Sunday 31 May 2015

Seandainya Kita Punya Usaha Fashion

https://capricorn92.files.wordpress.com/

Beberapa waktu terakhir aku sering sharing bareng sepupu yang sekarang kerja di Tanjung Pinang, Kepri. Mengingat sebentar lagi aku bakal lulus dari IPB (insya Allah), jadi tema pembicaraan kita nggak jauh-jauh dari ‘usaha’ yang mau digeluti bersama nanti. Dia juga sering cerita kalau sudah bosan dengan kesehariannya sekarang.
“Aku juga nggak mungkin kerja sebagai karyawan di PT terus, Mbak. Uang yang aku kumpulkan 3 tahun ini sengaja nggak aku belikan apa-apa. Niatnya mau dibuat modal usaha. Biar uangnya berkembang. Nanti Mbak yang mikir usaha yang bagus buat kita kembangin berdua. Aku udah nggak bisa mikir.” Tulisnya di pesan singkat.
Kukatakan padanya agar dia lebih bersabar dan banyak berdoa. Bagaimana pun impian tanpa dibarengi doa, semuanya nggak akan ada berkahnya. Aku menyetujui idenya untuk membuka usaha berdua. Dia tidak hanya sepupuku, namun juga sahabat sejak kecil. Kita tumbuh bersama, rumah di kampung halaman berdekatan, dan sejak kecil pula kita sudah bercerita tentang impian-impian. Jalan hidup dan pilihanlah yang membuat kita berdua berjauhan saat ini. Takdir membawaku berkuliah di Bogor dengan beasiswa dari Kementrian Agama RI, sementara dia, karena keterbatasan biaya, terpaksa mengubur mimpi untuk kuliah dan pilih bekerja di sebuah PT swasta di Kepulauan Riau.

Untuk menentukan usaha apa yang tepat di Kepri sana, aku masih belum bisa memastikan. Aku harus melihat langsung kondisi sosial dan market yang ada di sana. Saat ini aku belum terlalu paham produk apa yang paling potensial di Kepri. Peternakan puyuh? Ya, ini memang cita-citaku untuk mendirikan sebuah peternakan puyuh. Tapi masih butuh diskusi panjang dengan sepupu. Aku yang sudah duduk di bangku perkuliahan selama bertahun-tahun, mendengarkan banyak dosen dan mata kuliah tentang bisnis, tentu sedikit sebanyaknya paham bahwa menjadi pengusaha itu harus punya mental yang kuat. Aku masih harus menjelaskan hal ini pada sepupuku. Setidaknya bilang agar jangan terlalu berputus asa andai di awal-awal akan bertemu dengan kerugian dan sebagainya. 

Salah satu jenis usaha yang kusodorkan padanya adalah fashion. Ini karena sejak kecil, kuperhatikan, dia punya minat yang tinggi pada fashion. Dia punya selera fashion yang baik. Pandai memadu-padankan antara atasan dan bawahan, juga aksesoris yang cocok ia gunakan. Kupikir, andai kita menggeluti usaha fashion, dia pasti mengerjakannya dengan bahagia. Kalau usaha peternakan, aku takut dia akan terkaget-kaget.

Jenis fashion yang aku menaruh minat di dalamnya adalah Turkish Style. Saat ini baik itu di mall-mall hingga produk online, susah sekali menemukan tunik atau coat dengan bahan yang cocok digunakan di daerah tropis. Padahal menurutku, style para wanita Turki itu keren dan sopan. Jenis pakaian seperti pardesu yang panjang hingga di bawah lutut pasti akan manis jika bahan yang dipilih lebih bersahabat dengan iklim Indonesia. 



http://biutifa.com/
http://assets.kompasiana.com/
http://biutifa.com/
http://stylehijabblog.com/
http://stylehijabblog.com
http://stylehijabblog.com/
Pilihan warna wanita Turki lebih dominan gelap atau netral, seperti hitam, biru donker, cokelat, putih, moka, atau krem. Sementara kebanyakan wanita Indonesia (terutama remaja), lebih suka warna-warna yang cerah. Andai bisa disiasati, kurasa ini akan menghasilkan desain baru yang lebih manis. Misalnya tunik dengan perpaduan warna hitam dan pink pastel, atau putih dengan tosca pastel.

