Monday, 6 January 2014

A Feeling: Catatan Hati Seorang (Calon) Istri



sumber: klik di sini
 "Dan saya kira saya hampir saja berpoligami, kalau saja saya tidak bertemu seorang teman. Ikhwan yang memberi satu pernyataan yang luar biasa benar dan akhirnya berhasil mengubah niat saya."

Dalam hati saya menebak-nebak kemana penjelasan Pak Haris berikutnya.

"Ikhwan itu berkata begini, Mbak Asma. Jika saya menikah lagi: Pertama, kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu, karena tidak ada jaminan untuk itu. Apa yang di luar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu. Hubungan sebelum pernikahan yang sepertinya indah, belum tentu akan terealisasi indah. Dan sudah banyak kejadian seperti itu."

Benar sekali, komen saya dalam hati.

"Yang kedua, Pak?" Lelaki itu terdiam, lalu menatap saya dengan pandangan serius.

"Sementara luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu akan abadi."

Aku tersentak ketika membaca kalimat terakhir tersebut, cukup lama aku mengambil jeda sekadar untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa kembali melanjutkan membaca buku Bunda Asma Nadia, Catatan Hati Seorang Istri.

“Seandainya semua lelaki mengerti.” ucapku lirih.

Aku tidak mengatakan bahwa diriku adalah salah satu wanita yang menentang kebolehan berpoligami dalam Al-quran. Tapi, aku juga tidak mau munafik, adakah hal yang lebih menyakitkan selain melihat sang suami membagi cintanya dengan wanita lain? Aku memang belum menikah, dan sudah—kelihatannya—menjadi virus yang menggerogoti angan para wanita muda, bahwa laki-laki yang akan datang melamar nantinya adalah laki-laki saleh yang menjadikannya laksana bidadari dunia. Tapi entahlah, aku justru lebih sering memikirkan hal yang sebaliknya. 

Memang, tidak sedikit kisah para istri yang menyatakan kebahagiaannya setelah membina rumah tangga, ada yang menyayangi, menjaga, berbagi tawa, dan saling menghapus air mata, belum lagi tentang kehadiran malaikat dan peri kecil yang lucu. Siapa yang tak terpesona? Aku tidak berbohong, aku juga sangat memimpikan masa-masa itu. Hanya saja, ketika aku melihat ke sisi lain, aku juga menemukan begitu banyak keretakan dan kehancuran dalam hal yang bermula indah itu. 

Kisah seorang gadis yang selalu merasa biasa-biasa saja, lalu di kemudian hari datanglah seorang pria asing dengan ketampanan luar biasa melamar—dalam masa perkenalan yang sangat singkat dan si gadis begitu mempercayai sang lelaki, sementara teman-teman dan keluarga berkali-kali mengingatkan agar memikirkan keputusannya kembali, apa yang gadis itu katakan?

“Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!"

Teman mana yang tidak tersentuh mendengar kalimat seperti ini? Akhirnya semua mengizinkan pernikahan itu—walau sedikit terpaksa. Walhasil setelah satu minggu usia pernikahan, kecemasan orang-orang terdekat wanita itu mulai menunjukkan kebenaran. Sang suami tidak mau bekerja! Main perempuan! Pulang malam! Tidak mengurus rumah tangganya!

Semua hal-hal buruk si lelaki itu memang telah muncul ke permukaan. Bahkan sang istri mengetahuinya. Tapi tahukah, wanita tersebut tetap mempertahankan kalimat yang dulu ia ucapkan kepada teman-temannya sebelum menikah. Ia tidak pernah sekalipun menceritakan keburukan suaminya—meskipun semua orang sudah mengetahuinya, malahan yang keluar dari bibir sang istri adalah untaian pujian dan kebaikan yang dilakukan suaminya terhadap dirinya. Begitu ia bertahan terus hingga mereka memiliki dua orang anak. Sang suami memang belum juga berubah, namun sang istri tidak pernah mengingat keburukan-keburukan itu.

Sekian kisah kubaca, dan sama, lelaki—suami—selalu meruntuhkan rumah tangga mereka diam-diam karena seorang wanita lain.

Suami adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa. Lalu bagaimana ada kontak bernama " Spongebob “ di listnya?"

Hari ini menemani anak-anak karate. Sayang sedang apa? Jangan terlambat makan, ya?

Aku sempat meneteskan air mata karena keteguhan hati wanita yang mendapati ‘item keluar’ dari ponsel sang suami seperti tertulis di atas. Sang suami memang kemudian menyesal, meminta maaf, serta berjanji tidak akan mengulangi kekhilafannya lagi, tapi nasi sudah menjadi bubur, aku paham, luka itu tak mungkin sembuh hanya dengan permohonan maaf dan sebuah janji, itu tak berarti apa-apa, karena selama ini janji yang paling sakral saja—ijab kabul—sanggup ia khianati. Apakah wanita itu meminta cerai?

Tidak. Ia tetap bertahan demi putra-putri mereka. Ia tetap meladeni laki-laki itu meskipun sesungguhnya ia merasa jijik.

Sumber: klik di sini

"Ada hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap mengingat mereka, maka luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi kebahagiaan ketiga anak saya, tidak. Dan saya harus bisa menjaganya. Sekuat saya."


Ya, Allah...sanggupkah jika nantinya aku berada dalam posisi seperti wanita itu? Ya, aku paham apa yang ia pikirkan, aku paham soal cinta anak kepada kedua orangtuanya. Meskipun antara suami dan istri saling merinci kekurangan, saling menghujat satu sama lain, dan saling memandang benci ketika rumah tangga berada di ujung kehancuran, ketika surat cerai tinggal menunggu persetujuan, lalu bisakah sang anak memilih siapa yang benar dan siapa yang salah di antara keduanya?
 
