Wednesday 29 July 2015

Blog Diary: Bicara Jodoh dan Perjodohan




Malam itu bulan sudah tidak tampak lagi di langit desaku. Beberapa hari lagi bulan sabit akan segera menampakkan diri di pucuk-pucuk kelapa. Bulan Syawal. Ya, tepat malam lebaran, aku bersungut-sungut menggesekkan setrika yang tak kunjung panas di atas baju koko adikku. Sejak tadi kukatakan pada Ibu kalau setrika listrik milik kami harus segera diganti dengan yang baru, tapi dari dapur Ibu hanya menjawab  pendek, ‘Iyo, sesok’.

Selang tak begitu lama, kudengar ponsel milik Bapak berbunyi. Nada panggilan masuk. Karena Bapak sedang takbiran keliling, jadi Ibu yang mengangkatnya. Aku sama sekali tidak mendengar pembicaraan Ibu di telepon, dan aku pun tidak penasaran ingin tahu. Mungkin orang yang belum bayar zakat fitrah dan menanyakan apakah Bapak ada di rumah, pikirku. Hingga beberapa menit kemudian, kepala Ibu sudah melongok di pintu.
“Anaknya teman Bapakmu. Dulu dia manggil Ibu: bibi. Sekarang sudah ganti jadi manggil Ibu.” Ucap Ibu memberi tahu dengan wajah tidak nyaman.
Aku tahu siapa yang Ibu maksud ‘anaknya teman Bapakmu’ itu. Tanpa berniat menanyakan apa saja yang dia bicarakan di telepon, Ibu menyambung kalimatnya, “Dia bilang tahun ini tidak bisa pulang karena kontraknya belum habis. Mungkin tahun depan.” Setelah berkata, Ibu seperti menunggu responku. Tapi karena aku diam saja, dia segera kembali ke dapur.
“Mau pulang kek, tidak pulang kek. Siapa peduli? Lagipula kenapa dia harus menelepon orang tuaku?” gerutuku dalam hati. Hanya karena telepon itu, setrika di tanganku langsung terasa seperti bara api (Lebai, sumpah!). Rasanya ingin memarahi orangnya langsung, tapi untuk mencari nomornya di ponsel orangtuaku saja rasanya malas.
Cerita tentang ‘anaknya teman Bapakmu’ itu sebenarnya sudah kuketahui sejak satu tahun lalu, ketika ayahnya mendatangi Bapakku untuk menawarkan sebuah perjodohan. Alhamdulillah Bapakku bukan tipe orangtua yang suka memaksakan kehendak. Aku jadi ingat sama teman dekatku yang keluarganya menganut paham perjodohanisme garis keras. Pernah dia tidak sengaja nyimpan foto pacarnya, begitu ketahuan si ibu, langsung ditampar sampai tubuhnya jatuh ke lantai. Bukan karena si ibu melarang dia pacaran berlandaskan larangan dalam Islam, tapi karena ibunya tidak mau dia punya pacar yang dipilih sendiri. Maunya si ibu yang mencari kandidat, kalau ada yang pas, maka pernikahan akan diselenggarakan. Aku pernah tidak bisa berhenti tertawa, sekaligus prihatin bin kasihan, saat temanku itu cerita Ibunya mengenalkannya pada seorang dokter yang usianya sudah hampir kepala empat. Bagaimana pun jalan hidupnya nanti, semoga teman baikku itu mendapatkan lelaki terbaik yang bisa membahagiakannya di dunia dan akhirat. Aamiiin...

Untuk kasusku sendiri, dengan baik-baik Bapak katakan pada si ayah lelaki tersebut, bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi perjodohan seperti dulu, ketika mereka sama-sama muda.
“Anak muda sekarang sudah pandai mencari pasangannya masing-masing.” Kata Bapak.
Tapi, meskipun perjodohan itu tidak pernah mencapai kesepakatan, teman Bapakku plus anak lelakinya itu masih saja menganggap kalau perjodohan di antara kami terjadi. Aku sudah berulang kali bilang pada Bapak agar tidak mengangkat telepon dari mereka. Namun Bapak merasa tidak enak karena sudah kenal akrab dengan si ayah lelaki tersebut. Bahkan terkadang si lelaki yang tidak pernah kulihat wujudnya itu mengirimi pulsa ke ponsel Bapak dan Ibuku dari Malaysia sana. 

