Monday, 23 March 2015

The Kite Runner: Novel Terindah Sepanjang Masa




“Sesuatu yang terjadi dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah keseluruhan hidup seseorang.”—Khaled Hosseini

Sebelum baca The Kite Runner, sebenarnya udah kenal duluan sama penulisnya,  Khaled Hosseini. Tepatnya waktu kelas dua pesantren dulu, waktu baca novel terjemahan berjudul A Thousand Splendid Suns. Novelnya menyakitkan, sepanjang cerita hanya bisa nahan sesak. Seolah-olah dunia hanya dipenuhi kegelapan, penyiksaan, kemiskinan, dan pengap. Meski begitu, novel ini ninggalin kesan yang nggak bisa lupa sampai sekarang. Terutama nih, kalimat Ibunya Mariam yang bilang, "Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu. Hanya akulah yang kau miliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapapun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!"

Sayang, aku baca novel ini loncat-loncat. Sumpah nggak betah banget sama kegelapan ceritanya. Aku berharap di akhir novel akan ada jalan keluar yang membahagiakan untuk si tokoh. Namun nyatanya, tidak juga. Nah, dari sampul novel ini juga aku baca kalimat, ‘Dari penulis The Kite Runner’. Tapi, karena sudah terlanjur patah hati sama novelnya,  aku nggak punya niat menggebu-gebu buat baca The Kite Runner. Pasti nggak jauh-jauh beda gelapnya, pikirku waktu itu.

Oke, hari berganti. Hingga hampir lima tahun kemudian sejak aku baca A Thousand Splendid Suns, akhirnya aku baru baca The Kite Runner bulan lalu. Itupun dari ebook gratisan. Kalian tahu bagaimana keadaanku saat baca The Kite Runner?

Tisu sampai numpuk di kamar. Semuanya basah air mata. Kurasa, The Kite Runner adalah novel terindah yang pernah kubaca. Bukan indah karena ceritanya dipenuhi kebahagiaan, tempat-tempat impian, atau sejenis itu. Tapi karena Khaled Hosseini pinter banget nulisnya. 

Gara-gara novel ini aku jadi pengen ke Afganistan. Pengen lihat langsung seperti apa Kabul, kota yang merekam masa kecil Amir dan Hassan. Aku jadi pengen ketemu Baba, Rahim Khan, Ali, semuanya. Cerita yang dituliskan Khaled benar-benar hidup. Satu hal yang kutangkap dari novel ini tentang perasaan penulis saat menuliskannya adalah kerinduan. Aku sangat yakin, Khaled sedang rindu pada kampung halamannya. Ia merindukan Kabul, Afganistan, dan turnamen layang-layang di negaranya. Karena novel ini ditulis dengan kerinduan itu pula, aku jadi ingat masa-masa kecil dulu. Ingat sepupuku. Ingat saat kita berlarian mengejar burung, mencari damar, dan melihat ladang jagung dari ketinggian. Aku rindu saat angin datang dan rambut kami berdua beterbangan. 
Om Khaled sama anak-anak Afganistan. Dari fisiknya sih mereka ini anak-anak Hazara (Sotoy, sumpah!) https://phatbuiais
Menurutku juga, tokoh Amir di sini adalah Khaled Hosseini sendiri. Bisa dilihat dari biografinya, Khaled ini anak diplomat. Pastinya dia punya kehidupan yang sama kayak Amir. Dia nggak tahu sama sekali bagaimana keadaan rakyat Afganistan,  karena dia hidup di rumah megah. Di luar itu, dia nggak paham apa-apa. Makanya Amir kaget banget waktu bertahun-tahun kemudian dia pulang ke Afganistan buat jemput anaknya Hassa, Si Sohrab. Meskipun jalan hidup Khaled dan Amir nggak sama, namun sebenarnya jiwa Si Amir ini adalah jiwanya Khaled. Amir anak orang kaya, Amir yang suka nulis, itu adalah Khaled Hosseini. Namanya juga novel debut, tentu banyak pengalaman-pengalaman pribadi yang dimasukkan.

Saking dalemnya cerita dalam The Kite Runner ini,  aku merasa dihantui hingga hari ini. Ya, bener banget. Sampai sekarang rasanya masih terbayang-bayang. Masih bisa nangis malah kalau baca lagi. Terlebih kalimatnya Hassan, “Untukmu, keseribu kalinya... For you, a thousand times over...”

