Sebuah pembuka bersama Gerson
“Kamu senangkah bisa kuliah di pulau Jawa?” tanyaku pada
Gerson, salah satu dari 35 adik tingkat yang baru datang dari Indonesia Timur.
Yang ditanya tersenyum, lebih kepada cengengesan sejenak. Logat yang kupakai mengikuti logat mereka mungkin terkesan lucu, atau mungkin membuat geli.
“Senang Kakak. Kita seperti pergi ke lain negara.”
Ya, aku membenarkan jawaban Gerson barusan. Kuperhatikan dalam beberapa waktu terakhir, hal-hal sepele di sini ternyata bagi mereka adalah sesuatu yang begitu spesial. Sesuatu yang wah. Contohnya ketika mereka pulang kuliah cepat, selalu saja berucap girang, “Horeee pulang cepat. Bisa main ke pasar kita.”
Status-status facebook mereka pun tidak kalah lucunya.
Bagi kita, biasanya memasang status check in bila sedang berada di
tempat-tempat mewah atau diimpikan banyak orang, misal bandara, restoran mahal,
atau Eiffel. Namun tidak dengan mereka, kebanyakan status mereka berbunyi,
“Senang—di pasar”.
Salah satu temanku pernah menelepon salah satu dari adik
tingkat kami, lalu menanyakan lokasi.
“Kami sedang di pasar Kakak.” jawab sang adik tingkat.
“Kalian ngapain rajin ke pasar?” temanku bertanya heran.
Sepengetahuannya, baru sehari lalu adik-adik baru kami itu pergi ke pasar.
“Kita mau fotokopi Kakak.” Jawabnya polos.
Seketika temanku menepuk jidat. Berpuluh-puluh tempat
fotokopi di area kampus, tapi tetap saja mereka memilih pergi ke pasar. Dan
sejak itulah aku menyadari satu hal, mungkin apa yang menurut kami tak lagi
manarik, bagi mereka adalah sesuatu yang sangat istimewa.
Kembali pada percakapanku dengan Gerson. Ia tiba-tiba
bertanya padaku, “Kakak punya cita-citakah?”
Pertanyaan yang lucu. “Tentu saja. Salah satunya, Kakak
ingin ke Timur. Jika kamu bilang saat ini seperti berada di negara lain, maka
Kakak akan bilang bahwa Kakak ingin berkunjung ke negaramu.”
“Benarkah Kakak? Tapi mereka bilang Timur hanya diisi
oleh pohon sagu dan penduduknya makan papeda yang katanya mirip lem kantor
pos.”
“Tapi kalian juga punya surga bukan?”
“Raja Ampat kah?”
Aku mengangguk senang. “Gerson pernah ke sana?”
“Pernah beberapa kali. Dan memang Kakak harus ke sana
suatu hari nanti.” ucapnya sungguh-sungguh.
Aku bisa merasakan bahwa kalimat itu berasal dari
hatinya. Jarang sekali ada orang Indonesia yang bangga dan berucap begitu yakin
mengenai ikon di daerah asalnya. Dan kalimat Gerson itu membuatku semakin
yakin, bahwa salah satu agenda wajib dalam hidupku adalah berkunjung ke Timur,
ke Raja Ampat.
Jika ingin melihat Surga, pergilah ke Raja Ampat
Source: click here |
"Seandainya Kakak ke sana, apa yang tidak bisa didapatkan dari tempat lain?" tanyaku
“Gugusan pulau-pulau, laut yang biru, karang, pasir putih, dan warna-warni makhluk laut. Jangan pernah bilang Kakak sudah melihat semua itu dengan sempurna, kecuali Kakak melihatnya di Raja Ampat.” Gerson menjawab dengan mata seperti membayangkan sesuatu.
“Gugusan pulau-pulau, laut yang biru, karang, pasir putih, dan warna-warni makhluk laut. Jangan pernah bilang Kakak sudah melihat semua itu dengan sempurna, kecuali Kakak melihatnya di Raja Ampat.” Gerson menjawab dengan mata seperti membayangkan sesuatu.
Ya, nama Raja Ampat memang sudah familiar di telingaku
satu tahun terakhir. Tepatnya setelah membaca tulisan Windy Ariestanti saat
mengajar menulis penduduk Misool. Dalam tulisannya Windy bercerita tentang ia
yang sampai bersujud di pasir akibat tawa yang berlebihan. Saat ia
memerintahkan peserta pelatihan untuk menuliskan ‘cabai’, justru diganti dengan
‘rica’. Sesaat Windy menolak, memberi penjelasan bahwa rica harus diganti cabai
ketika menuliskannya dalam bahasa Indonesia. Seorang peserta bernama Balif maju
dan berkata, “Cabai dan rica itu sama pedasnya. Kenapa harus diributkan?”. Aku
ikut tertawa saat membaca tulisan Windy tersebut dan sejak itu pula aku giat
mencari informasi seputar gugusan pulau yang sering disebut-sebut sebagai The Last Paradise tersebut. Bahkan beberapa video di youtube pun menjadi sasaran
untuk menuntaskan rasa penasaranku.
