Beberapa waktu lalu sebelum sibuk dengan kegiatan
akhir perkuliahan, aku sempat beberapa kali ikut menjadi pengajar di
#SaveStreetChild Bogor. Tidak ada satu pun teman satu kelas atau teman dekat
yang ikut denganku waktu itu. Perkuliahan yang padat membuat mereka lebih
memilih untuk istirahat fulltime di hari Minggu, jadi aku tidak bisa memaksa
ditemani.
Lalu aku? Seperti yang pernah kukatakan, aku
sering memikirkan tentang hidup dan makna kebahagiaan. Seringkali aku merasa
hidupku terkesan sangat egois, merasa tidak berarti bagi orang lain, merasa
seperti seorang pecundang yang tidak ada gunanya sama sekali. Melihat beberapa
kenalan yang hidupnya selalu dipenuhi kegiatan bermanfaat bagi orang lain—baik
itu organinasi atau bukan—aku jadi sangat iri.
Tanpa pikir panjang, aku segera searching di
internet untuk menemukan organisasi atau komunitas di Bogor yang membutuhkan
seorang volunteer. Tidak peduli apapun kegiatan mereka, asalkan itu adalah hal
positif, aku sudah bertekad untuk mendaftar. Hingga akhirnya, aku berjodoh
dengan sebuah komunitas bernama Save Street Child yang sudah punya reputasi
nasional, juga diorganisir dengan baik oleh para pengurusnya. Seperti namanya,
komunitas ini berfokus pada anak-anak jalanan, secara umum memberikan kursus
gratis bagi mereka.
Hari itu Minggu, tepat sesudah Zuhur aku membuat
janji dengan seorang wanita bernama Keke. Setelah beberapa kali berkomunikasi
lewat sms untuk menentukan lokasi, akhirnya kami bertemu di depan Masjid Raya
Bogor. Selama beberapa menit, aku diminta Mbak Keke untuk menunggunya makan
siang. Satu mangkok mie ayam tidak berhasil ia kandaskan dengan sempurna, namun
ia sudah mengajakku segera ke lokasi belajar.
“Maaf ya tadi saya terlambat. Kamu jadi lama menunggu.” Kata Mbak Keke yang bertubuh mungil. Ia terus berjalan cepat di sampingku.
“Nggak apa, Mbak. Justru Mbak Keke sampainya tepat saat saya sudah selesai shalat.” Kataku. “Memangnya rumah Mbak Keke di mana?”
“Depok.” Jawabannya ini sempurna membuatku bengong.
Depok? Itu artinya sudah di luar kota Bogor. Aku
semakin kagum saat Mbak Keke bercerita ia selalu menyempatkan diri untuk datang
ke tempat yang akan kami tuju, meskipun seringkali pengajarnya hanya dia
seorang.
“Kasihan adik-adiknya kalau tidak ada yang datang.” Ia berkata lagi.
“Memangnya tidak ada pengajar selain Mbak?”
“Ada. Tapi semuanya berstatus volunteer. Mereka bukan pengajar tetap. Dulu ada namanya Rangga, dia ngajarnya bagus dan banyak anak-anak yang suka sama dia. Tapi dua minggu ini dia nggak bisa masuk lagi karena harus PKL.”
“Jadi sekarang hanya kita berdua?” tanyaku mulai panik.
“Nggak, Sof.” Ia tersenyum menenangkan. “Ada Bella, terus ada Anis dan satu orang temannya. Mereka langsung ke tempat belajar.”
Alhamdulillah. Aku benar-benar lega. Sejauh itu
aku tidak punya pengalaman mengajar sama sekali, kecuali mengajar ngaji
anak-anak di desaku. Itu pun sudah lama sekali. Sejak aku masuk pesantren lima
tahun lalu, rasanya aku tidak pernah lagi jadi seorang guru. Dan kali itu, demi
memperoleh ketenangan batinku sendiri, demi mencari makna sebuah kebahagiaan,
aku harus keluar dari zona nyaman. Lalu mengajar? Oh, sejak kecil aku tidak
pernah bermimpi jadi seorang pengajar. Selama ini aku beranggapan bahwa
mengajar adalah sesuatu yang membosankan. Belum lagi kita harus selalu terlihat
bahagia dan ceria di depan anak-anak meskipun di dalam hati kita sedang dilanda
badai masalah. Bukankah itu sebuah topeng yang melukai diri sendiri? Namun hari
Minggu itu, semua pikiran seperti itu harus kupaksa agar menyingkir
sejauh-jauhnya. Au tidak akan pernah berkembang apabila tidak pernah mencoba.
