Wednesday, 19 August 2015

Memory in Bogor: Anak-Anak Pinggiran Ciliwung




Beberapa waktu lalu sebelum sibuk dengan kegiatan akhir perkuliahan, aku sempat beberapa kali ikut menjadi pengajar di #SaveStreetChild Bogor. Tidak ada satu pun teman satu kelas atau teman dekat yang ikut denganku waktu itu. Perkuliahan yang padat membuat mereka lebih memilih untuk istirahat fulltime di hari Minggu, jadi aku tidak bisa memaksa ditemani. 

Lalu aku? Seperti yang pernah kukatakan, aku sering memikirkan tentang hidup dan makna kebahagiaan. Seringkali aku merasa hidupku terkesan sangat egois, merasa tidak berarti bagi orang lain, merasa seperti seorang pecundang yang tidak ada gunanya sama sekali. Melihat beberapa kenalan yang hidupnya selalu dipenuhi kegiatan bermanfaat bagi orang lain—baik itu organinasi atau bukan—aku jadi sangat iri. 

Tanpa pikir panjang, aku segera searching di internet untuk menemukan organisasi atau komunitas di Bogor yang membutuhkan seorang volunteer. Tidak peduli apapun kegiatan mereka, asalkan itu adalah hal positif, aku sudah bertekad untuk mendaftar. Hingga akhirnya, aku berjodoh dengan sebuah komunitas bernama Save Street Child yang sudah punya reputasi nasional, juga diorganisir dengan baik oleh para pengurusnya. Seperti namanya, komunitas ini berfokus pada anak-anak jalanan, secara umum memberikan kursus gratis bagi mereka. 

Hari itu Minggu, tepat sesudah Zuhur aku membuat janji dengan seorang wanita bernama Keke. Setelah beberapa kali berkomunikasi lewat sms untuk menentukan lokasi, akhirnya kami bertemu di depan Masjid Raya Bogor. Selama beberapa menit, aku diminta Mbak Keke untuk menunggunya makan siang. Satu mangkok mie ayam tidak berhasil ia kandaskan dengan sempurna, namun ia sudah mengajakku segera ke lokasi belajar.
“Maaf ya tadi saya terlambat. Kamu jadi lama menunggu.” Kata Mbak Keke yang bertubuh mungil. Ia terus berjalan cepat di sampingku.
“Nggak apa, Mbak. Justru Mbak Keke sampainya tepat saat saya sudah selesai shalat.” Kataku. “Memangnya rumah Mbak Keke di mana?”
“Depok.” Jawabannya ini sempurna membuatku bengong.
Depok? Itu artinya sudah di luar kota Bogor. Aku semakin kagum saat Mbak Keke bercerita ia selalu menyempatkan diri untuk datang ke tempat yang akan kami tuju, meskipun seringkali pengajarnya hanya dia seorang.
“Kasihan adik-adiknya kalau tidak ada yang datang.” Ia berkata lagi.
“Memangnya tidak ada pengajar selain Mbak?”
“Ada. Tapi semuanya berstatus volunteer. Mereka bukan pengajar tetap. Dulu ada namanya Rangga, dia ngajarnya bagus dan banyak anak-anak yang suka sama dia. Tapi dua minggu ini dia nggak bisa masuk lagi karena harus PKL.”
“Jadi sekarang hanya kita berdua?” tanyaku mulai panik.
“Nggak, Sof.” Ia tersenyum menenangkan. “Ada Bella, terus ada Anis dan satu orang temannya. Mereka langsung ke tempat belajar.”
Alhamdulillah. Aku benar-benar lega. Sejauh itu aku tidak punya pengalaman mengajar sama sekali, kecuali mengajar ngaji anak-anak di desaku. Itu pun sudah lama sekali. Sejak aku masuk pesantren lima tahun lalu, rasanya aku tidak pernah lagi jadi seorang guru. Dan kali itu, demi memperoleh ketenangan batinku sendiri, demi mencari makna sebuah kebahagiaan, aku harus keluar dari zona nyaman. Lalu mengajar? Oh, sejak kecil aku tidak pernah bermimpi jadi seorang pengajar. Selama ini aku beranggapan bahwa mengajar adalah sesuatu yang membosankan. Belum lagi kita harus selalu terlihat bahagia dan ceria di depan anak-anak meskipun di dalam hati kita sedang dilanda badai masalah. Bukankah itu sebuah topeng yang melukai diri sendiri? Namun hari Minggu itu, semua pikiran seperti itu harus kupaksa agar menyingkir sejauh-jauhnya. Au tidak akan pernah berkembang apabila tidak pernah mencoba. 