Dia pernah datang ke rumahku, di saat yang sama aku sedang di Bogor. Jadi kami tidak pernah bertemu sekali pun. Terkadang Bapak sedikit menyindir cerita perjodohan yang tidak disetujuinya itu, tapi aku tak pernah merespon. Aku juga tidak berhasrat untuk kenal laki-laki tersebut lebih jauh. Menanyakan ciri-cirinya saja aku malas. Bukan aku terlalu sombong, tapi memang selama ini aku hanya mengenal para lelaki cukup sebatas teman. Semuanya kuperlakukan sama. Tidak begitu dekat, tidak juga begitu jauh. Kecuali sepupuku yang satu kelas. Aku sering memasang display picture BBM bersamanya, karena dia adalah saudaraku, sudah kuanggap seperti kakak kandung. Untuk lelaki yang tidak pernah bersinggungan langsung denganku di kehidupan nyata, sementara dia tidak memiliki satu inner beauty pun, aku pilih malas mencari lebih jauh
.
Melalui Ibu, si lelaki ‘Anaknya teman Bapakmu’ itu pernah meminta alamat facebook, dan waktu itu aku berikan tanpa rasa curiga sedikit pun. Tidak tahunya dia punya rencana lain yang terkesan memaksakan. Tidak hanya dia, si ayah pun selalu cerita pada orang-orang kalau Bapak dan Ibuku adalah besannya.

Aku memang tidak pernah tahu seperti apa dirinya, tapi aku sudah paham betul tipikal lelaki yang tumbuh dan dewasa di pulau ini hingga beberapa pulau di dekatnya. Aku kurang suka pada lelaki yang tidak shalat lima waktu, juga pada lelaki yang tidak memiliki perencanaan untuk masa depannya (Perencanaan untuk kehidupannya sendiri dan bermanfaat bagi orang lain).

Satu hal lagi, orang sini masih akrab dengan praktek perdukunan. Desas-desus yang merebak di seluruh desa memberi tahu kalau beberapa pasangan di sini berhasil menikah atas bantuan dukun alias dipelet. Wallahu’alam kebenarannya, tapi soal perdukunan, aku mengaku di sini masih kental sekali. Soal perjodohan sepihak ini, aku juga khawatir akan berujung ke sana apabila si lelaki merasa dikecewakan. Pelet hingga guna-guna. Semoga Allah melindungi kita semua dari kejahatan jin dan manusia yang jahil seperti itu. 

Mengenai perjodohan, sebenarnya aku tidak mempermasalahkan jika suatu hari nanti Bapak mengenalkanku dengan seseorang. Asal dia adalah lelaki baik-baik. Lelaki yang hidupnya punya tujuan jangka panjang, tidak hanya giat mencari uang untuk menumpuk kekayaan pribadi, namun juga punya impian untuk menjadi penyejuk bagi orang-orang di sekelilingnya. Namun kuperhatikan, meski tidak semua, lelaki dan pemuda di sini tidak banyak yang seperti itu. Mereka memang giat dalam hal mengumpulkan materi, tapi soal agama, seolah-olah mereka tidak pernah ingat bahwa kematian bisa datang kapan saja, dan harta tersebut tidak bisa membantu sedikit pun kecuali harta yang menjadi amal jariyah. Jangankan untuk ibadah sunnah, baik shalat lima waktu  dan puasa Ramadhan saja banyak orang sini yang tidak mengerjakan. 

