jarak tempuh yang signifikan di antara ketiga rute itu. Semuanya tidak memakan waktu lebih dari 20 menit.

Mobil terus melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Ada getaran halus menyusup dalam dadaku, mencipatakan keharuan yang indah. 

Sarajevo, tidak pernah terbersit dalam pikiranku untuk mendatangimu, bahkan dahulu semua ini hanyalah mimpi. 

Kini kota ini sudah banyak berubah. Tidak ada lagi bangunan-bangunan hancur dengan asap membumbung tinggi. Tak ada tank-tank chetnik yang berjalan serupa monster yang mengejar mangsanya. Tak ada barisan setan yang menembaki penduduk. Tak ada jeritan luka wanita dan anak-anak. Tak ada air mata yang meleleh dari sudut mata laki-laki ketika dipisahkan dari anak istrinya. Tak juga terdengar dentuman-dentuman yang menakutkan dari segenap penjuru kota.

Sekarang kota ini adalah tempat yang aman, yang indah, dan menyihir. Air mata dan darah penduduk yang terbunuh bertitah pada bumi untuk menumbuhkan keindahannya.

Aku melihat bangunan di sepanjang jalan. Beberapa bangunan seperti Masjid tetap terlihat seperti dulu, bergaya Ottoman dengan menara-menara runcingnya. Gedung-gedung yang dulu hancur akibat perang telah direkonstruksi kembali sedemikian rupa. Beberapa bangunan masih mempertahankan keadaan aslinya sebagai peninggalan sejarah. Tidak bisa dipungkiri, sejak perang 1992-1995, Bosnia identik dengan negara yang menyeramkan karena dipenuhi sisa-sisa perang. Tidak banyak yang mengetahui keindahannya. Bahkan sebagian orang menganggap kunjungan ke Bosnia tidak ubahnya kunjungan ke kota kelam yang berhantu. Tetapi kini bisa kupastikan, ketika seseorang menginjakkan kaki di atasnya, ia akan terpukau dengan pesona Bosnia. Pesona semenanjung Balkan seperti yang ada dalam tulisan dan lukisan ada di sini, di Bosnia. 

“Jika kita terus mengikuti jalan ini, kemudian berbelok tiga kali, sampailah nantinya di jalan Zelenih Beretki. Biasanya itu adalah titik pertama Sarajevo yang dikunjungi oleh turis mancanegara.” Supir tua itu menjelaskan ketika kita melaju di jalan Zvornicka. Telunjuknya menunjuk kecil ke depan.



“Di sana memang indah. Kita bisa berjalan-jalan di pinggir sungai Miljacka, lalu menyeberanginya melewati jembatan Latin dan melihat-lihat Museum Sarajevo 1878-1918.” Sambungmu dengan suara datar. 

Aku jadi teringat salah satu sahabat asal Bosnia yang bernama Elma Izetbekovic. Kami berkenalan di Jakarta. Waktu itu dia datang ke Indonesia untuk sebuah persentasi paper di Universitas Indonesia. Elma pernah bercerita mengenai masa kecilnya di Sarajevo, terutama tentang masa kecilnya di area Zelenih Beretki.

“Dulu masa kecil kami di Sarajevo, aku juga sering menyusuri sungai Miljacka dengan sepeda. Area Zelenih Beretki adalah salah satu tempat kegemaranku untuk menghabiskan waktu libur. Jembatan Latin yang tiangnya berbentuk lengkungan-lengkungan itu tidak pernah membosankan untuk dipandang. Dan jika sudah lelah, aku akan masuk ke museum Sarajevo 1878-1918atau yang dikenal dengan museum Austria-Hongaria. Disebut begitu karena memang museum itu bercerita tentang masa kedudukan Austria-Hongaria di Sarajevo, selama periode 1878-1918. Tempat terbunuhnya Franz Ferdinand yang memicu perang dunia pertama pun diduga terjadi di area itu.” Suara Elma seperti menggema di telingaku, membuatku tersenyum.

