Saturday 2 August 2014

Cerpen Islami Terbaik: Pesona Hijab di Negeri Tsarina



Moskow, 09 Mei 2013
Minus 23 derajat.       

Aku merapatkan palto, membenarkan letak topi bulu yang membungkus kepala. Uap dingin menguar dari setiap napas yang kuembuskan, membentuk kepulan pekat. Kupercepat langkah ke arah Stadion Olimpiski, lalu  berbelok ke kiri menuju jalan Durova. Permadani putih yang kuinjak gemeretak, berirama seiring injakan sepatuku.

Akhirnya, sampai juga aku di bangunan berwarna biru toska dengan bulan sabit di ujung kubahnya. Masjid Agung Moskow. Masjid yang mengingatkan bahwa masih ada Islam di negeri Lenin ini.

Tujuanku kemari bukan untuk salat, karena sekarang belum masuk waktu asar. Aku hanya ingin mencari penjanggal perut di kantin yang terletak pada bagian timur areal masjid ini. Ya, karena sudah pasti kehalalannya.

Aku mengambil tempat di pojok kantin, dekat dengan jendela. Memesan sepiring plof dan secangkir teh panas.

Ruangan ini cukup hangat dengan pemanas ruangan yang dipasang di bawah jendela. Aku membuka topi. Merapikan rambut dengan jemari. Memandang keluar dari jendela. Ah, Rusia benar-benar beku di puncak musim dingin.

Mataku menerawang. Kegelisahan yang menggelayut batin akhir-akhir ini kembali meruak. Sudah setahun aku menjadi muslim, salat sudah tidak lagi kutinggal-tinggalkan, namun entah mengapa aku merasa masih ada yang kurang. Bukan, bukan Islam yang mulia ini yang kumaksud ada yang kurang. Melainkan, aku. Aku yang masih setengah-setengah.

Kulirik rambut yang tergerai lurus ke samping dadaku. Rambut yang indah, begitu pujian yang selalu kuterima. Dan karena rambut ini pula, sebuah majalah fashion ternama menerimaku sebagai model mereka. Rambut inilah yang menghidupiku.

Plof dan teh yang kupesan datang. Segera saja kuraih cangkir putih gading yang masih mengepul. Kuhirup aromanya dalam-dalam, membiarkan hangatnya menjalar ke seluruh saraf-saraf.

"Dabro dent1...!" Sebuah suara merdu mengejutkan, memerintahkan kepalaku menengadah. Kulihat seorang wanita berwajah Rusia telah berdiri di hadapanku dengan seulas senyum. Ia meminta izin untuk duduk di kursi yang ada di depanku.

"Silakan..." kataku pelan diiringi senyum.

Ia kemudian memesan semangkok sup borsh dan juga secangkir teh. Belum ada pembicaraan apapun di antara kami. Aku memandangi teh yang sejak tadi belum juga kuseruput. Sesekali mencuri pandang ke arah wanita jelita itu. Ada kagum yang menyumpal hatiku. Bukan, bukan kagum pada parasnya yang jelita, melainkan pada selembar kain bewarna krem yang membalut wajahnya. Begitu indah, begitu damai, begitu santun...

Apa karena tanpa kain yang membalut wajahku ini, aku merasa belum ber-Islam dengan sempurna? Aku masih mengingat jelas isi surah Al Azhab ayat 59 yang dibacakan Ainee Fatma—putri kecil Syaikh yang membimbingku—tentang kewajiban berhijab bagi muslimah. Tapi, kurasa terlalu seram belantara resiko yang harus kuterobos, jika aku berhijab. Waktuku masih panjang, Tuhan pasti memahaminya.

"Kak tibya zavut2?" Ia bertanya, mengulurkan tangannya yang terselubung kaos putih tebal. Barangkali ia sadar jika diam-diam aku mengamati.

"Minya zavut Aeva3. Kamu?"

"Aku Ayse, Ayse Omarov." jawabnya sebelum melepas jabatan tangan kami.

"Hey, kau tahu, aku kagum padamu, di negara ini kamu berani memutuskan untuk memakai selembar kain itu." ucapku jujur sambil menunjuk kecil pada kerudungnya. Kulihat ia tersenyum. Matanya berbinar.