Kami terus berjalan melewati pintu belakang terminal Baranang Siang, toko-toko buku bekas, warteg kumuh, sebuah bangunan putih yang tidak terawat, hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Jika aku naik angkot ke arah kanan, maka beberapa menit kemudian akan tembus di samping pasar Bogor, dekat Tugu Kujang. Tapi itu adalah jalan ke arah kosanku, dan saat itu tujuanku bukanlah kembali ke kosan. Mbak Keke menunjuk sebuah pintu kecil berukuran satu depa yang dibuat seadanya di tengah pagar besi yang sudah karatan. Kami menyeberang dan masuk ke pintu tersebut, menuruni anak tangga yang curam, dan masuk ke dalam sebuah kompleks padat rumah penduduk. 

Beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah gang sempit yang menjadi jalan utama kompleks tersebut. Gang yang diapit oleh pintu-pintu rumah, kedai-kedai, dan kain-kain jemuran itu hanya bisa dilewati oleh satu buah motor saja. Saat berjalan di sana, aku bisa mendengarkan orang-orang di dalam rumah yang sedang berbicara, suara bayi-bayi yang sedang menangis di dalam ayunan, suara minyak di penggorengan, serta mencium harum masakan yang menguar dari satu dua pintu. 

Rumah-rumah di sana tidaklah ‘sesederhana’ rumah-rumah yang berdiri di sekitar sungai hitam yang membelah kota Jakarta, namun tidaklah sebagus rumah-rumah di lingkungan kosanku. Meskipun lantainya sudah dibuat dari beton, rumah-rumah di sana berukuran kecil. Ketika melintas di depan rumah-rumah itu, aku bisa memastikan kalau masyarakat di sana hidup sangat apa adanya.
“Kita sudah sampai.” Kata Mbak Keke mengejutkanku.
Aku melongok ke sana ke mari. “Di mana tempat belajarnya?”
Sepertinya Mbak Keke maklum dengan kepolosanku, tangannya kemudian menunjuk kecil sebuah tangga sempit di samping rumah beratap rendah. Aku mengikuti arah tangan Mbak Keke, hingga mataku menangkap sebuah teras berukuran 2 x 2 yang biasa dipakai pemilik rumah untuk menjemur pakaian.Tidak ada papan tulis tertempel di dinding, tidak ada meja kursi, tidak ada meja belajar, juga tidak ada foto presiden dan wakilnya. Hanya satu buah tikar bekas.
“Sofi tunggu di sini saja, ya. Saya mau jemput anak-anak dulu.”
“Jemput?” aku masih belum berhenti heran.
“Kalau nggak dijemput, mereka pada nggak mau datang belajar.” Mbak Keke tertawa kecil.
“Kalau begitu saya ikut Mbak Keke saja.” Dengan cepat aku sudah memegang tangannya. Mbak Keke mengangguk.
Mbak Keke terlihat sudah kenal akrab dengan masyarakat di sana. Saat kami sampai di sebuah kedai, para ibu yang ada di sana langsung menyapanya. Dengan bahasa Sunda mereka segera memerintahkan anak-anak untuk menjemput teman mereka. Mataku jadi berkaca-kaca saat di sekelilingku anak-anak berlari dari satu rumah ke rumah lainnya dengan bibir yang terus memanggil nama teman-teman mereka.
“Si Asep ngggak ada di rumah, Kak. Dia ikut ibunya ke hajatan.” Kata Dani sambil menyalami tanganku dan Mbak Keke.
Ternyata hari itu sedang ada acara khitanan di salah satu rumah. Banyak anak yang tidak mau belajar karena tidak mau meninggalkan acara. Total hanya ada lima orang yang ikut kami ke tempat belajar.
“Ya begitulah, Sof. Apalagi kalau pas hujan, mereka sering ijin pulang sebentar, tapi ternyata tidak datang lagi. Tahunya semua pergi ke lampu merah buat ngojek payung.” Mbak Keke memberi tahu.


Kami mulai belajar sekitar pukul dua siang. Sebagai pembukaan kami mengajari mereka mengaji dengan cara menyimak bacaan satu per satu. Ada yang masih di iqro satu, ada yang tiga, empat, dan enam, sesuai dengan umur mereka yang rata-rata berkisar 7-10 tahun. Hanya Ridwan yang paling besar, umurnya sekitar 15 tahun. Pada minggu-minggu berikutnya aku tahu kalau dia ini peserta belajar yang paling rajin. Dia selalu menyambut kami sebelum teman-temannya datang, menyiapkan tempat belajar, dan juga setia sekali ikut belajar. Sayangnya Ridwan putus sekolah karena masalah ekonomi. Padahal ia anak yang cerdas dan punya kemauan besar, selain itu Ridwan juga anak yang baik dan penurut. Ketika Mbak Keke memberi tahu kenyataan mengenai Ridwan, hatiku terasa pedih. Aku membayangkan Ridwan yang postur tubuhnya mirip adikku itu harus kerja berat hanya karena tidak bisa sekolah tinggi. Senyum dan sorot mata Ridwan, semua itu seperti memberi tahu bahwa ia begitu pasrah pada kenyataan hidupnya. Aku sering memperhatikan Ridwan yang tersenyum tulus saat membantu adik-adik lain belajar berhitung, dan pemandangan itu hanya membuatku ingin menangis. 

