sumber: klik di sini |
"Dan
saya kira saya hampir saja berpoligami, kalau saja saya tidak bertemu seorang
teman. Ikhwan yang memberi satu pernyataan yang luar biasa benar dan akhirnya
berhasil mengubah niat saya."
Dalam
hati saya menebak-nebak kemana penjelasan Pak Haris berikutnya.
"Ikhwan
itu berkata begini, Mbak Asma. Jika saya menikah lagi: Pertama, kebahagiaan
dengan istri kedua belum tentu, karena tidak ada jaminan untuk itu. Apa yang
di luar kelihatan bagus, dalamnya belum tentu. Hubungan sebelum pernikahan yang
sepertinya indah, belum tentu akan terealisasi indah. Dan sudah banyak kejadian
seperti itu."
Benar
sekali, komen saya dalam hati.
"Yang
kedua, Pak?" Lelaki itu terdiam, lalu menatap saya dengan pandangan
serius.
"Sementara
luka hati istri pertama sudah pasti, dan itu akan abadi."
Aku
tersentak ketika membaca kalimat terakhir tersebut, cukup lama aku mengambil
jeda sekadar untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa kembali melanjutkan membaca
buku Bunda Asma Nadia, Catatan Hati
Seorang Istri.
“Seandainya
semua lelaki mengerti.” ucapku lirih.
Aku
tidak mengatakan bahwa diriku adalah salah satu wanita yang menentang kebolehan
berpoligami dalam Al-quran. Tapi, aku juga tidak mau munafik, adakah hal yang
lebih menyakitkan selain melihat sang suami membagi cintanya dengan wanita
lain? Aku memang belum menikah, dan sudah—kelihatannya—menjadi virus yang
menggerogoti angan para wanita muda, bahwa laki-laki yang akan datang melamar
nantinya adalah laki-laki saleh yang menjadikannya laksana bidadari dunia. Tapi
entahlah, aku justru lebih sering memikirkan hal yang sebaliknya.
Memang,
tidak sedikit kisah para istri yang menyatakan kebahagiaannya setelah membina
rumah tangga, ada yang menyayangi, menjaga, berbagi tawa, dan saling menghapus
air mata, belum lagi tentang kehadiran malaikat dan peri kecil yang lucu. Siapa
yang tak terpesona? Aku tidak berbohong, aku juga sangat memimpikan masa-masa
itu. Hanya saja, ketika aku melihat ke sisi lain, aku juga menemukan begitu
banyak keretakan dan kehancuran dalam hal yang bermula indah itu.
Kisah
seorang gadis yang selalu merasa biasa-biasa saja, lalu di kemudian hari datanglah
seorang pria asing dengan ketampanan luar biasa melamar—dalam masa perkenalan
yang sangat singkat dan si gadis begitu mempercayai sang lelaki, sementara
teman-teman dan keluarga berkali-kali mengingatkan agar memikirkan keputusannya
kembali, apa yang gadis itu katakan?
“Saya
tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa menikah dengan lelaki ini jauh
melampaui impian saya!"
Teman mana yang tidak tersentuh mendengar
kalimat seperti ini? Akhirnya semua mengizinkan pernikahan itu—walau sedikit
terpaksa. Walhasil setelah satu minggu usia pernikahan, kecemasan orang-orang
terdekat wanita itu mulai menunjukkan kebenaran. Sang suami tidak mau bekerja! Main
perempuan! Pulang malam! Tidak mengurus rumah tangganya!
Semua hal-hal buruk si lelaki itu memang
telah muncul ke permukaan. Bahkan sang istri mengetahuinya. Tapi tahukah,
wanita tersebut tetap mempertahankan kalimat yang dulu ia ucapkan kepada
teman-temannya sebelum menikah. Ia tidak pernah sekalipun menceritakan
keburukan suaminya—meskipun semua orang sudah mengetahuinya, malahan yang
keluar dari bibir sang istri adalah untaian pujian dan kebaikan yang dilakukan
suaminya terhadap dirinya. Begitu ia bertahan terus hingga mereka memiliki dua
orang anak. Sang suami memang belum juga berubah, namun sang istri tidak pernah
mengingat keburukan-keburukan itu.
