Thursday 31 October 2013

Inilah Sosok Pengkhianat Islam, Mustafa Kemal Pasha

Baca, gih! Insya Allah bermanfaat. Kan dulu ketika membaca tentang si Kemal di buku Sejarah Kebudayaan Islam di Madrasah Aliyah, kita enggak dapat informasi detail, tuh. Malah jadinya menganggap si Kemal adalah seorang pahlawan. So, it's the time to know the real of Kemal.


----000----
Oleh     : Shodiq Ramadhan


Sejarah Hidup dan Karyanya

Musthafa Kemal lahir pada tahun 1881 di sebuah kawasan miskin di Salonika, Turki. Ayahnya, Ali Riza, adalah seorang bekas pegawai rendahan di kantor pemerintah. Setelah mengalami dua kali kegagalan dalam bisnisnya, Ali Riza tenggelam dalam dunia hitam, menjadi peminum sebagai kompensasi kesedihannya. Hingga akhirnya ia mati akibat penyakit tuberkulosis saat Musthafa masih berumur tujuh tahun.

Ibu Musthafa, Zubaida –seorang wanita yang buta huruf– menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga. Berbeda dengan suaminya, Zubaida adalah seorang muslim yang taat. Sebagaimana wanita-wanita Turki pada masa itu, seluruh hidupnya difokuskan untuk masa depan anak laki-lakinya yang tertua, Musthafa. Karena ketaatannya kepada Islam, ia mengharapkan Musthafa menjadi ulama yang faqih.

Namun ternyata Musthafa mempunyai pendirian yang berbeda. Musthafa tumbuh menjadi remaja pemberontak. Ia melawan segala bentuk peraturan, serta bersikap kasar dan kurang ajar kepada gurunya. Di depan para siswa yang lain, ia menunjukkan sifat yang sangat arogan dan suka menyendiri. Ia tidak mau bermain bersama teman-temannya, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang tidak disukai teman-temannya. Bila merasa diganggu, ia tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melawan.

Suatu kali, karena sikap kasar dan kurang ajar Musthafa, gurunya menjadi gelap mata dan memukuli Musthafa sedemikian keras hingga melukai perasaannya. Musthafa lari dari sekolah dan tidak mau kembali. Meski ibunya berusaha keras membujuk agar kembali ke sekolah, Musthafa sama sekali menolaknya. Zaubaida merasa putus asa, sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, datang usulan dari salah seorang pamannya agar memasukkan Musthafa ke sekolah militer di Salonika. Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa Zubaida tidak perlu mengeluarkan biaya pendidikan –karena sekolah militer itu dibiayai oleh negara; lalu apabila Musthafa bisa menunjukkan prestasi yang bagus, ia bisa menjadi seorang perwira; dan kalaupun tidak ia tetap akan menjadi seorang prajurit. Singkat kata, apa pun yang akan terjadi, kehidupan Musthafa tetap terjamin.

Meskipun Zaubaida tidak sepakat dengan usul tersebut, namun ia tidak bisa menghalangi Musthafa –yang pada saat itu masih berusia 12 tahun– meminta salah seorang kenalan ayahnya untuk membantunya masuk ke sekolah militer. Musthafa mengikuti seleksi dan lulus menjadi seorang kadet. Di sekolah militer inilah, Musthafa menemukan dunianya. Dia mampu menunjukkan prestasi akademik yang bagus, sehingga salah seorang pengajar memberinya julukan “Kemal” yang berarti “kesempurnaan”. Karena kepandaiannya dalam bidang matematika dan pengetahuan kemiliteran, Musthafa dipromosikan sebagai staf pengajar. Di posisi ini, Musthafa mempunyai kesempatan mempertunjukkan kekuasaannya. Setelah berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian akhir, Musthafa lulus dengan gelar kehormatan pada bulan Januari 1905 dengan pangkat Kapten.

Pada saat itu, Musthafa bergabung dengan suatu perkumpulan mahasiswa nasionalis yang fanatik, yang dikenal dengan nama Vatan atau “Tanah Air”. Para anggota Vatan menganggap diri mereka kelompok yang revolusioner. Mereka sangat menentang pemerintahan Sultan Hamid II, yang memberangus segala pemikiran “liberal” yang merongrong pemerintahan Islam. Kelompok ini tak jemu-jemunya menyalahkan Islam yang dianggap sebagai penyebab keterbelakangan Turki dan terus menerus menyebarkan kebencian terhadap syariat yang dianggap kolot, serta menjadikan ajaran-ajaran sufi sebagai bahan tertawaan. Para anggota Vatan bersumpah akan melengserkan Sultan dan menggantinya dengan sistem pemerintahan ala Barat lengkap dengan konstitusi dan parlemen, menghancurkan otoritas para ulama, menghapuskan purdah (jilbab) dan kerudung, serta mendeklarasikan kesetaraan yang mutlak antara laki-laki dan perempuan. Tidak lama bergabung, Musthafa menjadi pimpinan kelompok itu.

Kesempatan bagi Musthafa Kemal untuk memperluas pengaruh akhirnya datang. Begitu Sultan Abdul Hamid II diturunkan oleh Partai Turki Muda pada tahun 1908, Komite Persatuan dan Kemajuan mengundangnya untuk bergabung bersama. Namun, sebagai pendatang baru, ia diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah perintah dari pimpinan organisasi, sedangkan sifat dasarnya menuntut agar dialah yang menjadi pemimpin. Akibatnya, Musthafa merasa gelisah dan tidak puas. Ia sama sekali tidak menghargai anggota-anggota lainnya, yang dianggap sebagai penghalang keinginannya. Ia sangat membenci Perdana Menteri Pangeran Said Halim Pasha (1865 – 1921) dan Menteri Perang, Anwar Pasha (1882 – 1922), yang seringkali menentang pendapat-pendapatnya.

Selama sepuluh tahun berikutnya, ia kembali menekuni bidang kemiliteran sebagaimana sebelumnya. Perlahan-lahan, berkat kepribadiannya yang keras dan kecerdasannya, ia merengkuh semakin banyak kekuasaan politik. Ia menghabiskan malam-malamnya dengan mengadakan rapat-rapat rahasia untuk merencanakan kudeta, yang diharapkan dapat menghasilkan kekuasaan absolut baginya.

Kesempatan mulai terbuka, ketika pada akhir Perang Dunia I ia memimpin pasukan pertahanan Turki melawan Pasukan Sekutu Eropa yang ingin memecah belah kekuatan “The Sickman of Europe” dan menghancurkannya dengan cepat. Dengan usaha-usahanya merintangi penjajahan Sekutu dan membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang sampai mati demi tanah airnya, Musthafa menjadi pahlawan nasional. Pada saat Yunani berhasil dikalahkan dan Turki memperoleh kemenangan, rakyat Turki mabuk kemenangan dan memuja Musthafa Kemal sebagai Sang Penyelamat. Rakyat Turki memberinya gelar al-Ghazi, yang berarti “Pembela Kebenaran”. 

Berbagai pengakuan dari para diplomat asing semakin meneguhkan kedudukan Musthafa sebagai pahlawan Turki melawan Penjajah Barat. Di depan para politisi Arab, Musthafa berkata, “Saya tidak percaya dengan federasi negara-negara Islam maupun liga bangsa Turki di bawah kekuasaan Soviet. Tujuan saya satu-satunya adalah melindungi kemerdekaan Turki dalam batas-batas alaminya, bukan membangkitkan ke-Khilafahan Utsmaniyah atau ke-Khilafahan lain. Jauh dari segala mimpi dan bayangan-bayangan! Mereka (ke-Khilafahan) telah banyak merugikan kita di masa yang lalu!”

Kepada delegasi komunis yang meminta dukungannya, Musthafa Kemal dengan jelas menyatakan, “Tidak ada penindas atau yang tertindas. Yang ada hanyalah mereka yang membiarkan diri mereka ditindas. Bangsa Turki bukan termasuk bangsa seperti itu. Bangsa Turki dapat mengurus dirinya sendiri. Biarkan bangsa lain mengurus diri mereka sendiri. Kami punya satu prinsip, yaitu melihat segala permasalahan dari kacamata bangsa Turki dan melindungi kepentingan nasional Turki.”

Musthafa Kemal menyatakan keinginannya untuk membangun Turki dalam batas-batas alamiahnya menjadi suatu bangsa yang kecil namun kompak, sejahtera, dan modern, yang dihormati oleh negara-negara lain di dunia. Ia begitu yakin dirinya –dan hanya dirinya– yang mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Ia pernah menyatakan, “Saya adalah Turki! Menghancurkan saya sama artinya dengan menghancurkan Turki!”

Tidak lama setelah berkuasa, Musthafa menyatakan dengan tegas bahwa ia akan menghancurkan seluruh puing reruntuhan Islam dalam kehidupan bangsa Turki. Hanya dengan mengeliminasi segala sesuatu yang berbau Islam, Turki bisa memperoleh “kemajuan” menjadi bangsa yang dihormati dan modern. Tanpa rasa takut dan ragu, ia menyerang Islam dan pilar-pilar Islam:

“Selama hampir lima ratus tahun, hukum dan teori-teori ulama Arab serta tafsir para pemalas dan tiada guna telah menentukan hukum perdata dan pidana Turki. Mereka menetapkan konstitusi, rincian aturan hidup orang Turki, makanannya, waktu-waktu bangun dan tidurnya, bentuk busananya, rutinitas isteri yang melahirkan anak-anak mereka, apa yang dipelajari di sekolahnya, adat istiadatnya, pemikiran-pemikirannya, bahkan sampai perilaku mereka yang paling pribadi. Islam –teologi Arab yang immoral itu– adalah benda mati. Bisa saja Islam cocok untuk suku-suku di padang pasir. Tetapi Islam tidak bermanfaat untuk negara yang modern dan maju. Wahyu Tuhan, katanya! Tidak ada itu wahyu Tuhan! Islam hanyalah rantai yang digunakan para ulama dan penguasa tiran untuk membelenggu rakyat. Penguasa yang membutuhkan agama adalah orang yang lemah. Orang yang lemah tidak boleh berkuasa!”