I am not a perfect Muslimah. Aku akui hal tersebut. Bahkan shalat wajib saja masih sering di akhir waktu. Namun aku yakin, setiap muslimah menginginkan seorang imam yang bisa membimbingnya menjadi lebih baik. Sebenarnya satu poin saja sudah cukup sebagai kriteria lelaki idaman, yaitu kesalehan. Lelaki saleh sudah pasti taat ibadahnya dan giat bekerja untuk menafkahi keluarganya. Jika dia hanya taat beribadah, namun dalam mencari nafkah ogah-ogahan, kesalehannya juga perlu dipertanyakan. Banyak lelaki yang mengaku agamis berpikir tidak baik hidup bermewah-mewah, Rasulullah saja tidur di atas pelepah kurma, sehingga semua pemikiran tersebut mendorong mereka menjadi malas bekerja. Semua itu dijadikan alasan untuk kemalasannya. Padahal di luar sana, para non Muslim, selalu menertawakan para Muslim yang memilih pasrah dengan kehidupannya yang lebih senang menjadi tangan di bawah.

Rasulullah hidup sederhana, itu karena pilihannya sendiri. Sedangkan ia memiliki kekayaan yang tidak ternilai jumlahnya. Bayangkan, saat itu Rasulullah jadi pemimpin di seantero tanah Arab, kekayaan itu bisa saja ia dapatkan dengan mudah. Banyak yang menawari. Tapi beliaunya yang tidak mau. Lha kalau orang sekarang, hidup miskin bukan karena pilihannya, melainkan itulah satu-satunya pilihan. Lalu kesederhanaan Rasulullah yang dijadikan alasan untuk mengelak.

Dalam kasus seperti di atas, aku tidak menuliskan tanpa dasar. Ada banyak lelaki yang terlihat saleh yang kutemui namun dalam urusan menafkahi anak istri, ia gagal. Salah satunya adalah suami temanku sendiri. Dia bilang tamatan pesantren, shalatnya rajin, tapi tidak mau bekerja, sampai-sampai buat beli susu anak mereka saja harus minta ke mertua. Akhirnya pernikahan tersebut tidak bertahan lama. Sekarang mereka telah bercerai. Yang seperti ini sudah pasti tidak dianjurkan dalam Islam. Entah dalil dari mana yang ia gunakan.

Aku ingat sebuah kisah saat masa kepemimpinan khalifah Umar. Kalau tidak salah cerita ini kubaca tahun lalu di buku cerita teladan milik adik. Di sana dikisahkan saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab tidak memiliki pakaian bagus.  Sebuah jubah penuh tambalan adalah jubah kesukaannya, dan itulah yang sering ia gunakan di pertemuan-pertemuan kenegaraan hingga menyambut tamu dari luar khalifah Islam. Para petinggi-petinggi kerajaan merasa iba sekaligus malu melihat pakaian pemimpin Islam tersebut. Apakah pantas seorang pemimpin kekhalifahan besar menggunakan pakaian seperti itu, sementara raja-raja non Muslim mengenakan jubah mewah? Mereka takut para non Muslim menganggap kekhalifahan Islam miskin sehingga tidak mampu membeli jubah yang bagus. 

Mereka lalu menghadiahi Umar dengan sebuah jubah yang sangat indah. Namun Umar segera bertanya, ‘Apa selama hidupnya Rasulullah pernah memakai jubah seindah ini?’. Para petinggi itu pun menjawab tidak pernah. Seketika Umar menangis tersedu-sedu dan berkata, ‘Lalu kenapa kalian menyuruhku memakainya sementara kekasih Allah selama di dunia tidak pernah memakainya?’. Semoga ini menjadi pengingat bagi tipe laki-laki yang mengaku saleh namun malas mencari nafkah. Para pemimpin Islam tidak hidup sederhana karena mereka malas bekerja, melainkan uang tersebut mereka sedekahkan. Sehingga kehidupan mereka justru naik derajatnya di mata Allah dan orang-orang. 