Usai menuntaskan sekian video, hanya ada satu kata yang
bisa kuucapkan. Wonderful. Wajar saja beberapa traveler mengaku sempat
meneteskan air mata begitu tiba di sana, tidak menyangka bahwa tempat seindah
itu ada di negara kita, Indonesia.
“Segala macam mimpi indah Kakak tentang laut dan isinya
akan terwujud saat tiba di sana.” Ah Gerson kembali membuat keinginanku
meluap-luap.
Aku tahu hal itu, Kepulauan Raja Ampat yang terdiri atas
empat pulau terbesarnya yaitu Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta memang menjadi impian semua pecinta laut, dan
kurasa tak ada manusia yang tidak mencintai laut. Meskipun tidak bisa menyelam,
setidaknya senang kala memandangi biru alami yang tercipta dari laut.
Source: click here |
Bukan hanya tentang birunya yang memikat, Raja Ampat juga
tercatat memiliki lebih dari 540 jenis karang keras (75% dari total jenis di
dunia), lebih dari 1.000 jenis ikan karang, dan 700 jenis moluska. Tidak salah jika penelitian Dr. Gerald
Allen asal Australia menetapkan Raja Ampat sebagai greatest
biodiversity ever registered. Tidak hanya itu, Raja Ampat juga kaya akan
hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang
menakjubkan.
“Kakak, saya tidak berbohong ini. Berkali-kali sudah saya
ke sana, tapi kalau Kakak ajak saya ke sana lagi, sekarang pun saya mau. Kakak
pernah nonton film-film fantasikah? Macam Harry Potter, Avatar, dan lain-lain?”
“Pastilah. Itu semua film kesukaan Kakak. Kenapa? Gerson
belum pernah menontonkah?”
“Bukan Kakak. Tapi saya cuma ingin kasih tahu, perasaan
haru Kakak ketika melihat Hoghwarts di antara kabut atau ketika melihat Avatar
Hallelujah Mountain, seperti itulah harunya ketika sampai di antara gugusan
pulau di Raja Ampat. Bedanya, yang ini nyata dan benar-benar ada di depan mata
Kakak. Pasti menangislah itu.” ceritanya bangga. Ia mengernyit, seolah-olah
mengejekku.
“Ya, nanti Kakak pasti akan ke sana.” Dalam hati aku
melanjutkan dengan kata, “Insya Allah...”
“Saya ikut ya Kakak...” sambung Gerson cepat.
Kali ini giliran aku yang mengernyit untuk mengejeknya.
Nuansa Keramahan, Musik, dan Tarian
Selain keindahan alam yang merupakan salah satu maha
karya Tuhan, Raja Ampat juga semakin eksotis oleh aneka ragam budaya
masyarakatnya. Aku sempat bertanya pada Gerson tentang ramah tidaknya penduduk
di sana, yang ada jawaban adik tingkatku itu justru penuh candaan.
“Semua orang Papua memang ramah-ramah Kak, seperti aku
ini. Kalau Kakak ke sana pasti akan disambut seperti artis, lengkap dengan
upacara adat tujuh hari tujuh malam.”
Meskipun terkesan berlebihan, soal keramahan kurasa
Gerson tidak sedang berbohong. Rata-rata orang Papua memang sangat ramah.
Selain itu mereka juga lucu. Jangankan saat mereka bergurau, logat bicara saja
sudah membuat kita tidak bisa menahan tawa.
Lalu di Raja Ampat, keramahan khas masyarakat Papua pun
akan menjadi penyambutan yang menyegarkan bagi para wisatawan. Keramahan dan
kebahagiaan mereka akan semakin menjadi-jadi apabila wisatawan datang membawa
pinang atau permen. Buah tangan yang sangat sederhana bukan? Kemudian pinang
itu akan dimakan sambil mengobrol santai diselingi main lempar mob, yaitu
permainan saling melontarkan cerita atau istilah-istilah lucu.
Penduduk lokal Raja Ampat diwarnai oleh dua agama besar
yaitu Islam dan Kristen. Bahkan dalam satu kelurga terkadang memiliki keyakinan
yang berbeda. Meskipun begitu, keduanya berjalan harmonis penuh kerukunan.
Gerson kembali bercerita, memanas-manasiku lebih
tepatnya. “Saya jamin, sesampai di sana Kakak akan menari-nari saat mendengar
musik khas orang kami.”
Foto source: Barry Kusuma, click here. |
Ya, aku pernah menonton tari-tarian orang Papua itu di youtube.
