Tuesday 22 April 2014

Nasib Senja Sang Zombigaret Tua

Source: click here
Senja hari ini masih basah, hujan kerap sekali menyambangi dan mendung tetap menggantung di langit. Butiran bening di pucuk-pucuk rerumputan berkilauan sebelum jatuh menyentuh bumi. Terdengar bunyi ringkikan berat setiap kali aku nenarik napas sebelum melepas batuk. Namun tanganku tetap tak peduli, terus saja menyumpalkan sebuah benda panjang yang berasap ke mulut. Menghirupnya dengan rakus sebelum menghembuskan ke udara. Kembali aku terbatuk-batuk, kali ini sampai membuatku harus memegangi dada yang perih.


“Mas, kamu ini kepala keluarga. Di atas pundakmu hidup mati aku dan anak-anak dipertaruhkan. Tapi apa?! Kamu kerja malas-malasan. Setiap dapat sedikit uang, selalu saja rokok yang kau dahulukan. Tetangga panen berlimpah tahun ini, sementara kita untuk makan saja tak cukup. Lihatlah dua anak kita, sudah dua tahun baju lebaran mereka tidak berganti. Kamu itu lebih mencintai rokok daripada kami.” Ucapan Jum tiga puluh tahun lalu itu kembali melintas dalam kepalaku. Menambahi sesak yang mendesak-desak dalam dada.

Mataku yang tak lagi awas memandang jauh ke depan. Dari tempatku duduk sekarang, tampak hamparan ladang jagung yang mulai menguning. Ah, hamparan itu milik tetangga, punyaku di sebelah sana. Di sebuah petak tanah yang ditumbuhi ilalang, jagungku hanya tumbuh tak sampai dua puluh batang musim ini. Umurku sudah 60, dan tak ada kemajuan pada petak ladang itu. Tak kubayangkan jika Jum dan kedua anakku tidak memutuskan minggat dua puluh tahun lalu.

Mbah Rejo, inikan sudah senja, kok masih duduk-duduk di luar? Nanti bengkak di lehernya semakin besar.” Sapaan seorang laki-laki mengejutkanku. Ternyata Wanto. Tampaknya dia baru pulang dari ladang bersama traktornya.

“Biarlah, Nto. Biar cepat selesai penderitaanku. Sampeyan punya rokok? Sudah hampir satu minggu aku cuma merokok linting daun dan rambut jagung kering. Berilah satu saja.”

Wanto mematikan mesin traktornya. Meskipun senja semakin merangkak gelap, samar-samar aku mendapatinya menatapku di kejauhan.

“Aku sudah lama ndak merokok, Mbah.”

Oh, aku lupa. Tidak salah terakhir kali kami sama-sama merokok di pos ronda, sepuluh tahun lalu, saat tubuhku tidak serapuh kini.

“Kok bisa?”

Ia berjalan mendekat, duduk di sampingku.

“Semuanya tergantung seberapa besar kemauan kita untuk berubah, Mbah. Lima tahun lalu temanku dari Jakarta datang. Dia mengingatkanku agar berhenti merokok dengan menceritakan sebuah cerita.”

“Cerita apa itu?” Aku mengeluarkan pertanyaan ini setelah batuk berkali-kali. Wanto membantu mengurut punggungku.

“Ada seorang pemuda perokok yang mendatangi seorang pemuka agama, dia minta didoakan. Pemuka agama tersebut menyetujui, lalu mulailah ia mengangkat tangan dan berdoa ‘Ya Tuhan, berilah harta yang banyak untuk pemuda ini, istri yang cantik dan baik, anak-anak yang penurut, dan teman-teman yang sejati’. Pemuka agama tersebut sampai menangis sesenggukan dalam doanya, begitu juga dengan pemuda perokok yang ikut menangis sambil menjawab ‘amin’. Kemudian pemuka agama itu melanjutkan doanya, ‘Kabulkanlah semua itu apabila pemuda ini telah berhenti merokok, Ya Tuhan’. Pemuda itu tercekat, memandang pemuka agama tanpa berkata-kata,

“Begitulah, Mbah. Cerita itu sebenarnya ingin memastikan satu hal: kamu benar-benar ingin berubah atau tidak?!”

Angin senja itu menerbangkan debu yang basah. Lampu-lampu yang dipasang di kebun sudah dihidupkan, menciptakan kerlip-kerlip indah, penghiburku satu-satunya. Perbincangan dengan Wanto berakhir beberapa puluh menit lalu.

Kini aku tinggal duduk sendiri. Kembali aku batuk-batuk, bahkan cairan kental itu menyembur dari mulutku. Meskipun gelap malam menyembunyikan warna cairan kental itu, aku dapat memastikan kalau itu darah. Hal ini sudah biasa sejak aku divonis menderita kanker paru-paru tiga bulan lalu. Tubuhku hanya menyisakan tulang yang bertonjolan. Wujudku tak ubahnya sesosok makhluk yang menyeramkan, mungkin seperti zombi yang buruk rupa itu. Wajar saja kalau beberapa anak-anak memanggilku Mbah Zombigaret, Zombi Sigaret. Karena penyakit itu pula, sehari ini perutku tidak kemasukan apa-apa kecuali asap rokok. Jangankan nasi, air saja sudah membuat tenggorokanku seperti ditusuki jarum-jarum tajam. Ah, aku sudah tua, kenapa tidak langsung mati saja?!

9 comments:

  1. Mudah-mudaha dengan begitu pemuda tahun 80 tahun tersebut dapat berhenti merokok. Amin...
    Iya, merokok memang sangat membuat diri kita semakin ngga kuat hadapi masalah ekonomi. Untung saja aku bukan perokok.. aby saya juga perokok berat dulunya, namun sekarang sudah berhenti “total” berkat kesadaran dirinya dan kemauan yangkuat di dalam dirinya.
    Semoga menang Ganya ya..!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama, Bapakku dulu juga perokok, tapi saat aku umur 3 tahun, beliau berhenti merokok. Alhamdulillah. semua tergantung niat :)

      Delete
  2. good luck ya, aku doakan menang

    ReplyDelete
  3. rokok memang menyebalkan...bagi para pecandu...rokok seakan-akan menjadi yang paling prioritas ....tanpa memikirkan efeknya ke orang lain,,,,
    selamat berlomba,,,semoga menjadi yang terbaik...'keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih... salam kembali dari Bogor :)

      Delete
  4. Keren namanya Mbah "Zombigaret"..
    cocok dgn isi ceritanya sob.
    semangatt teruss deh yaa.. :)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...