Kembali ke tema jodoh dan perjodohan yang saat ini selalu membuat kepalaku berdenyut-denyut. Terkadang meski tidak mau memikirkan, pertanyaan seperti ‘siapa jodohku nanti’ hadir dengan sendirinya di dalam kepala. Terlebih saat bertemu dengan teman-teman dan para adik kelas yang sekarang sudah menggendong anak. Semua itu membuatku sadar, cepat atau lambat setiap wanita tentu akan menikah. Dan sekarang adalah waktunya bagi generasiku, yaitu mereka yang lahir dalam rentang 1991-1996. Itu artinya, aku juga tinggal menunggu giliran. 


Ibuku berkali-kali menanyakan apakah aku memiliki seorang pacar, kebalikan dari Bapak yang lebih mendukung aku tidak pacaran. Sepertinya Ibu khawatir tidak ada laki-laki yang menyukaiku, maklumlah seorang Ibu pasti senang kalau anak gadisnya jadi idaman banyak lelaki. Apalagi saat satu persatu teman-teman masa kecilku, hingga para adik kelas yang kini masih duduk di bangku SMA, mengenalkan pacar-pacar mereka ke orangtua. Ibuku semakin sibuk saja. Aku yang awalnya santai-santai saja, kok jadi malah ikutan cemas.
“Seng seneng ambi aku iku ono, Buk. Tapi seng pas neng ati durung ono. Enek seng pas neng ati, lha tak perhatikan kok koyone udu aku seng disenengi, tapi koncoku.”
Ibuku manggut-manggut, mungkin dalam hati sudah mbatin, “Yoalah, nak. Kok melase eram nasibmu.” Huhuhu
“Wes, Buk. Seng tenang wae. Mengko nek gelem tak solati hajat, jangankan de’e, pangeran Emirat Arab wae teko rene ngelamar.” Wakakaka gubrak. Semua gelas di atas meja langsung pecah.
Just kidding. Mana berani aku bicara soal perasaan ke Ibu. Masih malu.
Jodoh adalah sebuah misteri. Itu benar adanya. Semua orang yang belum melewati momen ijab qabul, pasti penasaran siapa jodohnya nanti. Aku tidak mau lagi berharap pada manusia, karena seringkali kita malah kecewa. Dalam setiap doa aku hanya minta Allah mengamanahkan seorang lelaki baik sebagai suami. Dia baik untuk dunia dan akhiratku, dan aku pun baik bagi dunia dan akhiratnya. Itu saja. Siapa pun lelaki itu nantinya, entah itu dia yang datang dari sebuah perjodohan atau perkenalan, semoga dialah lelaki baik tersebut. Aamiiin insya Allah.

Monday 27 July 2015

Blog Diary: Kenapa Aku Setia dengan Wardah?



Sejak dari Pesantren lima tahun lalu, aku sudah mengenal wardah cosmetics. Yang paling khas itu warna packaging-nya yang identik dengan biru pastel. Sebuah pemilihan warna yang manis dan sangat feminin. Kala itu, meski sudah digunakan oleh perias-perias profesional, namun wardah belumlah sepopuler sekarang. Tidak banyak teman-temanku yang memakai brand wardah untuk keseharian. 

Time wore on. Tahun 2013 lalu, wardah menggelar sebuah lomba blog bertema ‘Aku dan Kosmetik Halal‘ dengan hadiah utama uang tunai senilai 10 juta. Aku yang saat itu masih duduk di semester dua, belum punya laptop, tergiur untuk mencoba ikut kompetisi. Itu adalah lomba blog pertama yang aku ikuti. Nulisnya di ponsel, lalu kurapikan di warnet. Blog ini masih blogspot gratisan, template-nya super alay, dan visitornya masih belum mencapai angka 10 ribu. Jujur saja, saat itu aku memang belum memakai wardah. Saat mau mencantumkan foto di tulisan yang dilombakan, aku baru sibuk beli. Tulisan yang kutulis bisa dibaca di sini: AKU, AISYE, DAN KOSMETIK HALAL WARDAH

Hari berlalu hingga waktu pengumuman yang telah ditentukan tiba. Setelah mendapatkan link dari blog detik (yang bekerja sama menggelar lomba bersama wardah), aku langsung landing di halaman pengumuman. Alhamdulillah tidak pernah disangka aku terpilih sebagai pemenang ketiga. Hadiah senilai 3,5 juta ditransfer hampir satu bulan kemudian karena harus melewati banyak proses administrasi. Uang tersebut kupakai untuk membeli laptopku yang sekarang. Thanks Allah, melalui wardah akhirnya aku bisa menulis dan mengerjakan tugas kuliah dengan mudah.

