“Sesuatu yang terjadi
dalam beberapa hari, kadang-kadang bahkan dalam sehari, bisa mengubah
keseluruhan hidup seseorang.”—Khaled Hosseini
Sebelum baca The Kite
Runner, sebenarnya udah kenal duluan sama penulisnya, Khaled Hosseini. Tepatnya waktu kelas dua pesantren
dulu, waktu baca novel terjemahan berjudul A Thousand Splendid Suns. Novelnya
menyakitkan, sepanjang cerita hanya bisa nahan sesak. Seolah-olah dunia hanya
dipenuhi kegelapan, penyiksaan, kemiskinan, dan pengap. Meski begitu, novel ini
ninggalin kesan yang nggak bisa lupa sampai sekarang. Terutama nih, kalimat
Ibunya Mariam yang bilang, "Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu,
Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu. Hanya
akulah yang kau miliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya
siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapapun yang peduli padamu. Karena kau tidak
berarti!"
Sayang, aku baca novel ini loncat-loncat. Sumpah nggak betah banget sama kegelapan ceritanya.
Aku berharap di akhir novel akan ada jalan keluar yang membahagiakan untuk si
tokoh. Namun nyatanya, tidak juga. Nah, dari sampul novel
ini juga aku baca kalimat, ‘Dari penulis The Kite Runner’. Tapi, karena sudah
terlanjur patah hati sama novelnya, aku nggak punya niat
menggebu-gebu buat baca The Kite Runner. Pasti nggak jauh-jauh beda gelapnya,
pikirku waktu itu.
Oke, hari berganti. Hingga
hampir lima tahun kemudian sejak aku baca A Thousand Splendid Suns, akhirnya
aku baru baca The Kite Runner bulan lalu. Itupun dari ebook gratisan. Kalian tahu
bagaimana keadaanku saat baca The Kite Runner?
Tisu sampai numpuk di kamar. Semuanya basah air mata. Kurasa, The Kite Runner adalah novel
terindah yang pernah kubaca. Bukan indah karena ceritanya dipenuhi kebahagiaan,
tempat-tempat impian, atau sejenis itu. Tapi karena Khaled Hosseini pinter
banget nulisnya.
Gara-gara novel ini
aku jadi pengen ke Afganistan. Pengen lihat langsung seperti apa Kabul, kota
yang merekam masa kecil Amir dan Hassan. Aku jadi pengen ketemu Baba, Rahim
Khan, Ali, semuanya. Cerita yang dituliskan Khaled benar-benar hidup. Satu hal
yang kutangkap dari novel ini tentang perasaan penulis saat menuliskannya
adalah kerinduan. Aku sangat yakin, Khaled sedang rindu pada kampung
halamannya. Ia merindukan Kabul, Afganistan, dan turnamen layang-layang di
negaranya. Karena novel ini ditulis dengan kerinduan itu pula, aku jadi ingat
masa-masa kecil dulu. Ingat sepupuku. Ingat saat kita berlarian mengejar
burung, mencari damar, dan melihat ladang jagung dari ketinggian. Aku rindu
saat angin datang dan rambut kami berdua beterbangan.
Om Khaled sama anak-anak Afganistan. Dari fisiknya sih mereka ini anak-anak Hazara (Sotoy, sumpah!) https://phatbuiais |
Menurutku juga, tokoh Amir di sini adalah Khaled Hosseini sendiri. Bisa dilihat dari biografinya, Khaled ini anak diplomat. Pastinya dia punya kehidupan yang sama kayak Amir. Dia nggak tahu sama sekali bagaimana keadaan rakyat Afganistan, karena dia hidup di rumah megah. Di luar itu, dia nggak paham apa-apa. Makanya Amir kaget banget waktu bertahun-tahun kemudian dia pulang ke Afganistan buat jemput anaknya Hassa, Si Sohrab. Meskipun jalan hidup Khaled dan Amir nggak sama, namun sebenarnya jiwa Si Amir ini adalah jiwanya Khaled. Amir anak orang kaya, Amir yang suka nulis, itu adalah Khaled Hosseini. Namanya juga novel debut, tentu banyak pengalaman-pengalaman pribadi yang dimasukkan.
Saking dalemnya cerita dalam The Kite Runner ini, aku merasa dihantui hingga hari ini. Ya, bener banget. Sampai
sekarang rasanya masih terbayang-bayang. Masih bisa nangis malah kalau baca
lagi. Terlebih kalimatnya Hassan, “Untukmu, keseribu kalinya... For you, a
thousand times over...”
Bagi yang belum
pernah baca, novel ini aku wajibkan untuk dibaca sebelum umur 30 tahun. Serius deh.
Rugi banget kalau ngaku pecinta novel tapi melewatkan The Kite Runner. Aku juga
awalnya nggak yakin novel ini bagus seperti yang sudah ditulis jutaan orang di
goodreads. Takutnya kayak novel To Kill
A Mockingbird yang selalu diletakkan di urutan pertama novel terbaik, tapi pas
dibaca, aku nggak sanggup namatin. The Kite Runner ini sama sekali beda. Aku bahkan
nggak bisa berhenti baca hingga halaman terakhir.
But, kembali lagi ke
masing-masing ya. Terkadang yang dianggap seseorang bagus, belum tentu orang
lain juga nganggap bagus. Buat yang melankolis, siap-siap tisu yang banyak aja.
Oh ya, novel ini juga udah ada filmnya. Aku nonton online, sayang nggak ada
subtitle-nya. Nggak cuma di novel aja yang bikin mewek, filmnya juga gitu.
Musiknya itu lho yang mengiris-ngiris hati. Film ini diproduksi Amerika pada
tahun 2007. Sebagian syuting di Afganistan, tapi karena di sana bahaya, jadi
sebagian lagi syuting di Cina. Bagi yang nggak suka baca, nonton filmnya aja.
Nggak ada perbedaan banyak antara novel dan film. Di scene terakhir, ada Khaled
Hosseini juga.
Novel The Kite Runner
ini emang bikin nangis sepanjang ceritanya, tapi secara keseluruhan ini adalah
novel yang sangat indah...
Berikut ini scene terakhir dalam film.
Berikut ini scene terakhir dalam film.