Monday 28 November 2016

Pertemuan di Mostar, Bosnia herzegovina [Fiction]



Kita duduk di sebuah cafe yang berdiri di sudut jalan utama kawasan Old Town, Mostar. Dua cangkir kopi duduk manis di depan kita, belum tersentuh. Sementara di luar sana, para turis hilir mudik tanpa henti. 

Ini pertengahan musim gugur, waktu yang membuat Mostar menjelma putri cantik incaran manusia di seluruh dunia. Bayangan dedaunan yang berwarna oranye jatuh di atas sungai Neretva yang membelah kota, menciptakan warna-warni air paling menakjubkan.

Aku merapatkan jaket tebal yang kupakai. Suhu sudah mulai jatuh. Lalu kau, sejak tadi kau masih saja khusyuk memandang ke luar jendela di samping kita. Pandanganmu tertuju pada menara minaret Masjid Koki Pasha yang berjarak sekitar 100 meter dari cafe ini. Masjid itu bergaya Ottoman, demikian pula desain menaranya. Mungkin kau sedang berpikir, andai masjid-masjid di Indonesia memiliki menara seperti itu, pasti keindahannya akan menyihir. Atau mungkin kau sedang berpikir, tahun berapakah masjid beserta menaranya ini dibangun?

Ah, entahlah. Sejak tadi aku hanya menerka. Sejatinya aku tak pernah tahu apa yang tengah kau pikirkan.

“Masjid itu dibangun pada tahun 1557 oleh arsitek Kodza Mimar Sinan.“ kataku memecah kesunyian.

Kau memandang ke arahku sesaat, kemudian menarik cangkir kopi, mengaduknya, kemudian menyesapnya sedikit.

“Kenapa kau menyukai Bosnia Herzegovina?” kamu bertanya, membuatku paham bahwa bukan Masjid yang sebenarnya kau pikirkan. Semua ini pasti karena kemaren akulah yang memaksa kita bertemu di sini. Demi pertemuan ini, kau harus menempuh jarak 7 jam penerbangan dari Belgia, negara tempatmu berkuliah. Tapi kau sedikit beruntung, karena aku sendiri harus menempuh puluhan jam penerbangan dari Indonesia, lalu mendarat di istanbul, baru kemudian melanjutkan penerbangan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia. 

“Aku tidak tahu. Tapi sejak pertama kali aku tahu tentang negara ini, hatiku bergetar tiap kali namanya disebutkan. The law of attraction, kau tahu itu?” tanyaku.

Kau tersenyum tipis, “Hukum tarik-menarik seperti yang diagungkan dalam buku paling fenomenal 10 tahun lalu, The Secret. Bernarkan? Ternyata itu juga bekerja padamu.” Kau menjawab dengan nilai sempurna.

Ya, hukum tarik-menarik. Sebuah hukum semesta yang paling kuyakini, terlebih setelah kedatanganku ke Bosnia. Hukum ini mengatakan bahwa apapun yang kita pikirkan, kemudian diyakini dalam hati, maka suatu saat akan menarik kejadian persis seperti yang kita pikirkan tersebut. Karena itu pula para orang tua jaman dulu selalu mewanti-wanti putra-putri mereka agar tidak berpikiran yang macam-macam. Karena bisa dikatakan, pikiran yang diyakini adalah doa yang sewaktu-waktu bisa menjelma kenyataan.

“Tepat sekali. Seharusnya aku tidak perlu lagi bertanya hal sekecil itu pada seorang kandidat master.” Gurauku.

“Jangan berlebihan.” Kamu menyanggah sebelum lanjut bertanya, “Lalu Law of Attraction seperti apa yang membawamu ke Bosnia?”