Sumber: klik di sini
Aku rasa tidak, karena sang anak tumbuh dengan cinta keduanya. Baik ayah maupun ibu, keduanya menempati ruang yang paling indah dalam hati sang anak. Aku masih ingat benar kejadian di rumahku beberapa waktu lalu ketika aku pulang liburan Ramadhan-Idil Fitri, bukan bermaksud menceritakan aib orang tuaku, tidak sama sekali, kehormatan mereka adalah kehormatanku juga, dan aku tahu mana yang layak kuceritakan dan mana yang tidak, lagipula perselisihan antara suami istri itu memang selalu ada dalam sebuah rumah tangga. Ya, begitulah, saat liburan kemaren, aku sempat mendengar pertengkaran antara Ayah dan Ibuku. Mereka memang tidak melakukannya di depan mataku, tapi telingaku mampu mendengar semuanya. Meskipun Ayah selalu memilih diam, telingaku tetap panas mendengar kalimat-kalimat Ibu. Di satu sisi, aku tidak menyalahkan Ibu, dan di sisi lain, aku mendukung apa yang telah dilakukan Ayahku.

Aku memang tidak pernah berani menjadi penengah pertengkaran mereka, sejak dulu, dan sama seperti hari itu, aku memilih meninggalkan rumah. Dari waktu mereka bertengkar hingga sore aku duduk di atas batang kelapa yang condong, jauh di belakang rumah. Aku tidak tahu apa yang dimasak Ibuku hari itu, aku hanya menuju musola jika waktu shalat tiba. Ayahku tetap menjadi imam, sedang ibuku tidak tampak sama sekali, barangkali ia memilih shalat di rumah. Selesai mencium tangan ayahku, aku kembali mendatangi batang kelapa di belakang rumah, dan duduk di sana hingga magrib.

Shalat maghrib aku kembali ke musola, kali ini aku melihat sosok ibuku. Bahkan ia shalat di sampingku. Aku tidak berbicara satu patah katapun padanya sebelum shalat dimulai. Hingga setelah selesai bedoa, aku mengulurkan tanganku padanya, saat itulah seketika Ibuku memelukku. Ia mengatakan bahwa ia tidak marah padaku. Ia juga berkali-kali meminta maaf padaku. Ibuku menangis, dan aku sudah menangis terlebih dahulu sejak ia memelukku tadi.

Kukatakan padanya, meskipun ia tidak marah padaku dan adikku, tapi pertengkaran itu menyakiti kami. Malam itu tampaknya Ibu dan Ayah belum bertegur sapa, tapi aku sudah berbincang normal dengan Ibuku, dan ketika Ayah sakit perut, aku juga membuatkan jamu untuknya. Aku tahu mereka sangat mencintaiku. Tentu saja aku mencintai mereka, sama besarnya, dan anak tidak akan bisa memilih salah satunya.

Satu hal yang membuatku menyesal hingga kini, aku pernah mengejek-ejek sepupuku—si sulung seumuran denganku, dan si bungsu seumuran dengan adikku—yang tetap mengurus ayahnya meskipun sang Ayah terlalu sering menyakitinya. Si bungsu yang setiap kali Ayahnya menelepon selalu membawa telepon itu jauh-jauh dan bebicara pelan, aku tahu, ia pasti takut diejek karena masih meladeni Ayahnya. Tapi kini semakin bertambahnya usiaku, aku paham, aku paham mengapa kedua sepupuku itu masih tetap mencurahkan cintanya kepada sang Ayah. Aku paham betapa sakitnya hati mereka ketika sang Ibu membeberkan kejelekan sang Ayah di depan Ayahku—karena Ayahku kakak kandungnya, wali sah yang mengurus perceraian. Cinta anak kepada orangtua memang tidak pernah memiliki alasan yang bisa dirangkai dalam kata, karena cinta yang diterima si anak dari orangtua sudah didapat sejak si anak dilahirkan ke dunia. Terlalu banyak cinta yang telah dicurahkan orangtua, sehingga tidaklah cukup sebuah kesalahan mereka untuk menodai atau menghapus cinta itu.

Aku kembali ke tema awal, yaitu tentang ketegaran para istri yang kurang beruntung. Ya, aku selalu memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan buruk itu. Karena siapa yang bisa memastikan keberhasilan dalam rumah tangga? Semua yang ada di depan serba tidak tertebak. Laki-laki yang awalnya baik-baik, aktivis di kampusnya, namun setelah sekian tahun membina rumah tangga, pun bisa tergelincir, masuk dalam jerat pesona wanita lain, melupakan istri yang menemani perjuangan dari garis nol hingga jaya seperti sekarang. Atau sedikit lebih baik, ia kemudian merengek-rengek meminta restu untuk menikah lagi dengan segepok dalil dari sana-sini. Aku yakin para wanita itu paham soal dalil, paham soal diperbolehkannya poligami, namun aku yakin ini bukan soal boleh atau tidak, karena soal iya atau tidak adalah perkara mudah. Tapi soal sanggup atau tidak, ikhlas atau tidak? Apa masih mudah juga?

Ya, luka seorang istri yang dipoligami itu sudah pasti, dan akan abadi...

Wahai istri-istri hebat di sana, dimanapun kalian berada...
Percayalah, bahwa Tuhan melihat semua kesabaran dan air mata yang disembunyikan...

Sumber: klik di sini
Semoga kelak laki-laki yang datang padaku, entah siapa dia, adalah laki-laki yang bisa menepati janjinya, janjinya pada Tuhan, janjinya padaku, dan janjinya pada kedua orangtuaku... Aamiiin.

Bogor, 6 Januari 2014

Rujukan: Buku Bunda Asma Nadia 'Catatan Hati Seorang Istri'

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...