Saturday, 3 October 2015

Macau Episode 2: Cotai Central dan First Night in Macau


Macau and Cotai Central

Sejak dahulu kala, Macau memang hanya memiliki dua buah pulau kecil, yaitu Taipa dan Coloane. Di antaranya terdapat sebuah daerah reklamasi bernama Cotai. Di Cotai inilah pusat segala gemerlap dan kemegahan Macau ditampilkan, dan sana pula hotel tempatku menginap selama tiga malam ke depan. Dari penjelasan Pak Alan aku tahu bahwa beberapa hotel di Macau didirikan berdekatan dan menyatu melalui jembatan atau bahkan bangunan. Begitu juga dengan Sheraton Hotel, hotel yang akan kami tuju. Ia adalah salah satu bangunan di antara tiga bangunan mewah lainnya, yaitu Conrad, Venetian, dan Holiday Inn. Semuanya bisa dijelajahi dengan jalan kaki karena terhubung satu sama lain. 

Sheraton Hotel, tempat kami menginap
Setelah makan siang di Feast (Restoran Hotel), kami menuju kamar masing-masing di lantai 29. Aku sendiri mendapat kamar nomor 50. Seperti layaknya kamar hotel bintang lima lainnya, kamar hotel yang kutempati pun terkesan mewah. Dari jendelanya yang luas, aku bisa melihat gedung Holiday Inn yang menjulang tinggi. Antara keduanya (Sheraton dan Holiday Inn) hanya dipisahkan oleh beberapa kolam renang dan bangunan penghubung. 

Agak melebarkan pandangan ke kiri, mataku bisa menangkap Venetian Resort dan juga taman indah di depannya. Lalu di sebelah kanan, lanskap kota yang tengah berbenah (red—renovasi) tampak begitu jelas. Laut biru dengan kapal-kapal yang berlayar di atasnya pun bisa dijangkau mata dari jendela kamar tersebut. Setiap pagi sebelum berkeliling kota, dan ketika malam begitu selesai berkeliling, aku selalu menyempatkan berdiri di sana. Rasanya aku ingin memiliki kamar dengan ketinggian seperti itu sehingga setiap hari aku bisa membenarkan satu hal, bahwa semua yang kita anggap besar di bawah sana pada hakikatnya begitu kecil. 

Bagian depan Venetian Resort. Dari Sheraton Hotel, cukup berjalan kaki tanpa keluar bangunan. (Dok.pribadi)
Taman di depan menuju tangga utama Venetian Resort (Dok.pribadi)
Macau memang tempatnya kemewahan hotel dengan berbagai arsitektur ditampilkan, seolah para pembangunnya ingin menunjukkan pada dunia, bahwa hotel merekalah yang paling indah. Hanya butuh jalan kaki tidak sampai sepuluh menit, kita akan mendapati hotel lain lagi yaitu City of Dream. Sebuah terowongan berwarna pink keunguan baru dibangun belum lama ini. Pengunjung bisa sampai ke lobi hotel dari terowongan tersebut. Setiap malam, seluruh sisi terowongan yang didesain seperti kulit nanas itu bercahaya. Tidak ada turis yang tidak menyempatkan berfoto ketika sampai di sana. 

Lalu hanya beberapa menit naik bus atau mobil dari City of Dream, lagi-lagi kita akan menjumpai bangunan hotel lainnya, bernama Galaxy. Menurutku, ini adalah hotel termegah yang ada di Macau, sekaligus hotel termegah yang pernah kulihat. Ia tak ubahnya istana yang kulihat dalam film-film Disney. Saat malam, cahaya emas seperti memancar dari segala sisinya. Arsitektur khas Eropa yang membalut bangunan hotel ini membuat penampilannya semakin menarik. Setiap kali bus kami melewati hotel ini, mataku selalu tak ingin melepaskan diri. Bahkan karena terlalu indah, aku sampai selalu lupa untuk mengabadikannya dalam bentuk gambar. 