Untuk sepupuku yang tidak berhijab, dia bisa menjadi ‘sampel’ untuk produk yang dikhususkan bagi mereka yang tidak berhijab. Namun tetap dalam tema Turkish Style. Aku sudah lama sekali memperhatikan selera fashion para wanita Turki. Meski mereka tidak berhijab, mereka punya ciri khas. Salah satu style wanita tidak berhijab di sana adalah kemeja yang dipadukan rok lebar, atau celana ketat dengan coat hingga di bawah lutut. Mereka terlihat manis dengan style seperti itu. 

Soal desain, di internet banyak sekali. Kurasa tidak begitu sulit untuk memodifikasi. Lagipula di dunia ini tidak ada yang benar-benar baru. Mungkin perlu belajar dalam hal pemilihan bahan dan sedikit pengetahuan dengan kualitas jahitan. 

Bagaimana pun ini masih sebatas planning. Kalian yang sudah action tentu lebih mengagumkan. Sementara aku masih banyak pikir sebelum melangkah. Semoga Allah meneguhkan hati dan tekad kami. Insya Allah... Kalau teman-teman semua punya ide usaha yang selama ini dimpikan, silakan share di komentar. Semoga semakin banyak yang mengamini.

Friday 29 May 2015

F Suardy dan 99 Karakter Lukisan Ratu Pantai Selatan



Aku tidak ingat kapan pertama kali tertarik pada lukisan. Satu hal yang sudah pasti, buku-buku catatan semasa SMP dan SMA hanya tersisa beberapa saja saat ini. Selebihnya sudah kubakar karena dipenuhi gambar-gambar manusia yang kubuat di sana. Sebenarnya aku tidak punya maksud untuk menggambar manusianya, melainkan busana yang mereka pakai. Kan nggak enak dilihat kalau desain-desain itu nggak dipadu padankan sama model manusianya. Kata Bapak, lukisan makhluk hidup itu akan menuntut nyawa di akhirat kelak, makanya harus dibakar. Daripada di kehidupan kedua nanti aku dikejar makhluk-makhluk unyu, lebih baik bukunya saja yang kubakar.

Yeah, bakat menggambarku memang tidak pernah diasah. Justru sekarang aku hampir tidak pernah lagi menggambar. Meski begitu, aku tetap senang mengamati lukisan. Contohnya saat aku lihat lukisan di dapur peternakan tempatku magang, aku berdiri di sana sampai sekitar sepuluhan menit. Padahal itu hanya lukisan sebuah rumah dengan hutan berwarna hitam di belakangnya. Hanya saja imajinasiku selalu berkeliaran ke mana-mana. Tiap kali melihat lukisan, aku selalu bertanya, “Bagaimana bisa hal seindah ini, detail sekecil ini, bisa diciptakan dari olesan sebuah kuas? Tanpa digambar dengan pensil terlebih dahulu.” Dan kalau sudah begitu, langsung aku terkagum-kagum pada si pelukis.

Tanggal 05 April lalu, aku menghadiri festival Nelayan Nasional yang diadakan di Pelabuhan Ratu. Saat berangkat, aku sama sekali tidak punya ekspekstasi apa-apa terkait festival yang akan kudatangi. Tahunya, itu memang sudah agenda tahunan dan tentu saja penontonnya membludak. Selain menyaksikan upacara Larung Saji yang merupakan upacara persembahan bagi Kanjeng Ratu Pantai Selatan, aku menyempatkan diri berkeliling blok-blok pameran yang sudah disediakan. 

Ada yang mempromosikan wisata Situ Gunung, pernak-pernik dari binatang laut, makanan, hingga dinas Kelautan yang memamerkan peralatan kerja mereka saat di laut. Di antara sekian banyak, hanya satu blok yang paling menyita perhatianku. Aku datang ke sana berkali-kali dan berdiri di sana cukup lama. Bahkan sempat ngobrol dengan pemiliknya. 

