Monday 28 November 2016

Pertemuan di Mostar, Bosnia herzegovina [Fiction]



Kita duduk di sebuah cafe yang berdiri di sudut jalan utama kawasan Old Town, Mostar. Dua cangkir kopi duduk manis di depan kita, belum tersentuh. Sementara di luar sana, para turis hilir mudik tanpa henti. 

Ini pertengahan musim gugur, waktu yang membuat Mostar menjelma putri cantik incaran manusia di seluruh dunia. Bayangan dedaunan yang berwarna oranye jatuh di atas sungai Neretva yang membelah kota, menciptakan warna-warni air paling menakjubkan.

Aku merapatkan jaket tebal yang kupakai. Suhu sudah mulai jatuh. Lalu kau, sejak tadi kau masih saja khusyuk memandang ke luar jendela di samping kita. Pandanganmu tertuju pada menara minaret Masjid Koki Pasha yang berjarak sekitar 100 meter dari cafe ini. Masjid itu bergaya Ottoman, demikian pula desain menaranya. Mungkin kau sedang berpikir, andai masjid-masjid di Indonesia memiliki menara seperti itu, pasti keindahannya akan menyihir. Atau mungkin kau sedang berpikir, tahun berapakah masjid beserta menaranya ini dibangun?

Ah, entahlah. Sejak tadi aku hanya menerka. Sejatinya aku tak pernah tahu apa yang tengah kau pikirkan.

“Masjid itu dibangun pada tahun 1557 oleh arsitek Kodza Mimar Sinan.“ kataku memecah kesunyian.

Kau memandang ke arahku sesaat, kemudian menarik cangkir kopi, mengaduknya, kemudian menyesapnya sedikit.

“Kenapa kau menyukai Bosnia Herzegovina?” kamu bertanya, membuatku paham bahwa bukan Masjid yang sebenarnya kau pikirkan. Semua ini pasti karena kemaren akulah yang memaksa kita bertemu di sini. Demi pertemuan ini, kau harus menempuh jarak 7 jam penerbangan dari Belgia, negara tempatmu berkuliah. Tapi kau sedikit beruntung, karena aku sendiri harus menempuh puluhan jam penerbangan dari Indonesia, lalu mendarat di istanbul, baru kemudian melanjutkan penerbangan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia. 

“Aku tidak tahu. Tapi sejak pertama kali aku tahu tentang negara ini, hatiku bergetar tiap kali namanya disebutkan. The law of attraction, kau tahu itu?” tanyaku.

Kau tersenyum tipis, “Hukum tarik-menarik seperti yang diagungkan dalam buku paling fenomenal 10 tahun lalu, The Secret. Bernarkan? Ternyata itu juga bekerja padamu.” Kau menjawab dengan nilai sempurna.

Ya, hukum tarik-menarik. Sebuah hukum semesta yang paling kuyakini, terlebih setelah kedatanganku ke Bosnia. Hukum ini mengatakan bahwa apapun yang kita pikirkan, kemudian diyakini dalam hati, maka suatu saat akan menarik kejadian persis seperti yang kita pikirkan tersebut. Karena itu pula para orang tua jaman dulu selalu mewanti-wanti putra-putri mereka agar tidak berpikiran yang macam-macam. Karena bisa dikatakan, pikiran yang diyakini adalah doa yang sewaktu-waktu bisa menjelma kenyataan.

“Tepat sekali. Seharusnya aku tidak perlu lagi bertanya hal sekecil itu pada seorang kandidat master.” Gurauku.

“Jangan berlebihan.” Kamu menyanggah sebelum lanjut bertanya, “Lalu Law of Attraction seperti apa yang membawamu ke Bosnia?”

Aku menarik cangkir kopi Italia di hadapanku, mengaduknya santai sambil menjawab pertanyaanmu. “Aku selalu berpikir sekaligus meyakini bahwa suatu hari aku akan datang ke negara ini. Padahal kala itu aku sama sekali tidak tahu cara yang akan kutempuh untuk bisa ke sini. Dan akhirnya, Bosnia sendiri yang menarikku untuk datang. Negara ini yang memanggilku untuk datang. Besok aku akan bicara soal bukuku yang kedua di KBRI Sarajevo. Apa kau bisa datang?”

