Thursday, 24 September 2015

Oh My God: Perjalanan Sang Ateis untuk Menemukan Tuhan

Akting jadi baghwan


Bermula dari seorang pengusaha kelas menengah bernama Kanji yang tidak percaya keberadaan Tuhan. Sehari-hari Kanji bekerja di toko miliknya dengan menjual patung dewa-dewi Hindu, seperti Krishna, Parvati, dan kawan-kawan. Kanji memang berjualan aksesoris Hindu, namun sejatinya semua itu hanyalah sebatas bisnis baginya. Bagi Kanji, Tuhan hanya sebatas buatan manusia, dan Tuhan adalah ladang bisnis.
“Kemarilah, Kanji.” Panggil Muhammad, pemilik toko di samping toko Kanji, yang seorang Muslim.
“Ya.” Kanji mendekat.
Si tetangga yang berpakaian ala Jamaah Tabligh sambil memegang tasbih pun berkata, “Tolong jagakan tokoku selama sebulan.”
“Kenapa?” Tanya Kanji cuek.
“Aku akan menunaikan ibadah haji.”
“Aku sarankan kau untuk memperbaiki tokomu daripada menunaikan ibadah haji.”
“Allah yang akan menjagaku dari syaitan.” Jawab Si Muhammad.
“Hei, tokomu akan rubuh hanya dengan seseorang yang bersin.”
Kanji, Kanji, semua yang ia ucakan memang lucu sekaligus mengena di hati. Terkadang terkesan hanya lelucon, terkadang ada benarnya, dan terkadang juga terlalu kurang ajar. Hingga di suatu siang yang cerah terjadi sebuah gempa kecil, bahkan Kanji sendiri tidak merasa ada getaran gempa, namun televisi menyiarkan bahwa gempa tersebut telah merubuhkan sebuah toko di sebuah pasar (pasar tempat toko Kanji berada).
“Ah, itu pasti tokonya Muhammad.” Kanji yang sedang bermain dengan putranya terkekeh.
Tapi siapa sangka, toko yang rubuh tersebut adalah tokonya sendiri. Anehnya, toko-toko reot di pasar tersebut tidak terusik sedikit pun, tapi toko milik Kanji tidak hanya rubuh dalam artian dinding yang retak-retak. Toko itu benar-benar luruh ke tanah.
Kanji sempat sedih selama beberapa saat, tapi ia masih punya harapan. Selama ini ia rutin membayar premi asuransi, dan sekarang semua kerugiannya akan dibayarkan oleh perusahaan asuransi. Dengan bangga Kanji memamerkan surat perjanjiannya dengan perusahaan asuransi pada para tetangga yang berkumpul di depan toko. Padahal orang-orang tersebut, termasuk istrinya, sudah memperingatkan bahwa musibah itu terjadi akibat murka Tuhan.
“Oh, jadi Tuhan merubuhkan tokoku hanya untuk membuktikan keberadaan-Nya?” tanya Kanji masih sombong. “Lalu jika aku masih tidak percaya, Dia akan menimpakan kemurkaan yang lebih besar lagi padaku?!”
“Ya!” Jawab orang-orang serentak.
“Ya apanya? AKU MASIH TIDAK PERCAYA PADANYA!!!” Ucap Kanji lantang sambil menantang langit.
Ditemanii asisten yang paling setia, Kanji mendatangi kantor asuransi. Namun sayang, Si Manajer perusahaan tersebut menolak klaim yang diajukan Kanji dengan alasan musibah tersebut diakibatkan Act of God (kerusakan yang disebabkan Tuhan alias bencana alam). Kanji marah, tidak mau terima. Dia tidak percaya Tuhan, lalu apa urusan Tuhan dengannya? Lalu pada perusahaan asuransi, dia sudah membayar premi, sudah menggadaikan rumahnya, tapi kenapa di saat ia ingin mengklaim justru ditolak?

