Monday 20 March 2017

Mengenal Suku ‘Asli’ di Pulau Penyalai




Sejak dulu, masyarakat di pulauku sudah terbagi-bagi menjadi beberapa suku. Ada Jawa, Melayu, Lombok, Bugis, Tionghoa campuran, Minang, dan suku Akit atau yang biasa kami panggil ‘suku Asli’. Berdasarkan cerita dari orangtua, suku Akit dikenal sebagai suku Asli karena memang mereka adalah penghuni pertama pulau ini, juga beberapa pulau kecil lain di pesisir Riau. Nama resmi pulauku adalah Mendol—bahkan di peta pun tertulis sebagai pulau Mendol—namun masyarakat Riau lebih mengenalnya dengan sebutan Penyalai. 

Nama Penyalai sendiri—berdasarkan legenda—diambil dari kebiasaan suku Asli yang suka menyalai daging Babi. Mereka memang pemakan daging babi sejati di sini. Jadi tidak perlu heran ketika mendapati para suku Asli memotong babi, menjualnya, dan memasaknya. Daging babi yang mereka makan biasanya didapat dari kebun atau hutan dengan cara memasang perangkap tali (dikenal dengan nama: menjerat babi), bukan daging babi budidaya seperti di luar.

Secara umum, masyarakat Asli adalah mereka yang berkulit lebih gelap (namun tidak sehitam masyarakat Timur) dan memiliki anak lebih banyak dibandingkan jumlah anak yang dimiliki suku Jawa atau Melayu. Bisa lima, enam, atau lebih. Jarang sekali anak-anak dari suku ini yang sekolah sampai ke Perguruan Tinggi, kalau pun ada jumlahnya bisa dihitung jari. Tampaknya orang-orang dari suku ini tidak begitu peduli pada pendidikan (tidak semua, tapi kebanyakannya seperti itu). Satu orang teman SD-ku dulu (dari suku ini) berhasil kuliah sampai ke Pekanbaru, di kampus Islam, hingga satu tahun lalu dia memutuskan ber-Islam.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Asli yang tidak akan pernah kalian jumpai di tempat lain, bahkan di daerah Pekanbaru dan sekitarnya. Misal kalimat ‘Kalian mau apa?’, jika di-translate ke bahasa Asli menjadi ‘Mika ika nak apa?’, dan seringkali ditambahi ‘oh’ di akhir kalimat. Misal ‘Mika ika nak kamana, oh?!’ ini berarti ‘Where are you going, guys?’. 

Yes, oh di sini sama maknanya dengan guys, bro, sis, dan sejenisnya. Saat mereka berbicara panjang dan cepat, biasanya yang tertangkap telinga awam kita adalah ‘bleketek-bleketek-bleketek’ (Don’t laugh! It’s true). Tapi karena aku sudah hidup di sini sejak kecil, teman-teman semasa SD juga banyak dari suku tersebut, bahasa Asli sudah tidak asing bagiku. Setidaknya, aku paham apa yang sedang mereka bicarakan, tidak perlu buka kamus. Dan actually, meski aku cukup enggan mengaku, neneknya ibuku (mbah buyutku dulu) juga berasal dari suku Asli yang menikah dengan lelaki Jawa. Berarti dalam susunan DNA-ku, ada juga ya komponen DNA orang Asli? Wong ibuku yang sudah puluhan tahun hidup di lingkungan Jawa saja masih bisa berbahasa Asli, tapi ibuku juga bisa bahasa orang Tionghoa.

Baiklah, just leave it. Kita bicara saja tentang deen, religion, alias agama yang mereka anut. Mereka jelas bukan penganut Islam, bukan Hindu, bukan Budha, bukan Katolik, juga bukan Protestan. Entahlah aku saja tidak tahu pasti apa agama mereka. Bukan pula penyembah batu, matahari, bulan, atau berhala. And, urusan pencatatan pernikahan, pemerintahan, survey dan statistik lain, mereka tercatat sebagai penganut agama Budha. Biarpun begitu, mereka punya hari lebaran sendiri, tepat pada tanggal 27 Ramadhan. Jadi, kalau kita sudah berpuasa selama 27 hari, orang Asli akan berlebaran atau yang dikenal mereka dengan nama ‘Raya Tojoh Lekor’. Biasanya saat berlebaran, mereka akan mengantarkan banyak makanan ke kuburan para leluhur. 