Kau menggeleng. “Aku akan kembali ke Belgia malam ini. Dosen pembimbingku mendadak ingin bertemu besok sore.”

Tidak masalah. Kau memang selalu sibuk. Keberadaanmu saat ini saja sudah membuatku sangat bersyukur. Aku bahkan hampir tak percaya kau mau meluangkan waktu, tenaga, sekaligus uang untuk sekadar bertemu sebentar denganku.
Aku melihat ke luar jendela. Di sana, di kejauhan, mataku menangkap Stary Most yang berdiri dengan anggun. Sebuah jembatan bergaya klasik yang dibangun pemerintahan Turki Ustmani pada abad ke-16. Jembatan itu adalah saksi peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi di Bosnia Herzegovina, khususnya di Mostar ini. Saat peperangan pada tahun 1992-1995, jembatan itu pernah hancur akibat keserakahan tentara Serbia. Tapi kini, jembatan itu telah direnovasi, keindahannya tidak pudar sedikit pun. 

“Hmm, apakah The Law of Attraction juga berlaku padaku sekarang? Buktinya kau telah menarikku datang ke negara ini.” tanyamu polos, membuatku ingin tertawa.

“Mungkin saja.” jawabku. “Kau tahu kenapa?” aku balik bertanya.

Kau diam sejenak, lalu menggeleng, dan menjawab, “Entahlah.”

“Karena sejak bertahun lalu aku berpikir sekaligus sangat yakin bahwa engkau akan datang padaku. Tidak peduli seberapa jauh kakimu telah melangkah.” Aku mengatakan sebuah rahasia tanpa ragu.

Aku melihat ke arahku beberapa saat, sebelum akhirnya menunduk pada cangkir kopi berwarna cokelat tua di hadapanmu. “Biarlah semuanya berjalan apa adanya dahulu.” Katamu datar.

Ya, benar. Memang itulah yang terbaik. Lagipula selama ini aku tidak pernah menuntut apapun darimu. Aku bahkan tak tahu bagaimana kabarmu selama di Belgia. Terkadang di suatu sore yang indah, aku jadi khawatir, khawatir di benua yang terpisah jutaan mil sana kau bertemu dengan seorang wanita yang berhasil menarikmu. Aku khawatir kita tak pernah lagi bisa bertemu atau suatu saat ada satu hal yang mengahalangi kita untuk bertemu.

“Habiskan kopimu. Kita datang ke sini tidak hanya untuk duduk seperti ini, kan? Di luar sangat indah.” Kau berseru, beranjak, lalu membayar dua cangkir kopi yang menemani siang ini.

Aku menamatkan tegukan terakhir kopiku. Lalu memungut tas dan mengejarmu keluar.

“Segarnya...” desisku lirih seraya menghirup udara dalam-dalam.

Kau tersenyum tipis meski pandanganmu lurus ke depan. Kita berjalan beriringan menuju Old Bridge atau yang lebih dikenal dengan Stari Most, jembatan paling impresif di area Old Town ini.

“Semoga ini bukan pertemuan yang terakhir.” Katamu.

“Semoga.” Aku menyahut. Tersenyum. Kalimat terakhirmu begitu menenangkan.

Sore nanti kita berpisah. Aku akan ke Sarajevo untuk acara besok, lalu ke Turki selama dua minggu, dan kembali ke Indonesia. Sementara engkau akan terbang ke Belgia nanti malam, kembali melanjutkan kesibukan di kampus. Selebihnya adalah tentang waktu dan takdir. 
Fotonya rada gak nyambung ini :( but I love them.

List Destinasi Wisata di Bali!

Wah, tidak terasa yah sudah memasuki akhir tahun! So, apakah Anda sudah memiliki rencana untuk menghabiskan liburan akhir tahun dengan orang-orang tersayang? Atau masih bingung memilih tempat sebagai lokasi liburan? Beberapa destinasi yang ada di bawah ini, barangkali bisa menjadi alternatif  Anda untuk berlibur di pulau Dewata Bali. Pastikan dulu Anda mencari penginapan dan hotel di Traveloka untuk kenyamanan Anda selama di sana!