Bagi yang belum pernah baca, novel ini aku wajibkan untuk dibaca sebelum umur 30 tahun. Serius deh. Rugi banget kalau ngaku pecinta novel tapi melewatkan The Kite Runner. Aku juga awalnya nggak yakin novel ini bagus seperti yang sudah ditulis jutaan orang di goodreads. Takutnya kayak novel  To Kill A Mockingbird yang selalu diletakkan di urutan pertama novel terbaik, tapi pas dibaca, aku nggak sanggup namatin. The Kite Runner ini sama sekali beda. Aku bahkan nggak bisa berhenti baca hingga halaman terakhir.

But, kembali lagi ke masing-masing ya. Terkadang yang dianggap seseorang bagus, belum tentu orang lain juga nganggap bagus. Buat yang melankolis, siap-siap tisu yang banyak aja. Oh ya, novel ini juga udah ada filmnya. Aku nonton online, sayang nggak ada subtitle-nya. Nggak cuma di novel aja yang bikin mewek, filmnya juga gitu. Musiknya itu lho yang mengiris-ngiris hati. Film ini diproduksi Amerika pada tahun 2007. Sebagian syuting di Afganistan, tapi karena di sana bahaya, jadi sebagian lagi syuting di Cina. Bagi yang nggak suka baca, nonton filmnya aja. Nggak ada perbedaan banyak antara novel dan film. Di scene terakhir, ada Khaled Hosseini juga. 

Novel The Kite Runner ini emang bikin nangis sepanjang ceritanya, tapi secara keseluruhan ini adalah novel yang sangat indah...

Berikut ini scene terakhir dalam film.

Monday, 16 March 2015

Penggalan Novel


http://www.wellnessctr.org

Matahari mulai condong ke arah barat. Cahayanya yang terlihat putih bersih menghujam ke seluruh bumi. Untuk pertama kali sejak Sam membeli rumah besar miliknya, sore itu ia berkeinginan untuk berjalan-jalan di halaman luas yang beku. Tubuhnya terlindungi jaket tebal dan syal berbahan wol yang hangat melingkar di leher. Di antara batang-batang pepohonan yang kulitnya berubah hitam, ia berjalan tanpa arah. Hingga akhirnya berhenti di sebuah bangku di bawah pohon ek. Tampak kepulan uap setiap kali lelaki itu bernapas. 

Sam menengadahkan kepala. Ia nikmati butiran-butiran halus salju yang jatuh di atas wajah dengan mata terpejam. Cukup lama ia seperti itu, tidak peduli pada udara dingin yang terus berdesak-desakkan ingin menembus jaketnya. Mata Sam terbuka. Ia arahkan pandangan ke petala langit, pada salju-salju yang menyembur.
Ya, atas nama hidupku akan kucintai Fatih dengan setulus-tulusnya.”
Kalimat itu terlintas dalam kepala Sam. Ia seperti mendengar suaranya sendiri saat kalimat itu diucapkan. Kini sumpah itu seperti hadir di hadapannya, bersiap untuk menghabisi tanpa ampun. Dadanya terasa sesak. Ia sentuh dengan telapak tangan. Seperti ada bebatuan tajam yang bersemayam dan menciptakan rasa yang sangat perih. 