Ketika Abdul Majid diangkat sebagai Khalifah, Musthafa Kemal Pasha menolak melakukan upacara tradisi yang biasa dilakukan. Ketika Dewan menemuinya untuk membahas hal itu, Musthafa memotong pembicaraan, “Khalifah tidak memiliki kekuasaan atau kedudukan apa pun, kecuali sebagai figur seremonial saja.” Ketika Abdul Majid menulis petisi untuk meminta kenaikan biaya operasionalnya, Musthafa menjawab, “Khalifah, kantor anda tidak lebih adalah peninggalan sejarah. Tidak ada dasar hukum yang melandasinya. Sungguh tidak sopan anda berani menulis surat kepada sekretaris saya!”

Pada tanggal 3 Maret 1924, Musthafa mengajukan Undang-undang untuk menghapuskan Khalifah selamanya dan mendirikan negara sekuler Turki. Namun demikian, sebelum UU tersebut diperkenalkan, ia telah berusaha membungkam suara-suara penentangnya dengan memberikan ancaman hukuman mati bagi orang-orang yang mengritik segala tindakannya.

“Apa pun konsekuensinya, negara republik harus ditegakkan…Khilafah Utsmaniyah adalah bentuk negara yang tidak masuk akal atas dasar pondasi agama yang rusak. Khalifah dan keluarga Utsmani lainnya harus diusir. Peradilan dan hukum-hukum agama yang kolot harus diganti dengan hukum sipil modern. Sekolah agama harus dijadikan sekolah negeri yang sekuler. Negara dan agama harus dipisahkan. Republik Turki harus menjadi negara yang sekuler.”

Akhirnya, Undang-undang berhasil disahkan tanpa perdebatan dan Khalifah beserta keluarganya harus diasingkan ke Swiss. Rezim baru pun menetapkan:


“Pembukaan Konstitusi (baru) Turki menyatakan kebulatan tekad untuk melaksanakan reformasi bangsa Turki, sedangkan Pasal 153 melarang segala bentuk upaya yang menghalangi proses reformasi tersebut. Dinyatakan bahwa, ‘Tidak ada ketentuan dalam konstitusi ini yang menganggap tidak sah berbagai undang-undang berikut ini yang bertujuan membangkitkan bangsa Turki menuju peradaban masa kini, serta untuk menjaga karakter sekuler negara yang telah ditetapkan konstitusi melalui pemilihan umum:
  1. Undang-undang tentang penyatuan (dan sekulerisasi) pendidikan pada tanggal 3 Maret 1924.
  2. Undang-undang tentang penutup kepala, pada tanggal 25 November 1925.
  3. Undang-undang tentang penutupan biara dan kuburan para darwis, penghapusan kantor penjaga makam, dan peraturan tentang penghapusan dan pelarangan gelar-gelar tertentu pada tanggal 30 November 1925.
  4. Peraturan sipil tentang pernikahan pada tanggal 17 Februari 1926.
  5. Undang-undang tentang pengambilan angka internasional pada tanggal 20 Mei 1928
  6. Undang-undang tentang pengambilan dan penerapan alfabet (latin) Turki serta pelarangan tulisan Arab, pada tanggal 1 November 1928.
  7. Undang-undang tentang penghapusan gelar-gelar dan sebutan seperti Efendi, Bey, atau Pasha pada 26 November 1934.
  8. Undang-undang tentang larangan memakai busana tradisional pada 3 Desember 1934.

Segala bentuk pengingkaran terhadap gerakan Ataturkisme tidak dimungkinkan dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat. Tidak dimungkinkan karena konstitusi melarangnya, dan tidak dapat dipahami karena orang-orang Turki, baik tua maupun muda, telah menerima segala konsekuensi reformasi, dan westernisasi tetap menjadi kata-kata ajaib yang menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera.”

Pada masa reformasi tersebut, Musthafa Kemal mengawini seorang wanita cantik dengan latar belakang pendidikan Eropa bernama Latifa. Pada masa perjuangan Turki, Latifa didorong oleh Musthafa untuk mengenakan pakaian seperti laki-laki dan menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun, ketika ia bersikap tegas dan bersikeras minta diperlakukan dan dihormati sebagaimana mestinya seorang isteri, Musthafa dengan kasar segera menceraikan dan mengusirnya. Setelah bercerai dari Latifa, ia menjadi lelaki yang tak tahu malu dan tak mengenal batas. Musthafa menjadi peminum berat dan tidak bisa lepas dari minuman keras. Sejumlah lelaki muda yang tampan menjadi objek pemuas syahwatnya. Demikian pula para istri dan anak perempuan dari para pendukungnya menjadi korban agresivitas nafsunya. Hingga tak lama kemudian penyakit kelamin menggerogoti kesehatannya.

Ketika menggambarkan kepribadiannya, H.G. Armstrong –pengarang The Grey Wolf– menulis:

“Musthafa selalu menjadi seorang penyendiri, soliter, dan suka bekerja sendirian. Tak seorang pun yang dipercayainya. Dia tidak ingin mendengar pendapat yang bertentangan dengan keinginannya. Dia tidak segan mencemooh orang lain yang berani menentang pendapatnya. Dia menilai setiap tindakan hanya berdasarkan kepentingan pribadinya. Ia juga sangat pencemburu. Seorang yang cerdas dan memiliki kemampuan dipandang sebagai bahaya yang harus segera disingkirkan. Musthafa suka mencela kemampuan orang lain, dan biasa mencemarkan nama baik dan mencemooh tindakan orang lain dengan ganas, sekalipun terhadap para pengikutnya sendiri. Ia jarang mengucapkan kata-kata yang manis, dan kalaupun diucapkan pasti dilakukan secara sinis. Dia tidak pernah mempercayai siapa pun dan tidak mempunyai seorang pun teman dekat. Teman-temannya hanyalah beberapa orang fasik yang biasa minum bersama, menjadi kaki tangannya, dan setia mendengarkan kesombongannya. Semua orang yang terhormat, yang pernah bekerjasama dengannya pada masa perjuangan kemerdekaan, telah berubah memusuhinya.”

Sebagaimana para diktator yang enggan memiliki lawan, Musthafa Kemal selalu menggunakan kesempatan untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya.

“Polisi rahasia bekerja secara efektif. Melalui penyiksaan, pemukulan, atau cara apa pun yang dikehendaki, polisi harus mendapatkan bukti yang cukup memberatkan untuk menangkapi para pemimpin kelompok oposisi. Pengadilan otonom diterapkan kepada mereka, sehingga tanpa prosedur atau bukti yang kuat pengadilan bisa menjatuhkan hukuman gantung kepada mereka.

Surat permohonan hukuman mati dikirimkan kepada Musthafa Kemal di rumahnya di Khan Kaya untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan. Salah satu surat permohonan hukuman mati diperuntukkan bagi Arif, yang setelah berdebat dengan Musthafa Kemal kemudian bergabung dengan kelompok oposisi. Arif, sebelumnya adalah pengikut loyal Musthafa, yang bahu-membahu pada masa perjuangan kemerdekaan. Arif adalah satu-satunya teman yang pernah menjadi tempat Musthafa mengungkapkan isi hatinya. Diriwayatkan bahwa ketika surat permohonan hukuman mati bagi Arif itu disampaikan kepadanya, air muka Musthafa sama sekali tidak berubah. Dia tidak memberikan catatan-catatan yang meringankan atau kelihatan ragu-ragu. Saat itu, ia tengah merokok. Kemudian dia meletakkan rokoknya ke asbak, dan menandatangani surat permohonan hukuman mati itu sebagaimana ia menandatangani surat-surat rutin lainnya yang datang setiap hari.

Musthafa ingin membuat segalanya berjalan dengan sempurna. Pada malam itu juga, ia mengadakan pesta dansa di Khan Kaya. Setiap orang harus datang –para hakim, anggota kabinet, para duta besar, menteri luar negeri, para bangsawan, dan semua perempuan cantik. Singkatnya, seluruh Ankara harus ikut merayakannYA.

Pesta dansa itu dimulai dalam suasana muram. Dengan busana malam buatan seorang penjahit London yang sangat necis, al-Ghazi berdiri di sudut, tengah bercakap-cakap dengan seorang diplomat. Para tamu menatapnya penuh perhatian. Sebelum ia mendapatkan mood-nya untuk mulai berdansa, para tamu harus mengatur langkahnya dengan hati-hati serta bercakap-cakap dengan suara yang rendah. Amat berbahaya menunjukkan sikap suka-cita, sementara ia tengah dalam suasana hati yang murung. Namun malam itu al-Ghazi sedang bersemangat. Dirinya tidak sedang menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Malam itu adalah malam untuk bergembira.

“Kita harus bersuka cita! Kita harus hidup, harus hidup!” teriaknya, sambil merengkuh seorang wanita asing dan segera berdansa dengannya.

Para tamu mengikutinya. Mereka berdansa –bila tidak, al-Ghazi akan memaksanya. Al- Ghazi sedang berada dalam suasana hati yang paling baik; berdansa berkeliling bersama pasangan-pasangannya dengan langkah-langkah yang panjang dan memberi minum kepada mereka pada saat-saat jeda.