Inilah perkenalanku dengan wardah. Tidak tahunya, wardah lightening (malam dan siang step 1) yang kubeli demi mengikuti lomba itu malah membuatku jatuh cinta. Awalnya aku hanya mencoba pakai rutin, tapi entah bagaimana ceritanya sejak saat itu banyak teman-temanku yang berkomentar kalau kulit wajahku jadi lebih cerah. Bahkan ada yang tidak segan-segan menanyakan langsung kosmetik apa yang kupakai. Jujur kukatakan bahwa aku hanya menggunakan krim saja, tidak pakai fondation, lipstik, eye liner, dsb. 

Sejak itulah, aku jadi pengguna setia wardah. Tidak tahunya, sekarang, banyak temanku yang ikutan pakai. Malah mereka belinya yang seri ekslusif dengan harga dua kali lipat. Di kampung halaman, akibat ibuku yang cerita ke teman-temannya mengenai aku yang menang lomba menulis wardah, banyak ibu-ibu yang jadi mengenal wardah. Beberapa perempuan seusiaku bertanya langsung padaku, apa kosmetik yang kugunakan, ketika aku pulang kampung setahun sekali. Dan kini, aku dikelilingi oleh teman-teman dan ibu-ibu yang pakai kosmetik wardah.

Entah ini suatu kebetulan, sejak 2013 lalu, dimulai dari lomba blog yang digelar wardah, brand kosmetik ini jadi begitu tenar. Iklannya di televisi semakin banyak, brand ambassador-nya juga bukan wanita-wanita biasa, ditambah wardah selalu jadi sponsor make up di hampir semua program televisi. Bisa dibilang, tiga tahun terakhir adalah masa kejayaannya wardah. 

Aku menyukai wardah tidak hanya dari segi kualitasnya, tapi juga warna-warna yang dipilih di setiap iklannya. Lihat saja iklan yang menampilkan Dewi Sandra saat jalan-jalan di Prancis, lalu iklan para gadis inspiratif dengan lagu ‘You’re beautiful like a rainbow’, Iklan Girls Day Out, iklan lightening seriesnya Dewi Sandra dan Tatjana Saphira, iklan mascara dan eye linernya Dewi Sandra dan Ineke, dan banyak lagi. Dari semua iklan tersebut, tidak ada satu pun yang tidak menarik. 



Mereka memilih pakaian, make-up, tata ruang, pemandangan, hingga lighting camera yang khas. Jadi meskipun mata kita tidak sedang fokus ke layar televisi, kita tetap tahu kalau iklan tersebut adalah iklannya wardah. Hal lain yang membuat menarik, iklannya selalu terkesan menunjukkan sisi inspiratif seorang wanita, menunjukkan keanggunan seorang wanita yang sederhana dengan warna-warna sederhana pula. Dijamin deh, pasti banyak wanita yang terpikat oleh iklan-iklan tersebut. Gaji untuk bagian promosi dan iklan sepertinya bisa naik berkali-kali lipat karena keberhasilan ini.

Soal produk yang dipakai, aku tidak mengoleksi banyak. Hanya yang penting-penting saja, seperti lightening (day and night), sunscreen SPF 30 (tapi sekarang nggak perlu karena di lightening day cream sudah ditambah SPF 30), BB Cream yang berfungsi sebagai pelembab sekaligus fondation, powder two way cake, eye liner gel, plus lipstik warna natural yang sesekali dipakai. Semua itu benar-benar kosmetik basic yang dibutuhin semua perempuan. Jadi kurasa nggak berlebihan kalau aku juga punya.