Tidak lain tidak bukan, yang kukunjungi tersebut adalah stan pameran milik pelukis F Suardy. Laki-laki jangkung berkaca mata, bertopi, dan berambut gondrong tersebut dikenal sebagai Pelukis Kanjeng Ratu Kidul dengan 99 Karakter. Wajar saja kalau stannya dipenuhi oleh lukisan-lukisan Sang Ratu. Beliau sudah pernah melakukan pameran tunggal di Grand Sahid Jaya Hotel, TMII, dan di INNA Samudra Beach Hotel. Rata-rata lukisan yang dipajang di sana berukuran besar. Seperti yang biasa dipajang di istana-istana atau museum. Ngeri juga ya kalau sampai dipajang di rumah?

“Kok bisa sih, lukisan sebanyak ini punya wajah yang mirip semua? Padahal nggak ada modelnya tho?” tanyaku dalam hati ketika itu.
Tak lama, Bapak Suardy datang. Dia berdiri di sampingku dan mulai berkata, “Hal yang seperti ini kan potensial sekali Neng sebagai ikon kabupaten Sukabumi. Seandainya saja dikembangkan, ini bagus sekali. Tidak semua tempat lho punya legenda semenarik ini. kalau masyarakat asing sangat menghargai hal-hal berbau budaya sekaligus legenda seperti ini, sayangnya masyarakat kita tidak. Saya justru dikatai musyrik.” Ucapnya prihatin.
Aku mengangguk. Benar juga. Lukisan-lukisan tersebut memang sangat potensial, mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang percaya akan keberadaan Sang Ratu Selatan. Mungkin karena dalam film-film, lukisan Ratu Selatan selalu dikaitkan dengan kehadiran Sang Ratu, jadi banyak yang takut memiliki lukisan sesakral itu di dalam rumah. Soal musyrik tidaknya, aku tidak tahu. Tergantung niat sang pelukis dong ya? Kalau beliau melukis hanya untuk seni, ya bukan syirik. Tapi kalau untuk disembah, baru namanya syirik. Para pembeli juga harus meluruskan niat saat membeli lukisan seperti itu, diniatkan saja untuk keindahan semata, jangan justru disembah dan diberi sesaji. Hehe
 



Yang ini juga lukisan F Suardy. Abaikan makhluk di sampingnya.

Kembali kuamati satu-persatu lukisan itu. Di sana ada pose saat Nyai Roro Kidul sedang duduk di singgasana, ada yang keluar dari air, ada yang bersama Raden siapa gitu, serta ada juga lukisan seorang wanita berpakaian serba putih dan kerudung putih. Kupikir itu Ratu Kidul sedang berkerudung, ternyata lukisan itu adalah Hajah siapa gitu. Yang jelas dari jaman-jaman dulu. Sayang, daya ingatku payah sekali. Padahal Pak Suardy sudah menjelaskan nama-nama mereka padaku.

Hampir sepuluh menit, akhirnya aku permisi untuk melanjutkan ke stan selanjutnya. Kuminta kartu nama sang pelukis dan dia dengan senang hati memberikan. Aku senang dengan keramahan bapak Suardy. Seandainya saja waktu itu kepalaku lebih cepat berpikir, sekarang aku pasti punya foto bersama beliau. 

Semoga lain waktu ada kesempatan berkunjung ke galerinya INNA Samudra Beach yang beralamat di Jl Raya Cisolok KM 7, Pelabuhan ratu, Sukabumi 43365, Jawa Barat. Bagi yang ingin menghubungi Pak Suardy, bisa langsung ke email beliau kisamudra_biru@yahoo.com.

Bahas Sinetron Zahra, Yuk!




Kadang aku nggak ngerti kenapa kalau suka sama sesuatu, jatuhnya jadi obsesi. Semuanya begitu, termasuk sinetron. Kalau aku udah suka, biasanya aku bakal cari-cari sampai akarnya. Baik itu google, blog, web, twiter, facebook, instagram, semuanya kujelajah. Mungkin inilah salah satu sifat jelekku yang keponya nggak ketulungan. Syukur aku cuma kepo sama sinetron atau hal-hal tertentu, nggak pernah kepo sama urusan orang lain. 

