Thursday 2 May 2013

I and My Little Friend


Kali ini biarkan aku berkisah tentang seorang wanita. Hanya wanita sederhana, teman masa kecilku, sepupuku.

Cerita ini memang tak segemerlap bintang yang bisa kupuji-puji cahayanya, tapi bagiku, cerita bersamanya membentuk sebuah cahaya yang begitu terang, menerangi ingatan untuk sekedar menjenguk masa lalu. Kenangan bersamanya adalah cerita masa kecilku. Masa di mana aku benar-benar merasakan indahnya kehidupan.

Kami tumbuh bersama, ia lahir delapan bulan lebih tua dariku. Kebun kami bersepadan, rumahnya berjarak 100 m dari rumahku. Ia seperti anak Ayah Ibuku, dan aku seperti anak Ayah Ibunya. Kami begitu dekat. Setiap sepulang sekolah kami selalu menyerok ikan di parit, tertawa dan bahagia bersama ketika melihat ikan-ikan kecil berenang di toples kami. Ia pandai memanjat pohon, sedang aku tidak. Ia bisa memanjat pohon rambutan tinggi yang sedang berbuah masak sedang aku hanya menunggu di bawah pohon. Ya dari awal, ia memang pemberani.

Kami sering berenang di parit bersama selama berjam-jam hingga bibir membiru, jika sudah begitu Ibuku akan berteriak-teriak sambil membawa sebatang kayu, menyuruh kami naik ke daratan.

Setiap akhir pekan, kami akan bersepeda dengan kecepatan penuh menjelang maghrib menuju rumah kakaknya yang sudah berkeluarga. Kami senang tidur di sana saat hari libur karena mereka memiliki televisi warna. Kami juga senang karena rumahnya yang berada di tepi laut. Banyak angin.

Kami pernah berboncengan dengan sepeda tua menuju warung untuk membeli perlengkapan dapur yang disuruh Ibuku atau Ibunya, berboncengan dengan aku yang mengayuh dari belakang dan ia yang mengendalikan sepeda. Sepanjang perjalanan, kami bercerita penuh tawa.

"Kita ke pasar kayak gini, asyik juga" Ucapnya yang membuat kita mengakak. Yang benar saja, jarak antara pasar dan desa kami hampir 10 km dengan kondisi jalan yang tragis.

Banyak sekali kisahku bersamanya. Butuh waktu bertahun-tahun jika aku harus menulis kisah yang sempurna.


Oh iya, di wajahku ada bekas luka yang masih ada hingga kini. Itu karena ia pernah melemparkan pecahan beling ke wajahku. Ya, saat itu kami rebutan piring-piring mainan. Aku tidak mau piring dari batok kelapa dan tetap meminta piring yang terbuat dari pecahan kaca yang ada di tangannya, mungkin ia kesal, lalu dilemparlah piring-piringan itu ke wajahku. Duh, untung gak kena mata ya!

Aku sering berkhayal bersamanya. Biasanya saat kami sedang berjalan kaki pulang. Daripada krusak-krusuk suara sandal, mending kami bercerita kisah imajinasi. Kami sering berkhayal memiliki rumah sendiri. Pikirnya seru. Kan dulu.

Kami juga pernah berkebun. Menanam ubi kayu, tomat dan terong. Walaupun hasilnya mengenaskan, kami tetap senang.

Hal yang paling kusuka adalah saat kami berdiri di jendela gubuk setinggi 8 m yang ada di tengah ladang jagung. Kami senang menarik ompyong-ompyong pengusir babi dari sana. Di atas sana juga banyak angin, rambut kami berterbangan. Dari sana kami menyaksikan deretan tanaman jagung yang hijau hingga menguning. Wush.... Yang jelas di sana adem.

Saat jagung mulai berbuah muda, kami akan berkeliling mencari janten (jagung yang masih muda, belum berisi dan berbentuk ramping kecil) yang memiliki rambut terindah lalu kami mendandani janten-janten itu dengan rambut berbagai model. Ya, itulah boneka barbie kami.

Aku juga pernah berkeliling kebun bersamanya sambil membawa karung dan tergopoh-gopoh. Mencari damar. Lumayan 1 kg bisa dijual dengan harga Rp.500; Padahal panasnya minta ampun lho, belum lagi empuknya tanah gambut yang berkali-kali membuat kami terperosok. Serunya, kami sering menemukan sarang burung yang ada telurnya. Kan enak.

Kami juga sering mendengarkan radio bersama. Menanti lagu favorit sambil tidur-tiduran.

Aku yang mengajarinya naik motor. Pertama kali belajar, ia langsung berani membonceng aku dan adiknya dari rumahnya menuju rumahku. Walhasil, ia menabrak ranjang yang sudah tidak dipakai yang ada di bawah pohon di depan rumahku. Tapi, ia terus belajar. Berkali-kali jatuh ia tak ambil pusing. Kini, ia jago mengendarai motor sedang aku (gurunya) hanya berani membawa motor di jalan lurus dan sepi.

Kami sering ke jembatan. Memandangi lautan yang tenang dan kadang bergelombang. Di sana kami bercerita masa depan. Entahlah, kami hanya menerka-nerka waktu itu.

seandainya ia juga berhijab
Selesai Sekolah Dasar, kami jarang lagi bersama. Ia melanjutkan ke SMP bergengsi dan aku harus mengikuti perintah Bapak melanjutkan ke MTs swasta. Ia tumbuh menjadi wanita cantik. Kini, ia punya banyak penggemar laki-laki. Kami semakin jauh. Ia pun lebih memilih jalan-jalan bersama teman-temannya daripada aku. Duniaku tak lagi sama dengannya. Dari sini kami berpisah di persimpangan. Ia melanjutkan langkah di jalannya, dan aku di jalanku. Kita tak lagi sejalan.

Setamat MTs, aku melanjutkan ke Pesantren di Kota Provinsi. Ia melanjutkan ke SMA di Kecamatan. Setahun hanya dua kali aku pulang kampung. Kami semakin jauh. Kami tak lagi seperti dulu. Namun, aku tetap menyayanginya.

Ia wanita tegar. Ia tetap tegar saat masalah perceraian orangtuanya yang berlarut-larut, ia tetap tegar saat Ibunya harus menjadi TKW di Malaysia, ia tetap tegar saat sang Kakak tak menerimanya karena salah paham, ia tetap tegar dan memaafkan saat kakak ipar berusaha menodainya, ia tetap tegar saat harus dititipkan di tempat orang. Bahkan hingga kini, ia tetap tegar. Ia ingin kuliah. Tapi, nasib berkata lain. Sekarang ia bekerja di Bintan. Dulu, jika aku tidak mendapatkan beasiswa kuliah di IPB, aku pun ingin kerja bersamanya.

Sudah satu tahun lebih kami belum bertatap muka. Kita selalu berkirim pesan. Aku menceritakan kesahku padanya, begitu sebaliknya. Terakhir ia mengatakan bingung dengan masa depan. Aku menguatkannya dengan kalimat "Kenapa bingung? Masa depan itu misteri. Jalani aja yang ada sekarang dengan sungguh-sungguh!"

Dia sepupuku, sahabatku, masa kecilku. Aku menyayanginya hingga kini, aku di Pulau Jawa dan ia di tepian Sumatra.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...