"Ketika aku berani mengucap persaksian pada Allah swt dan Muhammad saw, maka saat itu pula aku harus berani melaksanakan semua yang diperintahkan agama ini, Aeva. Termasuk memakai kain ini. Aku yakin segala yang diperintahkan-Nya tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia." katanya menjelaskan sebelum menyuapkan sesendok sup hangat ke mulutnya.

Aku menggeleng pelan. Kulemparkan jaring pandangku ke luar jendela, menembus kaca yang terselimut kabut. Satu-dua orang berpalto tebal tampak berjalan menembus salju yang semakin tinggi. Batinku bergejolak. Apa aku ini pengecut? Sehingga tak berani menjalankan keputusan sendiri.

"Aku menjadi muslim setahun yang lalu, Ayse. Tapi aku belum berani mengenakan kain itu. Aku takut kehilangan pekerjaanku. Kau tahu sendirilah susahnya seorang wanita berhijab mendapatkan pekerjaan di sini. Jika aku memakai hijab, apa jadinya hidupku?"

"Jika kamu tetap tidak memakai hijab, lalu apa jadinya matimu, Aeva?" ia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan yang menghempas jantungku.

Apa jadinya matiku? Mati? Iya, semua memang akan mati. Lalu apa hubungannya mati dengan hijab?

Bodoh! Hijab itu kewajiban. Pastinya aku tahu hukum seseorang yang meninggalkan kewajiban. Dosa. Dan dosa itu neraka. Kalaupun amalanku yang lain sempurna, aku akan tetap mencicip api neraka karena satu kewajiban kutinggalkan.

Neraka?

Iya. Rambutku yang katanya indah ini akan diikat di petala neraka. Tubuh terpanggang. Gosong. Hitam. Sangit. Lalu, segerombol gagak buas datang mematuki kepalaku, menarik sejumput demi sejumput rambutku dengan serakah, hingga semua tercabut, menyisakan merah yang meruah di tempurung kepala. Merah yang licin dan amis. Lalu tak lama, rambutku tumbuh kembali, dan sekawanan gagak buas itu pun kembali menyerang. Begitu terus.

Sakit. Sakit. Sakit. Sakit yang tak kunjung habis.

Aku meringis.

"Kamu baik-baik saja?" Suara Ayse menyadarkan. Sambil berusaha tersenyum, memberi tahu bahwa aku tidak apa-apa.

"Dulu, aku bekerja di sebuah perusahaan ternama, Aeva. Gajiku sama dengan gaji seorang presiden di negara berkembang. Tapi seminggu setelah aku ber-Islam dan memutuskan berhijab, aku dipecat tanpa alasan. Awalnya aku sedih. Aku bingung dengan tuntutan hidup yang serba mahal. Namun, aku tak pernah berpikir untuk putar haluan, Aeva. Tekadku mengunci mati navigasi di jalan Islam sudah bulat. Aku hidup prihatin selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, Allah menunjukkan janji-Nya. Aku dipertemukan dengan laki-laki muslim yang mapan, suamiku kini." ceritanya dengan mata yang bersahabat. Ia kembali tersenyum di akhir kalimatnya, seperti membayangkan lagi sesuatu yang paling indah dalam hidupnya.

"Aku masih bimbang, Ayse. Mungkin hijab tidak akan menjadi masalah bagi muslimah di negara-negara mayoritas muslim. Mereka bebas menjadi designer, artis, model, pengusaha, presenter, dan lain-lain. Tak jadi masalah. Tapi ini Rusia, Ayse. Jangankan untuk mendapatkan pekerjaan, untuk sekadar jalan-jalan di Stary Arbat saja, kita sudah disangka manusia jahat. Belum lagi kemungkinan menjadi sasaran kambing hitam ulah para mafia anti-Islam. Itu semua terlalu berat, Ayse." aku melenguh.

Jemariku memainkan sendok, mengaduk-aduk perlahan teh yang masih penuh. Aku menyeruputnya sedikit. Kulihat Ayse memandangku dalam. Ada beling di matanya. Yang berkilat. Yang akan meleleh tertahan.