Nah, sekarang aku lagi suka banget sama sinetron Turki berjudul Zahra yang tayang setiap pukul 14.30 di SCTV. Sinetron ini masih baru, di Turki sendiri baru nyampe episode 81. Awal nonton kayaknya kurang sreg, karena kesannya semua pemain kok kejam-kejam. Tapi makin ke sini, ceritanya so so so touching. Apalagi mereka punya soundtrack mendayu-dayu, makin suka aja.

Zahra yang punya judul asli KUCUK GELIN (Pengantin Kecil) ini berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Zahra (Cagla Simsek) yang masih berumur 14 tahun dan dipaksa menikah oleh ayah tirinya. Kirain pernikahan ini nggak jadi, ternyata aku salah. Dia benar-benar menikah dengan Ali (Gokhan Sahin), seorang pemuda lumpuh anaknya orang kaya di desa tersebut. Kalau nonton dari awal, pernikahan ini nggak terjadi begitu saja. Ceritanya cukup kompleks. Intinya, meskipun gurunya Zahra bernama Melek (yang tak lain adalah ibu kandungnya) berusaha membatalkan pernikahan tersebut, pernikahan itu tetap lanjut. Adat di desa itu yang selalu menikahkan anak di bawah umur sudah mengakar kuat. Nggak ada yang bisa menghalangi. 

Sedih banget, padahal Zahra itu punya cita-cita tinggi. Dia pengen sekolah tinggi dan nantinya jadi guru. Sayang, semuanya tinggal impian. Boleh spoiller ya, nantinya Zahra ini hamil. Saat itulah semua mimpinya musnah. Makin ke depan, ceritanya makin dramatis. Ali yang semula cuma duduk di kursi roda, nanti sembuh dan bisa jalan. Suka main pukul, suka judi, minum obat-obatan terlarang, acuh nggak acuh. Yang mana mereka punya anak. Pokoknya kejam banget.



Pasangan Ali dan Zahra

Ya meskipun Ali bukan pemeran utama, tapi entah kenapa banyak banget yang ngefan sama nih orang. Mungkin karena tampangnya yang memang cakep. Dalam sinetron dia ini berperan sebagai suami yang nggak bertanggung jawab. Mungkin wajar sih, wong umurnya masih seumur jagung. Dia dipaksa menikah sama keluarganya. Padahal waktu itu dia suka sama gadis lain bernama Suna. Kejamnya lagi, Suna malah ditembak mati sama kakaknya sendiri. Sejak itulah kelakuan Ali semakin menjadi-jadi. Kasihan Zahra, bocah kecil gitu harus tersiksa setiap hari ngadepin si Ali.
Banyak yang tanya, bagaimana Zahra bisa hamil? Bukannya baik Zahra maupun Ali, keduanya saling benci. Bahkan saat dipaksa tidur dalam satu kamar, Ali malah nyuruh Zahra tidur di lantai, sedangkan dia di kasur empuk. Penasaran?

Jawabannya ada di episode 40 (episode akhir Kucuk Gelin season 1). Ceritanya waktu itu Zahra ninggalin Ali di tebing gitu, padahal waktu itu kakinya Ali masih belum sembuh benar. Jadilah ibunya Ali marah besar. Zahra dipukulin sampai berdarah-darah, sampe jatuh ke lantai. Di saat yang sama Ali datang. Dia yang menghalangi ibunya. Marah ke ibunya yang mukulin Zahra berlebihan. Zahra dibawa ke kamarnya buat diobatin. Terus disuruh istirahat, dan Alinya keluar (aku masih gagal ngerti kenapa di episode ini Ali bisa baik).


Di luar dia dimarah-marahin sama nenek, ibu, dan entah siapa lagi. Pokoknya sampe dia greget banget. Mungkin aku kalau dipojokin dan semua orang marah-marah gitu, pasti frustasi juga. Gara-gara itulah dia minum pil-pil terlarang. Mungkin kayak narkoba gitu. Yang jelas pil-pil itu bikin dia tenang, hanya otaknya nggak berjalan normal. Di saat inilah dia masuk ke kamar di mana Zahra lagi istirahat. Intinya Ali waktu itu lagi di bawah pengaruh obat-obatan.

