Monday, 24 June 2013

Sebuah Rasa: Dua Pengamen Antara Bogor dan Tanjung Priok

Jreng....jreng....
Aku terkesiap ketika mendengar petikan gitar bernada cempreng itu. Mengusap mata sambil berusaha menyatukan diri dengan suasana. Perempuan gempal di sampingku sudah turun, jadi bangku di sampingku kosong begitu saja. Tepat di barisan bangku tempatku duduk, berdiri dua laki-laki dengan sebuah gitar kecil. Salah satu dari mereka berpenampilan menyeramkan, seperti body guard para penjahat yang ada di pilem-pilem. Rambutnya pirang gondrong, tubuh gelap berotot, jins sobek sana-sini, tato nangkring dimana-mana, dan....muka yang asli seraaamm. Sedangkan temannya berpenampilan biasa (ala brandal jalanan), tidak begitu menakutkan. Aku bergidik, imajinasiku melayang ke kejadian-kejadian kejam dalam bis di Ibukota. Duh, apalagi aku duduk sendiri di tengah bus begini. Bagaimana kalau mereka dengan paksa menarik tasku, lalu kalau aku kukuh menolak, mereka akan menusukku? Ah, semoga mereka bukan orang-orang kejam seperti itu.

Mereka dengan kompaknya menyanyikan sebuah lagu yang menurutku cukup menghibur dan membawa pesan moral.
"Mau berangkat, ucapkan?" Jreng....jreng
"Ucapkan 'Bismillah'" Sahut laki-laki bertato. Jreng....tik jreng, tik jreng. Nekonek jreng.... Joss!
"Udah nyampe di terminal, ucapkan?"
"Ucapkan 'Alhamdulillah'" Jreng....tikjreng, jrengjreng....!

Bukan lagu unik itu yang membuatku menyimpan kesan pada dua pengamen itu, melainkan pembicaraan di antara mereka. Ketika mereka selesai mengulurkan bungkus plastik sisa makanan ringan, mereka duduk di bangku seberangku, masih satu baris dengan bangkuku.
"Hanya Rasulullah lah tauladan nomor satu di dunia ini, mana ada manusia berakhlak sesempurna beliau"
Aku menangkap kalimat  yang terdengar tidak begitu jelas karena kerasnya deru mesin bus. Kalimat itu meluncur manis dari laki-laki bertato, sedangkan temannya mendengarkan dengan wajah serius. Aku semakin memasang telinga, detak jantungku menjadi tak karuan. Mereka menggunakan bahasa gaul Jakarta dan campuran bahasa daerah (tidak pasti daerah mana, Batak bukan, Sulawesi juga bukan, tapi miriplah dengan kedua bahasa itu), jadi tak semua kalimat bisa kutangkap.
"Kalau mau berakhlak mulia, jangan ikutin siapa-siapa, ikutin Nabi Muhammad aja" Lanjutnya lagi. Itu pembicaraan serius, aku bisa merasakan atmosfirnya.
"Lo tahu gak, Nabi Muhammad tu pernah meminjamkan uang pada orang, setelah tiga kali ditagih, orang itu tidak mau mengembalikan, sudah. Nabi tak pernah meminta lagi, dia ikhlaskan. Contoh nih, lo minjam uang ke gue, setelah sekian lama, gua tagih. Satu kali. Dua kali. Tapi hingga gua menagih di kali ketiga, lo tetap gak mau balikin tu duit, gue harus ikhlas. Gue lepas tu uang, anggap sedekah gue ke lo. Manusia gak ada yang sesempurna Nabi Muhammad, bro" Jelas laki-laki bertato sambil menggerak-gerakkan tangannya, temannya hanya mengangguk-angguk dengan mata yang masih menyorotkan keantusiasannya.
"Zaman sekarang, gak bisa menilai orang dari penampilan aja, Bro. Salah besar kalau lo menganggap baik seseorang dari fisik dan gaya berpakaian. Banyak yang berjas, sepatu mengkilap, rambut klimis, semua orang yang baru bertemu pasti menganggapnya laki-laki baik, tapi tahunya laki-laki hidung belang, koruptor! Ada cewek berjilbab, muka sendu, eh bunting di luar nikah!" Ungkap laki-laki bertato lagi.
"Jadi yang salah itu ajaran Islam atau apa, bang?" Temannya bertanya dengan menunjukkan rasa ingin tahunya.
"Islam gak pernah salah, tapi orang Islam yang gak mengenal, mendalami dan melaksanakan Islam dengan baik. Kalau boleh jujur, para mualaf itu lebih baik Islam-nya daripada orang-orang yang Islam sejak lahir. Islam keturunan maksudnya"
"Aih, kenapa pulak, bang? kan orang-orang Islam sejak lahir itu belajar ngaji dari kecil. Lebih faham Alquran lah dia, bang" Sambung temannya.
"Iya, tapi lo gak ingat, anak-anak kecil tu mau ngaji karena disuruh, dipaksa. Ketika besar, mereka lebih senang mengikuti hawa nafsu sendiri. Memang gak semua. Nah, sedangkan mualaf, mereka ber-Islam memang karena kemauan diri sendiri, hati. Mereka terus belajar dan mendalami Islam. Baca saja kisah para mualaf, mereka rata-rata saleh-saleha, orang-orang berpendidikan, tapi tanda kutip untuk mualaf yang masuk Islam karena mau menikahi wanita muslimah, ya. Tu motivasi awalnya pasti hanya wanita".
"Ah, setidaknya orang-orang Islam keturunan itu  bisa membedakan antara makanan halal dan haram, bang"
"Heh, ber-Islam itu gak cukup dengan hanya tidak memakan makanan haram, Bro. Binatang aja bisa kalau begitu. Burung dalam kurungan yang tiap hari hanya makan jagung, berarti dia Islam, gitu? Gak. Islam itu kita, semua perbuatan, hati, pergaulan, pemerintahan, negara, dunia, dan alam semesta, Islam itu universal bukan individual. Tidak memakan makanan haram itu hanya setitik debu dari Islam yang seluas alam semesta, langit dan bumi"
Temannya mengangguk-angguk.
"Ohya Bang, dalam Islam, dendam tu boleh gak?" Aku tersenyum mendengar pertanyaan polos itu.
"Gak, mana ada dendam dalam Islam. Islam tu nyuruh kita membalas keburukan orang dengan kebaikan"
Hanya itulah percakapan yang mampu terekam oleh ingatanku. Setelah kalimat terakhir itu, bus tiba di Terminal Tanjung Priok. Semua penumpang segera turun, termasuk aku dan dua pengamen itu. Kulihat mereka masih melanjutkan percakapan  sambil berjalan.

Ah, inilah indahnya melakukan perjalanan sendiri. Aku bisa lebih peka dengan keadaan sekitar, mataku lebih banyak melihat, telingaku lebih banyak mendengar, dan hatiku lebih banyak merasa dan menghayati perjalanan.

1 comment:

  1. Wahh... mantab tuuh preman nya.
    saling mengingatkan teman sebelahnya.
    dy pham dgn ajaran agamanya..
    penampilan nya jauh terbalik dr isi hati nya..
    tp, kenapa yaa dy malah lebih memilih jd preman atau pengamen?? O:)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...