Sunday 26 July 2015

Travel Diary 2014: Skyway to Genting Highland



Malaysia truly Asia. Kalimat inilah yang diucapkan Alfian, salah satu rekan perjalanan selama ke Malaysia pertengahan tahun lalu, saat kami meluncur di atas belantara hutan menuju puncak bukit di Genting. Aku tidak langsung menangkap maksud ucapan Alfian serta alasannya yang tiba-tiba mengucapkan jargon Malaysia tersebut. Truly Asia? Memangnya Skyway ini buatan asli Asia? Rasanya nggak juga. Soalnya aku pernahlihat skyway yang lebih keren di Jepang. Di Indonesia juga ada, tepatnya di TMII, tapi masih kalah keren kalau dinilai berdasarkan medan dan jarak tempuh. Lalu mananya yang truly Asia? Meskipun terus bertanya-tanya, namun aku nggak berhasrat untuk bertanya pada Alfian.

Semakin lama di dalam skyway menuju Genting Highland, akhirnya aku bisa menjawab semua pertanyaan tersebut sendiri. Dengan yakin kukatakan bahwa yang dimaksud Alfian Truly Asia adalah hamparan hutan tropis yang membentang hijau di bawah sana. Jika Jepang menyajikan pegunungan bersalju, Malaysia sepertinya cukup tahu diri kalau wilayahnya sama sekali tidak bersalju. Mereka paham betul bahwa setiap negara memiki potensi masing-masing untuk ditampilkan. Dan sebagai negara yang juga berada di sekitar Khatulistiwa, beriklim tropis, mereka menjadikan hal tersebut sebagai peluang. Salah satunya adalah keindahan hutan. 
 
Photo by me
Tidak semua negara punya hutan tropis seperti Malaysia, Indonesia, dan tetangga. Apabila ini ditunjukkan dengan apik (salah satunya dengan skyway), tentu banyak turis mancanegara (terutama dari negara non tropis) yang akan suka. Jadi nggak perlu heran saat udah sampai di puncak bukit, kita akan bertemu wajah-wajah Barat dan Arab. 

Indonesia sih punya juga hutan begituan, bahkan di ujung desaku juga ada. Dulu masa aku kecil, hutan di desaku masih belum terjamah. Gelap bukan main. Flora dan faunanya buanyak. Ada burung rangkok, ada macannya juga. Tapi sampai sekarang hutan itu sudah habis terbakar, tidak sekali pun aku pernah melihatnya langsung dari dekat, terlebih memasukinya. So, keindahan hutan yang diceritakan orang-orang tua hanya sebatas cerita bagi kami (generasi 90-an ke atas).

Sayang, kan? Andai Indonesia punya inisiatif buat membangun skyway melintasi hampara hutannya juga, sudah pasti keindahan seperti itu bisa dinikmati banyak orang. Katanya sih Indonesia punya biodiversiti paling banyak di dunia, binatang dan tumbuhan di hutannya bermacam-macam, tapi sayang nggak semua anak negeri bisa lihat langsung. Lucu aja saat kita bangga-bangga ke orang luar tentang burung cenderawasih, komodo, dsb, namun saat ditanya sudah pernah lihat langsung apa belum, jawabannya belum. Lalu apa bedanya dengan mereka yang tinggal di luar Indonesia?
Tropic forest
Mas Faisal, Alfian, Me, Darwin
Yes, mungkin karena kita kurang show up potensi alami yang dimiliki. Nggak bisa nyalahin juga sih kalau orang Indonesia itu kebanyakan nggak bangga pada negeri sendiri. Karena memang yang dibangga-banggakan itu kebanyakan hanya ada di tulisan dan foto-foto, butuh usaha ekstra buat dinikmati dan dibuktikan langsung. Contohnya aja Raja Ampat. Banyak sih tulisan dan foto dari para traveler sejati yang menunjukkan keindahannya, tapi kan buktinya kita orang Indonesia saja susah buat lihat langsung ke sana. 