Sumber: pexels.com

Saturday 26 November 2016

Zainab binti Muhammad: Kisah Cinta Beda Agama Putri Rasulullah SAW



Jika ditanya tentang kisah cinta paling inspiratif dalam Islam, semua orang pasti akan menjawab kisah cinta Yusuf dan Zulaikha, Muhammad SAW dan Khadijah, atau Fathimah dan Ali bin Abi Thalib. Kisah ketiga pasangan ini selalu disebut-sebut dalam banyak tulisan. 

Zulaikha yang sangat mencintai Yusuf selama bertahun-tahun, Muhammad SAW yang tetap bersedia menikahi Khadijah meski jauh lebih tua darinya, dan Fathimah dan Ali yang diam-diam saling mencintai. Melihat bagaimana mereka akhirnya dipersatukan dalam ikatan pernikahan, mejadikan kita sadar betapa kuasa Allah membuat skenario indah untuk setiap hamba-Nya di muka di bumi ini. 

Muslimah, Inilah Hal-Hal yang Harus Dilakukan ketika Patah Hati

Hal-Hal yang Harus Dilakukan ketika Patah Hati


My dear Muslimah, pernahkah kamu mengalami kekecewaan mendalam disebabkan oleh cinta? Ketika selama ini kamu habiskan waktu untuk mengamatinya dari kejauhan, diam-diam menyebut namanya dalam doa, tidak pernah berani untuk menyapa, namun di dalam hati tersimpan sebuah impian besar, suatu saat ia akan datang ke rumahmu untuk sebuah niat mulia bersamamu, yaitu pernikahan. 

Hari berganti, hingga sekian bulan bahkan tahun, cinta ini tetap tersimpan rapi di dalam hati. Bagimu melihat dia tersenyum, mendengar kabar tentang prestasi-prestasinya, mengetahui hidupnya selalu dilimpahi kebahagiaan, adalah hal terindah yang juga membuatmu bahagia. Senyumnya adalah senyummu juga. 

Wednesday 23 November 2016

A Part of Novel Project





Pagi hari di penghujung tahun 2008, mendung menggelayut hitam di langit kota Ann Arbor. Gerimis malam tadi membuat jalanan basah. Jaket-jaket dirapatkan. Payung dibuka. Orang-orang semakin mempercepat langkah mereka.

Naela terbangun sekitar pukul delapan lebih. Pengaruh obat tidur ditambah obat bius yang disuntikkan seseorang malam tadi membuat tidurnya melebihi batas. Saat matanya terbuka, pandangannya masih kabur. 

Ia berusaha mengingat kejadian terakhir yang dialami, termasuk mengingat apakah itu kamarnya sendiri atau bukan. 

Hampir lima menit ia berusaha mengumpulkan kesadaran, hingga akhirnya ia dikejutkan oleh semua kenyataan yang ada di depan matanya. 

Kamar itu bukan miliknya, tempat tidur juga bukan, dan tubuhnya yang terbungkus selimut kenapa bisa tanpa pakaian? Keterkejutan Naela semakin menjadi-jadi saat ia mendapati setumpuk pakaian yang bertumpuk di atas sofa, termasuk kerudung biru muda yang tadi malam masih menempel di kepala. 

Dadanya terasa sangat sesak, bahkan ia kesulitan untuk bernapas. Matanya perih, tapi tidak menangis. Berkali-kali ia berseru bahwa semua itu hanya mimpi dan ia akan segera bangun. Tapi semakin ia berusaha untuk menenangkan diri, semakin ia sadar bahwa semua itu bukan mimpi. Itu adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi, benar-benar harus ia hadapi di dunia nyata.

Ia beranjak sambil membawa serta selimut untuk menutupi tubuh. Ada rasa perih dan nyeri yang amat sangat saat ia berjalan. Ia mondar-mandir seperti orang gila, kemudian menggedor-gedor pintu kamar mandi. Tidak ada siapa pun di kamar itu selain dirinya sendiri. Tidak ada benda apapun yang ditinggalkan sang lelaki kecuali seprei yang kusut dan sedikit noda di sana. 

