Friday 17 May 2013

'Cinta Versi Monyet'

romantis nyaa..... hihi
Cinta. Bahkan anak SD pun tau tentang satu kata ini. Kita yang mengaku dewasa pun memberi nama cinta versi anak ingusan:"Cinta Monyet". Mengapa bisa cinta monyet? Mungkin dulu yang memberi nama ini adalah orang yang dekat sekali dengan primata itu sehingga paham dengan cinta versi monyet. Entah juga, aku hanya menerka. Intinya cinta main-main, itu saja.

Hmm.... Itu tadi prolog. Aku sendiri bukan ahlinya, bahkan hingga kini aku belum paham akan hakikatnya. Yang ku tahu cinta yang sempurna-selain cinta dari yang Maha Mencintai-adalah cinta Ayah dan Ibuku. Aku belum pernah menjumpai orang lain yang memperlakukanku sebagaimana Ayah dan Ibu memperlakukanku. Dari mereka, aku bisa melihat cinta itu. Cinta yang tak pernah sirna hingga kini.

Aku tak marah ketika Ayah membiarkanku berangkat seorang diri ke Pulau Jawa. Justru, aku melihat cinta di sana. Ketika Ayah meminta maaf dengan kata-katanya yang membuatku meneteskan air mata, ketika ia menepuk pundakku untuk menguatkan saat boat akan beranjak meninggalkan Pulau Kecilku, ketika ia menanyakanku pada kakak kelas yang akan menjemputku. Aku tak marah ketika aku sakit dan mereka tak datang menjenguk seperti orangtua yang lain. Justru aku menemukan cinta di sana. Ketika Ibu menangis di ujung telepon, ketika Ayah mengatakan ia mendoakanku semalam penuh, ketika mereka bercerita tak bisa tidur karena mencemaskanku, ketika mereka memiliki perasaan tidak enak dan mimpi buruk tentangku pada beberapa hari terakhir. Lihatlah, cahaya-cahaya cinta itu. Itulah yang tak kutemukan pada orang lain. Itulah cinta versi sepanjang masa edisi manusia.

Cinta. Aku juga pernah memiliki kisah cinta versi monyet seperti yang kusindir di awal. Bukan saat aku duduk di Sekolah Dasar, melainkan ketika aku menjalani masa-masa akhir di Pesantren. Lalu mengapa aku juga menamainya dengan Cinta Monyet? Karena cinta itu hanya main-main, semu dan menyesatkan. Aku menganggap cinta edisi pacaran adalah Cinta Monyet, mau umur berapapun mereka yang berpacaran. Anda tak suka? Mudah, jangan lanjutkan membaca.

Cinta. ya, memang indah cinta versi monyet. Jadi, biarkan kuceritakan sedikit tentang cinta versi monyetku itu padamu. Aku mengenal laki-laki itu dalam waktu 10 hari. Ia duduk di semester II bangku perkuliahan ketika itu. Kebetulan ia sebagai tutor kami pada pelatihan pertanian organik di sebuah Universitas Negeri nomor satu di Provinsiku. Ia paling tampan, paling tinggi, paling cool, paling sopan, paling rajin, paling rapi, paling-paling deh (berdasarkan referensi satu tahun lebih lalu). Semua temanku mengaguminya, diam-diam akupun begitu. Tapi, aku tidak pernah bisa mengekspresikan ketertarikanku. Aku malah sebisa mungkin tidak bertatap muka langsung dengannya. Why? Because i was so nervous. Ya, itulah awal bunga-bunga cinta versi monyetku. Kami hanya memiliki percakapan beberapa potong saja selama dalam kurun 10 hari itu. Kekaguman di antara kami hanya tampak dalam diam, diam namun aku merasakannya. Kisah itu terasa semakin indah saat masa pelatihan usai. Aku kembali ke Pesantren dan ia kembali pada kesibukan kampus. Tapi, semua berlanjut di dunia maya dan seluler. Hingga, persetujuan diantara kami pun terjadi. Pacaran. Ah, sebenarnya aku kurang suka mendengar kata itu, apalagi ketika sadar bahwa akupun pernah menjalaninya. Tapi, tak apalah. Aku ingin mengabadikan kisah ini dalam tulisan. Memang indah rasanya memiliki pacar, tapi semua semu, sementara. Sama seperti ceritaku yang hanya bertahan tiga bulan saja. Cerita itu berakhir pada malam Idil Fitri. Menangis? Ya, waktu itu. Menyesal? Ya, menyesal karena aku jadi memiliki catatan pacaran dalam sejarah hidupku. Tapi, aku bersyukur, kita tak pernah bertatap muka apalagi berjabat tangan ketika masa 3 bulan indah itu. Ia hanya meninggalkan bayangan yang kuambil dari kenangan 10 hari itu. Tak ada boneka, buku, terlebih bunga yang kuberikan ataupun ia berikan. Setidaknya begitu. Dan setidaknya lagi, bukan aku yang mengucap cinta pertama kali dan bukan ia yang mengakhiri cerita ini. Memang perih, tapi setidaknya aku tidak menanggung malu.

Hingga kini, percakapan kami di jejaring sosial masih ada tersimpan. Aku tak berniat menghapusnya. Biarlah, sebagai arsip bukti sejarah hidup. Sebagai bahan cerita suatu waktu kelak.
Jadi, cinta itu apa? Berikut cinta menurut Jalaludin Rumi.

"Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta"

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri sendiri.” Juga sabda Rasulullah, "Barang siapa ingin mendapatkan manisnya iman, maka hendaklah ia mencintai orang lain karena Allah.” (HR Hakim dari Abu Hurairah)”.

Saya tak sanggup mendefinisikan cinta. Namun, aku berani menyimpulkan bahwa ceritaku bersamanya selama 3 bulan itu bukan cinta. Cinta tidak akan membuatku lupa diri dengan menghabiskan waktu senggangku hanya untuk membayangkannya, cinta tak akan membuatku lalai melaksanakan kewajibanku karena menjawab telepon darinya, cinta tak akan membuatku menjalani hubungan tanpa akad yang tak disukai-Nya. Cinta tak akan membuatku mencinta tanpa dasar cinta kepada-Nya. Itu bukan cinta. Itu hanya racun yang menjelma menjadi madu. Merusak perlahan.

Berbahagialah kalian yang istiqomah tidak pernah sekalipun menjalin ikatan tanpa akad itu. Bagi yang memiliki kisah sama sepertiku, tenanglah. Dia Maha Mencintai, Dia menerima apapun keadaan kita selagi kita memiliki niat untuk berubah. Cinta memang harus dijemput, namun bukan dengan mengikat tanpa akad.
Inilah ceritaku, mana ceritamu?

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...