Empat mil jauhnya dari Ankara, sebuah lapangan besar diterangi dengan cahaya putih yang berasal dari selusin lampu listrik. Di sekelilingnya dan di jalan-jalan berkerumun para warga masyarakat. Di bawah siraman cahaya lampu, tegak berdiri sebelas tonggak kayu yang besar tepat dibawah tembok penjara. Di bawah masing-masing tonggak kayu, berdiri seseorang dengan tangan terikat ke belakang dan seutas tali melingkar di batang lehernya. Merekalah para musuh politik Musthafa Kemal yang siap menerima kematiannya.

Di tengah keheningan, secara bergiliran para terpidana diberi kesempatan untuk menyampaikan sesuatu kepada masyarakat. Ada yang berpuisi, ada yang berdoa, ada pula yang menangis mengiba sembari berteriak bahwa ia adalah warga Turki yang setia.

Di Khan Kaya, hampir seluruh tamu telah pulang. Ruangan tersebut pengap dengan asap rokok, bau minuman keras, dan bau busuk nafas orang yang mabuk. Lantainya kotor dengan abu rokok, sedangkan kartu judi dan uang bertebaran di meja-meja.

Musthafa Kemal berjalan melintasi ruangan dan memandang keluar jendela. Wajahnya dingin dan berwarna kelabu; matanya yang pucat tidak menyiratkan ekspresi apa pun. Dia tidak menunjukkan keletihan, sedangkan jasnya tetap rapi seperti sediakala. Komisaris Polisi melaporkan bahwa eksekusi telah berakhir. Tubuh-tubuh di tiang gantungan perlahan menjadi kaku. Akhirnya, ia menjadi pemenang. Musuh-musuhnya terusir, hancur, atau mati.”

Sementara itu, gemuruh kaum oposisi Turki mulai menderu. Gemuruh itu akhirnya meledak pada tahun 1926, ketika suku-suku Kurdi di pegunungan melancarkan pemberontakan bersenjata melawan rezim Kemalis. Musthafa tidak membuang-buang waktu. Seluruh suku Kurdistan di Turki dibinasakan dengan cara yang bengis, desa-desa dibakar, ternak dan hasil panen dihancurkan, perempuan dan anak-anak diperkosa dan dibantai. Empat puluh enam kepala suku Kurdi digantung di depan umum. Yang terakhir adalah Syaikh Said, sang pemimpin suku Kurdi. Sebelum dieksekusi, ia mengatakan kepada eksekutornya, “Saya tidak punya kebencian kepada anda. Anda dan atasan anda, Musthafa Kemal, membenci Tuhan! Kami harus menyelesaikan tanggung jawab kami di hadapan Tuhan pada Hari Pembalasan.”

Sekarang Musthafa Kemal menjadi diktator absolut. Rakyat Turki harus menerima reformasi anti-Islam, seperti larangan mengenakan fez/tarbus (kopiah Turki) dan sorban, wajib mengenakan busana Eropa, wajib menggunakan aksara Latin, kalender Kristen, dan menjadikan hari Ahad sebagai hari libur. Semua itu ditetapkan di bawah ancaman pedang. Ribuan ulama dan para pengikutnya rela mengorbankan jiwa mereka daripada menerima kehancuran segala sesuatu yang mereka sucikan. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa penerimaan rakyat Turki terhadap reformasi ala Musthafa Kemal hanyalah khayalan belaka. Besarnya penolakan dapat dibayangkan dari fakta bahwa Musthafa mengumumkan keadaan perang sebanyak sembilan kali. Jutaan rakyat Turki, terutama di desa-desa dan kota-kota kecil, menghinakan dan mengutuk Musthafa Kemal.

Pada tahun 1932, Musthafa Kemal menetapkan agar setiap warga Turki mencantumkan nama keluarganya sebagaimana biasa terdapat pada masyarakat Eropa dan Amerika. Ia memilih menggunakan nama “Attaturk” yang berarti “Bapak Turki”. Enam tahun kemudian, kesehatannya benar-benar memburuk, dan akhirnya mati karena penyakit radang hati yang disebabkan karena kecanduan alkohol.

“Kategori ‘pribadi psikopatik’ digunakan untuk menyebut keranjang sampah segala macam penyakit jiwa. Orang-orang yang termasuk dalam golongan itu bukanlah para psikotik, psikoneurotik, bukan pula orang yang lemah ingatan. Golongan itu sama sekali berbeda. Psikopat tidak sama dengan psikotik, tidak “gila”. Ia tahu dimana ia berada, siapa dia, jam berapa sekarang. Ia hidup di dunia nyata, bukan hidup di alam fantasi psikosis. Tetapi sindrom psikopatik menguasai seluruh kepribadiannya sebagaimana pada psikosis. Para psikopat tidak bodoh, bahkan tidak jarang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata. Emosinya-lah yang mengalami kerusakan, begitu pula moral atau ‘sifatnya’. Ia bersikap dingin, menyendiri, tidak terjangkau, menunjukkan sikap yang berbeda dengan orang kebanyakan, bahkan memusuhi orang lain. Secara intelektual, ia ‘mengetahui’ konsekuensi tindakan kriminal yang dilakukannya bagi dirinya maupun orang lain, tetapi ia tidak mampu ‘merasakan’ konsekuensi itu secara emosional, sehingga tidak berusaha menahan diri dari perbuatan itu. Ia tidak pernah merasa menyesal atau bersalah. Bila dia adalah seorang pembunuh yang tertangkap, ia tidak pernah menyesali pembunuhan itu, namun justru menyesali diri kenapa ia sampai tertangkap. Psikopat biasa berprofesi sebagai pembunuh bayaran; baginya membunuh adalah sesuatu yang sama sekali tidak berarti. Ia menolak bersosialisasi, dan menentang segala peraturan atas dirinya. Selamanya ia akan bersikap memberontak, tidak mampu menjalin hubungan emosional dengan orang lain secara permanen. Kehidupan seksualnya bersifat acak dan untung-untungan; orientasinya adalah kenikmatan seksual bagi dirinya sendiri, bukan bagi pasangannya. Tidak ada data statistik yang akurat tentang jumlah psikopat yang dikurung dalam penjara, namun tidak ada yang meragukan bahwa di antara mereka adalah orang-orang yang paling berbahaya bagi kehidupan manusia. Itulah kenapa penjara penuh dengan orang-orang seperti itu.”

Gambaran itu sama persis dengan kepribadian dan sifat-sifat Musthafa Kemal. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa ia adalah pribadi yang terkenal, yaitu sebagai diktator, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya berbuat kriminal dalam skala nasional.

Pihak yang paling sering menunjukkan penghargaan atas kediktatoran Musthafa adalah para intelektual dan politisi di Amerika. Kaum Yahudi dalam kalangan tersebut secara sangat antusias memberikan pujian kepadanya. Bagaimana mungkin tradisi kebebasan berpolitik dan demokrasi yang diklaim bangsa Amerika sebagai sistem yang terbaik dapat bergandengan tangan dengan kekejian diktator Musthafa Kemal. Ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipahami, sampai para pemerhati politik internasional menyadari bahwa penghargaan demokrasi Barat atas hak asasi manusia hanya terbatas untuk kalangan mereka sendiri. Tanpa maksud-maksud tertentu, konsep HAM itu tentu tidak akan diekspor di kalangan kaum Muslim. Pernyataan-pernyataan resmi dari USIS (Lembaga Informasi Amerika Serikat) pada masa Perang Dingin menunjukkan bahwa mereka tidak pernah ragu mendukung rezim-rezim otoriter sepanjang tidak berafiliasi dengan blok Komunis. Kediktatoran, dalam pandangan mereka, bisa diterima apabila menjadi sarana menuju modernisasi (baca: kapitalisme) negara.  Rakyat di negara-negara berkembang adalah orang-orang yang terbelakang, kolot, bodoh, dan buta huruf. Hanya “pemerintahan yang bijaksana”-lah yang mampu menentukan apa yang terbaik buat mereka. Westernisasi adalah hal yang paling baik, dan tidak ada nilai-nilai moral yang dipandang terlalu mahal untuk dikorbankan dalam rangka menuju westernisasi. Oleh karena itu, apa pun caranya –termasuk tiran yang paling kejam sekalipun– akan mendapat restu dari Amerika dan demokrasi Barat, sepanjang cara tersebut dapat mempercepat pemisahan negara dari ideologi Islam.

Apakah tujuan Kemalisme? Jawabannya dapat ditemukan dalam buku yang baru-baru ini ditulis oleh seorang diplomat yang sangat terkenal. Ketika menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan Turki saat ini dan dibandingkan dengan kehidupan pada masa lima puluh tahun sebelum masa Musthafa Kemal, dengan penuh suka cita ia menyatakan bahwa hanya jenis makanan saja yang tidak berubah. Setelah mengulas keberhasilan “emansipasi” di kalangan para isteri dan anak-anak perempuan sesuai dengan konsep Barat, serta pembicaraan sehari-sehari pada saat makan bersama tentang pesiar di hari Minggu, nonton bioskop, atau makan malam di restoran, dan berbagai “kebiasaan baru dalam kehidupan keluarga Turki” lainnya, ia –dengan penuh kemenangan– menyatakan bahwa, “Urusan agama tidak pernah terlintas dalam benak mereka, kecuali pada bulan Ramadhan, ketika kakek-kakek dan bibi mereka yang tua tengah berpuasa.” 

Referensi:
Islam and Modernism, Maryam Jameelah,

Mohammad Yusuf Khan and Sons, Lahore, 1965/1988
The Emergence of Modern Turkey, 
Bernard Lewis, Oxford University Press, London, 1961
Conflict of East and West in Turkey,

Halide Edib, Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1935, The Grey Wolf,
H.C. Armstrong, Capricorn Books, New York, 1961

Tuesday 29 October 2013

Menurutku, tulisan yang bagus itu?

