Wednesday, 29 July 2015

Blog Diary: Bicara Jodoh dan Perjodohan




Malam itu bulan sudah tidak tampak lagi di langit desaku. Beberapa hari lagi bulan sabit akan segera menampakkan diri di pucuk-pucuk kelapa. Bulan Syawal. Ya, tepat malam lebaran, aku bersungut-sungut menggesekkan setrika yang tak kunjung panas di atas baju koko adikku. Sejak tadi kukatakan pada Ibu kalau setrika listrik milik kami harus segera diganti dengan yang baru, tapi dari dapur Ibu hanya menjawab  pendek, ‘Iyo, sesok’.

Selang tak begitu lama, kudengar ponsel milik Bapak berbunyi. Nada panggilan masuk. Karena Bapak sedang takbiran keliling, jadi Ibu yang mengangkatnya. Aku sama sekali tidak mendengar pembicaraan Ibu di telepon, dan aku pun tidak penasaran ingin tahu. Mungkin orang yang belum bayar zakat fitrah dan menanyakan apakah Bapak ada di rumah, pikirku. Hingga beberapa menit kemudian, kepala Ibu sudah melongok di pintu.
“Anaknya teman Bapakmu. Dulu dia manggil Ibu: bibi. Sekarang sudah ganti jadi manggil Ibu.” Ucap Ibu memberi tahu dengan wajah tidak nyaman.
Aku tahu siapa yang Ibu maksud ‘anaknya teman Bapakmu’ itu. Tanpa berniat menanyakan apa saja yang dia bicarakan di telepon, Ibu menyambung kalimatnya, “Dia bilang tahun ini tidak bisa pulang karena kontraknya belum habis. Mungkin tahun depan.” Setelah berkata, Ibu seperti menunggu responku. Tapi karena aku diam saja, dia segera kembali ke dapur.
“Mau pulang kek, tidak pulang kek. Siapa peduli? Lagipula kenapa dia harus menelepon orang tuaku?” gerutuku dalam hati. Hanya karena telepon itu, setrika di tanganku langsung terasa seperti bara api (Lebai, sumpah!). Rasanya ingin memarahi orangnya langsung, tapi untuk mencari nomornya di ponsel orangtuaku saja rasanya malas.
Cerita tentang ‘anaknya teman Bapakmu’ itu sebenarnya sudah kuketahui sejak satu tahun lalu, ketika ayahnya mendatangi Bapakku untuk menawarkan sebuah perjodohan. Alhamdulillah Bapakku bukan tipe orangtua yang suka memaksakan kehendak. Aku jadi ingat sama teman dekatku yang keluarganya menganut paham perjodohanisme garis keras. Pernah dia tidak sengaja nyimpan foto pacarnya, begitu ketahuan si ibu, langsung ditampar sampai tubuhnya jatuh ke lantai. Bukan karena si ibu melarang dia pacaran berlandaskan larangan dalam Islam, tapi karena ibunya tidak mau dia punya pacar yang dipilih sendiri. Maunya si ibu yang mencari kandidat, kalau ada yang pas, maka pernikahan akan diselenggarakan. Aku pernah tidak bisa berhenti tertawa, sekaligus prihatin bin kasihan, saat temanku itu cerita Ibunya mengenalkannya pada seorang dokter yang usianya sudah hampir kepala empat. Bagaimana pun jalan hidupnya nanti, semoga teman baikku itu mendapatkan lelaki terbaik yang bisa membahagiakannya di dunia dan akhirat. Aamiiin...

Untuk kasusku sendiri, dengan baik-baik Bapak katakan pada si ayah lelaki tersebut, bahwa sekarang sudah bukan jamannya lagi perjodohan seperti dulu, ketika mereka sama-sama muda.
“Anak muda sekarang sudah pandai mencari pasangannya masing-masing.” Kata Bapak.
Tapi, meskipun perjodohan itu tidak pernah mencapai kesepakatan, teman Bapakku plus anak lelakinya itu masih saja menganggap kalau perjodohan di antara kami terjadi. Aku sudah berulang kali bilang pada Bapak agar tidak mengangkat telepon dari mereka. Namun Bapak merasa tidak enak karena sudah kenal akrab dengan si ayah lelaki tersebut. Bahkan terkadang si lelaki yang tidak pernah kulihat wujudnya itu mengirimi pulsa ke ponsel Bapak dan Ibuku dari Malaysia sana. 