Dimana penari wanita mengenakan pakaian dengan perpaduan warna-warna terang
berkontras tinggi seperti merah, hijau terang, kuning tua dan biru terang.
Sedangkan penari laki-laki kebanyakan bertelanjang dada dan untuk menutupi
bagian pinggang ke bawah biasanya menggunakan pakaian dari bahan sabut, anyaman
daun kelapa, bulu dan kulit binatang,
tergantung dari jenis tarian yang dibawakan. Ada pula kaum pria yang
tampil menggunakan penutup aurat khas Papua yaitu koteka. Dan yang pasti baik
penari pria maupun wanita akan tampil lengkap dengan aksesoris dan rias wajah
khas dan eksotis yang hanya bisa kita jumpai dalam seni tradisional khas Papua.
Mereka dengan pakaian dan tata rias yang khas itu
biasanya akan lincah menarikan tarian upacara adat maupun penyambutan seperti
Tarian Wor, Main Moun, Tarian Batpo, Tarian Yako dan kesenian Suling Tambur.
Lalu diiringi oleh alat musik perkusi khas Papua yang bernama tifa, gong
(mambokon) dan tambur (bakulu). Alat musik bersenar seperti gitar dan tiup seperti
seruling dari kerang laut juga sering digunakan untuk mengiringi tarian. Waw,
sungguh seperti sedang menonton film.
Cara mereka menangkap ikan adalah pertanda tiadanya
kerakusan
Hidup di pulau-pulau yang tidak begitu besar dengan laut
yang mengepung, tentu menjadi latar belakang yang tepat mengapa penduduk Raja Ampat
hobi menangkap ikan. Makanan pokok mereka yang lengket dan terbuat dari pati
sagu kurasa turut menjadi salah satu latar belakangnya. Pernah satu kali aku
mencicipi papeda, dan itu sama sekali tidak ada rasanya. Ia akan terasa enak
hanya bila disajikan bersama aneka masakan berbahan baku ikan yang dimasak
berkuah. Jadi, tanpa ikan, menu makan mereka dirasa ada yang kurang.
Source: click here |
Meskipun mereka hobi menangkap ikan, jangan disamakan
mereka dengan para nelayan yang menangkap ikan dengan segala macam cara demi tangkapan
yang sebesar-besarnya. Orang Raja Ampat mengerti cara untuk bersimbiosis
mutualisme dengan kekayaan alam mereka. Mereka memiliki budaya sasi yang sering
dipakai untuk menangkap jenis ikan yang mempunyai nilai jual tinggi, beberapa
jenis siput atau kerang, dan lobster.
“Apa Kakak? Budaya Sasi? Itu semacam tradisi yang mana
kami tidak diperbolehkan menangkap ikan-ikan tertentu, lobster, siput atau
kerang-kerangan dalam jangka waktu tertentu. Biasanya satu tahun. Tujuannya
agar para makhluk laut itu punya rentang waktu untuk berkembang biak. Jadi ikan
kami tidak akan sampai habis, apalagi punah.” Garson menjelaskan.
Selain budaya Sasi, cara lain mereka untuk menangkap ikan
disebut bacigi. Yaitu menangkap ikan tanpa menggunakan umpan. Cara ini bisa
digunakan di area perairan yang memiliki ikan padat. Cukup dengan menurunkan
kail, maka ikan-ikan itu sudah menempel di mata kail. Tidak bisa dibayangkan
jika aku yang menjumpai perairan dengan ikan padat seperti itu, pasti sudah
kujaring sekaligus, lalu menjualnya ke pasar.
Lihatlah perbedaan pemikiranku dengan mereka. Dan hal ini
membuatku bisa memberikan kesaksian mengenai masyarakat Raja Ampat, mereka
adalah masyarakat yang paling menghargai lingkungan hidup. Bagi mereka, ketika
alam memberikan banyak keuntungan bagi manusia, maka sudah menjadi kewajiban
manusia untuk berbuat baik kepada alam. Sementara kita yang setiap saat
dikelilingi teknologi dan segala macam ilmu pengetahuan tidak kunjung peka akan
hal itu. Penduduk Raja Ampat memberikan teladan bagi kita agar tidak menjadi
parasit bagi alam yang mengambil keuntungan sebesar-besarnya hingga
membuat sang alam perlahan penyakitan lalu binasa.
Jadi, seperti apa rute menuju Raja Ampat?
“Kakak bisa ambil penerbangan ke Sorong. Biasanya singgah
dulu di Makassar ganti pesawat. Dari Bandara Domine Eduard Osok di Sorong
lanjut ke pelabuhan, kemudian naik kapal rakyat menuju ibu kota Raja Ampat, Waisai,
Pulau Waigeo. Untuk keperluan menyelam atau berlayar ke pulau-pulau Raja
Ampat, Kakak bisa sewa perahu penduduk sana. Gampanglah itu asal ada duit aja
Kak.”
