Macau and Cotai
Central
Sejak dahulu kala, Macau memang hanya
memiliki dua buah pulau kecil, yaitu Taipa dan Coloane. Di antaranya terdapat
sebuah daerah reklamasi bernama Cotai. Di Cotai inilah pusat segala gemerlap
dan kemegahan Macau ditampilkan, dan sana pula hotel tempatku menginap selama
tiga malam ke depan. Dari penjelasan Pak Alan aku tahu bahwa beberapa hotel di
Macau didirikan berdekatan dan menyatu melalui jembatan atau bahkan bangunan.
Begitu juga dengan Sheraton Hotel, hotel yang akan kami tuju. Ia adalah salah
satu bangunan di antara tiga bangunan mewah lainnya, yaitu Conrad, Venetian,
dan Holiday Inn. Semuanya bisa dijelajahi dengan jalan kaki karena terhubung
satu sama lain.
Sheraton Hotel, tempat kami menginap |
Setelah makan siang di Feast (Restoran
Hotel), kami menuju kamar masing-masing di lantai 29. Aku sendiri mendapat kamar
nomor 50. Seperti layaknya kamar hotel bintang lima lainnya, kamar hotel yang
kutempati pun terkesan mewah. Dari jendelanya yang luas, aku bisa melihat
gedung Holiday Inn yang menjulang tinggi. Antara keduanya (Sheraton dan Holiday
Inn) hanya dipisahkan oleh beberapa kolam renang dan bangunan penghubung.
Agak
melebarkan pandangan ke kiri, mataku bisa menangkap Venetian Resort dan juga
taman indah di depannya. Lalu di sebelah kanan, lanskap kota yang tengah
berbenah (red—renovasi) tampak begitu jelas. Laut biru dengan kapal-kapal yang
berlayar di atasnya pun bisa dijangkau mata dari jendela kamar tersebut. Setiap
pagi sebelum berkeliling kota, dan ketika malam begitu selesai berkeliling, aku
selalu menyempatkan berdiri di sana. Rasanya aku ingin memiliki kamar dengan
ketinggian seperti itu sehingga setiap hari aku bisa membenarkan satu hal,
bahwa semua yang kita anggap besar di bawah sana pada hakikatnya begitu kecil.
Bagian depan Venetian Resort. Dari Sheraton Hotel, cukup berjalan kaki tanpa keluar bangunan. (Dok.pribadi) |
Taman di depan menuju tangga utama Venetian Resort (Dok.pribadi) |
Macau memang tempatnya kemewahan hotel
dengan berbagai arsitektur ditampilkan, seolah para pembangunnya ingin
menunjukkan pada dunia, bahwa hotel merekalah yang paling indah. Hanya butuh
jalan kaki tidak sampai sepuluh menit, kita akan mendapati hotel lain lagi
yaitu City of Dream. Sebuah terowongan berwarna pink keunguan baru dibangun
belum lama ini. Pengunjung bisa sampai ke lobi hotel dari terowongan tersebut.
Setiap malam, seluruh sisi terowongan yang didesain seperti kulit nanas itu
bercahaya. Tidak ada turis yang tidak menyempatkan berfoto ketika sampai di
sana.
Lalu hanya beberapa menit naik bus
atau mobil dari City of Dream, lagi-lagi kita akan menjumpai bangunan hotel
lainnya, bernama Galaxy. Menurutku, ini adalah hotel termegah yang ada di
Macau, sekaligus hotel termegah yang pernah kulihat. Ia tak ubahnya istana yang
kulihat dalam film-film Disney. Saat malam, cahaya emas seperti memancar dari
segala sisinya. Arsitektur khas Eropa yang membalut bangunan hotel ini membuat
penampilannya semakin menarik. Setiap kali bus kami melewati hotel ini, mataku
selalu tak ingin melepaskan diri. Bahkan karena terlalu indah, aku sampai
selalu lupa untuk mengabadikannya dalam bentuk gambar.