Sejak Fatih keluar dari rumah sakit dan tidak mau diajak bicara, sejak itu pula Sam merasa hidupnya berubah. Jika dulu kepergian Katty adalah badai hujan, diamnya Fatih adalah kiamat. Katty pernah membawa pergi gairah hidupnya, namun sejak kedatangan Fatih, semua kepedihan yang diberikan Katty berhasil dilupakan Sam. Kini anak itu seperti boneka hidup. Tidak bisa diajak bermain, juga tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan polos yang keluar dari mulutnya. Tanpa sadar, semua itu telah menyita seluruh kebahagiaan dan pikiran Sam. Kerja tidak semangat, makan terasa hambar, tidur tidak nyenyak, bahkan saat terjaga pun Sam terus dilanda gelisah. 
“Mr. Sam, Anda sudah lama sekali duduk di luar. Saya khawatir Anda jatuh sakit.” 
Sam melihat ke samping, sedikit mendongak. Si tua Jono sudah berdiri di sana. Kedua tangan pria itu bersedekap di depan dada. Setelah diam sejenak, pada akhirnya Sam berdiri. Mereka jalan beriringan kembali ke rumah.
“Umurku 32 tahun, Jhon. Rumah megah, mobil mahal, uang berlimpah, bisnis yang maju, teman-teman terhormat, semuanya ada dalam genggamanku. Banyak orang beranggapan aku adalah laki-laki cerdas. Terutama ketika mereka mengetehaui kenerjaku bergelut dalam masalah-masalah hukum. Tapi, saat aku sendiri, i just find nothing. Mereka melihatku bersinar, tapi pada kenyatannya aku berada dalam kegelapan. Aku tidak paham apa arti kehidupan yang kumiliki.”
“Anda sedang memikirkan tentang kehidupan, Mr. Sam?”
Anggukan kecil Sam terlihat.
“Hal yang sebelumnya tidak pernah saya lihat pernah Anda lakukan. Selama ini, saya hanya kenal dengan Sam yang cuek, pekerja keras, dan terus berlari kencang mengumpulkan reputasi dan materi. Kau jadi sepertiku, laki-laki di ujung senja yang selalu berpikir tentang hidup. Membenarkan bahwa waktu yang diberikan Tuhan hanyalah sekedipan mata.”
“Kau benar, Jhon. Aku seperti seseorang yang akan mati besok. Kini aku sadar bahwa semua yang sudah kuraih tidak memberikan kebahagiaan abadi. Kini aku paham satu hal, kita tidak boleh beranggapan sesuatu yang kita miliki adalah segalanya, karena ketika dia pergi, yang kita miliki hanyalah kehampaan. Fatih bukan segalanya bagiku, tapi dia seperti cahaya. Ketika ia padam, maka semua kehidupanku menjadi gelap.”
“Aku pernah kehilangan Katty, butuh waktu berbulan-bulan untukku melupakannya. Hingga Fatih datang. Anak itu bagai seorang malaikat kecil penghiburku, namun kemudian ia berubah jadi boneka hidup. Aku baru sadar, saat bersama Fatih, aku sama sekali tidak menginginkan apa-apa lagi kecuali terus bermain dengannya. Melihat keadaan Fatih sekarang, aku jadi berpikir tentang banyak hal. Aku berpikir tentang kesalahan dan penyesalan. Namun juga marah pada harta dan reputasi yang ternyata tidak bisa membantuku.”
“Uhm... Mr. Sam?” panggil Jono.
Sam menoleh.
“Kenapa Anda tidak mencoba untuk mempertemukan Fatih dengan ibunya?”
“Aku masih benci pada wanita itu.”
“Kalau boleh tahu, apa penyebab kebencian Anda?”
“Karena dia seorang Muslim. Aku tidak ingin Fatih tumbuh menjadi seorang Muslim.”
“Bukankah waktu itu di rumah sakit, Anda berdoa dengan bersujud di lantai? Itu adalah salah satu cara Muslim berdoa.”
Yeah, you alright. Tapi tetap saja, Muslim selalu berbuat kerusakan di mana-mana. Jihad yang mereka kobarkan hanya menjadi sumber keresahan. Aku tidak suka mereka di masa lalu, sekarang, dan juga nanti.”

***

Alhamdulillah, naskah novelku sudah sampai di penghujung. Nggak sabar pengen segera selesai. Harus editing pastinya. Nggak peduli banget soal penerbit, yang jelas aku bisa menyelesaikan hal yang paling kunantikan sejak kecil, itu udah cukup membuatku bahagia. Penerbit itu belakangan aja. Nah, di atas adalah penggalan cerita di salah satu bab. Kira-kira ini awal, tengah, atau akhir cerita, ya?

Kita Masih Sangat Muda, Kawan!



Sumber foto: pribadi
Usia 19. Masih sangat muda. Belum saatnya berpikir tentang pernikahan, anak, dan keluarga kecil. Ini adalah saatnya bagiku dan bagimu untuk terus belajar, teman. Saat untuk memperjuangkan cita-cita. Waktu ini tidak akan datang dua kali. Jika sekarang tidak berusaha, lalu hasil mana yang akan dipetik kemudian? bukankah, dalam Al Quran, Allah sudah menyebutkan, bahwa setiap manusia tidak akan mendapatkan kecuali apa yang sudah diusahakannya? Bukankah yang kemudian itu lebih baik daripada yang permulaan? Lupakan dulu tentang cinta sejati, sakitnya menanti seseorang yang tidak pasti. Sekarang adalah tentang perbaikan, mencukupkan, dan memantaskan. Karena nanti, di saat yang tidak diharapkan, ia akan datang dengan caranya yang menakjubkan. Insya Allah...

