Kita duduk di sebuah cafe yang berdiri di sudut jalan
utama kawasan Old Town, Mostar. Dua cangkir kopi duduk manis di depan kita,
belum tersentuh. Sementara di luar sana, para turis hilir mudik tanpa henti.
Ini pertengahan musim gugur, waktu yang membuat Mostar
menjelma putri cantik incaran manusia di seluruh dunia. Bayangan dedaunan yang
berwarna oranye jatuh di atas sungai Neretva yang membelah kota, menciptakan
warna-warni air paling menakjubkan.
Aku merapatkan jaket tebal yang kupakai. Suhu sudah mulai
jatuh. Lalu kau, sejak tadi kau masih saja khusyuk memandang ke luar jendela di
samping kita. Pandanganmu tertuju pada menara minaret Masjid Koki Pasha yang
berjarak sekitar 100 meter dari cafe ini. Masjid itu bergaya Ottoman, demikian
pula desain menaranya. Mungkin kau sedang berpikir, andai masjid-masjid di
Indonesia memiliki menara seperti itu, pasti keindahannya akan menyihir. Atau
mungkin kau sedang berpikir, tahun berapakah masjid beserta menaranya ini
dibangun?
Ah, entahlah. Sejak tadi aku hanya menerka. Sejatinya aku tak pernah tahu apa yang tengah kau pikirkan.
“Masjid itu dibangun pada tahun 1557 oleh arsitek Kodza Mimar Sinan.“ kataku memecah kesunyian.
Kau memandang ke arahku sesaat, kemudian menarik cangkir
kopi, mengaduknya, kemudian menyesapnya sedikit.
“Kenapa kau menyukai Bosnia Herzegovina?” kamu bertanya, membuatku paham bahwa bukan Masjid yang sebenarnya kau pikirkan. Semua ini pasti karena kemaren akulah yang memaksa kita bertemu di sini. Demi
pertemuan ini, kau harus menempuh jarak 7 jam penerbangan dari Belgia, negara
tempatmu berkuliah. Tapi kau sedikit beruntung, karena aku sendiri harus
menempuh puluhan jam penerbangan dari Indonesia, lalu mendarat di istanbul, baru
kemudian melanjutkan penerbangan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia.
“Aku tidak tahu. Tapi sejak pertama kali aku tahu
tentang negara ini, hatiku bergetar tiap kali namanya disebutkan. The law of
attraction, kau tahu itu?” tanyaku.
Kau tersenyum tipis, “Hukum tarik-menarik seperti yang
diagungkan dalam buku paling fenomenal 10 tahun lalu, The Secret. Bernarkan?
Ternyata itu juga bekerja padamu.” Kau menjawab dengan nilai sempurna.
Ya, hukum tarik-menarik. Sebuah hukum semesta yang
paling kuyakini, terlebih setelah kedatanganku ke Bosnia. Hukum ini mengatakan
bahwa apapun yang kita pikirkan, kemudian diyakini dalam hati, maka suatu saat akan
menarik kejadian persis seperti yang kita pikirkan tersebut. Karena itu pula
para orang tua jaman dulu selalu mewanti-wanti putra-putri mereka agar tidak
berpikiran yang macam-macam. Karena bisa dikatakan, pikiran yang diyakini
adalah doa yang sewaktu-waktu bisa menjelma kenyataan.
“Tepat sekali. Seharusnya aku tidak perlu lagi bertanya
hal sekecil itu pada seorang kandidat master.” Gurauku.
“Jangan berlebihan.” Kamu menyanggah sebelum lanjut
bertanya, “Lalu Law of Attraction seperti apa yang membawamu ke Bosnia?”
Aku menarik cangkir kopi Italia di hadapanku,
mengaduknya santai sambil menjawab pertanyaanmu. “Aku selalu berpikir sekaligus
meyakini bahwa suatu hari aku akan datang ke negara ini. Padahal kala itu aku
sama sekali tidak tahu cara yang akan kutempuh untuk bisa ke sini. Dan
akhirnya, Bosnia sendiri yang menarikku untuk datang. Negara ini yang
memanggilku untuk datang. Besok aku akan bicara soal bukuku yang kedua di KBRI Sarajevo. Apa kau bisa datang?”