Pagi itu Naela tidak lagi ingat bahwa ia belum shalat Subuh. Itu adalah puncak kehancuran yang membuat hidupnya tidak ada gunanya lagi. Seperti orang gila dia meninggalkan hotel, berjalan tersaruk-saruk di bawah gerimis, menangis menuju apartemen. Pakaiannya basah. Dingin menggigit, namun ia tidak peduli. Rasanya semua manusia di kota itu sangat kejam padanya, hingga saat kondisi yang seperti itu tak ada satu pun yang sudi menghampiri. Satu dua orang yang berpapasan hanya melemparkan pandangan aneh tanpa berniat untuk bertanya apapun. 

Saat melintas di sebuah jembatan, sempat terbersit dalam pikiran Naela untuk lompat ke bawah. Lantas tidak akan ada lagi rasa sakit, dendam, marah, dan malu yang harus ia tanggung. Mungkin sore nanti salju pertama akan turun. Jantungnya akan cepat berhenti bersama tubuh yang membeku. Lalu mayatnya yang kaku akan ditemukan orang-orang beberapa jam kemudian. 

Laki-laki itu pasti akan hidup dengan rasa bersalah saat melihat jasadmu. Dia tidak akan hidup tenang. Ayo, lompatlah Naela! Untuk apa lagi kamu hidup dengan noda seperti ini? Kamu mau pulang ke negaramu dengan bangga seperti para perantau lainnya? Cuih, kamu pikir kamu sama dengan mereka yang suci? Di mana mukamu? Lalu bagaimana jika kamu mengandung anak setan itu, apakah kamu sanggup melahirkan dan membesarkannya? Cepat, lompatlah!” suara yang entah dari mana asalnya berkeliaran dalam kepala Naela.

“Diam...! Kumohon diamlah! Aku tidak akan pernah bunuh diri...!!!” jeritnya di atas jembatan yang kosong. 

Seandainya para laki-laki yang tega menodai wanita itu mengerti betapa berat beban lahir dan batin yang harus ditanggung korbannya. Masihkah mereka mementingkan nafsu sesaat yang keindahannya tidak bersisa? Hingga kiamat pun mereka tidak akan pernah mengerti, kecuali jika Tuhan berkenan mengubahnya menjadi wanita. Karena sejak dulu, hati wanita selalu berlebihan dalam memaknai sesuatu. Ia bisa sangat bahagia karena hal sederhana, atau sangat kesakitan karena hal sederhana pula. 

Tapi hari itu, semua orang sepakat bahwa Naela tidak sedang mengalami hal sederhana. Karena itu akan menjadi noda yang melekat sampai akhir hidupnya nanti. Itu adalah noda yang akan dipakai seperti ia memakai nama sendiri.

***

*Saya sudah pernah mengirimkan naskah novel setebal 400+ halaman ke sebuah penerbit mayor yang bisa dibilang nomor satu di negeri ini, dan tiga bulan kemudian saya menerima jawaban dari mereka. Ya, seperti kebanyakan penulis pemula, naskah pertama ditolak. Mereka bilang ceritaku masih bisa dikembangkan lagi. 

This is the copy of their comment, "Ide cerita naskah Anda menarik dan ditulis dengan baik sekali. Perjuangan perempuan dalam menghadapi tantangan dalam hidupnya selalu dapat memotivasi perempuan lain untuk menjadi lebih baik. Namun sayangnya, ide, teknik penulisan, dan amanat yang baik saja belum cukup untuk menjadikan agar sebuah karya dicintai para pembaca. Dibutuhkan racikan pas antara unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik lain, serta sudut pandang yang khas dan mampu memberikan keistimewaan satu naskah dari naskah lain. Naskah 'Musim Kesabaran' masih memiliki banyak ruang pengembangan untuk kemudian akan dicintai dan senantiasa dinikmati para pembacanya. Bila memang kita tidak berjodoh untuk bekerja sama kali ini, kami tetap membuka kesempatan selebar-lebarnya untuk kesempatan lain di masa mendatang."

Dan setelah naskah kubaca kembali, yes they are true, untung saja naskah itu dikembalikan, jika tidak aku pasti malu saat dibaca orang lain. Masih banyak kekurangan di sana-sini. Now I am working in editing, also revise some chapters. Bahkan sekitar 70% cerita saya rubah. Setelah dibaca ulang, saya sampe berseru, "Duh Sofi, tulisan kamu kok hancur begini??? Banyak hal gak penting kamu masukkan." 