Sumber: klik di sini
"Bagaimanakah tulisan yang bagus itu?"

Lima kata di atas ternyata cukup membuatku pusing akhir-akhir ini. Kurasa definisi tulisan yang bagus itu tidak perlulah dipatenkan sebagaimana definisi ragam atau simpangan baku di buku statistika. Karena menurutku, tulisan yang bagus itu relatif. Menurut para sastrawan, sebuah tulisan dengan diksi yang melangit dan majas yang berjejalan adalah bagus. Tapi menurutku, justru tulisan tersebut hanya membuat keningku berkerut dan perut terasa diaduk-aduk.

Oke, mungkin teman-teman bertanya-tanya "Siapa loe sampe berani mengkritisi sebuah tulisan? Loe sastrawan? Cerpenis? Novelis? Koranis? And berapa juta tulisan loe yang udah diterbitkan?"

Baik, aku menulis ini bukan karena aku penulis, sama sekali bukan. Aku hanya seorang pembaca yang memiliki hak bebas untuk menyampaikan kritikan. Sama seperti ketika kamu disodorkan sebuah argumen dan ternyata kamu tidak menyetujuinya, maka kamu akan menyangkal dengan argumen lain. Dan akhirnya, argumen memang hanya buah pikiran yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Kupikir hanya hati manusia masing-masing yang akan memilih membenarkan atau justru menyangkal dengan argumen lain. Ya, kira-kira begitulah.

Pernahkah kamu membaca cerpen di koran, dan setelah kamu baca, kamu tidak mengerti apa isi cerita tersebut? Jika aku yang ditanya, jawabanku adalah sering. Aku selalu bingung, kriteria apa yang membuat tulisan ini dimuat? Sedangkan kalimat-kalimat di sana adalah kalimat egois, yang dituliskan sang penulis untuk menampilkan betapa sakti mandragunanya ilmu kepenulisan yang ia miliki. Semakin pembaca tidak paham, semakin sang penulis merasa hebat. Bukankah tulisan di koran itu seharusnya bisa dipahami oleh semua kalangan? Lalu apa yang ada di benak petani atau nelayan di pedalaman sana ketika menemukan kalimat seperti ini.

"Wanita itu menamai dirinya penantian. Telah direngkuhnya tilas waktu yang membekukan kenangan. Ia lelah menamai segala benda-benda. Berupa-rupa wewangian: harum melati, lembut angin, embun di pucuk bunga-bunga, membawanya pada pelayaran kisah."

Kalau aku--jujur saja--meskipun paham setelah berpikir sejenak, aku memilih untuk tidak melanjutkan membaca. Aku tak rela jika kepalaku berdentum-dentum hanya karena menginterpretasikan paragraf seperti itu. Itulah mengapa aku tidak terlalu menyukai puisi, entahlah, mungkin karena buku bahasa Indonesia ketika SMA dulu menampilkan puisi-puisi yang membuatku berpikir keras untuk menafsirkannya. Aku sempat sebal dengan para penulis puisi yang kataku dulu, hanya memikirkan diri sendiri, membuat untaian kata yang hanya bisa dinikmati sendiri, sementara bagiku, kalimatnya itu menjelma palu terbang yang memukuli kepalaku. Pusing. Berdengung.

Itu argumenku. Lain aku, lain orang lain. Buktinya cerpen yang salah satu paragrafnya kutuliskan di atas, telah memenangi sebuah perlombaan bergengsi. Inilah bukti bahwa kualitas sebuah tulisan itu relatif.

Aku sendiri lebih menikmati tulisan dengan diksi yang sederhana, sehingga aku bisa larut dalam cerita secara alami, tanpa perlu berhenti sejenak untuk berinterpretasi. Dan menurutku lagi, rata-rata penulis besar adalah--juga--penulis yang menulis dengan bahasa yang sederhana, hingga meskipun berat topik yang ingin disampaikan, tetap bisa dipahami dengan mudah. Seperti contoh: Habibburrahman El-Shirazy, yang ditetapkan oleh INSANI UNDIP sebagai novelis no.1 di Indonesia, yang Bapak Susilo Bambang Yudhoyono saja sampai berucap 'wonderful' untuk karyanya, tetap menulis dengan bahasa yang sederhana. Bahkan ketika ia menjelaskan tentang 'Tuhan ada atau tidak' dalam novelnya Bumi Cinta, tetap dapat dipahami dengan mudah oleh setiap pembacanya.
Selain Habiburrahman El-Shirazy, aku juga menyukai tulisan-tulisan Hanum Rais dan Windy Ariestanty. Menurutku, meskipun yang mereka ceritakan adalah tempat yang belum pernah kupijak, mereka bisa membawaku ke tempat itu, dan aku bisa membayangkan diriku yang mengalami peristiwa itu.

Sumber: klik di sini
Baiklah, karena sejak tadi aku terus mengulang-ulang kata 'menurutku', sekarang biarkan aku mencantumkan 'bagaimana tulisan yang bagus' menurut ahlinya.

Diungkapkan Suriamiharja (1996: 3) seseorang dikatakan telah mampu menulis dengan baik jika dia dapat mengungkapkan maksud dan tujuannya dengan jelas sehingga orang lain dapat memahami apa yang diungkapkannya (nah, loh!)

Adapun ciri-ciri tulisan yang baik menurut Adel Stein & Dival  (dalam Tarigan, 1986: 6-7) antara lain:

A. Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan sang penulis mempergunakan nada yang serasi.

B. Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan sang penulis menyusun bahan-bahan yang tersedia menjadi suatu keseluruhan yang utuh.

C. Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan sang penulis untuk menulis dengan jelas dan tidak samar-samar: memanfaatkan struktur kalimat, bahasa, dan contoh-contoh sehingga maknanya sesuai dengan yang diinginkan oleh sang penulis. Dengan demikian, para pembaca tidak usah payah-payah bergumul memahami makna tersurat dan tersirat.

D. Tulisan yang baik mencerminkan keampuhan sang penulis secara meyakinkan: menarik minat pembaca terhadap pokok pembicaraan serta mendemontrasikan suatu pengertian yang masuk akal dan cermat-teliti mengenai hal itu. Dalam hal ini haruslah dihindari penggunaan kata-kata dan pengulangan frase-frase yang tidak perlu. Setiap kata haruslah menunjang pengertian yang serasi, sesuai dengan yang diinginkan oleh sang penulis.

E. Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan sang penulis untuk mengkritik naskah tulisannya yang pertama serta memperbaikinya. Mau dan mampu merevisi naskah pertama merupakan kunci bagi penulisan yang tepat guna atau penulisan efektif.

F. Tulisan yang baik mencerminkan kebanggaan sang penulis dalam naskah atau manuskrip: kesudian mempergunakan ejaan dan tanda baca secara seksama, memeriksa makna kata dan hubungan ketatabahasaan dalam kalimat-kalimat sebelum menyajikannya kepada para pembaca. Penulis yang baik menyadari benar-benar bahwa hal-hal kecil seperti itu dapat memberi akibat yang kurang baik terhadap karyanya.

Ya, menurutku, dua argumen di atas sependapatlah denganku.

Berikut aku kutipkan sebuah tulisan yang berdiksi sederhana, mengalir, namun mampu membuatku menghayati setiap kalimatnya, tentu saja tidak perlu bercapai-capai menginterpretasi atau buka KBBI. 

Tulisan berikut kuambil dari http://windy-ariestanty.tumblr.com, blog yang sering kukunjungi dan kunanti-nanti postingannya (ya, tulisan yang bagus itu selalu mengundang rindu, loh).

###

Mbak Windy (Sumber: klik di sini)
"Sang Pemburu Senja"

Sunset is the saddest light and the shape of cloud is the most romantic line.
 
Perempuan itu duduk di pojokan halaman kuil. Sepasang kakinya yang terjulur digoyang-goyangkan. Aku menduga, ia kelelahan. Tadi, aku melihat ia berjalan tergesa mendaki anak tangga menuju kuil ini bersama ketiga orang temannya. Keempatnya perempuan. Ini awal musim gugur di Jepang. Memasuki September hingga November, cuaca di Jepang serba tak tertebak. Bisa panas menyengat—seperti saat ini, bisa tiba-tiba hujan. Apalagi, kota kecil ini berjarak tak terlalu jauh dari Tokyo yang sejak awak September dihantam typhoon beberapa kali. Kamakura – Tokyo hanya membutuhkan 60 menit perjalanan dengan kereta api. 

Namun, sore ini tampaknya langit musim gugur menderang. Di kejauhan, aku melihat awan putih berarak. Warna langit masih biru meski hari telah menjelang sore. Dari tempat aku berdiri, tepat di ujung anak tangga terakhir menuju kuil, cakrawala tampak membentang luas. Mengingatkanku kepada pesawat-pesawat terbang yang kuakrabi dulu pada masa muda, yang mengangkasa, menjelajahi biru dan gumpalan putih berarak. Langit adalah sebuah kanvas besar. Kuil ini salah satu tempat favoritku.

Setiap sore, bila pelanggan di toko servis khusus kamera kuno yang kubuka setelah pensiun dari pekerjaanku sebagai insinyur pesawat terbang tak terlalu ramai, aku akan ke sini. Tak lupa, sebuah kamera analog—salah satu dari koleksi kamera tuaku—akan kutenteng. Seperti sore ini. Aku kembali ingin memotret langit pada senja hari.

‘Itu kamera lama?’ Suara perempuan mengagetkanku. 

Perempuan itu, yang tadi setengah berlari menaiki anak tangga, kini berdiri di sampingku dengan sepasang mata memancarkan rasa ingin tahu. Aku tak menjawab, malah memandanginya. Ternyata ia lebih tinggi dari yang kuduga. Kulitnya berwarna kecokelatan. Aku kesulitan menebak, apakah itu warna aslinya atau akibat terlalu sering terkena sinar matahari. 