"Aku paham kegelisahanmu, Aeva. Aku pun pernah mengalaminya. Namun, jika tidak dari sekarang, kapan lagi? Coba kamu tanyakan, tanyakan baik-baik, bukan pada orang lain, tapi pada dirimu sendiri. Dengan uang yang mengalir mudah, semua keinginan duniawi kau tunaikan, apakah kau sempurna bahagia?"

Aku menunduk. Sempurna bahagia? Ya, aku bahagia. Sepatu mahal, tas kelas pertama, pakaian indah, apartemen mewah, makanan lezat, semua kudapat dengan mudah. Apa lagi?

Ya sekilas memang tak ada yang kurang. Namun...

Setelah satu barang mahal berhasil kubeli, aku senang. Tapi beberapa waktu kemudian, aku bosan. Aku ingin barang yang lain lagi. Begitu terus. Tak pernah puas. Dan akhirnya, semua itu memang tak membuatku sempurna bahagia. Ya, dunia tak akan pernah membuatku sempurna bahagia. Lalu kenapa terus kukejar?

"Jika karena hijab kamu kehilangan pekerjaanmu, itu artinya Allah telah menyiapkan pekerjaan lain yang lebih baik bagimu. Jika kamu mati karena menjadi korban para mafia, mengapa cemas? Kamu mati sebagai syahidah. Itu mulia sekali. Aeva, Allah sendiri yang meminta muslimah berhijab, Dia tidak mungkin menyia-nyiakan muslimah yang menjalankan perintah-Nya. Jangan iri pada wanita-wanita yang mampu gemilang dengan auratnya, kamu akan lebih gemilang dengan hijab yang membalut wajahmu. Insya Allah, Allah akan meluaskan jalanmu. Aku dan kamu, juga muslimah lain di negeri beku ini, akan sama-sama membuktikan bahwa dengan hijab ini kita tetap berkarya. Berkarya tidak harus besar, Aeva. Tak harus terkenal. Percayalah...kita tetap akan berkarya, karya yang direstui-Nya." Ayse menggenggam tanganku. Kini air matanya telah meleleh. Aku menemukan kehangatan dari cahaya matanya. Kehangatan persaudaraan yang indah.

Ya Allah, sedamai inikah jannah-Mu? Dimana setiap insan saling berkasih sayang atas nama-Mu. Bukan kasih sayang yang membabi buta seperti kehidupanku semasa jahilliyah dulu.

"Mama." Suara bening seseorang membuyarkan penghayatan kami. Mataku segera menanangkap seorang bocah laki-laki dengan palto berwarna cokelat muda. Ia berlari menghambur dalam pelukan Ayse. Aku memandang heran.

"Aeva, ini Ismael, putraku. Ismael, ayo jabat tangan Kakak itu..."

Aku sedikit kaget. Ayse sudah memiliki anak laki-laki sebesar ini. Bermata cokelat. Lucu dan menggemaskan. Kami bersalaman. Aku tak tahan untuk tidak menjawel pipi empuknya.

"Umurnya 8 tahun, Aeva. Alhamdulillah, ia sudah hapal seluruh isi Alquran. Inilah karyaku, Aeva. Aku mencurahkan perhatianku untuk suami dan anakku. Menjadi Ibu dan guru yang baik bagi Ismael. Itu semua sudah lebih dari cukup. Kamu bisa membayangkan, andai semua Ibu mampu mendidik anak-anaknya ber-Islam dengan benar, para Ibu akan mengubah peradaban, Aeva. Karena betapa banyak kejelekan yang akan terganti oleh generasi saleh-saleha itu. Itu sebuah karya besar, Aeva. Karya berhadiah surga."

Aku tersenyum. Tak juga mengatakan untuk segera berhijab padanya. Kuajak dia menghabiskan menu yang sejak tadi menjadi saksi percakapan kami. Ismael ikut memesan semangkuk sup borsh dan teh panas.

"Spasiba balshoi, Ayse. Da svidaniya4." ucapku sambil memeluk Ayse di akhir pertemuan. Aku harus mengejar metro menuju stasiun Oktyaberskaya, selanjutnya menggunakan bus listrik ke Universitas Negeri Moskow. Ada kuliah jam 03.00 p.m yang harus kuikuti.