Yes, sekarang sudah hampir setahun dan naskah tidak kunjung rampung *tears. Doakan ya sahabat semua. Saya sengaja bekerja keras agar kelak naskah ini bisa diterbitkan oleh penerbit mayor, that's why saya gak mau asal nulis untuk kemudian diterbitkan sendiri melalui self publishing. Apapun yang terjadi harus tetap semangat menulis. Penolakan hal yang biasa. I need a year just for writing my first experience. Hehe...

Hope you enjoy a part of my novel. *Novel yang ide ceritanya, juga nama tokoh utamanya, sudah dibuat sejak jaman di pesantren.


Thursday 17 November 2016

Bahagia dengan Istighfar

Seorang wanita berkisah (dalam buku Menjadi Wanita Paling Bahagia karya Syaikh Aidh Al Qarni): Suamiku meninggal dunia saat aku berumur tiga puluh tahun. Waktu itu, aku telah dikaruniai lima orang anak. Tak ayal, dunia pun terasa gelap gulita di mataku: dari hari kehari aku hanya bisa menangis seraya meratapi nasibku hingga kering airmataku. Aku semakin putus asa dan hari-hariku terus diliputi oleh kesedihan, kegundahan dan kecemasan. Apalagi, bila aku mengingat kelima anak-anakku yang masih kecil-kecil, sedang diriku sama sekali tidak memiliki pendapatan yang memadai untuk hidup mereka. Akhirnya, aku pun menjual sedikit demi sedikit harta peninggalan suamiku yang tak seberapa.

Syahdan, suatu hari aku menyendiri di kamar sambil mendengarkan siaran al Qur’an dan ceramah dari sebuah radio transistor. Lalu, terdengarlah olehku seorang syaikh menuturkan, “Barangsiapa memperbanyak istighfar, maka Allah akan mengusir segala kesedihan yang menghantuinya dan memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya.” Sejak mendengar ceramah itu, aku terus memperbanyak istighfar. Demikian juga dengan anak-anakku: aku perintahkan mereka untuk melakukan hal yang sama. Tak disangka, enam bulan kemudian sebuah proyek besar membutuhkan sebagian tanah kami dan siap memberi ganti rugi berjuta-juta.

Bersamaan dengan itu, anakku yang pertama berhasil menjadi pelajar teladan di kota kami. Bahkan, ia sudah hafal al Qur’an dengan sempurna dan mendapat undangan pengajian di masyarakatku. Singkat cerita, sejak hari itu rumah kami serasa dipenuhi dengan anugerah: hidup kami lebih nyaman dan sejahtera dan Allah menjadikan putra-putriku sebagi orang-orang yang sukses dan saleh.

Demikianlah: kesediham, kecemasan, kerisauan, dan kegelisahan pun sirna dariku. Dan akhirnya, aku pun menjadi wanita paling bahagia.

Duhai Waktu...




Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).

Banyak yang ingin kutuliskan pada malam ini. Tapi sejak tadi, aku hanya diam memandangi layar laptop tanpa bisa menuliskan satu patah kata pun. Di luar pintu kamar, semua penghuni asrama sedang berkumpul membahas ujian lisan yang akan diadakan satu minggu lagi. Aku sengaja tidak ikut, karena merasa sudah terlalu banyak pengasuh senior yang mengurusi hal itu.

Hingga malam ini, pikiranku masih dipenuhi oleh satu hal. Ya, sejak tadi sore, entah mengapa aku merindukan teman-teman yang dulu bernaung di bawah atap asrama ini bersamaku. Kini aku kembali ke sini, dan tidak banyak perubahan pada teras, kamar, cat dinding, maupun taman di depan. Yang berubah adalah orang-orangnya. Setelah hampir lima tahun meninggalkan asrama ini, ternyata sudah banyak generasi yang berlalu.

Tadi menjelang Maghrib, saat aku berjalan menuju Masjid, seorang santriwati menyapa. Dia menanyakan apakah aku mengenal kakaknya. Setelah ia menyebutkan nama sang kakak, aku baru sadar bahwa gadis jelita di sampingku adalah adik sahabatku dulu. Sungguh tidak menyangka. Dulu sahabatku sering menunjukkan foto adiknya yang masih kecil, masih duduk di bangku SD. Lalu kini, si adik ternyata telah menjelma gadis remaja yang tidak lagi bisa disebut polos.