Dia pernah datang ke rumahku, di saat yang sama aku sedang di Bogor. Jadi kami tidak pernah bertemu sekali pun. Terkadang Bapak sedikit menyindir cerita perjodohan yang tidak disetujuinya itu, tapi aku tak pernah merespon. Aku juga tidak berhasrat untuk kenal laki-laki tersebut lebih jauh. Menanyakan ciri-cirinya saja aku malas. Bukan aku terlalu sombong, tapi memang selama ini aku hanya mengenal para lelaki cukup sebatas teman. Semuanya kuperlakukan sama. Tidak begitu dekat, tidak juga begitu jauh. Kecuali sepupuku yang satu kelas. Aku sering memasang display picture BBM bersamanya, karena dia adalah saudaraku, sudah kuanggap seperti kakak kandung. Untuk lelaki yang tidak pernah bersinggungan langsung denganku di kehidupan nyata, sementara dia tidak memiliki satu inner beauty pun, aku pilih malas mencari lebih jauh
.
Melalui Ibu, si lelaki ‘Anaknya teman Bapakmu’ itu pernah meminta alamat facebook, dan waktu itu aku berikan tanpa rasa curiga sedikit pun. Tidak tahunya dia punya rencana lain yang terkesan memaksakan. Tidak hanya dia, si ayah pun selalu cerita pada orang-orang kalau Bapak dan Ibuku adalah besannya.

Aku memang tidak pernah tahu seperti apa dirinya, tapi aku sudah paham betul tipikal lelaki yang tumbuh dan dewasa di pulau ini hingga beberapa pulau di dekatnya. Aku kurang suka pada lelaki yang tidak shalat lima waktu, juga pada lelaki yang tidak memiliki perencanaan untuk masa depannya (Perencanaan untuk kehidupannya sendiri dan bermanfaat bagi orang lain).

Satu hal lagi, orang sini masih akrab dengan praktek perdukunan. Desas-desus yang merebak di seluruh desa memberi tahu kalau beberapa pasangan di sini berhasil menikah atas bantuan dukun alias dipelet. Wallahu’alam kebenarannya, tapi soal perdukunan, aku mengaku di sini masih kental sekali. Soal perjodohan sepihak ini, aku juga khawatir akan berujung ke sana apabila si lelaki merasa dikecewakan. Pelet hingga guna-guna. Semoga Allah melindungi kita semua dari kejahatan jin dan manusia yang jahil seperti itu. 

Mengenai perjodohan, sebenarnya aku tidak mempermasalahkan jika suatu hari nanti Bapak mengenalkanku dengan seseorang. Asal dia adalah lelaki baik-baik. Lelaki yang hidupnya punya tujuan jangka panjang, tidak hanya giat mencari uang untuk menumpuk kekayaan pribadi, namun juga punya impian untuk menjadi penyejuk bagi orang-orang di sekelilingnya. Namun kuperhatikan, meski tidak semua, lelaki dan pemuda di sini tidak banyak yang seperti itu. Mereka memang giat dalam hal mengumpulkan materi, tapi soal agama, seolah-olah mereka tidak pernah ingat bahwa kematian bisa datang kapan saja, dan harta tersebut tidak bisa membantu sedikit pun kecuali harta yang menjadi amal jariyah. Jangankan untuk ibadah sunnah, baik shalat lima waktu  dan puasa Ramadhan saja banyak orang sini yang tidak mengerjakan. 

I am not a perfect Muslimah. Aku akui hal tersebut. Bahkan shalat wajib saja masih sering di akhir waktu. Namun aku yakin, setiap muslimah menginginkan seorang imam yang bisa membimbingnya menjadi lebih baik. Sebenarnya satu poin saja sudah cukup sebagai kriteria lelaki idaman, yaitu kesalehan. Lelaki saleh sudah pasti taat ibadahnya dan giat bekerja untuk menafkahi keluarganya. Jika dia hanya taat beribadah, namun dalam mencari nafkah ogah-ogahan, kesalehannya juga perlu dipertanyakan. Banyak lelaki yang mengaku agamis berpikir tidak baik hidup bermewah-mewah, Rasulullah saja tidur di atas pelepah kurma, sehingga semua pemikiran tersebut mendorong mereka menjadi malas bekerja. Semua itu dijadikan alasan untuk kemalasannya. Padahal di luar sana, para non Muslim, selalu menertawakan para Muslim yang memilih pasrah dengan kehidupannya yang lebih senang menjadi tangan di bawah.

Rasulullah hidup sederhana, itu karena pilihannya sendiri. Sedangkan ia memiliki kekayaan yang tidak ternilai jumlahnya. Bayangkan, saat itu Rasulullah jadi pemimpin di seantero tanah Arab, kekayaan itu bisa saja ia dapatkan dengan mudah. Banyak yang menawari. Tapi beliaunya yang tidak mau. Lha kalau orang sekarang, hidup miskin bukan karena pilihannya, melainkan itulah satu-satunya pilihan. Lalu kesederhanaan Rasulullah yang dijadikan alasan untuk mengelak.

Dalam kasus seperti di atas, aku tidak menuliskan tanpa dasar. Ada banyak lelaki yang terlihat saleh yang kutemui namun dalam urusan menafkahi anak istri, ia gagal. Salah satunya adalah suami temanku sendiri. Dia bilang tamatan pesantren, shalatnya rajin, tapi tidak mau bekerja, sampai-sampai buat beli susu anak mereka saja harus minta ke mertua. Akhirnya pernikahan tersebut tidak bertahan lama. Sekarang mereka telah bercerai. Yang seperti ini sudah pasti tidak dianjurkan dalam Islam. Entah dalil dari mana yang ia gunakan.