Okeh kembali ke Skyway, ya. Saat naik skyway di Genting, kita akan merasakan keheningan luar biasa. Seolah-olah sedang tersesat di tengah-tengah hutan. Meskipun dalam satu skyway bisa diisi oleh 8 orang, dan biasanya sibuk ngobrol, cekikikan sampai ketakutan bareng, hingga nempel ke sana ke mari buat foto, tetap saja keheningan nggak bisa hilang. Rasanya sejenak kita pergi sangat jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang biasa dijalani. 

Hutan-hutan lebat di bawah pun kelihatan tropis banget. Di beberapa bagian kelihatan sangat lebat. Aku membayangkan seperti apa gelap dan susah seandainya jalan kaki di bawah. Nggak terpikirkan bagaimana caranya orang-orang mendirikan tiang-tiang tinggi penyangga skyway yang membelah hutan selebat ini. Harus ngadepin semak-semak, ular, macan, monyet, burung, semut api, gelap-gelapan, mendaki bukit lagi. Salut, deh!

Sampai di atas, kita akan merasakan udara sejuk karena memang sedang berada di puncak bukit. Di sana ada operation deck dari kaca yang memudahkan kita untuk melihat pemandangan di bawah. Bangunan-bangunan di sana difungsikan sebagai pusat perbelanjaan, cafe, game spot, miniatur ikon-ikon negara (kayak kanal-kanal di Venice, patung liberty, menara eiffel, dsb), restoran, hingga casino. Nggak jauh beda lah sama fasilitas-fasilitas yang ada di Macau. Bedanya di Genting ini banyak orang Arabnya, banyak wanita-wanita bermaskara tebal dan berabaya. Kalau di Macau, cari yang pake kerudung aja susah.

Soal seniman jalanan (meskipun nggak sedang di jalanan juga), di sana ada beberapa. Waktu aku ke sana kemaren, ada seorang perempuan bule berpakaian gaun tradisional putih yang nari-nari sambil memainkan bola bening. Mau dia gerak-gerak jumpalitan pun, tuh bola seperti lengket di tubuhnya. Ada pula beberapa orang berwajah Cina yang main sulap. Ada yang jalan-jalan pakai kostum superhero (Iron Man, dkk). Ada juga yang pasang speaker-speaker segede gajah di jalan umum, terus mereka nyanyi-nyanyi di sana. Sampai-sampai aku berpikir, nih orang pada niat banget ya cari duit. 

Bagaimana cara ke Genting-nya?

Gampang aja. Kalau kamu ke Malaysia pakai jasa tour travel, dijamin nggak perlu request, Genting pasti sudah ada dalam itinerary. Kalau backpack, banyak kok bus-bus yang membawa turis menuju spot ini. So, jangan lupa main ke sana, ya.


Friday 24 July 2015

Macau: Perjalanan Mendaki Penha Hill



Si Ijaah.com lagi serius banget jalannya

Sejak ke Macau akhir tahun lalu, rasanya aku belum pernah berpelesir kemana pun lagi, kecuali hanya kota-kota di pulau Jawa yang tidak begitu menarik untuk diceritakan. Meski sudah banyak menuliskan tentang perjalanan ke Macau, namun tetap saja masih ada foto-foto yang sayang kalau tidak ditampilkan. Nah, tidak mungkin juga aku share foto di blog tanpa sebaris kalimat pun, jadi mau tidak mau harus ada sedikit cerita yang kucantumkan.

Macau memang terkenal dengan bangunan megah hotel-hotelnya, termasuk casino yang menawarkan segala malam jenis permainan judi super lengkap. Jadi secara garis besar tiap kali disebut nama Macau, kita pasti akan berpikir tentang casino. Yeah, kurasa memang tepat kalau ia dijuluki Las Vegas-nya Asia.  So, jika ingin memotret dengan view khas Cina, aku tidak menyarankan kalian hunting foto di areal central Macau yang lebih terkesan Eropa, melainkan sedikit korban tenaga untuk memasuki wilayah rumah-rumah penduduk. Di sana kita akan menyaksikan Macau dari sisi yang benar-benar berbeda.

