Wednesday 30 April 2014

Untuk Kita... [We are Always Nine]

Kita!
Aku memang terbiasa begini, tidak bisa terlalu dekat dengan seseorang. Dulu, ketika di pesantren, aku pernah memiliki seorang teman yang kelihatannya sangat dekat denganku, namanya Desi (aku memanggilnya Mbak Desi). Kita tinggal satu kamar sejak kelas X hingga tamat, ke mana-mana berdua, dan kompak. Tapi tahukah, bahwa sebenarnya aku tidak tahu apa-apa tentang dia, dan dia juga tidak mengenaliku terlalu jauh. Kita hanya bercerita hal-hal biasa, tak ada hal-hal kita sembunyikan dari teman-teman lain. 

Monday 28 April 2014

Sehari Tanpa Internet Itu? [Pemenang Pertama]



Internet di Masa Ini

Internet memang sangat booming beberapa tahun terakhir. Hampir semua kegiatan manusia tidak bisa dilepaskan dari internet. Baik itu bidang kesehatan, ekonomi, politik, sosial, lingkungan, pendidikan, banyak lagi. Terlepas dari semua pengaruh buruk internet akibat penyalah gunaannya, kita tidak bisa memungkiri bahwa internet sangat membantu manusia saat ini.


Tuesday 22 April 2014

Nasib Senja Sang Zombigaret Tua

Source: click here
Senja hari ini masih basah, hujan kerap sekali menyambangi dan mendung tetap menggantung di langit. Butiran bening di pucuk-pucuk rerumputan berkilauan sebelum jatuh menyentuh bumi. Terdengar bunyi ringkikan berat setiap kali aku nenarik napas sebelum melepas batuk. Namun tanganku tetap tak peduli, terus saja menyumpalkan sebuah benda panjang yang berasap ke mulut. Menghirupnya dengan rakus sebelum menghembuskan ke udara. Kembali aku terbatuk-batuk, kali ini sampai membuatku harus memegangi dada yang perih.


Monday 21 April 2014

Resensi Novel: The Chronicles of Ghazi (Sebuah Kejujuran Tentang Sejarah yang Mengharukan)

Sumber: klik di sini
Di satu belahan bumi, lahir seorang lelaki yang kelak akan menjadi pemimpin terbaik kaum Muslim. Di belahan bumi yang lain, lahir pula lelaki yang akan menjadi salah satu manusia terkejam dalam sejarah.

Muhammad Al-Fatih dan Vlad III Dracula menjadi wakil dari pertarungan haq dan bathil. Antara Kesultanan Usmani dan Kerajaan Eropa Timur, dan takdir mereka sudah digariskan untuk berbenturan sejak kelahirannya. Dan ini adalah kisah mereka.

Novel yang memiliki judul asli The Cronicles of Ghazi, Perseteruan Hidup-Mati Dracula & Muhammad Al-Fatih ini ditulis oleh Ust. Felix Y. Siauw dan Sayf Muhammad Isa. Merupakan novel series yang menceritakan peperangan yang dipimpin dua anak manusia seperti yang dijelaskan di atas. Penceritaannya mudah dicerna karena bebas dari deretan tanggal dan tahun, sangat berbeda dengan buku sejarah seperti yang kita temui. Kenapa aku menyebutnya sebagai novel? Karena memang penyajian sejarah ini berbentuk novel, persis seperti kamu membaca novel heroik. Bedanya, ini adalah kisah nyata.

Saturday 19 April 2014

Tentang Cinta, Harapan, Penantian, dan Ketidak Pastian

Sumber: klik di sini
“Berapa banyak hati yang menanti di dunia ini? Lalu berapa banyak pula mereka yang kecewa dengan penantian, merenungi cinta yang mengerikan?”

“Kenapa tiba-tiba kamu bertanya soal itu?”

Aku berusaha tersenyum tipis, mengusap kepala dengan kedua telapak tangan. Laki-laki yang duduk dengan jarak setengah depa di sampingku menoleh, pastilah menanti jawaban dari pertanyaannya. Senja ini kami duduk menghadap selat tenang yang tidak lagi tampak biru, bercerita tentang apapun sambil mengamati kumpulan camar-camar yang terbang rendah, sesekali mereka menukik tajam, menyentuh ombak kecil dan menciptakan percikan putih.

“Aku telah membaca banyak tulisan tentang penantian yang menyesakkan. Tentang mereka yang berharap tanpa berani mengungkapkan. Hanya kesedihan dan rasa sakit yang mampu kutangkap dari tulisan-tulisan itu. Mereka yang menangis setiap senja datang, berharap air mata mampu menghadirkan cinta dalam sebuah hati di ujung sana.” jawabku sedikit menoleh ke arahnya yang mendengarkan takzim.