Sumber: klik di sini
‘Kamera di tanganmu…. Itu kamera lama bukan?’ Sekali lagi ia bertanya, bahkan melangkah lebih mendekat. 

‘Ya, ini kamera lama,’ jawabku tanpa memberi tahu jenis kamera yang ada di tanganku. 

Aku menduga ia tak terlalu tahu seberapa tua kamera ini. Ia hanya menebak-nebak dari bentuk kamera yang kotak memanjang dan ukurannya yang besar. Perempuan itu tak menenteng kamera, ia hanya memegang sebuah ponsel yang sedari tadi kulihat menjadi alat rekam gambarnya. Sebuah tas ransel keci; tergantung di punggungnya. 

‘Kau memotret dengan menggunakan film?’ Nada suaranya terdengar takjub. Sepasang matanya membesar. Aku berusaha menyembunyikan tawa. 

‘Iya, masih menggunakan film.’ 

Aku selalu suka memotret dengan kamera yang masih menggunakan gulungan film seluloid. Sebuah lenguhan panjangan terdengar diikuti dengan mulutnya yang membentuk huruf O. Aku tak bisa tidak tersenyum kecil. 

‘Kau bukan orang sini, ya?’ tanyaku akhirnya. Ia menggeleng. Matanya tak lepas memandang kamera yang ada di tanganku. 

‘Kau mau lihat?’ Aku menyerah, mengulurkan kamera itu kepadanya. Perempuan itu melambai-lambaikan tangan kanannya ke udara, tanda ia menolak. 

‘Tidak. Aku tak berani memegangnya. Aku hanya ingin melihat apa yang kau foto dari tadi.’ 

‘Aku belum memotret apa pun,’ sahutku. 

‘Aku tahu. Aku dari tadi mengamatimu. Apa yang kau lihat dari tadi?’ 

‘Langit,’ jawabku singkat. 

Sedari tadi aku berdiri di sini, memandangi langit dan menunggu kapan saat paling tepat untuk membidik kameraku. Aku suka pergi ke tempat-tempat yang agak tinggi di kota ini, menunggu langit berubah warna menjelang senja. Sebagai salah satu kota kuno, Kamakura tak memiliki bangunan-bangunan tinggi menjulang.. Jadi, setiap kali aku pergi ke dataran yang lebih tinggi, lanskap kota akan terlihat jelas tanpa ada penghalang. Kau bisa melihat gunung dan laut. 

‘Ya, tadi di kereta, aku melihat pemandang gunung dan laut,’ ia membenarkan. 

Ia ke sini dengan kereta dari Tokyo. Aku menyarankan ia ke Kuil Hasedera. Ada satu titik agak tinggi di kuil itu, kalau berdiri di sana, ia bisa memandang ke laut lepas yang menghampar di sisi selatan kota ini. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya bersemangat. 

‘Aku tadi ke sana. ‘Ada banyak patung Buddha kecil-kecil yang lucu, kan?’ ia mengonfirmasi. 

Patung-patung Buddha yang lucu itulah, katanya, yang membuat ia memutuskan pergi ke Kamakura dan melupakan rencana awal berkeliling di Tokyo. Patung Buddha yang lucu? Aku menahan tawa. Kubilang, cara ia menggambarkan unik. Ia tak mengatakan apa pun selain cengirannya kian melebar. Hasedera adalah kuil bagi Dewi Kesuburan. Mereka yang datang ke sana biasanya berdoa agar diberi keturunan. Karenanya, patung-patung Buddha dibuat mungil-mungil, seperti anak kecil dengan ekspresi lucu.  

‘Kau suka senja?’ sambungnya.
 
Sumber: klik di sini
Aku agak terkejut dengan pertanyaannya yang berbelok jauh dari percakapan kami soal kuil. Kubilang, untuk ukuran perempuan muda seperti dia, dia melontarkan pertanyaan yang sangat aneh kepada lelaki tua sepertiku. Usiaku tahun ini memasuki tujuh puluh lima tahun. Sewaktu kukatakan hal ini kepadanya, ia malah bertanya lagi soal pertanyaan macam apa yang seharusnya diberikan kepada orang tua. Anak muda jarang suka berbicara dengan orang tua, sahutku. Dan ia hanya tergelak lalu kembali menanyakan hal yang sama, apakah aku menyukai senja. 

‘Aku suka warna langit ketika senja. Warnanya tak pernah sama,’ jawabku akhirnya sambil kembali mengarahkan pandangan ke langit. 

Semburat merah muda menuju ungu mulai mewarnai langit. Tapi ini belum waktunya menjepret. Tunggu sebentar lagi, pikirku sambil mengintai dari kotak bidik. Ia tak beringsut. Aku merasa ia mengamati. 

‘Kau tak tinggal di sini, ya?’

‘Tidak,’ sahutnya cepat. 

‘Kau sedang berlibur? Jalan-jalan?’ 

‘Iya. Sudah hampir dua minggu aku di Jepang,’ jelasnya tanpa aku minta. 

‘Kau tinggal di kota ini?’ Ia balas bertanya.

Aku mengangguk lalu memberi tahunya bahwa toko servis kamera yang kumiliki berada tak jauh dari kuil Tsurugaoka Hachimangu.

‘Wah, kau punya toko servis kamera?’ 

‘Iya, khusus untuk kamera lama dan kuno,’ tukasku, 

‘tapi aku juga bisa memperbaiki kamera baru dan digital.’  

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, kuceritakan kepadanya bahwa aku menyukai kamera-kamera lama sejak aku masih bekerja sebagai insinyur pesawat terbang. Aku mengoleksi kamera-kamera itu. sebagai seorang insiyur, mengoprek tentunya hal yang menyenangkan. Tak ubahnya seperti mesin pesawat yang harus kuutak-atik, kamera pun demikian. Dari sekadar hobi, lambat-laun menjadi keahlian. Apa lagi pada zaman sekarang, ketika kamera digital menyerbu, tempat-tempat yang menerima servis kamera kuno makin langka. 

‘Jadi kau belajar otodidak untuk memperbaiki kamera-kamera itu?’

‘Aku seorang insinyur,’ sahutku sambil tertawa, 

‘awalnya hanya sekadar ingin membantu orang-orang yang kesulitan mencari tempat untuk memperbaiki kamera lama mereka. Namun, begitu aku pensiun, aku berpikir menjadikan ini sebagai usaha sekaligus kegiatan untuk mengisi waktuku.’ 

‘Berapa koleksi kameramu?’ 

‘Seratus lebih. Yang ini baru kudapat, makanya aku ingin mencobanya hari ini.’

Tak lama, seorang perempuan lain—yang aku kenali sebagai salah satu dari tiga temannya menghampiri. Ia bertanya kepadaku soal di mana bisa menemukan Fuji film 110 mm untuk kamera jenis 110 milik kawannya. Tokoku tak menjualnya, tetapi film yang dicarinya bukan benda yang mudah didapatkan di toko-toko kamera biasa di Kamakura. Kuminta ia menyampaikan ke temannya, perempuan muda yang berambut ikal tadi, bahwa ia harus sangat sabar keluar-masuk toko. 

‘Kau memotret dengan itu saja?’ tanyaku kepada perempuan itu kemudian. 

Ia tersenyum sambil mengacungkan ponsel di tangannya.

'Iphone ini alat utamaku mengambil gambar,’  

‘Generasimu serba digital.’ 

‘Tak ada yang salah, kan? Kau memotret dengan kamera digital juga?’ Ia lanjut bertanya. 

Aku menggeleng. Aku tahu, kamera kian canggih. 

‘Iya, tentu tak salah,’ responsku. 

Aku tak mau ia salah tangkap. Namun, aku sendiri menikmati  mengambil foto dengan kamera analog. Memasang gulungan film, memilih ASA film, menunggu dan mengamati arah datangnya cahaya agar warna pada foto yang kuambil ‘keluar’, lalu hal yang paling kusukai adalah masuk ke kamar gelap untuk melihat hasil ‘buruanku’. 

‘Aku belajar lebih menghargai apa yang aku punya. Ini bukan lagi masalah waktu, kejelian, dan momen. Ini soal kesempatan yang aku miliki. Kadang, ketika menggunakan kamera digital, kita berpikir, jepret saja semua. Kan, tidak  menghabiskan film. Kita menjadi kurang menghargai setiap kesempatan yang kita punya, juga kesempatan orang lain untuk mendapatkan momen karena kurang peka pada sekitar.Setiap film yang kupunya adalah kesempatan yang kumiliki. Bila film itu habis, habis pula kesempatanku.'

Ia terdiam sesaat sambil melihat ke Iphone di tangannya. Aku bertanya apakah aku boleh melihat foto-foto yang diambilnya. Segera, ia menunjukkan hasil jepretannya. 

‘Maaf, aku tadi memotretmu,’ jelasnya. 

Aku melihat foto diriku berlatar belakang kuil merah, sedang berdiri memandang langit sambil memegang kamera. Aku tak keberatan sama sekali meskipun aku terlihat sedih di sana. 

‘Kau suka memotret sunset?’ Aku jadi ingin tahu, apakah ia juga menyukai senja dan langit. 

‘Aku suka menangkap cahaya,’ ujarnya sambil tertawa, 

‘dan semburat cahaya yang dihasilkan senja, menurutku, justru semburat yang paling menyedihkan.’ 