Kami terus berjalan melewati pintu belakang
terminal Baranang Siang, toko-toko buku bekas, warteg kumuh, sebuah bangunan
putih yang tidak terawat, hingga kami tiba di sebuah pertigaan. Jika aku naik
angkot ke arah kanan, maka beberapa menit kemudian akan tembus di samping pasar
Bogor, dekat Tugu Kujang. Tapi itu adalah jalan ke arah kosanku, dan saat itu
tujuanku bukanlah kembali ke kosan. Mbak Keke menunjuk sebuah pintu kecil
berukuran satu depa yang dibuat seadanya di tengah pagar besi yang sudah
karatan. Kami menyeberang dan masuk ke pintu tersebut, menuruni anak tangga
yang curam, dan masuk ke dalam sebuah kompleks padat rumah penduduk.
Beberapa menit kemudian kami sampai di sebuah gang
sempit yang menjadi jalan utama kompleks tersebut. Gang yang diapit oleh
pintu-pintu rumah, kedai-kedai, dan kain-kain jemuran itu hanya bisa dilewati
oleh satu buah motor saja. Saat berjalan di sana, aku bisa mendengarkan orang-orang
di dalam rumah yang sedang berbicara, suara bayi-bayi yang sedang menangis di
dalam ayunan, suara minyak di penggorengan, serta mencium harum masakan yang
menguar dari satu dua pintu.
Rumah-rumah di sana tidaklah ‘sesederhana’
rumah-rumah yang berdiri di sekitar sungai hitam yang membelah kota Jakarta,
namun tidaklah sebagus rumah-rumah di lingkungan kosanku. Meskipun lantainya
sudah dibuat dari beton, rumah-rumah di sana berukuran kecil. Ketika melintas
di depan rumah-rumah itu, aku bisa memastikan kalau masyarakat di sana hidup
sangat apa adanya.
“Kita sudah sampai.” Kata Mbak Keke mengejutkanku.
Aku melongok ke sana ke mari. “Di mana tempat belajarnya?”
Sepertinya Mbak Keke maklum dengan kepolosanku,
tangannya kemudian menunjuk kecil sebuah tangga sempit di samping rumah beratap
rendah. Aku mengikuti arah tangan Mbak Keke, hingga mataku menangkap sebuah
teras berukuran 2 x 2 yang biasa dipakai pemilik rumah untuk menjemur pakaian.Tidak ada papan tulis tertempel di dinding, tidak ada meja kursi, tidak ada meja belajar, juga tidak ada foto presiden dan wakilnya. Hanya satu buah tikar bekas.
“Sofi tunggu di sini saja, ya. Saya mau jemput anak-anak dulu.”
“Jemput?” aku masih belum berhenti heran.
“Kalau nggak dijemput, mereka pada nggak mau datang belajar.” Mbak Keke tertawa kecil.
“Kalau begitu saya ikut Mbak Keke saja.” Dengan cepat aku sudah memegang tangannya. Mbak Keke mengangguk.
Mbak Keke terlihat sudah kenal akrab dengan
masyarakat di sana. Saat kami sampai di sebuah kedai, para ibu yang ada di sana
langsung menyapanya. Dengan bahasa Sunda mereka segera memerintahkan anak-anak
untuk menjemput teman mereka. Mataku jadi berkaca-kaca saat di sekelilingku
anak-anak berlari dari satu rumah ke rumah lainnya dengan bibir yang terus
memanggil nama teman-teman mereka.
“Si Asep ngggak ada di rumah, Kak. Dia ikut ibunya ke hajatan.” Kata Dani sambil menyalami tanganku dan Mbak Keke.
Ternyata hari itu sedang ada acara khitanan di
salah satu rumah. Banyak anak yang tidak mau belajar karena tidak mau
meninggalkan acara. Total hanya ada lima orang yang ikut kami ke tempat
belajar.