“Kamu sendiri?”

Sesaat aku tersentak dengan pertanyaan singkatnya, ada sesuatu yang terasa menjatuhi hatiku, sangat berat hingga sulit rasanya untuk sekadar menarik napas. Tentu saja aku merasakannya, dan barangkali, inilah mengapa perasaanku turut sakit saat membaca semua tulisan yang tersiksa itu. Tentu aku tidak akan lupa bagaimana sibuknya aku mengunjungi jejak-jejaknya, walau sebatas jejaknya yang maya. Lalu bagaimana bahagianya aku kala memandangi sosok yang tersenyum diam itu, dan hanya memandang saja, tak sekalipun berani menyapa.

“Tapi kamu tidak pernah paham.” jawabku akhirnya. Menutupi wajah yang pias, lelah.

“Lalu apa yang bisa kulakukan jika kudatangi kamu di waktu sekarang? Bukankah kamu telah menulis ratusan catatan ingin menyelesaikan pendidikan, pengabdian, dan mencukupi segala kebutuhan keluargamu sebelum waktu itu datang? Aku hanya tidak ingin kamu meleburkan semua mimpi yang telah kau bangun.”

Langit jauh di depan sana mulai kemerahan, membawa embusan angin yang lebih kencang dari sebelumnya. Aku tahu dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket dengan pandangan jauh ke depan, entah memikirkan apa. Atau mungkin, entah menyembunyikan apa yang tidak diucapkan, meminta aku kembali membuat perandaian.

“Jawabanmu barusan adalah harapanku. Hanya saja masalahnya, tak semua dari pemilik tulisan itu menjumpai jawaban terang. Hanya mampu menerka-nerka, melemparkan banyak tanya, dan semuanya semakin menyakitkan.”

“Jangan khawatirkan mereka, bukankah cinta akan menemukan sendiri jalannya? Mereka hanya butuh untuk berbahagia dengan segala harapan dan ketidak pastian itu.”

“Ya, semoga...” Aku menyambung lirih.

Semoga aku bisa begitu...

Beberapa detik kemudian kami berdiri, berjalan dengan arah yang berbeda, meninggalkan bangku panjang bercat putih yang sejak tadi mendengarkan. Matahari sudah merangkak semakin dekat dengan garis di ujung sana. Kilauan bewarna emas di atas selat itu memang cantik, sekaligus membuat nyilu.

Duhai hati, sungguh akupun tidak tahu kalimat apa yang keluar dari lisannya nanti. Di sini kita berteman, bercerita tentang penantian dan perasaan yang ditahan. Di sini juga kita membuat berbagai pernyataan, berbagai kemungkinan, yang semuanya hanya berubah pertanyaan. Semakin menumpuk, dan tidak mengerti kapan akan terjawab.


Bogor, 20 April 2014, 1.39 dini hari

*Untuk siapa saja yang saat ini sedang berharap, mendoakan, dan menanti dengan kemungkinan tak pasti. Bersabarlah duhai hati, bersabarlah...Karena setiap musim dingin, akan ada musim seminya...


Sebagai Pembuka di Episode Ini

Salam sahabat semua. Lama sekali rasanya blog ini tidak kujenguk, alih-alih statistik pengunjungnya menurun drastis. Kayaknya emang kalau blog itu nggak diurus, akibatnya selalu begitu. Maklum, pulsa modemku yang keabisan, jadinya berimbas ke dunia maya (so pasti atuh, Buk!). Baiklah lupakan saja soal itu, di malam Minggu yang berbahagia ini, aku ingin sedikit cuap-cuap berbagi kabar.

Antara Sarajevo dan Mostar

Kamu tahu, teman. Tadi selama perjalanan bus dari Sarajevo menuju Mostar, aku duduk bersebelahan dengan seorang gadis Indonesia. Namanya Sofia. Tidak ada yang istimewa dari fisiknya. Ia sangat tinggi jika dibandingkan dengan gadis-gadis Asia kebanyakan. Aku tidak mengerti mengapa hatiku berbunga-bunga ketika ia mengatakan akan mengunjungi Old Town di Mostar.

“Aku melakukan perjalanan sendiri. Berangkat dari Indonesia sepuluh hari yang lalu, menjelajah Turki selama delapan hari, kemudian terbang ke Sarajevo dan mengelilingi kota itu dalam waktu dua hari, barulah sekarang aku akan ke Mostar.”