Keadaan Kanji semakin sulit. Istri dan anak-anaknya pergi dari rumah, mengungsi ke rumah saudara. Tinggallah Kanji sendirian. Ia sangat sedih. Tanah bekas runtuhan toko tidak laku dijual, karena menurut orang-orang, tanah di mana patung dewa tertimbun di dalamnya akan membawa sial.
“Aku tidak mau tahu.” Kata Kanji pada seller yang diamanahi untuk menjual tanahnya. “Seratus tahun yang akan datang, saat orang menemukan patung Krishna terkubur di sana, harga tanah itu akan melonjak 10 kali lipat.”
Kanji tidak menyerah. Ia mengadukan masalahnya ke pengadilan.  Ia marah pada Tuhan, juga pada perusahaan asuransi. Jika musibah yang menimpanya benar Act of God, maka Tuhan harus memberi ganti rugi. Jika tidak benar, maka perusahaan asuransi lah yang harus memberikan ganti rugi. Jujur, selama menonton film ini, aku dibuat kagum pada kecerdasan Kanji. Dia memang ateis, tapi apa yang ia ucapkan selalu masuk akal (Note: jangan nonton setengah-setengah jika tidak mau salah paham).

Sampai di gedung pengadilan, tidak ada satu pun jaksa yang sanggup membantu Kanji, yang ada dia dimaki-maki, dihujat menghina Tuhan, hingga akhirnya seorang jaksa tua plus pesakitan bersedia membantu. Bukan membantu di pengadilan, jaksa tersebut hanya memberi tahu bahwa Kanji bisa membela kasusnya sendiri di pengadilan. Selanjutnya, si jaksa tua membantu menuliskan surat undangan pada pihak-pihak yang dituntut Kanji.

Pada hari yang ditentukan, hadir di persidangan adalah Kanji sendiri dan asisten, manajer perusahaan asuransi, jaksa, dan tiga orang perwakilan dari kuil-kuil Hindu (kalau di Islam, mereka ini para Pak Kiayi dan Bu Nyai). 

“Keberatan, Yang Mulia.” Si Jaksa menginterupsi. “Tuan Kanji mengatakan bahwa melayani Tuhan adalah bisnis.”
“Ya, memang bisnis! Saat pergi ke tempat religius, pertama Anda harus bayar parkir, lalu membayar hanya untuk mengantri, lalu membeli bunga, selimut, dan lilin; kotak sumbangan diletakkan di samping patung, segera setelah Anda membungkuk, Anda harus memasukkan sesuatu ke dalamnya, dan mereka (para imamnya Hindu) bahkan meminta bayaran untuk persembahan pada Tuhan, dan bahkan mendapat bagian dari pajak pendapatan. Lalu di mana bentuk pelayanan mereka? Semua hanya bisnis.”
“Tenang.” Kembali Si Jaksa memotong. “Anggap saja itu bisnis. Lalu kenapa Anda masih menuntut ganti rugi dari mereka? Di perusahaan asuransi itu wajar jika Anda menuntut, karena Anda membayar premi. Tapi di kuil, Anda kan tidak bayar premi ke mereka.”
Kanji menjawab. “Saya juga bayar premi ke kuil mereka selama 18 tahun terakhir, mengikuti saran istri saya. Lihat saya membawa semua kwitansinya. 1501 rupee saya bayar untuk kuil di wilayah Selatan, 1000 rupee saya bayarkan setiap tahun di kandang Dewa Ganesha.” Jeda sebentar. “Yang mulia, dulu ibu saya sakit keras. Lalu pihak kuil berkata ‘bayar kami 11.000 untuk melakukan pemujaan dan lihatlah keajaiban’. Kami pun menuruti dan Ibu Mertua saya meninggal dunia.” Peserta sidang saling pandang. “Total saya sudah membayar premi sebanyak 10 lakh untuk toko-toko mereka.”
“CUKUP! CUKUP!” Teriak si imam Hindu yang botak. “Mereka melakukan dengan suka rela agar hidupnya memperoleh ketenangan dan kesejahteraan!!!”
“Saya pun melakukan demi kesejahteraan keluarga saya.” Balas Kanji, “Tapi Tuhan Anda merampas kesejahteraan dari hidup saya. Karena hanya Tuhan yang bisa menyebabkan gempa bumi. Jadi beritahu saya, tidakkah saya berhak meminta ganti rugi kepada Tuhan?”
“Tuan Kanji.” Panggil Si Jaksa. “Anda punya masalah dengan Tuhan, kan? Jadi mengapa Anda tidak meminta ganti rugi langsung pada-Nya? Mengapa Anda meminta pada pihak kuil?”
“Perusahaan apa yang menyediakan listrik ke rumah Anda?” tanya Kanji.
“Reliance.”
“Jadi jika ada gangguan listrik di rumah Anda, Anda akan menghubungi kantor Reliance, bukan? Anda tidak akan menghubungi Anil Ambani secara langsung, kan?” dan semua hadirin pun tertawa.
Akhirnya dengan bakat argumentasi yang kuat, tuntutan yang diajukan Kanji pun diterima pengadilan. Ceritanya panjang, sama seperti rata-rata film India. Sulit bagiku menuliskan dengan singkat, karena justru momen-momen terbaik terdapat di perdebatan dan ucapan-ucapan Kanji. Keluar dari gedung pengadilan, Kanji didemo oleh masyarakat yang merasa Tuhan mereka dihina. Bahkan Kanji dikejar oleh sekawanan orang suruhan dari pihak kuil. 
Keajaiban mulai terlihat, ternyata Dewa Krishna (yang mereka sebut sebagai Baghwan alias Tuhan) juga mau ikut ambil bagian. Dia turun ke bumi dengan mengendarai motor, menjadi sahabat Kanji, dan memberikan saran-saran terbaik. Pada mulanya, Krishna tidak mengatakan kalau dirinya adalah tuhan. Dia hanya berperan sebagai sahabat yang bijak.
Di kehidupan asli, Akshay Kumar dan Paresh Rawal (Kanji) ini beneran bersahabat, lho. Suka terharu kalo ada dua lelaki bersahabat :'(
Tapi di akhir persidangan, ketika kasus sudah jelas akan dimenangkan oleh Kanji, dan pihak kuil sudah terpojok, Kanji berucap lantang di tengah persidangan, “Sampai hari ini saya mendengar bahwa Tuhan dihormati, disembah, dan dipuja. Tapi sekarang saya baru tahu bahwa Tuhan juga memiliki hak cipta. Hak cipta Tuhan? Orang-orang ini (imam-imam kuil) telah merubah Tuhan menjadi merek dagangan.”