Selain karena keindahannya, hotel ini juga terkenal sangat dermawan. Sama seperti Venetian, ia juga menyediakan bus gratis dengan trayek tertentu. Bus bertuliskan Galaxy milik mereka memiliki penampilan yang baik. Ibaratkan seorang wanita, pastilah ia seorang wanita remaja. Supirnya rapi dan tentu saja kebersihan di dalam busnya pun begitu terjaga.


Macau and the thousand of light

Macau adalah kota kecil yang keindahannya naik berkali lipat ketika malam. Pada perjalanan kemaren, malam pertama di sana kami menikmati keindahakan cahaya kota dari ketinggian lantai 60 Macau Tower. 

Tepat pukul 05.00 sore, Pak Alan menjemput kami di lobi hotel. Setelah semuanya berkumpul, kami pun berangkat. Untuk sampai di Macau Tower, bus yang kami tumpangi harus menyeberangi laut kecil lewat jembatan. Berdasarkan pemahamanku, ada tiga buah jembatan yang melintang di atas laut tersebut. Tiga buah jembatan itu mengingatkanku pada tiga jembatan di Istanbul yang melintasi Selat Ujung Tanduk. 
Foto yang kuambil sendiri hasilnya jelek, justru foto ini benar-benar terlihat nyata. (Sumber: klik di sini)
Malam itu saat bus kami melaju di salah satu jembatan, aku terus mengarahkan pandangan keluar jendela. Semua anggota tur juga melakukan hal yang sama. Mas Haris Maulana sudah sibuk merekam sejak tadi. Lampu-lampu yang diatur begitu indahnya di sepanjang jembatan menciptakan perasaan senang, sekaligus haru. Meskipun bus kami tertutup rapat, aku bisa merasakan dinginnya angin yang berembus di luar sana. 

Lalu di bawah sana, air laut hanya memperlihatkan ombak-ombak kecil. Beberapa kapal mewah tengah berjalan perlahan di atasnya. Meninggalkan riak putih di belakangnya.
“Kalian bisa lho kalau mau makan malam di kapal seperti itu.” ucap Pak Alan memberi tahu. “Tapi bayarnya lumayan mahal.” sambungnya lagi.
Aku tersenyum. Semua orang pasti sudah menduga makan di sana akan merogoh uang lebih banyak. Lihat saja suasananya yang begitu romantis, cahaya-cahaya keeemasan, pantulan lampu-lampu kota, dan deburan air yang mengiringi, tentu membuat suasana lebih indah dari rumah makan mana pun. 

Tak sampai sepuluh menit, kami sampai di pelataran Macau Tower. Menara ini merupakan bangunan tertinggi ke-8 di Asia dan masuk dalam 10 besar dalam skala dunia. Tingginya mencapai 338 meter. Saat siang hari, menara ini juga digunakan untuk wisata bungee jump atau sky jump. Kita bisa melompat dari ketinggian 223 meter menggunakan alat pengaman yang sudah terjamin. Tinggi lompatan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungge jump di Auckland, New Zealand. 

Malam itu Bu Ningsih dan kedua rekannya ikut serta. Kami segera naik setelah urusan check in tiket selesai diurus Pak Alan. Lift yang meluncur sangat cepat ke atas membuat nyilu dan desiran kecil dalam hati. Aku memegang tas salah satu teman sambil menjaga keseimbangan. 

Akhirnya lantai yang ingin dituju tercapai juga, yaitu observation deck. Semua penghuni lift menghambur keluar. Tidak ada kalimat ‘wah’ atau ‘subhanallah’ yang keluar dari mulut kami. Namun dari mata setiap orang yang membesar, itu sudah membuktikan bahwa mereka sedang mengagumi sesuatu. 