***


Pukul 05.13 p.m waktu Moskow. Setelah salat asar di salah satu ruang kosong kampus, aku memutuskan menuju pelataran Leninsky Gori. Itu adalah tempat yang paling kusukai, di mana aku bisa merenung sambil melihat keindahan Moskow dari Timur hingga Barat. Aku membenarkan letak tas punggungku. Memilih duduk di sebuah bangku di ujung pelataran. Dari sini aku menyaksikan kanal Moskow membeku di bawah sana. Beberapa orang yang berselubung palto hanya tampak sebesar ibu jari. Aku menarik napas. Meluaskan pandangan. Mataku menangkap sesosok wanita yang duduk di sudut pelataran. Kurasa ia pun tengah menikmati winter dari atas sini. Tak mampu kutahan hati ini untuk tak mendekatinya.

"Dabro dent ..." Sapaku dengan senyum mengembang. Ia tampak kaget karena suaraku yang menguar tiba-tiba. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum. Manis sekali.

"Hey, aku suka kerudungmu. Kau terlihat secantik para tsarina." ucapku tanpa basa-basi. Sekali lagi ia tersenyum.

"Spasiba balshoi. Setiap wanita kan memang cantik. Rambutmu juga cantik." ucapnya menimpali. Matanya berbinar. Sangat indah berpadu dengan kerudung berwarna lembayung yang dikenakannya.

"Ah, kamu menyindir, ya? Rambut ini memang indah di mata manusia, tapi tidak di mata-Nya," Aku menunjukkan telunjukku ke atas.

"Kamu muslimah?"

Aku mengangguk. Lalu kuceritakan padanya tentang pekerjaanku dan alasanku belum memakai kerudung. Ia mendengarkan khidmat.

"Ya, aku mengerti. Tapi memang itulah resikonya. Kau lihat saja pada Alquran surah Al-baqarah ayat 214, semua orang akan melalui ujian, Tuhan sudah memberi tahu." ucapnya sambil menepuk bahuku. Aku menunduk.

"Ceritakan padaku kisahmu. Semoga bisa semakin meneguhkanku."

Ia diam sejenak. Melemparkan pandangan jauh ke depan.

"Aku memakai kerudung ini sejak setahun tiga bulan lalu. Ya, kerudung ini sebagai bukti tingginya peradaban manusia, teman. Jika nenek moyang manusia hanya berpakaian untuk menutupi bagian-bagian tertentu saja, maka peradaban tertinggi harusnya berpakaian tertutup. Aku ingin menjadi salah satu dari manusia berperadaban tinggi itu.

"Selain itu, sebelum aku berkerudung dahulu, aku pernah hampir diperkosa dan oleh teman laki-lakiku sendiri. Hampir saja laki-laki itu menusukku karena aku mencoba lari dan berteriak-teriak. Yah, kurasa, karena saat itu aku suka memakai pakaian yang terbuka. Temanku sendiri yang mengakui, jika pakaianku itu pasti akan memancing syahwat siapa pun yang melihatku. Sejak itu aku takut, rasanya aku ingin menutupi seluruh tubuh ini."

Selanjutnya ia bercerita, setelah memutuskan berhimar, jabatannya sebagai asisten salah seorang profesor di MGU, dicopot. Tentu saja dengan alasan yang tidak masuk akal.

"Kapan kamu bersyahadat?" tanyaku menyambung penjelasannya.

Wajahnya seketika memerah. Ia mengalihkan pandangannya pada lanskap yang membentang di bawah sana. Tak lama, ia tersenyum, tanpa menoleh ke arahku.

"Kau doakan saja semoga hatiku bisa teguh." ucapnya pelan. Aku terbelalak. Maksudnya?