Aku ingat sebuah kisah saat masa kepemimpinan khalifah Umar. Kalau tidak salah cerita ini kubaca tahun lalu di buku cerita teladan milik adik. Di sana dikisahkan saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab tidak memiliki pakaian bagus.  Sebuah jubah penuh tambalan adalah jubah kesukaannya, dan itulah yang sering ia gunakan di pertemuan-pertemuan kenegaraan hingga menyambut tamu dari luar khalifah Islam. Para petinggi-petinggi kerajaan merasa iba sekaligus malu melihat pakaian pemimpin Islam tersebut. Apakah pantas seorang pemimpin kekhalifahan besar menggunakan pakaian seperti itu, sementara raja-raja non Muslim mengenakan jubah mewah? Mereka takut para non Muslim menganggap kekhalifahan Islam miskin sehingga tidak mampu membeli jubah yang bagus. 

Mereka lalu menghadiahi Umar dengan sebuah jubah yang sangat indah. Namun Umar segera bertanya, ‘Apa selama hidupnya Rasulullah pernah memakai jubah seindah ini?’. Para petinggi itu pun menjawab tidak pernah. Seketika Umar menangis tersedu-sedu dan berkata, ‘Lalu kenapa kalian menyuruhku memakainya sementara kekasih Allah selama di dunia tidak pernah memakainya?’. Semoga ini menjadi pengingat bagi tipe laki-laki yang mengaku saleh namun malas mencari nafkah. Para pemimpin Islam tidak hidup sederhana karena mereka malas bekerja, melainkan uang tersebut mereka sedekahkan. Sehingga kehidupan mereka justru naik derajatnya di mata Allah dan orang-orang. 

Kembali ke tema jodoh dan perjodohan yang saat ini selalu membuat kepalaku berdenyut-denyut. Terkadang meski tidak mau memikirkan, pertanyaan seperti ‘siapa jodohku nanti’ hadir dengan sendirinya di dalam kepala. Terlebih saat bertemu dengan teman-teman dan para adik kelas yang sekarang sudah menggendong anak. Semua itu membuatku sadar, cepat atau lambat setiap wanita tentu akan menikah. Dan sekarang adalah waktunya bagi generasiku, yaitu mereka yang lahir dalam rentang 1991-1996. Itu artinya, aku juga tinggal menunggu giliran. 


Ibuku berkali-kali menanyakan apakah aku memiliki seorang pacar, kebalikan dari Bapak yang lebih mendukung aku tidak pacaran. Sepertinya Ibu khawatir tidak ada laki-laki yang menyukaiku, maklumlah seorang Ibu pasti senang kalau anak gadisnya jadi idaman banyak lelaki. Apalagi saat satu persatu teman-teman masa kecilku, hingga para adik kelas yang kini masih duduk di bangku SMA, mengenalkan pacar-pacar mereka ke orangtua. Ibuku semakin sibuk saja. Aku yang awalnya santai-santai saja, kok jadi malah ikutan cemas.
“Seng seneng ambi aku iku ono, Buk. Tapi seng pas neng ati durung ono. Enek seng pas neng ati, lha tak perhatikan kok koyone udu aku seng disenengi, tapi koncoku.”
Ibuku manggut-manggut, mungkin dalam hati sudah mbatin, “Yoalah, nak. Kok melase eram nasibmu.” Huhuhu
“Wes, Buk. Seng tenang wae. Mengko nek gelem tak solati hajat, jangankan de’e, pangeran Emirat Arab wae teko rene ngelamar.” Wakakaka gubrak. Semua gelas di atas meja langsung pecah.
Just kidding. Mana berani aku bicara soal perasaan ke Ibu. Masih malu.
Jodoh adalah sebuah misteri. Itu benar adanya. Semua orang yang belum melewati momen ijab qabul, pasti penasaran siapa jodohnya nanti. Aku tidak mau lagi berharap pada manusia, karena seringkali kita malah kecewa. Dalam setiap doa aku hanya minta Allah mengamanahkan seorang lelaki baik sebagai suami. Dia baik untuk dunia dan akhiratku, dan aku pun baik bagi dunia dan akhiratnya. Itu saja. Siapa pun lelaki itu nantinya, entah itu dia yang datang dari sebuah perjodohan atau perkenalan, semoga dialah lelaki baik tersebut. Aamiiin insya Allah.

4 comments:

  1. Semoga kita sma2 dipertemukan jodoh pada waktu yang terbaik, keadaan yang terbaik dan tempat yang terbaik ya butt. Aminnnnn. Love ya!

    ReplyDelete
  2. Amiin insha allah. Mbak sofi punya banyak bakat & berprestasi hiduplah sepenuh-penuhnya :)

    ReplyDelete
  3. bisalah blognya saya rekomendasikan untuk teman yang udah ngebet banget untuk nikah..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...