Dari atas sana aku bisa melihat seluruh hamparan kota Macau. Gedung-gedung hotel, danau, laut, jembatan, pemukiman, semuanya. Tidak ada satu pun bagian yang tampak redup, karena keseluruhannya bersinar dengan warnanya masing-masing. Hotel-hotel mewah di bawah sana tampak saling berlomba mempercantik diri dengan permainan lampu aneka warna. Siapa yang memasang tulisan paling besar dan paling terang, dialah yang paling pertama bisa dikenali. 
Macau dilihat dari Observation Deck Macau Tower (Photo by Harris Maulana)
Setelah dirasa cukup, kami kembali turun dan naik lagi ke lantai 60 untuk makan malam. Ya, malam itu kami buffet dinner di Macau Tower 360 revolving restaurant. Lantai di mana meja kami berdiri memutar perlahan 360 derajat, begitu juga dengan lantai yang memuat meja-meja tempat aneka makanan dihidangkan. Kami segera memilih menu untuk santap malam. Ada yang mengambil sussi, sea food, europe menu, dan entah apa lagi. Aku sendiri memilih sussi, satai daging, dan tumis sayuran. Harus teliti saat mengambil menu yang akan kita makan, nama yang tertulis di depan wadah juga harus dibaca, tentu saja agar tidak termakan daging babi bagi yang muslim. 
 “Kalian harus memperkenalkan ini setelah pulang nanti, bahwa Macau itu bukan hanya tentang gaming, tapi masih banyak hal yang bisa di-explore. Sejarahnya, kerapiannya, kebersihannya, dan lain-lain. Iya kan?” tanya Bu Ningsih saat kami tengah menikmati makanan masing-masing.
Kami mengangguk. Tentu saja. Mbak Puput lalu menceritakan pengalaman kami sore tadi, saat melihat sikap tiga laki-laki penduduk lokal ketika ingin menyeberang jalan. Ceritanya akan kuceritakan nanti.

Setelah menu utama kukandaskan, selanjutnya aku memilih dessert yang sudah tidak kuingat lagi namanya. Aku tidak begitu paham nama-nama lapisan, krim, atau atribut lain dalam kuliner. Tapi soal rasa, kupikir semua orang bisa memberikan penilaian. Dessert berbentuk segiempat seperti bantal itu sangat lunak ketika dipotong menggunakan pisau. Bagian luarnya sedikit renyah dan gurih. Ada seperti krim lembut di bagian dalamnya. Buah mangga di lapisan paling dalam terasa sangat segar dan lembut di mulut.  Selama di Macau, itulah dessert kedua terenak yang kucicipi. Dessert terenak yang berada di urutan pertama, akan aku beritahu nanti.
Serius, ini enak banget! (Dok.pribadi)
Usai menikmati makan malam, kami melanjutkan perjalanan ke area Grand Lisboa. Itu adalah gedung berbentuk nanas dengan cahaya warna-warni. Saat masih di tepi jalan, sebelum masuk ke lobi Grand Lisboa, aku dibuat kagum oleh pemadangan di sekelilingku. Jalanan yang membelah gedung-gedung megah itu terlihat lengang, tak ada kendaraan yang saling membunyikan klakson atau para supir yang berteriak-teriak. Cahaya dari tulisan-tulisan Kanton gemerlap di sana-sini. Belum lagi cahaya yang memancar dari bangunan-bangunan menjulang di kiri dan kanan jalan. Ah, ketika malam, Macau memang menjelma kota dengan seribu cahaya.

Macau Government Tourist Office Representative in Indonesia
Twitter: @macauindonesia
Facebook: MGTO Indonesia
Website: http://id.macautourism.gov.mo/  

5 comments:

  1. Wow, indah banget. Pengin ke sana.

    ReplyDelete
  2. Itu Venetian Resort nya kayak tempat2 di negeri dongeng gitu Mba, keren banget! View malem harinya juga keren.. Macau wajib ditulis jadi salah satu mimpi juga ya hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mbak Tia, ayo direncanakan buat ke sana :)

      Delete
  3. Bangunannya keren2. Senang sekali, ya, kalau bisa jalan-jalan gratis ke Macau, apalagi menginap di hotel mewah kelas dunia. Jadi kepengen...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...