Thursday 10 April 2014

Chemistry Dua Lelaki (Films)


How sad :'(
“Stacker!” laki-laki paruh paya dengan mata berkaca-kaca itu sedikit berteriak, menyentak laki-laki dengan seragam pilot yang berdiri dalam lif.

You’ll be do it with my son.” Sambungnya pelan. Ada aura kebanggaan yang sulit kujelaskan memancar dari sorot mata lembut tapi berkarakter itu.

Friday 4 April 2014

Untuk Bukti [Bagian I]

Source: click here
Sore ini langit tampak putih, tak ubahnya warna salju yang sejak tadi turun perlahan. Menyepuh deretan pohon-pohon meranggas dengan ranting-rantingnya yang diam, jalan-jalan yang sepi, kubah-kubah, serta pucuk-pucuk menara khas Ottoman yang mengerucut puncaknya. Beberapa orang yang bersisian denganku merapatkan jaket, seolah tak akan membiarkan angin musim dingin menyentuh kulit mereka sedikit pun.

Ini negeri orang, tetapi kenapa seperti kutemukan separuh waktuku yang lain?

Ini tanah orang, tetapi kenapa seperti kusentuh kembali remah-remah cintaku yang hilang?

Di sini, di depan sebuah Masjid di kota kecil Fatsa aku berdiri, seperti kembali, seperti menemukan napas yang sempat pergi.

Tak ada Hagia Sophia dengan Masjid Biru di sampingnya. Tak ada sebuah jembatan yang menyambung dua benua membentang di kota kecil ini. Tak juga ada bayang-bayang pasukan Muhammad Al-Fatih di mataku. Aku datang kemari bukan demi semua itu, bukan demi meninggalkan jejak demi jejak di tempat-tempat impian itu. Kedatanganku ke kota kecil ini hanya demi sebuah ‘bukti’.

Aku ingin membuktikan bahwa masjid yang gambarnya selalu kupandangi setiap hari benar adanya, bukan hayalan. Aku ingin membuktikan bahwa kota kecil ini nyata wujudnya, bukan maya. Itu saja. Dan jika diizinkan, bolehkah aku buktikan juga satu hal? Bahwa dia, yang wajahnya begitu kukenali juga benar seorang manusia. Manusia yang hidup layaknya manusia lain, yang memiliki hati dan bisa merasakan.

“Kenapa Fatsa? Semua orang yang datang ke Ottoman, selalu ingin melihat Istanbul, Bursa, Cappadocia, dan Konya, bukan kota kecil di tepi laut itu. Apa yang ingin kau lihat?”

Seorang gadis berambut pirang yang duduk di sampingku melemparkan pertanyaannya, tadi ketika kami masih berada dalam satu bus.

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kota kecil itu benar-benar ada.” jawabku dengan sedikit senyuman pias, kemudian mengalihkan pandangan keluar jendela. Lanskap di luar sana beku.

 “Begitu saja?” tanyanya kembali, mengerutkan dahi hingga kedua alisnya bertemu.

Kuanggukkan kepalaku. Apa lagi selain itu? aku tidak pernah berjanji dengan siapapun, tidak juga untuk mengunjungi seorangpun. Fatsa hanya sebuah kota kecil yang lanskapnya tersimpan begitu rapi dalam salah satu bilik di hatiku, tanpa pernah aku melihat wujudnya. Kota kecil itu juga menyimpan seorang anak manusia yang diam-diam kukagumi, sangat diam-diam. Dan sekarang, aku hanya ingin melihatnya. Tak berniat untuk mengubah apapun.

“Pasti ada sesuatu yang membuatmu begitu merindukan kota itu. Ceritakanlah padaku.”

Gadis itu menyikut lenganku, mengerjipkan matanya. Sementara bus terus melaju, menginjak butir-butir salju yang membentuk hamparan menyelimuti jalan. Kutarik napasku dalam, mengingat sesuatu.

“Kamu akan mencintai segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan sesuatu yang kamu cintai.”

“Aku tidak paham. Coba sederhanakan.”

“Kau punya seorang pacar?”

Pertanyaanku barusan terkesan tidak nyambung, wajar saja jika ia menampakkan keterkejutannya. Namun sesaat kemudian ia mengangguk dengan malu-malu.

“Apa lagu kesukaannya?”

You Raise Me Up, Josh Groban!” Ia menjawab cepat, penuh semangat. Ketara sekali dari sorot matanya yang terang.

“Kau juga menyukai lagu itu?”

“Semua yang ia suka, aku juga menyukainya.”

“Begitulah. Cinta selalu memanggil cinta yang lain."

Sebuah senyuman merekah dari bibirnya. Ya, cinta selalu memanggil cinta yang lain...


Bogor, 04 April 2014


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...