Kebanyakan adik yang belajar di sana masih duduk di bangku SD. Mereka anak-anak yang cerdas, namun sangat sulit mengajak mereka belajar. Umur-umur seperti itu tentu lebih memilih untuk bermain petak umpet dan pondok-pondokan. Terkadang kami para pengajar bergantian membelikan dua kotak cokelat sebagai imbalan untuk mereka yang hadir belajar. Kalau sudah usai belajar, biasanya mereka akan menuruni tangga menuju bebatuan di sungai Ciliwung. Di bawah sana mereka melompat dari satu batu ke batu lainnya, terkadang mandi, dan ada juga yang tidak malu-malu buang air kecil. 

Malam ini aku sangat merindukan mereka. Merindukan semangat mereka saat belajar matematika lalu rebutan menyerahkan lembar hasil pekerjaan kepadaku, merindukan lukisan mereka yang tidak serasi dengan ayam yang sama besar dengan rumah, atau bunga yang tingginya sama dengan ujung atap; merindukan bibir-bibir mungil mereka yang mengeja huruf hijaiyah, juga merindukan teman-teman pengajar yang begitu sabar dan tulus. Andai aku punya banyak kesempatan tinggal di Bogor, tentu aku akan kembali ke sana. Hingga kini aku masih menyimpan kertas-kertas berisi lukisan mereka, dan seringkali aku memandanginya begitu lama. Aku tidak menyangka pernah berada di tengah-tengah mereka, meski hanya sebentar. Aku tidak menyangka menjadi seorang pengajar itu bisa membuatku sangat bahagia dan merasakan hidup. Andai waktu itu aku tidak memilih untuk sedikit lebih berani, mungkin hingga saat ini aku sudah menyelesaikan pendidikan, aku tidak akan pernah menjejakkan kaki di kompleks padat di pinggiran Ciliwung itu. Pengalaman ini adalah salah satu pengalaman paling berharga saat aku berkuliah di Bogor, menjadikan Bogor sebagai kota kecil yang sangat berarti dalam hatiku. 

Semoga jiwa adik-adikku di sana selalu dipenuhi semangat belajar, semangat untuk meraih impian seterang bintang di langit. Dan semoga Allah, Sang Pemilik Segala Ilmu Pengetahuan, melimpahkan cahaya yang terang dan hikmah ke dalam hati dan jiwa setiap kita...

Tuesday, 18 August 2015

Kawasan Agropolitan Cianjur: Makmurkah Petani di Negeriku?

Kampung Halamanku

Gunung tinggi bukit menjulang
Sawah hijau menghampar
Langit biru mempesona
Itulah rumah asalku
Kampung halamanku
Semburan mentari di ufuk timur
Surya pagi memancarkan sinarnya
Sebersit sepoi angin berhembus
Mengiringi jalan Bapak ke sawah
Ditemani nyanyian riang bocah

Hari itu, puisi yang dulu kuakrabi ketika SD tentang keindahan Indonesia kembali memenuhi kepala. Tidak hanya itu, aku juga seperti diingatkan kembali pada cerita ‘Liburan ke Rumah Nenek’ yang kutulis belasan tahun lalu, ketika aku membayangkan liburan dipenuhi kegiatan di pematang sawah, mencari bekicot dan ikan, serta deretan bukit hijau dengan kabut menggantung tipis di pagi hari. Lalu saat usiaku sedikit beranjak, duduk di Sekolah Menengah, lagi-lagi setiap hari mataku tak pernah lepas dari sebuah lukisan seorang teman kelas—lukisan terbaik saat ujian Keterampilan dan Kesenian, karena lukisan itu bercerita tentang kesejukan alam pegunungan di pagi hari, tentang sebuah jalan yang diapit bukit-bukit hijau dan burung-burung kecil terbang rendah di atasnya. Ah, setelah belasan tahun, akhirnya aku bisa menyaksikannya. Kini tinggal dua impian masa kecil lagi yang belum kutunaikan, yaitu liburan ke Borobudur dan melihat langsung gadis remaja berpakaian tradisional Inggris dengan keranjang bunga di halaman rumahnya yang serupa kastil. Semoga Allah segera mewujudkannya.


