Source: click here |
Senja
hari ini masih basah, hujan kerap sekali menyambangi dan mendung tetap menggantung
di langit. Butiran bening di pucuk-pucuk rerumputan berkilauan sebelum jatuh
menyentuh bumi. Terdengar bunyi ringkikan berat setiap kali aku nenarik napas
sebelum melepas batuk. Namun tanganku tetap tak peduli, terus saja menyumpalkan
sebuah benda panjang yang berasap ke mulut. Menghirupnya dengan rakus sebelum
menghembuskan ke udara. Kembali aku terbatuk-batuk, kali ini sampai membuatku
harus memegangi dada yang perih.
“Mas,
kamu ini kepala keluarga. Di atas pundakmu hidup mati aku dan anak-anak
dipertaruhkan. Tapi apa?! Kamu kerja malas-malasan. Setiap dapat sedikit uang,
selalu saja rokok yang kau dahulukan. Tetangga panen berlimpah tahun ini,
sementara kita untuk makan saja tak cukup. Lihatlah dua anak kita, sudah dua
tahun baju lebaran mereka tidak berganti. Kamu itu lebih mencintai rokok daripada
kami.” Ucapan Jum tiga puluh tahun lalu itu kembali melintas dalam kepalaku.
Menambahi sesak yang mendesak-desak dalam dada.
Mataku
yang tak lagi awas memandang jauh ke depan. Dari tempatku duduk sekarang,
tampak hamparan ladang jagung yang mulai menguning. Ah, hamparan itu milik
tetangga, punyaku di sebelah sana. Di sebuah petak tanah yang ditumbuhi
ilalang, jagungku hanya tumbuh tak sampai dua puluh batang musim ini. Umurku sudah
60, dan tak ada kemajuan pada petak ladang itu. Tak kubayangkan jika Jum dan
kedua anakku tidak memutuskan minggat dua puluh tahun lalu.
“Mbah Rejo, inikan sudah senja, kok masih
duduk-duduk di luar? Nanti bengkak di lehernya semakin besar.” Sapaan seorang
laki-laki mengejutkanku. Ternyata Wanto. Tampaknya dia baru pulang dari ladang
bersama traktornya.
“Biarlah,
Nto. Biar cepat selesai penderitaanku. Sampeyan punya rokok? Sudah hampir satu
minggu aku cuma merokok linting daun dan rambut jagung kering. Berilah satu
saja.”
Wanto
mematikan mesin traktornya. Meskipun senja semakin merangkak gelap, samar-samar
aku mendapatinya menatapku di kejauhan.
“Aku
sudah lama ndak merokok, Mbah.”
Oh,
aku lupa. Tidak salah terakhir kali kami sama-sama merokok di pos ronda, sepuluh
tahun lalu, saat tubuhku tidak serapuh kini.
“Kok
bisa?”
Ia
berjalan mendekat, duduk di sampingku.
“Semuanya
tergantung seberapa besar kemauan kita untuk berubah, Mbah. Lima tahun lalu temanku dari Jakarta datang. Dia mengingatkanku
agar berhenti merokok dengan menceritakan sebuah cerita.”
“Cerita
apa itu?” Aku mengeluarkan pertanyaan ini setelah batuk berkali-kali. Wanto
membantu mengurut punggungku.
“Ada
seorang pemuda perokok yang mendatangi seorang pemuka agama, dia minta
didoakan. Pemuka agama tersebut menyetujui, lalu mulailah ia mengangkat tangan
dan berdoa ‘Ya Tuhan, berilah harta yang
banyak untuk pemuda ini, istri yang cantik dan baik, anak-anak yang penurut,
dan teman-teman yang sejati’. Pemuka agama tersebut sampai menangis
sesenggukan dalam doanya, begitu juga dengan pemuda perokok yang ikut menangis
sambil menjawab ‘amin’. Kemudian pemuka
agama itu melanjutkan doanya, ‘Kabulkanlah
semua itu apabila pemuda ini telah berhenti merokok, Ya Tuhan’. Pemuda itu
tercekat, memandang pemuka agama tanpa berkata-kata,
“Begitulah,
Mbah. Cerita itu sebenarnya ingin
memastikan satu hal: kamu benar-benar ingin berubah atau tidak?!”
Angin
senja itu menerbangkan debu yang basah. Lampu-lampu yang dipasang di kebun
sudah dihidupkan, menciptakan kerlip-kerlip indah, penghiburku satu-satunya. Perbincangan
dengan Wanto berakhir beberapa puluh menit lalu.
Kini
aku tinggal duduk sendiri. Kembali aku batuk-batuk, bahkan cairan kental itu
menyembur dari mulutku. Meskipun gelap malam menyembunyikan warna cairan kental
itu, aku dapat memastikan kalau itu darah. Hal ini sudah biasa sejak aku divonis
menderita kanker paru-paru tiga bulan lalu. Tubuhku hanya menyisakan tulang
yang bertonjolan. Wujudku tak ubahnya sesosok makhluk yang menyeramkan, mungkin
seperti zombi yang buruk rupa itu. Wajar saja kalau beberapa anak-anak memanggilku
Mbah Zombigaret, Zombi Sigaret.
Karena penyakit itu pula, sehari ini perutku tidak kemasukan apa-apa kecuali
asap rokok. Jangankan nasi, air saja sudah membuat tenggorokanku seperti
ditusuki jarum-jarum tajam. Ah, aku sudah tua, kenapa tidak langsung mati
saja?!
Semoga sukses lombanya, Mbak.
ReplyDeleteTerimakasih :)
DeleteMudah-mudaha dengan begitu pemuda tahun 80 tahun tersebut dapat berhenti merokok. Amin...
ReplyDeleteIya, merokok memang sangat membuat diri kita semakin ngga kuat hadapi masalah ekonomi. Untung saja aku bukan perokok.. aby saya juga perokok berat dulunya, namun sekarang sudah berhenti “total” berkat kesadaran dirinya dan kemauan yangkuat di dalam dirinya.
Semoga menang Ganya ya..!
Sama, Bapakku dulu juga perokok, tapi saat aku umur 3 tahun, beliau berhenti merokok. Alhamdulillah. semua tergantung niat :)
Deletegood luck ya, aku doakan menang
ReplyDeleteAamiin... syukron Mak :)
Deleterokok memang menyebalkan...bagi para pecandu...rokok seakan-akan menjadi yang paling prioritas ....tanpa memikirkan efeknya ke orang lain,,,,
ReplyDeleteselamat berlomba,,,semoga menjadi yang terbaik...'keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
Terimakasih... salam kembali dari Bogor :)
DeleteKeren namanya Mbah "Zombigaret"..
ReplyDeletecocok dgn isi ceritanya sob.
semangatt teruss deh yaa.. :)