Sekian kisah kubaca, dan sama, lelaki—suami—selalu
meruntuhkan rumah tangga mereka diam-diam karena seorang wanita lain.
Suami
adalah tipe lelaki serius, pendiam dan sangat dewasa. Lalu bagaimana ada kontak
bernama " Spongebob “ di listnya?"
Hari
ini menemani anak-anak karate. Sayang sedang apa? Jangan terlambat makan, ya?
Aku sempat meneteskan air mata karena
keteguhan hati wanita yang mendapati ‘item keluar’ dari ponsel sang suami
seperti tertulis di atas. Sang suami memang kemudian menyesal, meminta maaf,
serta berjanji tidak akan mengulangi kekhilafannya lagi, tapi nasi sudah
menjadi bubur, aku paham, luka itu tak mungkin sembuh hanya dengan permohonan
maaf dan sebuah janji, itu tak berarti apa-apa, karena selama ini janji yang
paling sakral saja—ijab kabul—sanggup ia khianati. Apakah wanita itu meminta
cerai?
Tidak. Ia tetap bertahan demi putra-putri
mereka. Ia tetap meladeni laki-laki itu meskipun sesungguhnya ia merasa jijik.
Sumber: klik di sini |
"Ada
hati-hati kecil yang harus dijaga, Asma. Setiap mengingat mereka, maka
luka-luka lain menjadi kalah penting. Kebahagiaan saya sempat runtuh, tapi
kebahagiaan ketiga anak saya, tidak. Dan saya harus bisa menjaganya. Sekuat
saya."
Ya, Allah...sanggupkah jika nantinya aku
berada dalam posisi seperti wanita itu? Ya, aku paham apa yang ia pikirkan, aku
paham soal cinta anak kepada kedua orangtuanya. Meskipun antara suami dan istri
saling merinci kekurangan, saling menghujat satu sama lain, dan saling
memandang benci ketika rumah tangga berada di ujung kehancuran, ketika surat
cerai tinggal menunggu persetujuan, lalu bisakah sang anak memilih siapa yang
benar dan siapa yang salah di antara keduanya?
Sumber: klik di sini |
Aku rasa tidak, karena sang anak tumbuh
dengan cinta keduanya. Baik ayah maupun ibu, keduanya menempati ruang yang
paling indah dalam hati sang anak. Aku masih ingat benar kejadian di rumahku
beberapa waktu lalu ketika aku pulang liburan Ramadhan-Idil Fitri, bukan
bermaksud menceritakan aib orang tuaku, tidak sama sekali, kehormatan mereka
adalah kehormatanku juga, dan aku tahu mana yang layak kuceritakan dan mana
yang tidak, lagipula perselisihan antara suami istri itu memang selalu ada
dalam sebuah rumah tangga. Ya, begitulah, saat liburan kemaren, aku sempat mendengar
pertengkaran antara Ayah dan Ibuku. Mereka memang tidak melakukannya di depan
mataku, tapi telingaku mampu mendengar semuanya. Meskipun Ayah selalu memilih
diam, telingaku tetap panas mendengar kalimat-kalimat Ibu. Di satu sisi, aku
tidak menyalahkan Ibu, dan di sisi lain, aku mendukung apa yang telah dilakukan
Ayahku.
Aku memang tidak pernah berani menjadi
penengah pertengkaran mereka, sejak dulu, dan sama seperti hari itu, aku
memilih meninggalkan rumah. Dari waktu mereka bertengkar hingga sore aku duduk
di atas batang kelapa yang condong, jauh di belakang rumah. Aku tidak tahu apa
yang dimasak Ibuku hari itu, aku hanya menuju musola jika waktu shalat tiba. Ayahku
tetap menjadi imam, sedang ibuku tidak tampak sama sekali, barangkali ia
memilih shalat di rumah. Selesai mencium tangan ayahku, aku kembali mendatangi
batang kelapa di belakang rumah, dan duduk di sana hingga magrib.