Aku tertawa mendengar istilahnya dan tanpa sadar mengulangi apa yang ia katakan, ‘Menangkap cahaya.’ Tapi menurutku ia tak sepenuhnya salah. Warna-warna senja memang warna-warna yang liris, penuh emosi. Ia mengartikan itu sebagai sedih. Aku sendiri suka melihat pesawat yang melintasi angkasa dan mengamati bentuk-bentuk awan pada saat matahari hampir terbenam. 

‘Bentuk-bentuk awan adalah garis-garis yang paling romantis, kalau menurutku.’ Aku mengangkat kamera. Ini waktunya membidik. Ia melakukan hal yang sama. 

‘Kau tahu soal cahaya dan langit biru?’ Aku sudah lama tak bercakap-cakap panjang dengan orang asing, apalagi menggunakan bahasa Inggris, jadi kulontarkan pertanyaan yang jawabannya kuketahui berkat kesukaanku kepada langit dan pesawat. Dia menggeleng. 

‘Partikel-partikel debu,’ jawabku tanpa menunggu ia mengucapkan sesuatu. Partikel-partikel kecil dalam udara menyebarkan cahaya yang melewatinya. Namun, karena lebih banyak cahaya biru yang tersebar dibandingkan warna lain, maka langit terlihat biru. Ia lalu berkata, 

‘Kalau begitu, langit tak selalu biru.’ 

Aku masih memandangi langit. 

‘Tidak. Karena itu warna senja bisa bermacam-macam.’ Sesaat kami asyik dalam pikiran kami masing-masing sampai kemudian ia berkata, 

‘Aku sepertinya harus mencari ketiga kawanku yang lain.’ 

Aku memberi tahunya bahwa ketiga kawannya telah turun beberapa menit yang lalu ketika kami asyik mengobrol. 

‘Baiklah, aku harus pergi,’ sahutnya. 

‘Kalau kau punya kamera kuno yang ingin diperbaiki, datang saja ke tempatku. Aku akan senang hati memeriksa dan memperbaikinya. Kau tak perlu membayar,’ tawarku. 

Kukatakan kepadanya bahwa aku senang bisa mengobrol dengannya dan melatih bahasa Inggrisku. Perempuan berambut pendek itu tertawa sambil berkata, 

‘Sayang sekali, besok malam aku sudah meninggalkan Jepang.’ Aku sedikit kaget, kukira ia bersekolah di Jepang dan baru dua  minggu berada di sini. Ia  tertawa dan menggeleng mendengar apa yang kukatakan. 

‘Are you a traveler?’  

‘I am a writer.’ Ia mengatakan itu sambil tersenyum. 

‘Aku belum tahu namamu sama sekali.’ Tangannya terulur, aku menyambutnya. 

‘Kawata. Namaku Kawata. Jadi, kamu penulis?’ 

‘Kau tahu penulis Jepang yang bernama Kawabata? Yasunari Kawabata?’ 

‘Ya, dia salah satu penulis Jepang.’ 

‘Aku menyukai. Namamu mirip dia.’ 

‘Kau memang penulis kalau begitu,’ pujiku sambil membenarkan letak kacamata yang turun. 

Kukatakan kepadanya, aku sendiri belum pernah membaca karya Kawabata. Anak muda Jepang bahkan belum tentu mengenal Kawabata. Ia penulis lama, kalau tak mau dibilang klasik. 

‘Kau tahu Daido Moriyama?’ Ia menyebutkan nama lain.  

‘Aku tahu dia. Kau menyukainya?’ 

Perempuan ini tahu fotografer legendaris Jepang. Aku tahu Moriyama, tetapi bukan penggemar aliran fotografinya. Aku memiliki beberapa buku fotonya di toko. Dia mengangguk bersemangat, kacamata hitam yang bertengger di kepalanya jatuh karena gerak yang berlebihan. 

‘Baiklah. Aku harus pergi sekarang. Sayonara, Mr. Kawata,’ kata sambil tertawa lalu memungut kacamatanya. 

Aku menyaksikan punggungnya menjauh, menuruni anak tangga kuil, menuju ke gerbang. 

-----

Seru, kan???

Ah, udah panjang banget nih kicauanku di sini. Maaf jika ada 'sastrawan' yang tersinggung dengan argumenku. Sekali lagi, ini hanya argumen yang tidak mutlak benar. Just ask to your heart, and you will be find the best answer. 

Oke, selamat menulis bagi yang suka menulis. Semoga kelak ketika napas telah meninggakan badan, setidaknya ada yang membuat kita dikenang.
^_^

Wednesday 23 October 2013

Kelas Bahasa Turki yang Mogok

My Turkish Vocabs



Aku bingung mau memberi mood :'( atau begini :-D untuk nasib kelas bahasa Turkiku. Ya, sudah lima kali pertemuan tutor bahasaku yang kubilang keren itu tidak masuk. Alasannya kuliah di Bandung yang tidak bisa ditinggal, hingga urusannya ke Malaysia.

Yang pertama, aku cukup sedih, karena ternyata buku panduan jilid satu yang bentuknya mirip buku bahasa Indonesia anak kelas 1 SD saja belum sampai setengah dikuasai. Pengen sih belajar sendiri, tapi masalahnya tuh buku full in Turkish yang aku nggak tahu artinya. Belum lagi tweets para mahasiswa/i kita yang kuliah di Turki, bikin aku keki setengah mati. Hah, aku baru sadar, Turki udah mewarnai hampir setiap sudut hatiku. Ciah...

Yang kedua, aku wajib bahagia plus jingkrak-jingkrak, karena nggak ketemu sama si Bapak Tutor yang udah pernah bikin mukaku merah kayak ketabrak pintu kulkas. Ceritanya, sebulan yang lalu, kita sekelas dapet tugas menyusun kalimat dengan simdiki zaman (present continous tense) dengan 12 kata kerja yang ada di buku. Satu kata kerja harus membentuk 12 kalimat, 6 kalimat olumlu (positif) dengan masing-masing kalimat berbeda subjek, dan 6 kalimat lagi yang olumsuz (negatif) dengan setiap kalimatnya juga beda subjek. Jadi total ada 12x12= 144 kalimat. Gila nggak tuh?

Oke, karena aku nggak terlalu mendengarkan, jadilah aku hanya membuat 12 kalimat, dengan satu kata kerja satu kalimat, menggunakan subjek yang secara acak kupilih. Bentuk tugas teman-teman sekelas yang sekontrakan denganku pun sama sepertiku. Rajinnya, aku menulis di kertas tugas seluruh jawaban soal-soal yang seharusnya diisi di buku panduan saja. Tiga lembar kertas binder kecil, penuh! Hebat! Pasti dapat seratus! Pikirku. Dan malangnya, malam harinya aku sempat mengirim pesan ke tuh Bapak, menanyakan perubahan sebuah kata kerja yang memang menurut pengakuannya, dia lupa memberi tahu di pertemuan sebelumnya. Yess, dapat nih satu poin. Pekikku dalam hati.

My Turkish book
Tapi tahukah? Keesokan harinya ketika tugas baru saja dikumpulkan, Bapak itu memanggil namaku, mengatakan kalau tugas yang kubuat masih kurang. Dia pun menjelaskan apa-apa yang harus kubuat dengan detail dan memintaku mengulang. What?!!! Kenapa cuma aku? Kenapa nama teman-teman sekontrakan yang bentuk tugasnya tak berbeda dengan yang kubuat, tidak dipanggil?

"Ngerjainnya nggak usah buru-buru." katanya yang mungkin menganggapku mengerjakan tugas itu di kelas sebelum dia masuk.

Huhuhu...rasanya ketika itu juga aku mau meletakkan wajahku ke tempat yang paling gelap di dunia ini. MALU! Bahkan sampai sekarang rasa malunya masih berasa.

Gimana ya caranya membuang rasa malu? Kok rasanya aku nggak punya nyali lagi buat masuk kelas Turki?

Oke, oke, jangan pusing. Take easy aja lah. Pasang wajah tanpa dosa dan anggap tidak pernah terjadi apa-apa. Maka semua selesai. Iya, nggak? Barangkali ini pelajaran, supaya lain waktu kalau dosen menjelaskan atau memberi tahu sesuatu, harus pasang telinga baik-baik. Ya, semacam menghibur diri sendiri.

Baiklah, bagaimanakah kelanjutan kelas bahasa Turkiku? Wallahu'alam deh. Doakan aja yah aku bisa segera berbahasa, entah bagaimanapun caranya. Hehe

Thank you for reading :) Ting!

Tuesday 22 October 2013

Cahaya iii: Teruntuk Adikku


Teruntuk adikku tersayang, Taufik Ilham.

Dik, Mbak menuliskan ini untukmu berharap kelak kamu akan membacanya. Dan insya Allah kamu akan membacanya. Mbak tidak bisa selalu bersamamu di kampung halaman sana, namun setidaknya dengan tulisan ini kamu akan tahu, betapa Mbak menyayangimu, betapa namamu terus Mbak sebut-sebut dalam setiap doa-doa, betapa air mata ini selalu meleleh kala mengenang dirimu. Kamu adik laki-laki Mbak satu-satunya, saudara kandung Mbak satu-satunya. Mbak bisa memastikan, di saat seluruh dunia memusuhi Mbak, kamulah yang akan tetap berdiri gagah membela Mbak, tanpa syarat apapun jua.

Sang Pecinta Lingkungan Hidup

Ya, Dik. Kamu itu adalah duta lingkungan hidup di keluarga kita. Kamu mencintai hewan-hewan dari yang sebesar gajah hingga sekecil ulat sekalipun. Mbak tak mungkin lupa dengan sifat muliamu yang satu ini.