Sekarang episode di Turki, mereka udah punya anak laki-laki yang lucu banget. Namanya Jamal. Suka sedih kalau lihat bocah sekecil Zahra udah gendong-gendong anak. Mending pula kalau suaminya perhatian, lha ini si Ali semakin parah kelakuannya. 


Apa yang Membuat Menarik?

Ini bukan sinetron roman. Jangan harap sepanjang cerita kita akan disuguhi drama kehidupan Ali-Zahra. Seperti yang kubilang, Ali bukan pemeran utama. Bahkan di cover-nya nggak ada tuh sosoknya Ali. Yang ditekankan dalam sinetron ini adalah perjuangan Zahra buat survive dan perjuangan sang ibu untuk terus melindungi dia. 

Sinetron ini juga menunjukkan, ‘begini lho kehidupan anak-anak yang menikah di bawah umur, apalagi kalau sampai dipaksa’. Nggak ada bahagianya. Justru penuh dengan masalah. Why? Karena mereka nggak punya pondasi yang kokoh untuk rumah tangga mereka. Tradisi menikahkah anak di bawah umur ini katanya memang masih terjadi di pedesaan yang terpencil di Turki sana. Makanya diangkat jadi sinetron. 

Perbedaannya dengan sinetron Indonesia, sinetron ini punya trik yang pintar. Season 1 mereka cukupkan sampai episode 40, lalu berhenti selama beberapa waktu, baru deh lanjut ke season 2. Ceritanya punya alur maju dan ada yang dituju di ujung sana. Kalau sinetron kita kebanyakan nggak tau mau dibawa ke mana, kan?

Yuk, Nonton Zahra!

Ini bukan promosi. Aku cuma ngajak nonton biar rating Zahra naik, jadi nggak di-stop sama SCTV. Hihi. Memang bisa nonton di youtube, tapi nggak ada subtitle-nya. Nggak paham apa yang mereka omongin. Cuma menerka-nerka. Kalau tayang di TV Indonesia kan bisa tahu apa yang mereka omongin. Mumpung jadwal sidang belum ditentuin, jam-jam siang selalu ada di kosan buat nonton. 

YANG MAU JOIN GRUP ZAHRA DI FACEBOOK SILAKAN KLIK DI SINI

Monday 25 May 2015

Cuap-Cuap tentang Hijab



Cerita tentang hijab, sebenarnya aku nggak punya history yang terlalu inspiratif. Sejak umur 10 tahun aku harus berangkat sekolah menggunakan hijab, ‘cause saat itu Bapak kukuh memasukkanku ke Madrasah Tsanawiyah. Meski belum tahu esensi hijab, mau nggak mau aku harus pakai juga. Nggak jarang aku menggerutu dalam hati kalau lihat sepupu yang sekolah di SMP bisa berkreasi dengan rambutnya. Aku juga pengen pakai bando warna-warni, pengen pakai jepitan rambut, dan aksesoris lucu lainnya.

Hingga akhirnya takdir membawaku melanjutkan sekolah ke kota provinsi di Pekanbaru. Aku melanjutkan sekolah ke pesantren. Cerita tentang tebar pesona dengan rambut panjang pun tinggal sebatas impian. Karena di pesantren, hijab ternyata sangat jauh dari yang berhasil kubayangkan sebelumnya.

Dari rumah aku membawa banyak sekali hijab bergo pendek yang hanya sebatas menutupi leher. Namun sampai di pesantren, aku terkaget-kaget karena semua santriwati mengenakan hijab menjulur hingga ke dekat pinggang. Alhasil semua hijab yang kubawa nggak bisa dipakai kecuali di dalam lingkungan asrama putri. Untuk aktivitas di luar asrama, aku harus memakai jilbab segi empat warna merah ati satu-satunya. Hanya jilbab merah ati inilah yang bisa kupasang lebih panjang hingga menutupi dada. Mau minta Ibu membelikan hijab panjang, eh jarak antara pesantren dan pulau kampung halamanku terlalu jauh. Bahkan sampai aku tamat dari pesantren, Ibu nggak pernah menginjakkan kaki di sana.