Selain karena keindahannya, hotel ini
juga terkenal sangat dermawan. Sama seperti Venetian, ia juga menyediakan bus
gratis dengan trayek tertentu. Bus bertuliskan Galaxy milik mereka memiliki
penampilan yang baik. Ibaratkan seorang wanita, pastilah ia seorang wanita
remaja. Supirnya rapi dan tentu saja kebersihan di dalam busnya pun begitu
terjaga.
Macau and the
thousand of light
Macau adalah kota kecil yang
keindahannya naik berkali lipat ketika malam. Pada perjalanan kemaren, malam
pertama di sana kami menikmati keindahakan cahaya kota dari ketinggian lantai
60 Macau Tower.
Tepat pukul 05.00 sore, Pak Alan
menjemput kami di lobi hotel. Setelah semuanya berkumpul, kami pun berangkat.
Untuk sampai di Macau Tower, bus yang kami tumpangi harus menyeberangi laut
kecil lewat jembatan. Berdasarkan pemahamanku, ada tiga buah jembatan yang
melintang di atas laut tersebut. Tiga buah jembatan itu mengingatkanku pada
tiga jembatan di Istanbul yang melintasi Selat Ujung Tanduk.
Foto yang kuambil sendiri hasilnya jelek, justru foto ini benar-benar terlihat nyata. (Sumber: klik di sini) |
Malam itu saat bus kami melaju di
salah satu jembatan, aku terus mengarahkan pandangan keluar jendela. Semua
anggota tur juga melakukan hal yang sama. Mas Haris Maulana sudah sibuk merekam
sejak tadi. Lampu-lampu yang diatur begitu indahnya di sepanjang jembatan menciptakan
perasaan senang, sekaligus haru. Meskipun bus kami tertutup rapat, aku bisa
merasakan dinginnya angin yang berembus di luar sana.
Lalu di bawah sana, air laut hanya
memperlihatkan ombak-ombak kecil. Beberapa kapal mewah tengah berjalan perlahan
di atasnya. Meninggalkan riak putih di belakangnya.
“Kalian bisa lho kalau mau makan malam di kapal seperti itu.” ucap Pak Alan memberi tahu. “Tapi bayarnya lumayan mahal.” sambungnya lagi.
Aku tersenyum. Semua orang pasti sudah
menduga makan di sana akan merogoh uang lebih banyak. Lihat saja suasananya
yang begitu romantis, cahaya-cahaya keeemasan, pantulan lampu-lampu kota, dan
deburan air yang mengiringi, tentu membuat suasana lebih indah dari rumah makan
mana pun.
Tak sampai sepuluh menit, kami sampai
di pelataran Macau Tower. Menara ini merupakan bangunan tertinggi ke-8 di Asia
dan masuk dalam 10 besar dalam skala dunia. Tingginya mencapai 338 meter. Saat
siang hari, menara ini juga digunakan untuk wisata bungee jump atau sky jump.
Kita bisa melompat dari ketinggian 223 meter menggunakan alat pengaman yang
sudah terjamin. Tinggi lompatan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungge jump di Auckland, New Zealand.
Malam itu Bu Ningsih dan kedua
rekannya ikut serta. Kami segera naik setelah urusan check in tiket selesai diurus Pak Alan. Lift yang meluncur sangat
cepat ke atas membuat nyilu dan desiran kecil dalam hati. Aku memegang tas
salah satu teman sambil menjaga keseimbangan.
Akhirnya lantai yang ingin dituju
tercapai juga, yaitu observation deck. Semua penghuni lift menghambur keluar.
Tidak ada kalimat ‘wah’ atau ‘subhanallah’ yang keluar dari mulut kami. Namun
dari mata setiap orang yang membesar, itu sudah membuktikan bahwa mereka sedang
mengagumi sesuatu.