“Ya begitulah, Sof. Apalagi kalau pas hujan, mereka sering ijin pulang sebentar, tapi ternyata tidak datang lagi. Tahunya semua pergi ke lampu merah buat ngojek payung.” Mbak Keke memberi tahu.
Kami mulai belajar sekitar pukul dua siang.
Sebagai pembukaan kami mengajari mereka mengaji dengan cara menyimak bacaan
satu per satu. Ada yang masih di iqro satu, ada yang tiga, empat, dan enam,
sesuai dengan umur mereka yang rata-rata berkisar 7-10 tahun. Hanya Ridwan yang
paling besar, umurnya sekitar 15 tahun. Pada minggu-minggu berikutnya aku tahu
kalau dia ini peserta belajar yang paling rajin. Dia selalu menyambut kami
sebelum teman-temannya datang, menyiapkan tempat belajar, dan juga setia sekali
ikut belajar. Sayangnya Ridwan putus sekolah karena masalah ekonomi. Padahal ia
anak yang cerdas dan punya kemauan besar, selain itu Ridwan juga anak yang baik
dan penurut. Ketika Mbak Keke memberi tahu kenyataan mengenai Ridwan, hatiku
terasa pedih. Aku membayangkan Ridwan yang postur tubuhnya mirip adikku itu
harus kerja berat hanya karena tidak bisa sekolah tinggi. Senyum dan sorot mata
Ridwan, semua itu seperti memberi tahu bahwa ia begitu pasrah pada kenyataan
hidupnya. Aku sering memperhatikan Ridwan yang tersenyum tulus saat membantu
adik-adik lain belajar berhitung, dan pemandangan itu hanya membuatku ingin
menangis.
Kebanyakan adik yang belajar di sana masih duduk
di bangku SD. Mereka anak-anak yang cerdas, namun sangat sulit mengajak mereka
belajar. Umur-umur seperti itu tentu lebih memilih untuk bermain petak umpet
dan pondok-pondokan. Terkadang kami para pengajar bergantian membelikan dua
kotak cokelat sebagai imbalan untuk mereka yang hadir belajar. Kalau sudah usai
belajar, biasanya mereka akan menuruni tangga menuju bebatuan di sungai
Ciliwung. Di bawah sana mereka melompat dari satu batu ke batu lainnya,
terkadang mandi, dan ada juga yang tidak malu-malu buang air kecil.
Malam ini aku sangat merindukan mereka. Merindukan
semangat mereka saat belajar matematika lalu rebutan menyerahkan lembar hasil
pekerjaan kepadaku, merindukan lukisan mereka yang tidak serasi dengan ayam
yang sama besar dengan rumah, atau bunga yang tingginya sama dengan ujung atap;
merindukan bibir-bibir mungil mereka yang mengeja huruf hijaiyah, juga
merindukan teman-teman pengajar yang begitu sabar dan tulus. Andai aku punya
banyak kesempatan tinggal di Bogor, tentu aku akan kembali ke sana. Hingga kini
aku masih menyimpan kertas-kertas berisi lukisan mereka, dan seringkali aku
memandanginya begitu lama. Aku tidak menyangka pernah berada di tengah-tengah
mereka, meski hanya sebentar. Aku tidak menyangka menjadi seorang pengajar itu
bisa membuatku sangat bahagia dan merasakan hidup. Andai waktu itu aku tidak
memilih untuk sedikit lebih berani, mungkin hingga saat ini aku sudah
menyelesaikan pendidikan, aku tidak akan pernah menjejakkan kaki di kompleks
padat di pinggiran Ciliwung itu. Pengalaman ini adalah salah satu pengalaman
paling berharga saat aku berkuliah di Bogor, menjadikan Bogor sebagai kota
kecil yang sangat berarti dalam hatiku.
Semoga jiwa adik-adikku di sana selalu dipenuhi
semangat belajar, semangat untuk meraih impian seterang bintang di langit. Dan semoga
Allah, Sang Pemilik Segala Ilmu Pengetahuan, melimpahkan cahaya yang terang dan
hikmah ke dalam hati dan jiwa setiap kita...