Rasanya baru kemaren aku menjadi santri, kini aku sudah kembali dengan status yang berbeda. Rasanya baru kemaren aku duduk di meja belajar, kini aku harus duduk di meja depan yang terkadang membuatku kehilangan bahan pembicaraan. Rasanya waktu begitu cepat melindas segalanya. Seolah masa-masa aku berkuliah selama tiga tahun, lalu kerja dan hal-hal lain selama dua tahun, itu tidak pernah terjadi.

Itulah waktu!

Jika aku ditanya, apakah yang paling kejam di muka bumi ini? Maka jawabannya adalah waktu! Lihatlah betapa buasnya waktu melahap segalanya: masa kecil, masa muda kedua orang kita, masa remaja, teman-teman, dan orang-orang tercinta. Waktu memangsa semua itu tanpa sedikit pun memberi kesempatan untuk kembali lagi. Tinggalah kita yang duduk mengenang, meratap, tersenyum getir, tertawa kecil, menitikkan air mata, kala mengenang segalanya.

Ah, waktu. Andai ia berwujud, maka akulah orang pertama yang akan datang padanya, menuntut padanya. Aku akan minta ia mengembalikan usia kedua orang tuaku, masa muda Bapak dan Ibuku, sahabat masa kecilku, desa dan parit-parit tempat kami berenang, hutan belukar tempat kami bermain petak umpet, dan ladang-ladang jagung tempat kami berlarian bersama angin.

Ah, waktu yang begitu kejam tanpa belas kasihan. Tapi setidaknya ada satu hal yang aku sukai darimu, adalah karena engkau mengajarkan kerinduan serta kasih sayang. Karena engkau, aku jadi merindukan masa kecil, masa lalu, sehingga aku bisa menyayangi sahabat kecilku dulu dengan tulus. Karena engkau, aku jadi bersemangat mengejar cita-cita, mengingat umur kedua orang tuaku yang terus merangkak tua.

Saat ini, aku hanya ingin menikmati apa-apa yang telah disisakan oleh waktu di tempat ini. Aku kembali ke pesantren tempatku dulu belajar. Setidaknya, jika aku merindukan sahabat-sahabatku dulu, masih ada menara Masjid yang bisa dipandangi, juga rumpun bougenville di samping asrama. Dua hal yang dulu kucintai, tidak berubah, dan kini juga masih kucintai.

Ini adalah kembali yang tidak kuharapkan, tidak kuangan-angankan. Bagiku, kembali ke sini adalah mimpi.

Entahlah. Apakah ia mimpi baik atau buruk.

Selama ini aku selalu ketakutan ketika membayangkan kembali ke sini. Karena itu pula aku selalu menunda pengabdian. Kala itu aku tidak sanggup menyaksikan sisa-sisa masa laluku—masa remajaku—di tempat ini.

Tapi inilah hidup. Jika Allah menghendaki sesuatu, maka sejauh apapun kaki kita melangkah, Dia akan membawa ke titik awal.

Ini adalah tanggung jawabku, hutangku... Mau tidak mau, suka tidak suka, pahit atau manis, hutang tetaplah menuntut bayarannya. Jika tidak sanggup melunasi di dunia, maka di akhirat pun akan tetap kita lunasi dengan azab yang pedih.

Sekarang, aku akan belajar menikmati hari-hariku sebagai pengajar. Suatu kegiatan yang selama ini sama sekali tidak ada dalam benakku. Di antara sekian banyak kekuranganku, salah satunya adalah aku tidak pandai bergaul akrab dengan sembarang orang. Karena itulah aku takut murid-murid tidak menyukaiku. Aku takut mereka bosan dengan penjelasanku. Dan karena itu pula, aku tidak pernah bermimpi menjadi seorang pengajar.

Namun apapun yang terjadi, takdir apapun yang menimpa dirimu, insyaAllah semua ada hikmahnya. Percaya bahwa rencana Allah swt jauh lebih baik dari rencanamu.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...