Sunday, 15 March 2015

Jangan Putus Asa dari Rahmat Allah




“Aysel, jangan sekali-kali putus asa dari rahmat Allah. Kau masih muda. Mungkin hidupmu sedang dalam keadaan musim dingin yang membeku, atau musim kemarau yang kerontang.Tapi ingatlah, rahmat Allah selalu turun dalam pergantian musim. Kau harus lewati musim-musim berat itu. Kau harus lebih tabah dan lebih kuat dari pohon itu. Tak lama lagi pohon itu akan hidup lagi, dengan suasana yang baru dan bunga-bunga yang baru. Dengan keindahan dan keharuman yang tidak kalah dengan musim-musim semi yang telah lalu.”

Kutipan dari novel API TAUHID karya Habiurrahman El-Shirazy. Review-nya kalau sudah tamat baca, ya.

Friday, 13 March 2015

Pondok Wirausaha Dewin Assalam Slamet Quail Farm



Belum banyak masyarakat Indonesia, lebih khusunya Jawa barat, mengetahui adanya wisata edukasi yang satu ini. Aku saja tidak mungkin tahu seandainya tidak praktik kerja lapangan di Slamet Quail Farm. Karena PKL di sana, akhirnya aku selalu mengunjungi tempat ini, karena memang pemiliknya adalah Pak Slamet Wuryadi sendiri. Lokasi ini dinamakan Pondok Wirausaha Dewin Assalam SQF. Letaknya cukup terpencil, karena harus melewati jalan berkelok-kelok di tengah perkebunan karet.
 
Pak Slamet sedang ngejelasin apa, ya?
Di atas lahan seluas empat hektar, Pak Slamet bersama rekan-rekannya menciptakan sebuah kawasan wisata edukasi tentang pertanian dipadukan dengan desain yang asri, khas pedesaan, dan tentunya khas pertanian. Vila, musala, balai pertemuan, peternakan, semuanya dibuat menggunakan kayu dan papan. Kalau pun ada beton di sana, itu hanya sebagai tiang-tiang utama dan beberapa bagian pondasi. Tempat ini semakin sejuk dengan adanya air mancur dengan ikan-ikan cantik yang berkejaran di dalamnya, juga hamparan jalan yang terbentuk dari bebatuan yang disebar. Kupikir, berkeliling di sana tanpa menggunakan alas kaki akan cocok sebagai pencegah rematik.
 


Soal publikasi, lokasi ini memang belum dipromosikan dengan profesional. Karena memang belum launching secara resmi. Pembangunan masih terus dilakukan setiap hari. Meskipun begitu, hampir setiap hari, tempat ini tidak pernah kekurangan tamu. Dan dua hingga tiga kali dalam seminggu, tamu yang datang di sana memiliki jumlah berkisar 30-100 orang. Biasanya berasal dari kalangan pejabat pemerintahan seperti DPR, rombongan wirausaha, pilot dan pekerja di maskapai penerbangan,  mahasiswa, pelajar,  dan banyak lagi.

Seminggu yang lalu misalnya, mereka kedatangan 50 orang tamu dari anggota DPRD kota Jakarta. Aku tidak menyimak siapa persisnya pemimpin rombongan tersebut. Selama di sana, aku dan beberapa teman ditugasi untuk tersenyum ramah menyambut, menyajikan bakso puyuh, dan duduk memperhatikan. Sayang sekali, bukannya memperhatikan aku justru sibuk berfoto-foto di sana. Meski sudah tiga kali berkunjung, tetap saja lokasi itu memancing hasrat untuk berfoto.
Semoga lokasi ini lekas selesai, dan nantinya masyarakat umum bisa datang kapan saja untuk belajar banyak hal di sana. Insya Allah banyak manfaat yang bisa didapatkan. Salam pecinta puyuh!

Bagi yang ingin berkunjung, aku perkenalkan web yang masih dalam tahap awal pembuatan. Segera mungkin akan diisi dan berganti domain,  Pondok Wirausaha SQF.

INGIN ORDER TELUR PUYUH ASLI PRODUKSI SLAMET QUAIL FARM? HANYA UNTUK JUMLAH PEMESANAN DI ATAS 100 BUTIR. HUBUNGI 082284738144. 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...