Dari atas sana aku bisa melihat seluruh
hamparan kota Macau. Gedung-gedung hotel, danau, laut, jembatan, pemukiman,
semuanya. Tidak ada satu pun bagian yang tampak redup, karena keseluruhannya
bersinar dengan warnanya masing-masing. Hotel-hotel mewah di bawah sana tampak
saling berlomba mempercantik diri dengan permainan lampu aneka warna. Siapa
yang memasang tulisan paling besar dan paling terang, dialah yang paling
pertama bisa dikenali.
Setelah dirasa cukup, kami kembali
turun dan naik lagi ke lantai 60 untuk makan malam. Ya, malam itu kami buffet
dinner di Macau Tower 360 revolving restaurant. Lantai di mana meja kami
berdiri memutar perlahan 360 derajat, begitu juga dengan lantai yang memuat
meja-meja tempat aneka makanan dihidangkan. Kami segera memilih menu untuk
santap malam. Ada yang mengambil sussi, sea food, europe menu, dan entah apa
lagi. Aku sendiri memilih sussi, satai daging, dan tumis sayuran. Harus teliti
saat mengambil menu yang akan kita makan, nama yang tertulis di depan wadah
juga harus dibaca, tentu saja agar tidak termakan daging babi bagi yang muslim.
“Kalian harus memperkenalkan ini setelah pulang nanti, bahwa Macau itu bukan hanya tentang gaming, tapi masih banyak hal yang bisa di-explore. Sejarahnya, kerapiannya, kebersihannya, dan lain-lain. Iya kan?” tanya Bu Ningsih saat kami tengah menikmati makanan masing-masing.
Kami mengangguk. Tentu saja. Mbak
Puput lalu menceritakan pengalaman kami sore tadi, saat melihat sikap tiga
laki-laki penduduk lokal ketika ingin menyeberang jalan. Ceritanya akan
kuceritakan nanti.
Setelah menu utama kukandaskan,
selanjutnya aku memilih dessert yang sudah tidak kuingat lagi namanya. Aku
tidak begitu paham nama-nama lapisan, krim, atau atribut lain dalam kuliner.
Tapi soal rasa, kupikir semua orang bisa memberikan penilaian. Dessert berbentuk
segiempat seperti bantal itu sangat lunak ketika dipotong menggunakan pisau.
Bagian luarnya sedikit renyah dan gurih. Ada seperti krim lembut di bagian
dalamnya. Buah mangga di lapisan paling dalam terasa sangat segar dan lembut di
mulut. Selama di Macau, itulah dessert
kedua terenak yang kucicipi. Dessert terenak yang berada di urutan pertama,
akan aku beritahu nanti.
Usai menikmati makan malam, kami melanjutkan
perjalanan ke area Grand Lisboa. Itu adalah gedung berbentuk nanas dengan
cahaya warna-warni. Saat masih di tepi jalan, sebelum masuk ke lobi Grand
Lisboa, aku dibuat kagum oleh pemadangan di sekelilingku. Jalanan yang membelah
gedung-gedung megah itu terlihat lengang, tak ada kendaraan yang saling
membunyikan klakson atau para supir yang berteriak-teriak. Cahaya dari
tulisan-tulisan Kanton gemerlap di sana-sini. Belum lagi cahaya yang memancar
dari bangunan-bangunan menjulang di kiri dan kanan jalan. Ah, ketika malam,
Macau memang menjelma kota dengan seribu cahaya.
Macau Government Tourist Office Representative in Indonesia
Twitter: @macauindonesia
Facebook: MGTO Indonesia
Website: http://id.macautourism.gov.mo/
Wow, indah banget. Pengin ke sana.
ReplyDeleteInsya Allah bisa segera :)
DeleteItu Venetian Resort nya kayak tempat2 di negeri dongeng gitu Mba, keren banget! View malem harinya juga keren.. Macau wajib ditulis jadi salah satu mimpi juga ya hehe.
ReplyDeleteIya Mbak Tia, ayo direncanakan buat ke sana :)
DeleteBangunannya keren2. Senang sekali, ya, kalau bisa jalan-jalan gratis ke Macau, apalagi menginap di hotel mewah kelas dunia. Jadi kepengen...
ReplyDelete