Shalat maghrib aku kembali ke musola, kali
ini aku melihat sosok ibuku. Bahkan ia shalat di sampingku. Aku tidak berbicara
satu patah katapun padanya sebelum shalat dimulai. Hingga setelah selesai
bedoa, aku mengulurkan tanganku padanya, saat itulah seketika Ibuku memelukku. Ia
mengatakan bahwa ia tidak marah padaku. Ia juga berkali-kali meminta maaf
padaku. Ibuku menangis, dan aku sudah menangis terlebih dahulu sejak ia
memelukku tadi.
Kukatakan padanya, meskipun ia tidak marah
padaku dan adikku, tapi pertengkaran itu menyakiti kami. Malam itu tampaknya
Ibu dan Ayah belum bertegur sapa, tapi aku sudah berbincang normal dengan Ibuku,
dan ketika Ayah sakit perut, aku juga membuatkan jamu untuknya. Aku tahu mereka
sangat mencintaiku. Tentu saja aku mencintai mereka, sama besarnya, dan anak
tidak akan bisa memilih salah satunya.
Satu hal yang membuatku menyesal hingga
kini, aku pernah mengejek-ejek sepupuku—si sulung seumuran denganku, dan si
bungsu seumuran dengan adikku—yang tetap mengurus ayahnya meskipun sang Ayah
terlalu sering menyakitinya. Si bungsu yang setiap kali Ayahnya menelepon
selalu membawa telepon itu jauh-jauh dan bebicara pelan, aku tahu, ia pasti
takut diejek karena masih meladeni Ayahnya. Tapi kini semakin bertambahnya
usiaku, aku paham, aku paham mengapa kedua sepupuku itu masih tetap mencurahkan
cintanya kepada sang Ayah. Aku paham betapa sakitnya hati mereka ketika sang Ibu
membeberkan kejelekan sang Ayah di depan Ayahku—karena Ayahku kakak kandungnya,
wali sah yang mengurus perceraian. Cinta anak kepada orangtua memang tidak
pernah memiliki alasan yang bisa dirangkai dalam kata, karena cinta yang
diterima si anak dari orangtua sudah didapat sejak si anak dilahirkan ke dunia.
Terlalu banyak cinta yang telah dicurahkan orangtua, sehingga tidaklah cukup
sebuah kesalahan mereka untuk menodai atau menghapus cinta itu.
Aku kembali ke tema awal, yaitu tentang
ketegaran para istri yang kurang beruntung. Ya, aku selalu memikirkan tentang
kemungkinan-kemungkinan buruk itu. Karena siapa yang bisa memastikan
keberhasilan dalam rumah tangga? Semua yang ada di depan serba tidak tertebak.
Laki-laki yang awalnya baik-baik, aktivis di kampusnya, namun setelah sekian
tahun membina rumah tangga, pun bisa tergelincir, masuk dalam jerat pesona wanita
lain, melupakan istri yang menemani perjuangan dari garis nol hingga jaya
seperti sekarang. Atau sedikit lebih baik, ia kemudian merengek-rengek meminta
restu untuk menikah lagi dengan segepok dalil dari sana-sini. Aku yakin para
wanita itu paham soal dalil, paham soal diperbolehkannya poligami, namun aku
yakin ini bukan soal boleh atau tidak, karena soal iya atau tidak adalah
perkara mudah. Tapi soal sanggup atau tidak, ikhlas atau tidak? Apa masih mudah
juga?
Ya,
luka seorang istri yang dipoligami itu sudah pasti, dan akan abadi...
Wahai istri-istri hebat di sana, dimanapun
kalian berada...
Percayalah, bahwa Tuhan melihat semua
kesabaran dan air mata yang disembunyikan...
Sumber: klik di sini |
Semoga kelak laki-laki yang datang padaku,
entah siapa dia, adalah laki-laki yang bisa menepati janjinya, janjinya pada
Tuhan, janjinya padaku, dan janjinya pada kedua orangtuaku... Aamiiin.
Bogor, 6 Januari 2014
Rujukan: Buku Bunda Asma Nadia 'Catatan Hati Seorang Istri'
No comments:
Post a Comment