Kau menggeleng. “Aku akan kembali ke Belgia malam ini.
Dosen pembimbingku mendadak ingin bertemu besok sore.”
Tidak masalah. Kau memang selalu sibuk. Keberadaanmu
saat ini saja sudah membuatku sangat bersyukur. Aku bahkan hampir tak percaya
kau mau meluangkan waktu, tenaga, sekaligus uang untuk sekadar bertemu sebentar
denganku.
Aku melihat ke luar jendela. Di sana, di kejauhan,
mataku menangkap Stary Most yang berdiri dengan anggun. Sebuah jembatan bergaya
klasik yang dibangun pemerintahan Turki Ustmani pada abad ke-16. Jembatan itu
adalah saksi peristiwa demi peristiwa yang pernah terjadi di Bosnia Herzegovina,
khususnya di Mostar ini. Saat peperangan pada tahun 1992-1995, jembatan itu
pernah hancur akibat keserakahan tentara Serbia. Tapi kini, jembatan itu telah
direnovasi, keindahannya tidak pudar sedikit pun.
“Hmm, apakah The Law of Attraction juga berlaku padaku
sekarang? Buktinya kau telah menarikku datang ke negara ini.” tanyamu polos,
membuatku ingin tertawa.
“Mungkin saja.” jawabku. “Kau tahu kenapa?” aku balik
bertanya.
Kau diam sejenak, lalu menggeleng, dan menjawab,
“Entahlah.”
“Karena sejak bertahun lalu aku berpikir sekaligus
sangat yakin bahwa engkau akan datang padaku. Tidak peduli seberapa jauh kakimu
telah melangkah.” Aku mengatakan sebuah rahasia tanpa ragu.
Aku melihat ke arahku beberapa saat, sebelum akhirnya
menunduk pada cangkir kopi berwarna cokelat tua di hadapanmu. “Biarlah semuanya
berjalan apa adanya dahulu.” Katamu datar.
Ya, benar. Memang itulah yang terbaik. Lagipula selama
ini aku tidak pernah menuntut apapun darimu. Aku bahkan tak tahu bagaimana
kabarmu selama di Belgia. Terkadang di suatu sore yang indah, aku jadi
khawatir, khawatir di benua yang terpisah jutaan mil sana kau bertemu dengan
seorang wanita yang berhasil menarikmu. Aku khawatir kita tak pernah lagi bisa
bertemu atau suatu saat ada satu hal yang mengahalangi kita untuk bertemu.
“Habiskan kopimu. Kita datang ke sini tidak hanya untuk
duduk seperti ini, kan? Di luar sangat indah.” Kau berseru, beranjak, lalu
membayar dua cangkir kopi yang menemani siang ini.
Aku menamatkan tegukan terakhir kopiku. Lalu memungut tas
dan mengejarmu keluar.
“Segarnya...” desisku lirih seraya menghirup udara
dalam-dalam.
Kau tersenyum tipis meski pandanganmu lurus ke depan.
Kita berjalan beriringan menuju Old Bridge atau yang lebih dikenal dengan Stari
Most, jembatan paling impresif di area Old Town ini.
“Semoga ini bukan pertemuan yang terakhir.” Katamu.
“Semoga.” Aku menyahut. Tersenyum. Kalimat terakhirmu begitu menenangkan.
Sore nanti kita berpisah. Aku akan ke Sarajevo untuk
acara besok, lalu ke Turki selama dua minggu, dan kembali ke Indonesia.
Sementara engkau akan terbang ke Belgia nanti malam, kembali melanjutkan
kesibukan di kampus. Selebihnya adalah tentang waktu dan takdir.
No comments:
Post a Comment