Alam pedesaan yang kumaksud di sini adalah kawasan Agropolitan Cianjur. Bukan petak-petak sawah di kaki gunung seperti lukisanku dulu memang, melainkan deretan sayur-mayur yang menurutku lebih indah di mata. Di kawasan ini, petani bertanam sawi, wortel, lobak, pak coy, hingga sayuran bergengsi seperti red redish dan horinso. Dari Bogor, butuh waktu berjam-jam untuk menembus kawasan ini, belum lagi jika terjebak macet di kawasan Puncak. Untungnya perjalanan kami beberapa waktu lalu terbilang lancar.

Friday, 14 August 2015

Jika tidak Pernah Merasakan Kepedihan, Bacalah A Thousand Splendid Suns



Amazon.com

Novel kedua Khaled Hosseini ini bukanlah barang baru bagiku. Pertama kali mencoba membaca saat aku masih duduk di kelas dua Madrasah Aliyah, hampir lima tahun lalu. Aku bahkan mengenal novel ini sebelum membaca novel pertama Khaled, The Kite Runner.

Dulu, aku tidak pernah berhasil menamatkan novel ini, meski seberapa besar telah berusaha. Kepedihan di dalamnya membuat perut mual, lalu aku merasa seperti terkurung dalam sebuah ruangan gelap dan pengap. Berkali-kali aku coba melanjutkan bacaan, tapi berkali-kali pula aku menyerah. Namun satu hal yang membuatku takjub, novel yang tak sempat kutamatkan ini ternyata terus hidup dalam pikiran. Kalimat Nana saat berkata pada Mariam bahwa perut ibu tidak akan melar dan berdarah meskipun telah menampung seorang manusia selama sembilan bulan, selalu saja kuingat. Hingga kemudian, beberapa bulan lalu, aku memutuskan untuk kembali mencoba. Tidak langsung pada A Thousand Spendid Suns, melainkan novel pertama Khaled-lah yang lebih dulu kubaca.

Apa yang dikatakan orang-orang memang benar, The Kite Runner adalah sebuah novel yang indah, meskipun saat membacanya aku dibanjiri air mata. Rasanya tidak satu novel pun sebelumnya yang bisa membuatku menangis sedahsyat itu, hingga tumpukan tisu basah penuh di sela-sela tempat tidur. 

Hanya butuh waktu 2 hari untuk menamatkan The Kite Runner, namun kisah Amir Agha dan Hassan terus menghantuiku hingga 5 bulan ke depan. Selang beberapa hari setelah menyelesaikan Kite Runner, aku sudah siap untuk kembali membaca A Thousand Splendid Suns. 

Aku membacanya dari halaman pertama, meskipun ingatan tentang cerita yang kubaca 5 tahun silam belumlah hilang. Hanya saja, kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Memang cerita di sana sama sekali tidak berubah. Aku tetap menemukan Mariam kecil yang tinggal bersama ibunya di sebuah bangunan kecil dari tanah liat bernama Kolba. Mariam masih tetap seorang harami. Jalil yang setiap waktu kunjungan selalu melambaikan tangan pada Mriam, lalu melompat di atas bebatuan menyeberangi sungai. Nana yang kemudian mati gantung diri. Mariam yang menjadi rumput liar dalam keluarga sang ayah,  hingga akhirnya ia tidak punya pilihan lain kecuali menikah dengan lelaki berumur bernama Rasheed. 

Sesuatu berbeda yang kumaksud adalah, aku menikmati setiap alur di dalamnya, bahkan setiap kata yang ditulis Khaled. Kini aku paham, dulu aku menganggap sebuah cerita yang indah adalah cerita yang dipenuhi dengan kejadian menyenangkan dan tempat-tempat indah. Pantas saja 5 tahun lalu aku sangat terhibur saat membaca Secret Garden, Little Lord Fauntleroy, Alice in the Wonderland, A Little Princess, hingga buku ensiklopedi tebal yang memuat ratusan gambar berwarna. Saat ke Gramedia pun, yang menjadi sasaranku adalah rak yang men-display berbagai novel remaja.

Namun sekarang, caraku melihat suatu tulisan telah berubah. A Thousand Splendid Suns menyadarkanku akan hal itu. Bagiku, Khaled adalah penulis yang benar-benar cerdas. Sambil terus membaca, aku masih saja dibuat kagum pada kelihaiannya memilih peristiwa apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam cerita. Terkadang ia hanya menulis tentang hal sederhana, tapi ternyata itu berhasil membuatku merenung, membuatku hidup sebagai Mariam. 

Dalam novel ini aku membaca kepedihan demi kepedihan, juga kekerasan hidup yang dialami perempuan di sebuah negara bernama Afghanistan, tapi sebaliknya aku menemukan keindahan dalam setiap kata yang dituliskan Khaled Hosseini. Aku membayangkan Kabul, Herat, Gul Daman, gedung bioskop, orang-orang Afghan berbahasa Farsi, anak-anak yang mengejar ayam, toko sepatu Rasheed, hingga rumah yang didiami Mariam. Mendengar kata Kabul, Herat, dan Sultan, aku seperti terlempar ke alam yang berbeda. Aku membayangkan sebuah tanah berwarna oranye, rumput-rumput liar yang berbunga, dan pohon-pohon yang tumbuh dengan jarang. Mungkin karena ini pula aku ingin berkunjung ke Afghanistan suatu hari nanti. 