"Aku masih Ortodoks, teman. Kerudung ini kukenakan bukan berarti aku muslimah. Aku hanya ingin kerudung ini menutupi diriku, tentunya dari mata-mata jahat. Masalah ber-Islam, awalnya aku tak berpikir ke sana. Namun kerudung ini justru menjadi gerbang bagiku untuk mengenal dan mempelajari Islam lebih dalam. Aku mempelajari Alquran. Dari sanalah aku mendapatkan informasi yang benar tentang Islam, sama sekali tidak seperti informasi media massa yang kutelan selama ini. Malam Jumat minggu ini aku akan bersyahadat di Masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI. Datanglah, kawan. Jadilah saksi atas kemenanganku."

Aku membisu. Air mata hangat meleleh lembut di sudut kedua mataku.

Apa lagi yang kutunggu? Seorang wanita Ortodoks saja memilih berhimar, karena ia tahu manfaatnya. Sementara aku? Berkali-kali Alquran kukhatamkan, berpuluh kajian Islam kuhadiri, beberapa nasihat wanita muslimah kudengarkan, tapi aku terus menunda-nunda memenuhi kewajiban.

Aku harus segera melaksanakan kewajibanku. Tak boleh menunda lagi.

Tapi bagaimana dengan pekerjaan dan masa depanmu, Aeva?

***

Moskow, 02 September 2013

"Aeva! Dabroye utra. Kak dela5?" Seorang anak berteriak,  bertanya padaku. Aku menoleh ke arahnya. Sekawanan anak-anak laki-laki lucu dengan pakaian musim panasnya.

"Dabroye utra. Alhamdulillah, ya vso kharasyo6. Bagaimana dengan kalian?"  Aku bertanya kembali dengan melambaikan tangan.

Mereka kor menjawab 'secerah hari ini', lalu kembali berlarian di atas rumput, kaki-kaki mungil mereka beradu cepat memasukkan bola pada gawang yang dijaga seorang anak berkulit hitam.

Aku melanjutkan langkah, menyusuri jalanan yang diapit deretan bunga musim semi. Kerudung cokelat yang kukenakan berkibar. Satu-dua orang yang berpapasan menatap aneh, bahkan kepala mereka bergerak mengikuti siluetku. Aku sudah terbiasa dan aku tak peduli sama sekali.

Sudah empat bulan aku mengenakan kerudung di bumi Rusia. Anak-anak selalu menyuruk takut apabila melihatku, takut aku seorang wanita kejam seperti doktrin yang mereka telan tentang muslim. Orang-orang menatapku aneh, teman-temanku menjauh, dan beberapa yang mengenalku dari majalah, selalu berkomentar,

"Sayang sekali..."

"Ah, rambut indahmu kau sia-siakan dengan menutupinya seperti itu."

"Wah, bodohnya..."

Aku mendongak, tersenyum pada dahan-dahan bereozka yang bergoyang. Aku damai sekarang...

Ya, aku telah kehilangan pekerjaanku sebagai model. Sedih. Tapi kesedihan itu tak sebanding dengan kedamaian yang kucecap kini. Sekarang aku mengajar kelas bahasa Jerman di Sekolah Indonesia Moskow (SIM). Beberapa anak-anak yang menyapaku tadi adalah sebagian dari murid-muridku.

Di pekerjaan baru ini, gajiku memang tak seberapa. Namun, aku bertekad untuk terus mendidik anak-anak di SIM dengan penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, agar kelak anak-anak itu akan menceritakan pada dunia, bahwa wanita berhijab itu penuh kasih sayang dan kelemah lembutan, seperti guru kelas bahasa Jerman mereka. Inilah karyaku dengan hijab ini. Hijab yang kini begitu kucintai, serupa para tsarina mencintai mahkotanya.

1Selamat siang (pukul 12.00-18.00)
2Siapa namamu?
3Namaku Aeva
4Terimakasih, Aisye. Sampai berjumpa lagi
5Selamat pagi. Apa kabar?
6Selamat pagi. Alhamdulillah saya baik-baik saja

 Diselesaikan pada 7 Syawal 1435 H di Penyalai, Riau



2 comments:

  1. Ayo bukukan dalam novel karya zhanzabila. Ceritanya bagus sofi, menginspirasi :) pinter banget bikin cerpennya. Berhijab itu cantik damai indah segalanya deh

    ReplyDelete
  2. Menarik kali ceritanya, Mbak. Oh, ya. Plof itu jenis makanan apa?

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...