Aku menarik cangkir kopi Italia di hadapanku, mengaduknya santai sambil menjawab pertanyaanmu. “Aku selalu berpikir sekaligus meyakini bahwa suatu hari aku akan datang ke negara ini. Padahal kala itu aku sama sekali tidak tahu cara yang akan kutempuh untuk bisa ke sini. Dan akhirnya, Bosnia sendiri yang menarikku untuk datang. Negara ini yang memanggilku untuk datang. Besok aku akan bicara soal bukuku yang kedua di KBRI Sarajevo. Apa kau bisa datang?”

Kau menggeleng. “Aku akan kembali ke Belgia malam ini. Dosen pembimbingku mendadak ingin bertemu besok sore.”

Tidak masalah. Kau memang selalu sibuk. Keberadaanmu saat ini saja sudah membuatku sangat bersyukur. Aku bahkan hampir tak percaya kau mau meluangkan waktu, tenaga, sekaligus uang untuk sekadar bertemu sebentar denganku.
Aku melihat ke luar jendela. Di sana, di kejauhan, mataku menangkap Stary Most yang berdiri dengan anggun. Sebuah jembatan bergaya klasik yang dibangun pemerintahan Turki Ustmani pada abad ke-16. Jembatan itu adalah saksi peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi di Bosnia Herzegovina, khususnya di Mostar ini. Saat peperangan pada tahun 1992-1995, jembatan itu pernah hancur akibat keserakahan tentara Serbia. Tapi kini, jembatan itu telah direnovasi, keindahannya tidak pudar sedikit pun. 

“Hmm, apakah The Law of Attraction juga berlaku padaku sekarang? Buktinya kau telah menarikku datang ke negara ini.” tanyamu polos, membuatku ingin tertawa.

“Mungkin saja.” jawabku. “Kau tahu kenapa?” aku balik bertanya.

Kau diam sejenak, lalu menggeleng, dan menjawab, “Entahlah.”

“Karena sejak bertahun lalu aku berpikir sekaligus sangat yakin bahwa engkau akan datang padaku. Tidak peduli seberapa jauh kakimu telah melangkah.” Aku mengatakan sebuah rahasia tanpa ragu.

Aku melihat ke arahku beberapa saat, sebelum akhirnya menunduk pada cangkir kopi berwarna cokelat tua di hadapanmu. “Biarlah semuanya berjalan apa adanya dahulu.” Katamu datar.

Ya, benar. Memang itulah yang terbaik. Lagipula selama ini aku tidak pernah menuntut apapun darimu. Aku bahkan tak tahu bagaimana kabarmu selama di Belgia. Terkadang di suatu sore yang indah, aku jadi khawatir, khawatir di benua yang terpisah jutaan mil sana kau bertemu dengan seorang wanita yang berhasil menarikmu. Aku khawatir kita tak pernah lagi bisa bertemu atau suatu saat ada satu hal yang mengahalangi kita untuk bertemu.

“Habiskan kopimu. Kita datang ke sini tidak hanya untuk duduk seperti ini, kan? Di luar sangat indah.” Kau berseru, beranjak, lalu membayar dua cangkir kopi yang menemani siang ini.

Aku menamatkan tegukan terakhir kopiku. Lalu memungut tas dan mengejarmu keluar.

“Segarnya...” desisku lirih seraya menghirup udara dalam-dalam.

Kau tersenyum tipis meski pandanganmu lurus ke depan. Kita berjalan beriringan menuju Old Bridge atau yang lebih dikenal dengan Stari Most, jembatan paling impresif di area Old Town ini.

“Semoga ini bukan pertemuan yang terakhir.” Katamu.

“Semoga.” Aku menyahut. Tersenyum. Kalimat terakhirmu begitu menenangkan.

Sore nanti kita berpisah. Aku akan ke Sarajevo untuk acara besok, lalu ke Turki selama dua minggu, dan kembali ke Indonesia. Sementara engkau akan terbang ke Belgia nanti malam, kembali melanjutkan kesibukan di kampus. Selebihnya adalah tentang waktu dan takdir. 
Fotonya rada gak nyambung ini :( but I love them.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...