Mengenai jalan cerita A Thousand Splendid Suns, kurasa kalian lebih fasih. Ada dua perempuan yang dijadikan Khaled sebagai tokoh utama dalam novel ini (Mariam dan Laila), mengingatkanku pada Amir dan Hassan. Namun entah mengapa, kisah Laila tidak begitu menarik perhatianku. Ya, dia memang telah kehilangan keluarga saat rumahnya hancur karena sebuah bom, dia juga menyaksikan sendiri saat tubuh sang ayah jatuh di sampingnya dalam keadaan tanpa kepala, tapi setidaknya Laila punya akhir yang bahagia. Di mataku Laila sama seperti tokoh utama dalam kisah fiksi lain yang disayang oleh si penulis. Jadi, meskipun setumpuk apapun penderitaan dan perjuangan yang harus dilewati, si penulis tetap memberikan kebahagiaan di akhir cerita.



Sedangkan Mariam? Baginya kebahagiaan adalah hal yang sangat sederhana. Ia bahkan tidak memiliki sendiri kebahagiaan tersebut, melainkan hanya ikut mencicipinya dari Laila. Seingatku, sepanjang membaca kisah Mariam, hanya satu kali saja Khaled Hosseini memberikan dia kebahagiaan, yaitu saat Rasheed mengajaknya berkeliling Kabul di hari-hari pertama pernikahan mereka. Dengan sabar Rasheed membelikannya es krim (itu adalah kali pertama Mariam mencicipi es krim), Rasheed mengajaknya ke kedai kebab, dan Rasheed yang dengan sabar memberi tahu satu persatu nama jalan. Ketika Rasheed menunjuk sebuah jalan bernama jalan Ayam, Mariam berkata, “Tapi aku tidak melihat ayamnya.”

Saat itulah Rasheed tergelak dan menjawab, “Hanya itulah yang tidak bisa ditemukan di jalan ini.”

Moment itu berhasil membuatku tertawa geli. Aku tertawa, diam, menutup mulut, lalu kembali tidak bisa menahan tawa. Seolah diriku sendirilah Mariam itu. Betapa setelah menjalani hidup yang pedih, hal sepele seperti itu terasa begitu istimewa. Sejenak aku lupa pada Rasheed yang temperamen, perokok, pengoleksi majalah porno, jangkung dengan perut buncit, serta berhidung bengkok itu. Terlebih saat Mariam merasa bahwa senyum Rasheed hanyalah ditujukan untuk dirinya, senyuman pribadi seorang suami. Hatiku ikut terbuai dan berkata lirih, Mariam adalah perempuan yang tidak pernah menuntut apapun. Tidak juga marah pada siapa pun, meski kehidupan tidak pernah berpihak padanya sejak ia dilahirkan hingga akhir hidupnya. 

Pada Mariam, kurasa Khaled Hosseini telah membuang jauh-jauh rasa kasihan dalam hatinya. Jika aku penulisnya, tentu tidak akan pernah tega memberikan akhir yang pilu bagi Mariam, walaupun mungkin ia akan langsung dihantar ke Surga. Meskipun aku bukanlah penulis yang sesungguhnya, tapi aku tahu mematikan karakter utama dalam cerita yang kita tulis itu tidak mudah. Terlebih saat harus membuatnya menderita sepanjang hidup. Itu sama artinya dengan membuat menderita seseorang yang kita sayangi. Tapi Khaled berhasil melakukan itu dengan baik. Ya seperti itulah kehidupan. Ada orang-orang di dunia ini yang hidupnya benar-benar tidak diberi kesempatan, sedikit pun tidak. Sehingga yang mereka lakukan hanyalah tunduk, bersabar, dan bertahan. 

Berikut aku lampirkan potongan cerita dari novel A Thousand Splendid Suns:
 
Apa yang diucapkan Mariam memang indah. Tapi ketika aku ingat semua itu hanyalah ucapannya untuk menenangkan Laila, hwaaaaa hanya bisa kembali nangis.
Novel ini sangat pedih, terlebih untuk seorang wanita. Kalimat Nana yang berbunyi, ‘Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke Utara, jari telunjuk seorang pria selalu teracung menuduh seorang wanita. Ingatlah itu, Mariam!’ membuat kepedihan dalam novel ini kian sempurna. 

