Tuesday 18 March 2014

Suatu Sore di Suatu Masa: Sebuah Catatan dari Masa Lalu




Suatu sore di suatu masa, kita duduk di tengah ladang jagung sambil menopang dagu dengan dua telapak tangan. Gemerisik daun-daun jagung yang mulai mengering menciptakan irama kecil. Kita sama-sama memiliki imajinasi tinggi, dan aku membayangkan kita tengah duduk di sebuah ladang di Andalusia , menyaksikan Santiago yang sibuk dengan domba-dombanya di atas hamparan rumput. Sementara Engkau, entah apa yang kau pikirkan.

“Mengapa dunia ini tidak memberikan banyak waktu untuk sebuah kebersamaan?” tanyamu dengan mata menerawang, memandangi tanah yang ada di bawah kaki kecil kita.

“Karena ada kebersamaan lain yang harus kita rasakan.” Aku menjawab ringan. Anak rambutku terbang menutupi mata, aku menyisihkan dengan jari telunjuk.

“Tapi aku ingin sebuah kebersamaan yang abadi.”

“Kamu akan bosan.”

Beberapa saat kami diam. Suasana hening hanya diisi oleh embusan angin yang menggoyangkan batang-batang jagung ke kanan dan ke kiri, juga pelepah kelapa yang meliuk-liuk di kejauhan. Tidak ada kelapa di Andalusia, jadi aku anggap saja mereka deretan zaitun.

“Aku iri padamu.” ucapmu lagi dengan sedikit lenguhan.

“Akupun iri padamu.” Sambungku. Baru kali ini kita saling membuka cerita tentang ‘iri’. Selama ini kita hanya bercerita lewat perang dingin. Aku yang diam-diam iri dengan kecantikanmu, dan kurasa, kamu iri pada nasibku.

“Kamu bisa kuliah tanpa susah payah bekerja sepertiku, kamu bisa melihat sudut lain negeri kita yang bahkan belum pernah kutemui keindahannya.”

“Kata Ayahku, aku terlalu kecil dan lemah untuk mencari uang. Itulah mengapa Tuhan memberikanku jalan yang sekarang. Mungkin kamu tidak akan sanggup duduk di bangku perkuliahan, kamu lebih kuat dalam mencari uang.”

“Kamu benar. Tapi aku lelah dengan kehidupanku yang begitu-begitu saja.”

Aku tercenung sejenak. Di bawah awan putih yang berarak, kulihat segerombolan burung-burung kecil melintas dengan formasi segitiga. Ada seranai hari yang diputar kembali dalam kepalaku, kegiatanku di perantauan sana.

“Aku juga lelah.”

“Kamu masih ingat dengan cerita imajinasi kita dulu? Tentang rumah tanah yang kita bangun?” tanyanya mengenang.

Tentu saja ingat. Setiap pulang sekolah atau sesaat menjelang tidur malam, kita selalu bercerita banyak hal, tentang hidup enak di luar pulau kecil kita. Begitu juga ketika kita membangun rumah dari gundukan tanah, kita selalu saja membangun yang mewah. Kita juga pernah bercerita tentang ‘lalang buana’, tentang negeri-negeri yang ingin disinggahi bersama.

“Akankah semua itu menjadi nyata?”

“Jawabannya ada dalam hatimu. Aku tak bisa menjawabnya.” Aku berucap sambil mengalihkan pandangan. Di tengah-tengah ladang jagung ini, berdiri sebuah gubuk kecil yang tinggi beratapkan daun sagu. Dari tempat kita duduk, gubuk itu terlihat bergoyang-goyang ditiup angin. 

“Apa yang harus kutakutkan dalam keadaanku sekarang?”

“Takutlah kau tidak bisa mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan.”

Kita saling berpandangan beberapa saat, kemudian sama-sama tersenyum. Tidak ada yang berubah dari wajahmu, hanya kau sudah tumbuh dewasa sekarang, mungkin aku juga begitu. Angin semakin bertiup kencang, mengacak-acak rambut sebahu kita, yang kita potong bergantian kemaren sore.

Kulirik Santiago yang sedang membacakan buku untuk para dombanya. Tak lama ia bangkit dan memukul-mukulkan tongkatnya, mengajak para domba kembali ke kandang. Matahari sore itu merangkak ke peraduan, menciptakan garis-garis merah keemasan di pucuk-pucuk zaitun.

*Tulisan ini kubuat untuk sepupuku, sahabat pertama sekaligus teman masa kecilku. Betapa banyak cerita kita yang tidak terekam. 



14 comments:

  1. Indah sekali caramu menuliskan kenangan & angan, Mbak... Aku jadi ingat sepupuku di kampung halaman yang sudah sibuk dengan urusan anak & rumah tangga :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih Mbak...aku menulisnya sambil mengingat masa2 kecil dulu....sekarang mau ketemu setahun sekali aja susah.

      Delete
  2. Ternyata sosok yang kau kenang kebersamaannya adalah sosok seorang wanita..
    Di awal-awal paragraf dugaannku adalh sosok lelaki yang pernah ada di hatimu.. eh ternyata....

    Membaca seperti tulisan ini kadang aku malu,.. sudah gede segini masih berpangku kepada orang tua, belum bisa hidup mandiri begitu..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya cewek, sahabat sejak aku mampu mengingat....maksudnya sejak kecil sekali.
      Dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Dulu aku jg gak nyangka kita bisa menjalani masa2 seperti sekarang.

      Delete
  3. Selalu ada masa-masa indah dalam sejarah hiudp kita ya Jeng.
    Masa kanak-kanak dan remaja memang menyenangkan dan selalu berkesan
    Sayangnya penggalan-penggalan hidup yang indah itu jarang diabadikan dalam bentuk buku.
    Yuk menulis buku
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Pak Dhe...masa2 kecil itu selalu berhasil membuatku menangis. Terlebih ketika mendapati kenyataan kita tak lagi bisa mengulang. Masa di mana kita bisa tertawa tanpa memikirkan masih ada air mata yang ditahan, masa dimana bisa bercerita tanpa memilah-milah mana yang harus ditutupi dan mana yg harus diungkapkan. Saat kita berbuat kenakalan-kenakalan, kemudian orang 2 akan memaklumi "mereka masih kecil". Sangat rindu....

      terimakasih sudah berkunjung Pak Dhe

      Delete
  4. sahabatnya pasti senang sekali ya membaca tulisan ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku tidak yakin dia memiliki waktu untuk membacanya, Mak...
      Setidaknya, suatu saat, ketika dia menemukan tulisan ini, dia akan tahu bahwa aku tetap menyayanginya, aku tetap mengingat hari2 bersamanya....

      terimakasih sdah berkunjung Mak :)

      Delete
    2. Meskipun sahabatnya tidak memiliki waktu untuk membaca tulisan ini, setidaknya ada sahabat narablog yang membacanya.

      Delete
  5. Diksi yang manis. Aku bakal sering-sering maen ke blogmu nih :)

    ReplyDelete
  6. Aku jd rindu dgn masa kecilku.
    wah... bner** mengingatkanku dgn temen kecilku fy.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...