Friday, 4 April 2014

Untuk Bukti [Bagian I]

Source: click here
Sore ini langit tampak putih, tak ubahnya warna salju yang sejak tadi turun perlahan. Menyepuh deretan pohon-pohon meranggas dengan ranting-rantingnya yang diam, jalan-jalan yang sepi, kubah-kubah, serta pucuk-pucuk menara khas Ottoman yang mengerucut puncaknya. Beberapa orang yang bersisian denganku merapatkan jaket, seolah tak akan membiarkan angin musim dingin menyentuh kulit mereka sedikit pun.

Ini negeri orang, tetapi kenapa seperti kutemukan separuh waktuku yang lain?

Ini tanah orang, tetapi kenapa seperti kusentuh kembali remah-remah cintaku yang hilang?

Di sini, di depan sebuah Masjid di kota kecil Fatsa aku berdiri, seperti kembali, seperti menemukan napas yang sempat pergi.

Tak ada Hagia Sophia dengan Masjid Biru di sampingnya. Tak ada sebuah jembatan yang menyambung dua benua membentang di kota kecil ini. Tak juga ada bayang-bayang pasukan Muhammad Al-Fatih di mataku. Aku datang kemari bukan demi semua itu, bukan demi meninggalkan jejak demi jejak di tempat-tempat impian itu. Kedatanganku ke kota kecil ini hanya demi sebuah ‘bukti’.

Aku ingin membuktikan bahwa masjid yang gambarnya selalu kupandangi setiap hari benar adanya, bukan hayalan. Aku ingin membuktikan bahwa kota kecil ini nyata wujudnya, bukan maya. Itu saja. Dan jika diizinkan, bolehkah aku buktikan juga satu hal? Bahwa dia, yang wajahnya begitu kukenali juga benar seorang manusia. Manusia yang hidup layaknya manusia lain, yang memiliki hati dan bisa merasakan.

“Kenapa Fatsa? Semua orang yang datang ke Ottoman, selalu ingin melihat Istanbul, Bursa, Cappadocia, dan Konya, bukan kota kecil di tepi laut itu. Apa yang ingin kau lihat?”

Seorang gadis berambut pirang yang duduk di sampingku melemparkan pertanyaannya, tadi ketika kami masih berada dalam satu bus.

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kota kecil itu benar-benar ada.” jawabku dengan sedikit senyuman pias, kemudian mengalihkan pandangan keluar jendela. Lanskap di luar sana beku.

 “Begitu saja?” tanyanya kembali, mengerutkan dahi hingga kedua alisnya bertemu.

Kuanggukkan kepalaku. Apa lagi selain itu? aku tidak pernah berjanji dengan siapapun, tidak juga untuk mengunjungi seorangpun. Fatsa hanya sebuah kota kecil yang lanskapnya tersimpan begitu rapi dalam salah satu bilik di hatiku, tanpa pernah aku melihat wujudnya. Kota kecil itu juga menyimpan seorang anak manusia yang diam-diam kukagumi, sangat diam-diam. Dan sekarang, aku hanya ingin melihatnya. Tak berniat untuk mengubah apapun.

“Pasti ada sesuatu yang membuatmu begitu merindukan kota itu. Ceritakanlah padaku.”

Gadis itu menyikut lenganku, mengerjipkan matanya. Sementara bus terus melaju, menginjak butir-butir salju yang membentuk hamparan menyelimuti jalan. Kutarik napasku dalam, mengingat sesuatu.

“Kamu akan mencintai segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan sesuatu yang kamu cintai.”

“Aku tidak paham. Coba sederhanakan.”

“Kau punya seorang pacar?”

Pertanyaanku barusan terkesan tidak nyambung, wajar saja jika ia menampakkan keterkejutannya. Namun sesaat kemudian ia mengangguk dengan malu-malu.

“Apa lagu kesukaannya?”

You Raise Me Up, Josh Groban!” Ia menjawab cepat, penuh semangat. Ketara sekali dari sorot matanya yang terang.

“Kau juga menyukai lagu itu?”

“Semua yang ia suka, aku juga menyukainya.”

“Begitulah. Cinta selalu memanggil cinta yang lain."

Sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Ya, cinta selalu memanggil cinta yang lain...


Bogor, 04 April 2014


16 comments:

  1. Ceritanya bagus
    Aku juga ingin ke Istanbul. Moga terwujud. Aamiin

    ReplyDelete
  2. tulisannya yang indah, aku bacanya seakan sedang ada di lokasi yang diceritakan

    ReplyDelete
  3. Sependapat dengan Mak Lidya Fitrian. Tulisannya indah dan memesona. Tapi ini cerita asli atau fiksi, ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih :) Fiksi. hehe saya belum pernah ke Turki....

      Delete
    2. Oh, kadang saya suka keliru, mana yang fiksi, mana yg bukan :) semoga bisa ke sana...

      Delete
  4. Untaian kata dan anyaman kalimatnya sangat indah. Bagus banget, Mbak. Menurutku, bagus banget tuh kalau dibukukan.

    ReplyDelete
  5. Saya sebetulnya juga kurang begitu paham dengan apa yang ditulis dalam artikel ini, hanya samar-samar saja karena bahasanya novelis banget. Tapi bagus dan bisa menginspirasi saya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anda benar. Tulisan ini kubuat memang sengaja disamarkan maksud sebenarnya, biar pembaca memiliki banyak penafsiran. Dan kesamaran itu kuharap bisa ditutupi dengan judulnya, yang sengaja kutambahkan [bagian I], seolah-olah di lain tulisan aku akan menjelaskannya lagi. Novel banget? ya bisa jadi, bisa juga gak. Bisa jadi karena dalam novel aku punya banyak kesempatan untuk menjelaskan, jadi tulisan seperti di atas bisa dipakai di awal tulisan, tapi kalau dalam novel sebaiknya gak menggunakan bahasa njelimet juga. Tulisan di atas kubuat lebih menonjolkan segi 'perasaan' si aku. Terserah masing-masing, bagaimana menerjemahkannya. Terimakasih sudah berkunjung ;)

      Delete
  6. Tulisannya bagus mba, cuma ada bagian yang hilang aja, jadi rada bingung. Klo dijadiin novel pasti bagus deh... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih..iya saya juga merasa ada yang kepotong ceritanya... makasih ya udah berkunjung ;)

      Delete
  7. keren.....runtut..mengajak pembaca larut......kerenlah pokoknya......

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks for reading and visited my blog.... salam :)

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...