Mereka juga punya ritual-ritual lain, seperti menyiapkan sesaji dalam kapal-kapalan kecil yang terbuat dari pelepah sagu dan dibentuk seindah mungkin, lalu dihanyutkan ke laut sebagai tolak bala.  Suku ini tidak memiliki ritual pasti seperti shalat 5 waktu dalam Islam, ibadah Minggu untuk Kristen, sembahyang di Wihara bagi Budha, atau ke kuil bagi Hindu. Jadi tidak ada tuh catatan dokumenternya kalau orang Asli sembahyang di kuburan setiap hari Sabtu, atau bangun kuil dan candi di tengah hutan. None at all!

Soal hiburan, suku Asli adalah suku penyuka hiburan. Biasanya saat ada hajatan di kampung orang Jawa atau Melayu selalu ada orgen tunggal (key board), orang Asli selalu berhamburan datang meski mereka harus jalan kaki berkilo-kilo meter jauhnya. Di lingkungan orang Asli sendiri, mereka memiliki joget tradisional bernama ‘Joget Dang Gung’. Aku sudah lupa seperti apa gerakannya, seingatku joget ini adalah joget para wanita dengan pakaian tradisional, lalu diiringi musik gendang ‘dang gung, dang gung, dang gung’, dan mereka berputar-putar sambil mengentakkan kaki.

Hiburan untuk perayaan seperti nikahan, dsb, mereka sering mengundang joget (cukup dikenal sebagai joget, tidak ada embel-embel lain). Joget ini terkenal sekali di sini (di kalangan mereka), dan mereka semua menyukainya. Dulu, saat umurku enam atau tujuh, di panggung desa ada joget ini setiap malam selama sebulan sebagai perayaan 17 Agustus. Paling sering pakai musik lagu ‘Asarehe a rehe, bla bla bla rehe rehe’, sampai-sampai semua anak-anak seumuranku bisa menyanyikan lagu tersebut. 

Setahuku, joget ini diisi oleh 10 hingga 20 wanita muda dengan dandanan mencolok, berpakaian sedikit atau memang seksi (Tapi tidak sampai buka-bukaan juga. Maksimal pakai hot pant sama tank top), berdiri berhadap-hadapanan, musik diputar, dan mereka berjoget seasyik-asyiknya. Para lelaki yang merasa punya uang bisa ikut joget dan memberikan bayaran di akhirannya. Kurasa sama dengan nyawer. Biasanya semakin larut malam, semakin mereka mabuk, jogetnya akan semakin panas. Pagi harinya, kita akan menjumpai rumput-rumput di halaman rumah mereka gersang akibat terinjak-injak, serta kaleng-kaleng bir berserakan. So, if you come here, don’t be shocked..! Note, I never watch it, selain dulu tidak sengaja nonton di pentas desa. But, it was long long long time ago.

Soal pekerjaan, mereka bukanlah suku yang punya pekerjaan umum seperti suku Jawa dan Melayu yang memang rata-rata sebagai petani. Sebagian dari suku Asli bekerja sebagai karyawan PT sawit di pulau-pulau tetangga, beberapa bertanam jagung, beberapa menjerat babi, beberapa menangkap ikan, beberapa jadi THL (tenaga harian lepas) sebagai pemetik jagung dsb, beberapa menggesek (membuat papan menggunakan sinksaw di dalam hutan), dan satu-dua berhasil menjadi pegawai negeri. 

Untuk foto, sudah beberapa kali anak-anak suku Asli datang ke rumah (mereka sering ikut lebaran kalau Muslim di sini lebaran), tapi aku lupa memotret mereka. Lain kali akan kumasukkan foto-foto, sekaligus keadaan lingkungan tempat mereka tinggal. 

Jadi bagi kalian yang belum pernah bertemu dengan suku Asli, ingin melihat lebih jauh seperti apa kehidupan mereka, datanglah ke Penyalai. Bagaimana pun, perbedaan itu sudah sunnatullah. Semakin berbeda, semakin berwarna. Semakin berbeda, semakin kita banyak belajar tentang menyatukan visi-misi, semakin banyak belajar pula bagaimana cara bertoleransi, semakin paham bagaimana cara menghargai. We just need to enjoy and share this natural beauty!





2 comments:

  1. sesame orang penyalai kite kak. haha

    #Yunarto

    ReplyDelete
  2. Bahasanya unik jg yaa.. logatnya kemelayuan kah fy?
    keren noh ibu sofy bs bhasa tionghoa jg..

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...