Awal-awal di pesantren aku cukup frustasi. Sempat berkali-kali minta pindah. Jawaban Bapak tetap sama, kalau aku mau sekolah satu-satunya adalah dengan menyelesaikan pendidikan di pesantren. Jika aku pilih pulang, itu artinya putus sekolah. Ah, Bapak. Dulu aku mengutuk semua paksaan beliau, namun sekarang aku sudah paham bahwa semua pilihan Bapak adalah yang terbaik. 

Perlahan-lahan pendidikan di pesantren menyadarkanku betapa pentingnya hijab bagi seorang muslimah. Dan alhamdulillah hingga sekarang tiap kali bepergian ke luar rumah, hijab nggak lagi kulepas.  Beberapa bulan aku pernah coba mengenakan hijab syar’i panjang, namun karena tuntutan perkuliahan yang lebih sering aktivitas di areal pertanian, aku terpaksa kembali mengenakan hijab biasa. Ini salahku sendiri, karena mungkin imanku belum seteguh para muslimah di luar sana. Terkadang aku rindu dengan hijab syar’i dan rok yang dulu kukenakan setiap hari. Namun entahlah, di lingkungan dan teman-teman seperti sekarang, rasanya aku belum siap. 

Meskipun nggak berhijab syar’i, kuusahakan baju-baju yang kubeli selalu panjang hingga setengah atau mencapai lutut, koleksi celana nggak berbahan jins, dan hijab yang sebisa mungkin kupasang menutupi bagian dada. Soal hijab, jika diminta untuk memilih, aku pakai semua jenis. Baik itu segi empat dan pashmina. Tapi kalau untuk event-event tertentu yang 'cukup penting', aku lebih suka pakai pashmina.  Why?
 
I was wearing blue pashmina when did field trip to Kepulauan Seribu
Di Macau juga tetep pakai pashmina. Lebih ringkes!
Karena model hijab pashmina itu udah aku sukai sejak dulu (maksudnya sebelum marak seperti sekarang). Mungkin efek suka nonton video muslimah dari luar negeri yang kebanyakan pakai pashmina. Beberapa tahun lalu, aku sampai keliling-keliling mall buat nemuin pashmina yang panjang sekaligus lebar. Tapi hasilnya nihil! Justru yang aku dapatkan malah mirip selendang dengan lebar tidak sampai 30 sentimeter.

Makanya sekarang, saat pashmina udah marak, aku ikutan seneng! Jadi makin banyak pilihan. Biasanya aku pilih pashmina yang lebarnya 75-100 cm dan panjangnya 150-200 cm. Yang ukuran ini akan lebih mudah dipasang, sekaligus bisa menutupi dada. 

Dan sekarang kita sudah hampir sampai di bulan mulia penuh berkah, bulan Ramadhan, yang tentu saja nggak lama lagi pula lebaran akan datang. Semua muslimah pasti akan cari-cari hijab baru untuk Hari Raya Idil Fitri. Begitu pula aku. 

Biasanya aku lebih senang cari outfit lebaran jauh-jauh hari sebelum hari H, nggak jarang aku malah beli jauh hari sebelum Ramadhan (Biar lebih murah). Salah satu cara belanja yang paling kugemari nggak lain nggak bukan adalah belanja online. Kalau udah lihat-lihat di web atau instagram online shop biasanya nggak bisa nahan diri. Apalagi kalau saldo di tabungan mendukung, duh ini tabiat buruk banget! Dan tadi aku barusan lihat koleksi pashmina di Zalora. Beberapa model di bawah ini adalah yang paling menarik perhatianku. Okay, semoga masih ada budget belanja yang tersisa di tabungan. Kabur ke ATM...!

sumber: Zalora

Kalau kamu (buat yang muslimah), lebih nyaman pakai hijab segi empat, bergo, atau pashmina, nih?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...