Mobil meninggalkan jalan Zvornicka, berbelok ke kiri memasuki jalan Hamdije Cemerlica. Di trotoar jalan yang mulai dilapisi salju, tampak para wanita Bosnia yang berjalan dengan plastik-plastik belanja di tangan. Kini para wanita Bosnia banyak yang mengenakan kerudung. Dulu, ketika Bosnia masih berada dalam federasi Yugoslavia, semua hal yang berbau agama tidak boleh diperlihatkan. Masjid-Masjid sepi seperti kuburan. Keadaan itu berbanding terbalik pasca perang Bosnia, pengalaman pahit selama periode perang sepertinya membawa para Bosnian pada kesadaran, ditambah lagi dengan syiar Islam yang digemakan oleh para mujahidin antar bangsa yang membantu Bosnia. 

“Lihat para gadis kami, mereka cantik-cantik, bukan?” tanya Pak Supir.

Aku membenarkan. 

Taksi terus melaju selama beberapa menit, kemudian berhenti tepat di depan Autobuska stanica Sarajevo—terminal bus kota Sarajevo. 

Setelah kamu yang membayar tarif taksi, bapak supir itu langsung memutar mobil. Ia memberikan senyuman sebelum melajukan mobil meninggalkan kita.

Kita berjalan menuju tempat pembelian tiket, kemudian bergegas masuk ke dalam bus. Sepuluh menit kemudian bus bergerak keluar dari terminal. Setelah berada di badan jalan, bus melaju dengan halus meninggalkan Sarajevo. Lanskap kota Sarajevo berganti dengan hamparan rerumputan meranggas yang dilapisi salju tipis. Dua jam tiga puluh menit lagi kami akan tiba di Mostar.


“Kenapa kau diam saja? Kau tidak menyukai perjalanan kita?” tanyaku akhirnya. Jujur, sejak tadi aku sedikit tidak nyaman dengan ekspresimu yang datar.

Kau menutup buku, memandangku sejenak. “Aku menyukainya. Tapi bukan berarti aku harus terus-terusan tertawa, kan?”

Aku menggeleng, “Itu bukan jawaban yang kuinginkan. Baiklah. Aku akan tidur. Barangkali kau sedang lelah.” Aku menyandarkan kepala, coba memejamkan mata. Detik ini, sungguh, aku bosan dengan dirimu yang diam. 

“Tidurlah. Aku akan menceritakan sebuah cerita sebagai pengantar tidurmu.” Katamu.

Aku tersenyum. Dalam hati. Inilah yang aku sukai dari dirimu. Kau selalu menghadiahiku hal-hal kecil yang tak semua pasangan melakukannya.

Lalu, kau pun mulai bercerita, tentang kisah peperangan di tanah ini yang begitu memilukan. Ketika melakukan genosida terhadap etinis Bosnia yang beragama Islam 20 tahun lalu, tentara Serbia benar-benar seperti iblis. Mereka memisahkan  semua laki-laki dewasa etnis Bosnia, dengan anggota keluarga perempuan dan anak laki-laki di bawah 12 tahun. Setelah itu mereka akan meminta para laki-laki itu berbaris sebelum akhirnya diberondong senjata mesin.  Mereka tidak mempedulikan jeritan para wanita dan tangisan anak-anak. Bagi mereka etnis Bosnia tidak berbeda dengan hewan buruan yang layak mati di ujung senapan. Ketika para tentara itu mengejar orang-orang Bosnia yang berusaha melarikan diri, mereka menganggapnya seperti sedang berburu. Saat peluru senapan mereka menjatuhkan orang-orang Bosnia, mereka tertawa terbahak-bahak dan berteriak senang pada sesama mereka.

“Aku pemburu ulung. Lihatlah aku berhasil menumbangkan lima. Kau sudah berhasil membidik berapa buronan, Jack?”

“Sial! Lari mereka ternyata cukup kencang juga. Tapi tidak apa, aku suka. Justru ini sangat menantangku.”