Seperti pagi itu, tepat di hari kepulangan kami menuju Hongkong, aku dan dua orang finalis lomba blog Why Macau (Una & Zahra) menyempatkan untuk berkunjung ke A Ma Temple. Rasanya sayang kalau sudah sampai Macau tapi tidak melihat langsung kuil yang penuh legenda tersebut. Kami keluar kamar hotel pagi-pagi sekali, segera sarapan, lalu menunggu bus sekitar sepuluh hingga lima belas menitan. Bersama masyarakat lokal, kami akhirnya meluncur menuju lokasi kuil.

Ternyata oh ternyata, A Ma Temple tidaklah semegah yang ada dalam bayanganku sebelumnya. Dari segi ukuran, bentuk, dekorasi, arsitektur, dan segala macam, semuanya masuk dalam kategori sederhana. Sangat sederhana malah. Hanya ada ruang sembahyang sempit yang dipenuhi peralatan khas Cina, aroma dupa yang tercium di segala sisi, dan gantungan ‘wishes’ di halaman tengah. Di luar gerbang kuil, kita akan melihat halaman luas dengan kursi-kursi yang dinaungi pepohonan. Di sanalah terlihat banyak warga lokal yang bersantai menghirup udara segar.

Usai dari kuil, aku dan Zahra memutuskan untuk pendaki Penha demi melihat langsung gereja yang sejak pertama kedatangan di Macau sudah menyita perhatian. Yes, tiap kali melintasi jembatan yang membelah selat kecil di sana, semua mata tentu bisa menangkap gereja yang berdiri di ujung bukit. Meskipun ia terihat kecil di kejauhan, tapi karena posisinya yang strategis, ia mampu menarik perhatian. Si Una yang tahun sebelumnya sudah pernah traveling ke Macau memberi tahu kami kalau jalan menuju gereja ada di depan A Ma Temple. Wah, dekat. Karena itulah aku dan Zahra sepakat untuk naik, sementara Una pilih nunggu di sekitar kuil.
 
On the way Penha
Bingung juga si Ijah lagi motret apa.

Sekitar-sekitar sana juga
Jalanan terus menanjak, tapi entah kenapa aku menyukai suasana asri di sana. Rasanya berbeda 180 derajat dengan suasana Macau yang selama beberapa hari lalu kusaksikan. Jalanan yang lengang, udara yang sejuk, pepohonan, rumah-rumah yang menunjukkan identitas ke-Cina-an, dan satu dua orang kakek yang tetap berstamina menyusuri jalan menanjak bersama anjing kesayangan. Andai waktu itu kami sedang tidak dikejar-kejar waktu keberangkatan ke Hongkong, tentu perjalanan akan jadi lebih khusyuk. 
 
Gate of the Church
 
Sisi kiri gereja
Kali ini tema foto-fotoku adalah Macau versi kusam. Maksudnya ingin memperlihatkan kalau Macau itu juga punya sisi kusam-kusamnya seperti yang terlihat dalam foto, tidak melulu bangunan hotel mentereng yang megah. Biarpun bangunan di areal bukit Penha ini dipadati bangunan tua, jalan dan gang-gang sempit, tapi urusan kebersihan tetap dijaga. Dan lagi-lagi, di jalan sekecil itu, tidak ada macet di sana. 

Tepat di samping gereja di atas bukit, ada sebuah taman kecil yang waktu itu hanya terlihat beberapa orang ibu sedang bersantai. Dari sana kita akan melihat Macau Tower dalam posisi paling pas buat difoto. Seandainya aku pandai memotret, sudah pasti hasilnya akan sangat bagus. Nah, dengan modal kamera pas-pasan dan lack of photography technique, inilah Macau Tower hasil jepretanku.
 
Macau Tower from top Penha Hill
Oke, pukul sembilan lebih. Itu artinya kami harus tancap gas menuju hotel buat check out. Lain kali kalau ke Macau, jangan lupa buat mendaki Penha, ya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...