Percakapanku dengan Gerson berakhir setelah beberapa
kalimat lagi. Sepanjang perjalanan kembali ke kost, hatiku dipenuhi perasaan
yang berbeda. Jika biasanya tempat-tempat di luar negeri terus berkelebat dalam
kepalaku, kali ini untuk pertama kalinya aku memiliki impian besar untuk
mengunjungi sebuah tempat di negeriku sendiri.
Seorang filsuf, St. Augustine, pernah berkata, “The world
is a book and he who doesn’t travel only reads one page.” Dan aku tidak mau
menjadi seorang pembaca yang hanya menamatkan satu halaman buku yang telah disediakan.
Menurutku perjalanan bukanlah tentang seberapa keren tempat yang kita kunjungi,
atau seberapa jauh daratan dan lautan yang kita sebrangi. Karena perjalanan
adalah seberapa besar kita menemukan kebahagiaan di luar kampung halaman.
Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Artikel Raja Ampat oleh Indonesia.travel
Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Raja_Ampat
http://rajampatsorong.blogspot.com/
http://windy-ariestanty.tumblr.com
Teman sekamar saya di sini juga ada yang dari Papua. Tapi dia sudah lama tinggal di Jawa dan tidak seseram diatas, he-he. Jadi saya enggak bisa menemukan menemukan kelakuan mereka yang lucu seperti yang Mbak ceritakan di atas. Semoga sukses kontesnya.
ReplyDeletemau...mau...aku juga mau kesana
ReplyDeletepersepsi orang terhadap orang lain beda-beda lho. Misalnya aja nih ya, saya sebagai orang Makassar, apakah karena saya orang Makassar, harus distempel sebagai orang yang kasar? heehhe. Bagaimana lagi dengan orang Papua yang memang budaya disana agak keras menurut orang Jawa yang lemah lembut gemulai, yang tidak terbiasa mendengar intonasi suara tinggi. Inilah kekayaan budaya kita, kaya akan perbedaan. Tapi lihat deh dipemberitaan, justru ada orang yang dari luarnya terlihat sopan, suara lembut, tapi ternyata berhasil menghilangkan nyawa orang? saya nggak nyindir siapa-siapa, tapi itulah kenyataannya. Orang luar negeri saja mengakui bahwa orang-orang Indonesia ramah dan enak diajak ngobrol, bagaimana dengan kita sendiri, kok gampang sekali curiga dengan keramahan setanah air sendiri.. hehehhee Ayoo wujudkan impiannya ke Raja Ampat.... :) moga beruntung yaaa
ReplyDeletehehhehe titip salam sama Gerson yaaa... :D enaknya punya banyak teman, itung-itung bisa dijadikan pemandu wisata ke Raja Ampat nih. logat Papuanya kereen,, coba tukaran, si Gerson yang pake logat Jawa..wlwkwk. Raja Ampat memang wajib banget untuk dikunjungi..yuuukkk moga sukses kontesnya dek Sofy :D
ReplyDeleteKalo singgah di Makassar ....bilang2 ya .. siapa tahu bisa ke pantai Losari :)
ReplyDeleteLogat kita pun pasti terdengar lucu bila berbaur dengan orang sana :D
Saat ini orang Papua sudah banyak kuliah di mana2. Di Makassar juga. Di dekat rumah saya ada kos2an yang ditempati oleh beberapa orang Papua.
Sy juga jadi pengen ke Raja Ampat
Keren. Luar Biasa. Mantab. Super.
ReplyDeleteWish You be winner say. :)
ditunggu cerita yg baru... :D
waw... serasa ngobrol langsung sama Gerson di Raja Ampat nih... titip oleh2 ya kakaaaaakkk :D
ReplyDeleteSaya memang belum pernah satu kali pun menginjakkan kaki di tanah Papua. Saya taunya Papua juga dari Internet, dan berita berita di TV dan Majalah. Sudah beberapa terakhir ini saya banyak membaca artikel blogger membahas soal Raja Ampat. Wiiih bener bener KUDET sayah. Alias saya kurang APDET. Menyimak saja dulu deh ya hihihihihii
ReplyDeleteini yg kontes raja ampat ya? wah moga menang :) kapan dedline?
ReplyDeleteTulisannya menarik banget dan enak dibaca ;) Raja Ampat memang top ya ;)
ReplyDeleteahhh raja ampaaaat *mupeng*
ReplyDeletesubhanallah indahnya.....indonesia mmg luar biasa
ReplyDeleteBerasa pernah liat gerson di dramaga...mirip kali ya kak...
ReplyDeleteSaudara kita di papua mengajarkan kita bagaimana gambaran hidup yg bersinergi dengan alam...
Raja ampat selalu menjadi magnet bagi para traveller....
Sukses ya kakak...