Masih ingat nggak, ketika kamu pulang sekolah dengan membawa seekor anak kucing dekil dalam gendonganmu? Anak kucing yang katamu kau temukan di pinggir jalan sedang memeong-meong kelaparan dan kepanasan. Ah, Dik! Bahkan Mbak pernah melihat seekor kucing sekarat di tengah jalan, tapi Mbak tak punya jiwa pahlawan sepertimu.

Masih ingat nggak ketika kamu melepaskan tupai yang masuk dalam perangkap yang dipasang Bapak? Padahal Dik, kata Bapak, tupai-tupai itu hama, memakan buah kelapa kita setiap hari. Kamu malah menjawab bahwa buah kelapa memang sudah ditakdirkan menjadi makanan tupai, itu rezeki tupai, dia kan juga mau makan buat hidup. Mbak sampai tertawa geli mendengar jawabanmu.

Akhirnya, Bapak mengalah, ia membiarkanmu melepas tupai itu. Sebelumnya kau juga sempat menangis gara-gara tupai yang diberikan Bapak ke Wo Sarmin. Bapak sendiri menyuruh Wo Sarmin membunuh tupai yang didapat, karena takut kamu menangis jika tahu Bapak sendiri yang membunuh. Tapi, kamu malah memergoki saat Wo Sarmin melaksanakan eksekusi mati pada sang tupai, katamu tupai tak berdaya itu dicelup-celupkan oleh Wo Sarmin ke parit hingga mati lemas. Kamu pun seketika menangis dan memarahi Bapak.

Masih ingat nggak, ketika anak kucingmu yang memiliki belang tiga warna dengan nama comeng itu mati di bawah rumah? Ibu cerita pada Mbak, ia sampai mengubur anak kucing itu saat kamu shalat Jumat di Masjid, takut kamu melihat proses pemakamamannya. Biarpun begitu, kata Ibu, kau tetap murung hingga tiga hari kemudian. Bahkan air matamu selalu meleleh kala teringat si comeng. Ibu bahkan sampai ikut-ikutan mengeluarkan air mata, lho. Ibu bilang, Adikmu itu sudah persis ditinggal pergi manusia saja.

Masih ingat nggak, ketika kamu berangkat ke kebun bersama teman-temanmu dengan stek burung tergenggam di tangan, mau mencari burung? Tapi lagi-lagi Ibu bercerita, belum sampai lima menit, kamu sudah pulang sendirian, bilang kalau kamu tidak tega jika burung itu terkena hantaman peluru stek mu.

Masih ingat nggak, ketika Ibu menyuruhmu membunuh ulat besar yang ada di tiang jemuran? Kau kan tahu, Ibu paling fobia pada ulat, baik ulat yang kecil ataupun besar. Tapi, kau malah mengambil ulat itu dengan lembut lalu kamu pindahkan ke atas daun singkong, sambil berkata 'Hidup baik-baik, ya. Jangan main ke tiang jemuran lagi. Oke?'. Saat itu Mbak sedang liburan di rumah, jadilah Mbak tertawa ngakak melihat ulahmu.

Selain pada hewan, kamu juga mencintai tanaman. Masih ingat tidak, ketika kamu menanam bunga di halaman rumah, menyiraminya, lalu mengamatinya setiap waktu? Mbak sampai mengejekmu banci. Bagaimana, apa sekarang bungamu sudah tumbuh? Mbak lupa menanyakan ketika kamu menelepon.

Masih ingat nggak, ketika kamu masuk ke bawah kolong dapur untuk mengambil bibit paria yang tumbuh liar di sana? Ibu sampai berteriak geram, takut tubuhmu dirambati tungau. Tapi kamu tak peduli. Kamu terus mencabuti bibit-bibit itu, lalu menanamnya di tanah bakaran. Tampaknya sebelum Mbak pulang ke Bogor kemaren, pariamu sudah mulai berbuah? Sudah dipanen belum?

Technical Engineering

Nah, selain duta lingkungan hidup, ternyata kamu memiliki minat di dunia mesin. Setidaknya hal ini bisa membantah tuduhan Mbak yang mengatakan kamu banci. Hehehe

Ya, ketika ditanya tentang cita-cita pun, kamu dengan mantab menjawab, ingin kuliah mesin, jadi seperti Habibi. Mbak lihat, kamu memang memiliki bakat di sini. Kamu memperbaiki jam tanganmu yang sudah rusak, memperbaiki charger ponsel Mbak yang awalnya tak berfungsi, memperbaiki mainan-mainanmu sendiri, memperbaiki digital parabola hingga membantu mencari siaran televisi tetangga yang hilang. Mbak heran, kamu bahkan tahu alat-alat kecil yang kurang pada parabola milik bibik yang baru dibeli dan baru dikeluarkan dari kardusnya. Kamu bilang, kalau tidak ada itunya ya tidak bisa dihubungkan. Ternyata benar. Akhirnya bibik harus mencari alat kecil itu lagi.

Selanjutnya tentang mesin diesel kita yang sering bikin ulah. Kamu memang belum bisa memperbaiki diesel, tapi Mbak kagum, kamu hampir menghapal semua bagian-bagian diesel dan alat-alatnya. Kamu lebih memilih mengamati kerja orang yang sedang memperbaiki diesel kita, ketimbang main bola. Bahkan tidak mempermasalahkan walau disuruh mengambil alat ini dan itu.

Sang Juara Kelas

Untuk yang satu ini, kamu membuatku iri, Dik. Kamu selalu menjadi juara pertama di kelas mulai kelas 1 hingga sekarang, kamu sudah duduk di kelas 6. Padahal Mbak lihat kamu tak terlalu rajin belajar, walau Mbak akui, kamu memiliki kemampuan merekam penjelasan guru dengan kualitas yang sangat baik. Kemampuan menghapalmu pun membuat Mbak iri. Kamu bisa menghapal cepat.

Menyayangiku

Inilah salah satu sifatmu yang membuat Mbak selalu merindukanmu. Sayangmu pada Mbak kamu perlihatkan dengan jelas sekali, Dik. Kamu tak pernah tega memukul Mbak. Kamu selalu mengingatkan Bapak-Ibu untuk membelikan apa-apa yang Mbak suka. Ibu pernah memberimu uang jajan 2000 rupiah, Mbak tidak menyangka, uang itu kamu belikan dua bungkus mi gelas lalu kamu seduh di dua buah gelas dan memberikannya satu pada Mbak. Kamu bilang, kalau seperti inikan bisa dinikmati sama-sama. Tahukah, dik, ketika itu Mbak makan mi itu sambil menahan air mata agar tak jatuh di depanmu?

Setiap kali Mbak pulang ke kampung kita, dan sepeda motor yang dikendarai Bapak bersama Mbak terdengar bunyinya di kejauhan, kamu sudah berlari ke jalan, menyambut kedatangan Mbak. Selama Mbak di rumah, kamu selalu mengekor kemana pun Mbak pergi, berbaik hati mendengar cerpen-cerpen yang Mbak bacakan, walaupun kadangkala kamu tak paham maksud ceritanya.

Ketika Mbak berpamitan untuk kembali ke Bogor, kamu duduk sambil menahan air matamu. Dik, wajahmu ketika itu masih jelas dalam ingatan Mbak. Masih sangat jelas. Kamu Adik laki-laki, tapi tak membuatmu gengsi untuk mengeluarkan air matamu untuk Mbak. Dik, bahkan sekarang ini, saat Mbak menuliskan kalimat ini, Mbak menangis, teringat dirimu.

Setelah Mbak sampai di Bogor, Bapak-Ibu bilang, kamu terus meminta mereka menelepon. Bahkan ketika malam sebelum tidur. Ibu cerita, kamu pernah meminta Ibu menelepon Mbak jam 22.00 walau semenit saja, sekadar untuk mendengar suara Mbak. Ibu juga cerita, kamu sering duduk di pojokan ruangan, dan jika diamati, ternyata kamu sedang menangis, teringat Mbak. Suaramu yang selalu berseru 'Mbak, Eham kangen. Mbak baik-baik ya di sana' di telepon selalu terngiang-ngiang, Dik. Tak bisa hilang. Membuat Mbak selalu merindukanmu dan rumah kita.

Ulang tahunmu ke-13

3 Oktober kemaren kamu ulang tahun
Selamat ulang tahun, ya..
Maaf Mbak belum bisa menghadiahimu barang-barang spesial
Semoga panjang umur
kamulah laki-laki harapan Mbak, harapan Bapak-Ibu.
Jadi anak yang saleh, yaa...
Kita doakan Bapak-Ibu,
Kamu adalah cita-cita, Mbak
Cita-cita keluarga kita
Mbak punya mimpi untuk bisa membiayai pendidikanmu setinggi-tingginya,
Semoga Mbak bisa
Dan insya Allah, Mbak bisa!
Tetaplah jadi duta lingkungan hidup, tetap punya cita-cita tinggi, dan tetap menyayangi Mbak sepenuh hati. Terimakasih sudah menjadi Adik Mbak yang istimewa...
Bogor, 22 Oktober 2013
8:44 p.m


 

Saturday 19 October 2013

Pertemuan Pertama dengan Oki Setiana Dewi

Assalamualaikum :)

Akhirnya...setelah sekian tahun aku hanya bisa melihat Mbak Oki di layar kaca, tadi pagi (Ahad, 20 Oktober 2013) Allah memberiku kesempatan untuk melihatnya langsung, pada sebuah seminar kemuslimahan dengan tema Muslimah Inspiring Succes Story, di Kampus IPB Gunung Gede.

Mbak Oki datang sedikit terlambat karena ternyata dia mengira kampus Gunung Gede itu sama saja dengan kampus Dramaga, jadilah dia nyasar terlebih dahulu ke kampus S1 di Dramaga.

