Aku tidak ingat kapan
pertama kali tertarik pada lukisan. Satu hal yang sudah pasti, buku-buku
catatan semasa SMP dan SMA hanya tersisa beberapa saja saat ini. Selebihnya
sudah kubakar karena dipenuhi gambar-gambar manusia yang kubuat di sana. Sebenarnya
aku tidak punya maksud untuk menggambar manusianya, melainkan busana yang
mereka pakai. Kan nggak enak dilihat kalau desain-desain itu nggak dipadu
padankan sama model manusianya. Kata Bapak, lukisan makhluk hidup itu akan
menuntut nyawa di akhirat kelak, makanya harus dibakar. Daripada di kehidupan
kedua nanti aku dikejar makhluk-makhluk unyu, lebih baik bukunya saja yang
kubakar.
Yeah, bakat
menggambarku memang tidak pernah diasah. Justru sekarang aku hampir tidak
pernah lagi menggambar. Meski begitu, aku tetap senang mengamati lukisan. Contohnya
saat aku lihat lukisan di dapur peternakan tempatku magang, aku berdiri di sana
sampai sekitar sepuluhan menit. Padahal itu hanya lukisan sebuah rumah dengan
hutan berwarna hitam di belakangnya. Hanya saja imajinasiku selalu berkeliaran
ke mana-mana. Tiap kali melihat lukisan, aku selalu bertanya, “Bagaimana bisa
hal seindah ini, detail sekecil ini, bisa diciptakan dari olesan sebuah kuas? Tanpa
digambar dengan pensil terlebih dahulu.” Dan kalau sudah begitu, langsung aku
terkagum-kagum pada si pelukis.
Tanggal 05 April
lalu, aku menghadiri festival Nelayan Nasional yang diadakan di Pelabuhan Ratu.
Saat berangkat, aku sama sekali tidak punya ekspekstasi apa-apa terkait
festival yang akan kudatangi. Tahunya, itu memang sudah agenda tahunan dan
tentu saja penontonnya membludak. Selain menyaksikan upacara Larung Saji yang
merupakan upacara persembahan bagi Kanjeng Ratu Pantai Selatan, aku
menyempatkan diri berkeliling blok-blok pameran yang sudah disediakan.
Ada yang
mempromosikan wisata Situ Gunung, pernak-pernik dari binatang laut, makanan,
hingga dinas Kelautan yang memamerkan peralatan kerja mereka saat di laut. Di antara
sekian banyak, hanya satu blok yang paling menyita perhatianku. Aku datang ke
sana berkali-kali dan berdiri di sana cukup lama. Bahkan sempat ngobrol dengan
pemiliknya.
Tidak lain tidak
bukan, yang kukunjungi tersebut adalah stan pameran milik pelukis F Suardy. Laki-laki
jangkung berkaca mata, bertopi, dan berambut gondrong tersebut dikenal sebagai
Pelukis Kanjeng Ratu Kidul dengan 99 Karakter. Wajar saja kalau stannya
dipenuhi oleh lukisan-lukisan Sang Ratu. Beliau sudah pernah melakukan pameran
tunggal di Grand Sahid Jaya Hotel, TMII, dan di INNA Samudra Beach Hotel. Rata-rata
lukisan yang dipajang di sana berukuran besar. Seperti yang biasa dipajang di
istana-istana atau museum. Ngeri juga ya kalau sampai dipajang di rumah?
“Kok bisa sih, lukisan sebanyak ini punya wajah yang mirip semua? Padahal nggak ada modelnya tho?” tanyaku dalam hati ketika itu.
Tak lama, Bapak Suardy datang. Dia berdiri di sampingku dan mulai berkata, “Hal yang seperti ini kan potensial sekali Neng sebagai ikon kabupaten Sukabumi. Seandainya saja dikembangkan, ini bagus sekali. Tidak semua tempat lho punya legenda semenarik ini. kalau masyarakat asing sangat menghargai hal-hal berbau budaya sekaligus legenda seperti ini, sayangnya masyarakat kita tidak. Saya justru dikatai musyrik.” Ucapnya prihatin.
Aku mengangguk. Benar
juga. Lukisan-lukisan tersebut memang sangat potensial, mengingat banyaknya
masyarakat Indonesia yang percaya akan keberadaan Sang Ratu Selatan. Mungkin
karena dalam film-film, lukisan Ratu Selatan selalu dikaitkan dengan kehadiran
Sang Ratu, jadi banyak yang takut memiliki lukisan sesakral itu di dalam rumah.
Soal musyrik tidaknya, aku tidak tahu. Tergantung niat sang pelukis dong ya? Kalau
beliau melukis hanya untuk seni, ya bukan syirik. Tapi kalau untuk disembah,
baru namanya syirik. Para pembeli juga harus meluruskan niat saat membeli
lukisan seperti itu, diniatkan saja untuk keindahan semata, jangan justru
disembah dan diberi sesaji. Hehe
Yang ini juga lukisan F Suardy. Abaikan makhluk di sampingnya. |
Hampir sepuluh menit,
akhirnya aku permisi untuk melanjutkan ke stan selanjutnya. Kuminta kartu nama
sang pelukis dan dia dengan senang hati memberikan. Aku senang dengan keramahan
bapak Suardy. Seandainya saja waktu itu kepalaku lebih cepat berpikir, sekarang
aku pasti punya foto bersama beliau.
Semoga lain waktu ada
kesempatan berkunjung ke galerinya INNA Samudra Beach yang beralamat di Jl Raya
Cisolok KM 7, Pelabuhan ratu, Sukabumi 43365, Jawa Barat. Bagi yang ingin
menghubungi Pak Suardy, bisa langsung ke email beliau kisamudra_biru@yahoo.com.
TErnyata ada yang berkerudung juga ya
ReplyDeleteIya Mbak Lidya. Tapi itu bukan Roro Kidul yang berkerudung. Siapa gitu, lupa namanya.
DeleteIya benar kata Mak Lidya. Ada yang berkerudung juga. Banyak juga yang pakai warna HIJAU ya
ReplyDeleteWah hijau itu kan udah jadi warna ikoniknya Ratu Pantai Selatan, Mas Asep :)
DeleteNice post kawan…
ReplyDeleteKeren nih postingan ini…. Saya jadi berfikir dan mengambil banyak pelajaran dari ini semua.
Pelajaran?
DeleteLegenda Nyi Roro Kidul memang sangat fenomenal, terutama di daerah Pantai Selatan. Ada yang percaya itu cuma mitos, ada juga yang meyakini keberadaanya. Entahlah.
ReplyDeleteOh, ya. Sebenarnya untuk menggambar hewan, termasuk manusia, yang tudak dimungkinkan bisa hidup (seperti tanpa kepala), hukumnya tidak sampai haram.
makasih gan infonya dan salam sukses
ReplyDeleteterimakasih bos infonya dan semoga bermanfaat
ReplyDeleteibu ratu sendiri kadang juga pakai kerudung / hijab...
ReplyDeletebeliu sudah hajah ko...