Seperti judulnya, Seribu Cahaya Mentari Surga, pembaca juga akan menemukan keindahan di akhir cerita. Tenang saja, kita bisa melihat Kabul dan Herat kembali hidup setelah sekian lama meranggas karena perang. Selain itu, melalui novel ini, Khaled yang merupakan putra seorang diplomat ini berhasil memberi tahu permbaca tentang situasi politik dan siapa saja yang pernah berkuasa di Afghanistan. Secara keseluruhan, novel ini adalah karya yang sangat indah, juga mengingatkan kita untuk selalu bersyukur. 

Bagi yang belum pernah membaca, setidaknya bacalah meskipun hanya sekali seumur hidup.

Memancing di Jembatan Teluk Bunga Ros



Adikku kini sudah tumbuh menjadi remaja. Tubuhnya sama seperti aku, selalu lebih tinggi dibandingkan teman-teman lainnya. Umurnya masih 14 tahun kurang 2 bulan, tapi tingginya sudah melebihi aku. Padahal saat aku berangkat ke Bogor tahun lalu, dia masih setinggi pundakku. Tidak bisa dibayangkan setinggi apa dia setelah tamat SMP nanti. Waktu ambil foto di atas, aku sadar kalau adikku sekarang bukan lagi bocah kecil seperti beberapa tahun lalu. Pantas saja saat aku memarahinya, dia pun mendiamkanku hingga dua hari. Soal pakaian, selera adikku pun sudah tidak seperti dulu lagi. Dia tidak suka celana berbahan jins, dan lebih senang dengan kaos polos atau kemeja.

Usai sekolah, terkadang adikku dan teman-temannya pergi memancing di jembatan. Tidak terlalu sering juga, biasanya ada musim tersendiri. Jika air pasang besar (sekitar pertengalan bulan kalender Hijriah), musim memancing pun akan dimulai. Jembatan selalu dipenuhi anak-anak hingga orang dewasa yang datang dari kota kecamatan.

Ikan yang biasa didapatkan dari aktivitas memancing di pulauku antara lain: ikan sembilang (sejenis lele yang hidup di laut), ikan kurau, pari, gonjeng, dan udang. Ada banyak ikan buntal yang menghabiskan umpan pancing, tapi jarang sekali ada yang mau mengambil ikan tersebut untuk dibawa pulau. Ketika ada buntal yang terpancing, biasanya akan dibunuh begitu saja daripada nanti umpan pancing ia makan lagi.

Beberapa minggu lalu, usai shalat Zuhur, aku sengaja ikut adikku ke jembatan. Saat itu tidak sedang musim pancing, jadi jembatan cukup lengang. Hanya ada beberapa anak suku Asli dan Jawa yang iseng melempar kail di sana. Adikku sendiri tidak datang ke sana dengan tujuan utama memancing. Dia hanya ingin mengajakku melihat jembatan yang baru direkontruksi, dan daripada di sana cuma menganggur, adikku sekalian bawa pancing katrolnya.

Di pulau Penyalai tempatku tinggal, beberapa desa memang punya jembatan sendiri-sendiri. Fungsi jembatan di sini banyak sekali, mengingat transportasi antar pulau tidak bisa menggunakan motor atau mobil. Harus pakai sampan, pompong, atau speed boat. Jembatan juga digunakan untuk bongar-muat barang-barang dagangan, hingga memuat hasil panen seperti beras dan kelapa. 

Wilayah pulau Penyalai memang tidak luas. Untuk mengililinginya hanya dibutuhkan waktu satu hari saja. Meskipun kecil, tanah di pulau tidak satu jenis. Bagian Timur hingga desa-desa yang ada di belakang desaku, masyarakatnya bertanam padi. Kalau kamu datang ke sini, dijamin akan tercengang lihat betapa luasnya ladang padi di pulauku, karena sepanjang mata memandang yang terlihat hanya padi. Bahkan di Jawa saja sudah tidak ada ladang seluas itu. Berkunjung ke daerah ladang, sebaiknya menunggu waktu padi hampir dipanen. Pemandangan di sana bisa berlipat-lipat lebih cantik. Setiap panen raya, selalu ada acara besar yang didatangi pejabat pemerintahan, seperti bupati, gubernur, bahkan isunya tahun ini bapak presiden yang akan datang. 




Tadi kan bagian Barat, sekarang bagian Timur yang tanahnya tidak cocok untuk ditanami padi. Di sini rata-rata bertani kelapa dan jagung. Kebun di sini luas-luas. Para petani hidupnya sederhana saja. Nah di bagian Barat ini pula, ada beberapa bagian yang jadi sumber makanan laut untuk masyarakat pulau. Contohnya desa Tanjung Selukup dan desa Teluk Bunga Ros (khusus masyarakat yang tinggal di tepi laut). Yang kusebutkan nomor dua tadi adalah desaku sendiri dengan jembatan tempat adikku memancing. Tidak jauh dari jembatan itu, berdiri banyak rumah nelayan warna putih yang dibangun pemerintah.