Kembali mereka terbahak-bahak, melajukan tank-tank baja ke pemukiman penduduk. Rumah-rumah kebanyakan tidak utuh lagi. Asap membumbung tinggi dengan bau sangit dan daging terbakar. Mayat menumpuk dimana-mana. Wujud mereka tidak lagi mudah dikenali, tercabik-cabik, perut terburai, dan tidak sedikit juga yang telah terpisah jauh dengan kepalanya. 

Para tentara Serbia memiliki persediaan senjata yang banyak, karena mendapat pasokan dari Soviet. Sementara muslim Bosnia hanya melawan dengan senjata seadanya. Mungkin kamu sudah lupa, apa yang melatar belakangi perang Bosnia 1992-1995? Baiklah, akan kuingatkan sedikit.

Bosnia Herzegovina adalah sebuah negara di semenanjung Balkan yang termasuk ke dalam Federasi Yugoslavia. Penduduknya mayoritas beragama Islam sejak masuknya Islam pada abad ke-14 oleh Dinasti Ottoman. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 menyebabkan efek domino yang berimbas pada Federasi Yugoslavia, sehingga harus dipecah menjadi enam negara bagian, yaitu Bosnia, Serbia, Kroasia, Macedonia, Slovenia, dan Montenegro.

Tiga negara yang memiliki perbedaan etnis dan agama paling mencolok adalah Bosnia dengan etnis Bosnia beragama Islam, Serbia dengan etnis Serbia beragama Ortodoks, dan Kroasia yang beragama Katolik Roma. Serbia memiliki ambisi untuk menyatukan kembali Federasi Yugoslavia dan sangat menentang berdirinya negara Bosnia yang beragama Islam. Itulah sebabnya mereka melakukan merampasan wilayah dengan cara menghabisi seluruh penduduk Bosnia.

Orang-orang Serbia menganggap setiap Muslim adalah orang-orang Turki yang menjajah semenanjung Balkan, sehingga mereka semua—muslim—pantas diusir. Keyakinan seperti ini mereka tanamkan sejak kecil. Sekolah-sekolah mereka mengajarkan sebuah syair yang dikenal dengan syair iklil al jabal. Syair ini mengungkapkan penghinaan yang begitu besar pada Islam.”

Kau mengakhiri cerita. Mataku yang terpejam, sebenarnya tidak bisa jatuh tertidur. Aku mendengarkan sejak tadi, mendengarkan dengan khidmat. 

“Karena itu, aku tidak bisa tersenyum sejak tadi. Negara ini menyisakan luka yang tak mudah untuk diabaikan begitu saja, Mariam. Tapi satu hal yang perlu engkau tahu, aku bahagia berada di sampingmu. Aku bahagia bisa menemanimu mewujudkan mimpi untuk berkunjung ke negara ini. Kau tak pernah bisa menerka sebesar apa kebahagiaanku.” Katamu pada akhirnya.

Aku membuka mata. Detik ini, sungguh—aku telah mengubah statementku beberapa menit yang lalu, bahwa aku begitu bahagia dengan dirimu yang diam. Kau selalu punya alasan yang membuatku jatuh hati berkali-kali. 

“Terimakasih. Terimakasih kau telah banyak tahu tentang negara ini, melebihi aku. Tapi kau juga perlu tahu satu hal, tidak ada orang yang berhasil tidur dengan kisah pengantar seperti ini. Lain kali, aku akan membelikanmu buku dongeng pengantar tidur.” Kataku lirih. Bercanda. Tersenyum. 



Kali ini aku melihat kau tersenyum tipis. Bus yang kita tumpangi terus melaju di atas jalanan yang bersepuh salju. Deretan pegunungan khas Semenanjung Balkan membentang di kanan dan kiri jalan, membuatku tak hentinya bersyukur.

Hari ini, dua impianku telah diijabah Tuhan. Pertama, adalah mimpiku untuk menginjakkan kaki di Bosnia, dan kedua adalah mimpiku untuk duduk di sampingmu.







Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...