Okeh...setelah hampir jam 09.00, Mbak Oki dengan gamis Jersey khasnya berwarna hitam dan himar donker bergo panjang menampakkan sosoknya. Seketika seluruh peserta seminar berbisik-bisik, ada juga yang spontan mengucapkan "Wah...cantiknya..."

Subhanallah, aku sendiri gak nyangka kalau Mbak Oki itu aslinya secantik itu, ditambah dengan wajahnya yang sejuk, rasanya salju berjatuhan di ruangan seminar itu (hehe, lebay).

Nah, setelah dipersilahkan oleh moderator, Mbak Oki menyampaikan cerita suksesnya dengan lancar-car. Apa yang disampaikan Mbak Oki adalah cerita hidupnya dari kecil hingga sukses seperti sekarang, semua ada dalam bukunya Melukis Pelangi. Eh, yang membuatku terkaget-kaget, ternyata Mbak Oki ini punya selera humor yang tinggi juga, terbukti dari keberhasilannya memecah tawa peserta seminar berkali-kali.

"Eh, pelan-pelan saja, jangan berdesak-desakkan." Mbak Oki mempraktikkan Oki kecil yang ngomong di depan cermin. Ya, Oki kecil berimajinasi kalau di depannya banyak fans yang rebutan ingin bersamalaman dengannya.


Wah, kalau soal isi seminar dari Mbak Oki, mending langsung baca bukunya aja yah...

Aku seneng banget bisa melihat sosok inspiratorku itu secara langsung, meskipun aku sedikit kecewa karena gak bisa foto bareng. Lagipula Mbak Oki tampaknya memang terburu-buru sekali, soalnya jam 12.00 ia akan terbang ke Batam. Oh ya, Mbak Oki dua kali meminta didoakan soal jodohnya, lho...

Semoga Allah memberikannya seorang imam yang akan mendoakannya menjadi bidadari jannah, imam yang membimbingnya untuk tetap istiqomah menjaga iman dan Islam, imam yang akan menjadi patner-nya untuk menciptakan generasi saleh-saleha nantinya. Aamiiin...

Cukup sekian dulu, yaa...

Doain aku bisa menjadi muslimah inspiratif kayak Mbak Oki, ya... dan aku juga akan mendoakan sahabat muslimah semua. Doain juga nanti suatu saat novelku bisa terbit, lalu difilmkan, dan pemerannya Mbak Oki, yaa... (hehe)

Dadaah...
Wassalamualaikum :)

Friday 18 October 2013

Cerita Cinta Lama (hehehe)

Cerita ini sebenarnya sudah basi dan berbusa. Tapi siapa peduli, cerita cinta akan selalu membingkai senyum di wajah kebanyakan, tak pandang itu cerita lama atau hangat sekalipun, tak pandang itu cerita remaja atau bukan. Cinta selalu hadir dengan pesonanya. Cinta selalu menyelipkan hawa kebahagiaan di setiap hal yang menyampaikannya.

Cerita ini sekadar mengenang. Tentang seseorang yang pernah menghabiskan satu buah buku harian merah jambuku, dulu, ketika masa sekolah menengah. Seseorang yang bahkan namanya pun tak berani kutuliskan dengan sempurna, di manapun itu, tak terkecuali di buku harianku. Keberanianku terhenti pada huruf 'F' yang kutulis, dan satu huruf itu pula yang kupakai untuk menuliskannya,  hingga akhir cerita.

Kau pikir, ini kisah cinta seperti remaja SMA kebanyakan? Yang mengungkapkan cintanya, lalu mendapat jawaban penerimaan, berbahagia, jalan-jalan, nonton, berantem, dan putus? Atau jika nasib buruk, cinta itu berbuah penolakan, menangis tersedu-sedu sehari-dua, kemudian mencari tambatan hati baru? Atau cerita cinta segitiga remaja satu sekolah, yang bermula persahabatan atau olok-olok kebencian? Tidak, sama sekali berbeda. Ini hanya cerita cintaku saja, tanpa menyinggung tentang cintanya. Cinta yang hingga sekarang tak bisa kujabarkan. Cinta yang bermula dari wajahku yang bersemu merah, dengan keringat dingin membanjir, karena ia menyuruhku menerangkan dua proses perkembangbiakan virus, di depan kelas. Saat itu umurku masih 13, kelas X, siswi baru. Masih kecil dan polos sekali, bukan?

Tapi cinta anak 13 tahun itu berhasil membuatku bingung, sampai sekarang. Karena ia berhasil mencintai F hingga tiga tahun lamanya, menutup rapat, hingga tak ada seorang pun yang tahu. Bahkan buku harianku hanya tahu ia dengan huruf F, tak lebih. Tak sekalipun aku mendeskripsikan sosoknya dalam tulisanku. Aku terlalu takut.

Siang itu, ia masuk ke kelasku, menjelaskan panjang lebar tentang perbedaan virus dan bakteri, dengan jelas, dengan sejuta kepandaian menerangkan yang ia punya. Aku mendengarkan. Belum ada rasa apa-apa kala itu. Namun, astaga, tiba-tiba ia memanggilku, memintaku maju ke depan dan menerangkan materi minggu lalu. Aku gelagapan. Napasku tak beraturan. Ingin menangis rasanya. Terpaksa, dengan terbata-bata bibirku mengurai kalimat yang dengan yang mati-matian berusaha kuingat. Dia tertawa. Aku tidak berbohong! Dia menertawakanku, menopang salah satu pipinya dengan telapak tangan, melihatku penuh kemenangan dari tempatnya duduk. Wajahnya mengulas senyum. Seperti mengejekku. Ah, menyebalkan! Aku seperti dipermalukan.

Sejak hari itu, ketika berpapasan, atau ketika ia berlalu di depan kelasku, ia selalu memanggil namaku. Atau ketika berjalan masuk ke kelasku, pertama-tama ia akan mencari sosokku, menanyakan diriku. Ia juga sering menitipkan salam padaku melalui teman-teman. Ah, mungkin karena itu aku merasa tersanjung, lalu lembaran-lembaran mahkota ketersanjungan itu menjelma setangkai mawar merah jambu.

Apakah dia pernah merasakan hal yang sama seperti yang pernah kurasakan?

Ini adalah pertanyaan yang tak pernah kuketahui jawabannya. Aku juga tak tahu, apakah sikapnya padaku sama seperti sikapnya pada teman-teman atau kakak kelasku juga. Pertanyaan-pertanyaan yang memang tak pantas kuketahui jawabannya. Dia adalah guruku, sosok yang harus kuhormati, tak pantas aku melemparkan dadu bersisi enam yang setiap sisinya berisi pertanyaan tak penting, dari seorang siswi ingusan yang barangkali hanya sekadar disukainya karena lucu. Ya, lucu saat wajahku ketakutan dan gugup seperti saat aku dimintanya menjelaskan materi. Entahlah...

Di akhir semester ii kelas XI hingga aku duduk di kelas XII, sapaan manis dan salam itu tak pernah lagi kuterima. Ketika itu aku belum mengerti alasannya, namun kini, aku tahu.

Beberapa bulan lalu, aku melihat foto pernikahannya. Wanita ayu di sampingnya adalah guru bahasa Indonesia-ku dulu. Ia tak mengajar dalam waktu lama di sekolahku, sebagai guru baru ketika aku tengah duduk di semester ii kelas XI, dan dipindah tugaskan beberapa bulan kemudian. Aku hanya bisa menerka-nerka, F telah menemukan tambatan hatinya, dan wanita itu adalah guru bahasaku.
Hehehe

Aku baru saja tertawa sendiri. Lucu saja jika mengenang semua itu kembali. Buku harian merah jambuku merekam semuanya. Bahkan ada beberapa bait pertanyaan yang dulu kutulis di akhir buku itu.

"Apakah kamu tahu kabarnya saat ini?"

"Apakah dia sudah menikah?"

"Lalu, apakah kamu masih mencintainya?"

Tiga pertanyaan itu memang kumaksudkan untuk kujawab pada masa mendatang. Dan, baiklah, aku akan menjawabnya dengan diriku yang sekarang.

"Tidak, aku tak tahu kabarnya"

"Ya, aku hanya tahu ia sudah menikah. Ia terlihat bahagia sekali di foto yang kulihat itu."

"Alhamdulillah, hatiku tak lagi condong padanya seperti dulu. Ini anugerah. Aku masih ingat benar diriku yang dulu, yang setengah mati menyimpan rapat cinta itu. Rasanya sakiiittt... (lebai, but serius sih)"

Ssst...
Pleasse jangan menertawakanku seperti itu, kawan. Aku tertarik menuliskan cerita basi ini karena kuliahku tadi pagi. Materi yang disampaikan dosen melayangkan ingatanku padanya, guruku. Hehehe. Anggap saja ini humor selingan di tengah-tengah hidup yang serius. Yah, sekadar mengenang, tidak bermaksud apa-apa.

Untukmu, selamat menempuh kehidupan baru...

Semoga dirimu bisa menjadi imam yang baik, yang menggandeng tangan istrimu selalu dan tak membiarkan sedikit pun ia tersesat, yang kau tuntun penuh cinta menuju jannah-Nya.

Dan semoga istrimu adalah wanita saleha, penenteram jiwamu, temanmu, kekuatanmu. Wanita yang akan menghapus gelisahmu, mengeringkan air matamu, tempatmu membagi suka duka hidupmu. Wanita yang akan mengabdikan dirinya padamu dengan segenap cinta yang bersandar pada cinta-Nya.

Dan semoga, di antara kalian segera hadir malaikat-malaikat kecil yang lucu, yang insya Allah saleh-saleha, yang akan memperjuangkanmu dan isterimu di dunia hingga akhirat kelak. Aamiiin...

Bogor, 18 Okt 2013

[postingan yang selalu bikin aku ngakak sendiri, nih!]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...