Hasil utama selat di pulau Penyalai umumnya adalah udang, ikan biang, ikan gonjeng, patin laut, debok, ubur-ubur, dan rebon. Sesekali ada juga nelayan yang berhasil menangkap ikan pari dan lobster (di sini biasa disebut udang galah). Tidak ada ikan budidaya di sini, jadi nelayan hanya mengandalkan laut seutuhnya. Ikan atau udang ditangkap menggunakan jaring dan gombang (jaring yang ditancap-tancap di laut). Saat musim melaut, selat di depan pulau akan dipenuhi sampan-sampan nelayan, lengkap dengan layar warna-warni. Sayang, saat aku ke jembatan kemaren tidak sedang musim ikan. 

Untuk areal pantai, di sana juga menghasilkan rama-rama (bentuknya seperti kalajengking, warna seperti udang merah, rasanya mirip-mirip lobster). Teknik mencari rama-rama ini dikenal dengan merujak, yaitu dengan menginjak-nginjak lubang rama-rama yang sebelumnya sudah dipenuhi air. Beberapa saat kemudian kita akan melihar rama-rama keluar dari lubang. Jika ingin makan rama-rama, suku-suku lain bisa membelinya dari suku Asli yang sudah jitu merujak rama-rama. Jarang sekali aku melihat orang dari suku Jawa atau Melayu main-main di pantai untuk merujak rama-rama.

Kalau mau lihat suasana pulau Penyalai secara langsung, monggo datang saja ya ke sini.

Saturday, 1 August 2015

Macau: Stylish, Ramah, Teratur, Bebas Macet

“Hi Sir, can you tell me the way to Paradise Garden?” Zahra bertanya pada seorang laki-laki muda petugas keamanan.
Petugas bagian keamanan di sana mirip ini semua :D
Layaknya hotel-hotel dan mall-mall besar, Sheraton Hotel tempat kami menginap juga menempatkan petugas keamanan di berbagai penjuru. Secara umum, mereka adalah laki-laki muda berpakaian rapi, lengkap dengan jas hitam, sepatu mengkilap, dan kabel seperti pegas di telinga, persis seperti laki-laki dalam drama Korea The Master’s Sun yang pernah kutonton salah satu episodenya. 
“Okay, follow me.” Ucapnya kemudian berjalan cepat di depan aku dan Zahra. Mungkin ia tidak begitu bisa berbahasa Inggris, jadi daripada pusing menjelaskan, lebih baik mengantarkan langsung.
Kami berjalan hampir seratus meter, kemudian menuruni eskalator tinggi. Berkali-kali laki-laki itu menoleh ke arah kami yang terseok-seok mengejar, ia mengode dengan tangannya agar kami terus mengikuti. Sampai di ujung eskalator, ia menyerahkan kami pada petugas keamanan lain yang bertugas di sana. Setelah itu, ia melambaikan tangan dan kembali ke tempat semula.
“Paradise Garden?” Zahra kembali menyebutkan.
“Oh, that’s the way...” ucapnya sambil tersenyum ramah. Tangannya menunjuk plang yang terpasang di depan salah satu belokan.
Oh, ternyata Paradise Garden sudah bisa terlihat dari tempat kami berdiri. Setelah mengucapkan terimakasih, segera saja kami mendatangi taman tersebut. Informasi mengenai keberadaannya kami dapatkan dari Bu Ningsih. Ia mengatakan bahwa di Paradise Garden banyak bunga-bunga cantik sekaligus permainan air mancur yang indah. Taman itu dibuat di dalam bangunan hotel, jadi tidak perlu terjemur panas matahari untuk sampai di sana.

Paradise Garden (Dok.pribadi)


Semua tempat indah di atas bisa didapatkan tanpa perlu keluar hotel. (Dok.pribadi)
Pemilik hotel sepertinya tidak ingin membuat pengunjungnya bosan, itulah sebabnya mereka menyediakan segala hal di dalamnya, mulai dari retoran, tempat belanja, hingga taman-taman. Aku mengarahkan kamera ke beberapa sisi, kemudian memilih duduk. Sebelumnya sempat juga kami berfoto dengan makhluk-makhluk animasi dalam film, tentu saja gratis. Banyak pengunjung duduk-duduk di sana hanya untuk bersantai sejenak. Menghabiskan waktu di taman itu sambil membaca novel pasti sangat menyenangkan, pikirku.

Di lain hari, saat aku dan dua finalis lain memutuskan untuk jalan-jalan ke A Ma Temple sebelum jam keberangkatan kembali ke Hongkong, aku kembali dibuat terkesima oleh keramahan seorang sekuriti tua. Ketika itu Una memilih untuk menunggu di area A Ma Temple, sementara aku dan Zahra kukuh ingin mendaki Penha untuk melihat gereja yang berdiri di sana. Una sendiri sudah pernah berkunjung ke sana saat kedatangan ke Macau beberapa waktu sebelumnya.

“Sir, is it the right way to the Church?” Zahra bertanya pada laki-laki yang mulai renta tersebut. Seperti tebakanku, laki-laki itu tidak paham bahasa Inggris. Ia memberikan kode kepada kami bahwa ia tidak mengerti.

Kami lalu tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Namun saat kami akan melanjutkan langkah, laki-laki itu memanggil. Kedua tangannya dibentuk menyilang seperti tanda salib, spontan kami berdua mengangguk. Ia tersenyum kemudian dengan semangat menunjuk jalan yang tepat menuju ke atas bukit.
“Xie xie...” ucap kami sambil sedikit membungkukkan badan.
Sebenarnya banyak cerita yang terekam ingatanku tentang keramahan penduduk di sana, namun biarlah lain waktu saja kuceritakan lagi.

Selain tentang keramah-tamahan, penduduk Macau juga sangat memperhatikan penampilan. Kuperhatikan, baik itu di area outdoor seperti Senado Square, hotel-hotel, pantai, hingga di bus publik pun diisi oleh orang-orang berpakaian stylish. Para wanita kebanyakan tidak memakai make-up tebal, namun tidak juga bisa dikatakan bebas make-up. Riasan natural dipadukan dengan sepatu heels, jaket mengkilap, dan rambut aneka style, membuat semuanya terlihat manis difoto. Aku jadi teringat pada street fashion yang kulihat di Orchad Road Singapura beberapa bulan lalu.

Source:www.charlaviolet.com
Begitu juga dengan para laki-lakinya, meskipun tidak semua menggunakan pakaian resmi seperti kemeja, jas, dan celana kain, namun mereka tetap memperhatikan penampilan. Aku tidak tahu, apakah faktor fisik yang membuat mereka terlihat bagus dengan pakaian model apa saja, atau memang karena mereka pintar memadu-padankan pakaian yang dikenakan. Apapun alasannya, ke mana pun mata memandang, orang-orang di sana selalu enak dilihat. 

Lalu bercerita soal bebas macet, ini tidak sempurna benar. Namun aku berani memberikan nilai 9 dari 10 dalam urusan bebas macet. Hotel berdiri di segala sisi kota, penduduknya cukup ramai untuk kota semungil itu, namun jalan raya mereka bisa terlihat lengang. Bus yang kami tumpangi selalu saja melaju di jalanan yang bersih bersama satu-dua mobil lainnya. Sepeda motor hanya sesekali tampak, itupun jumlahnya masih bisa dihitung jari. 
Jalan sesempit ini bebas macet. (Dok.pribadi)
Selain di area Senado Square, para pejalan kaki di jalan-jalan kota Macau tidak seramai di Malaysia atau Singapura. Mereka gemar menggunakan bus umum dan taxi untuk bepergian. Hal lain yang membuat jalan di sana terkesan teratur  karena semua pengguna jalan memiliki kepatuhan yang luar biasa. Jalan dengan lebar dua meter pun memiliki zebra cross dan semua orang akan menyeberang di sana. Saat lampu merah menyala, seketika semua kendaraan langsung berhenti, tidak ada yang curi-curi kesempatan. Sedangkan para pejalan kaki tidak mau menyeberang sebelum lampu tanda boleh menyeberang menyala. 

Pernah di suatu sore saat aku dan tiga teman wanita ingin mengunjungi kanal-kanal di Venetian, kami terlebih dahulu memotret areal depan sebelum memasukinya. Venetian memiliki jembatan melengkung yang juga berfungsi sebagai gerbang masuk kendaraan. Ada dua ruas jalan masing-masing dengan lebar 5 meter, satu ruas untuk masuk dan ruas yang lain untuk keluar. Jalan tersebut dilengkapi zebra cross lengkap dengan lampu rambu-rambu lalu lintasnya.  

Foto dicomot dari blognya Mbak Puput. Waktu itu foto juga, cuma hasilnya berbayang :(
Ketika itulah, kami semua dibuat heran oleh tingkah dua laki-laki berseragam. Mereka tetap berdiri di tepi zebra cross menunggu agar bisa menyeberang. Memang saat itu lampu merah tanda tidak boleh menyeberang sedang menyala, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda akan ada mobil yang ingin masuk ke Venetian. Tapi dua laki-laki itu, meskipun tidak ada yang tahu, mereka tetap memilih untuk taat peraturan. Bisakah kita juga seperti itu?

Macau Government Tourist Office Representative in Indonesia
Twitter    : @macauindonesia
Facebook: MGTO Indonesia
Website   : http://id.macautourism.gov.mo/  
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...