Krishna yang berdiri di antara para peserta sidang di lantai dua tersenyum, lalu berniat akan keluar. Namun Kanji berucap lagi, “Sekarang saya semakin yakin kalau Tuhan memang tidak ada.”

Deg. Krishna berhenti, tertegun.

“Jika Tuhan ada, Dia pasti sudah menyingkirkan penipu kelas dunia seperti mereka. Saya sudah menyampaikan segala pembelaan saya, Yang Mulia. Putusannya kembali kepada Anda.”

Sesutu terjadi! Krishna ingin menegur langsung seseorang yang jelas-jelas mengingkari keberadaannya. Kalimat pengingkaran yang diucapkan oleh Kanji barusan keluar dari hatinya, dan itu tidak bisa lagi dibiarkan.

Apakah yang terjadi selanjutnya? Silakan tonton filmnya. Pasti sudah banyak web yang menyediakan filenya secara gratis. Yang jelas, film ini menceritakan proses seorang ateis sejati menjadi pemuja Tuhan sejati. Dalam film tersebut, Krishna berkata, “Aku tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Aku juga punya akal sehat. Aku tidak tertarik dengan persembahan orang-orang. Aku ingin mereka mendistribusikan semua ini untuk orang miskin. Yang aku pedulikan adalah keimanan, cinta, keyakinan, dan kepercayaan mereka.”


“Kepercayaan?” tanya Kanji. “Tapi aku tidak percaya padamu. Aku ateis. Tapi mengapa kau menunjukkan dirimu padaku?”
“Kanji Bhai, apakah kau tahu artinya ateis?” Krishna tersenyum, “Seseorang yang meneliti, berpikir, mengerti, dan mengatakan kalau ini salah, kalau Tuhan tidak ada,  dialah seorang ateis. Itu sebabnya aku muncul di hadapanmu. Karena kau melakukan semua yang dilakukan oleh seorang ateis sejati. Dan seorang ateis sejati bisa menjadi penganut sejati. “
Ah, film ini secara umum memang ditujukan untuk Hindu, tapi kita bisa belajar banyak darinya. Dan menurutku, bagi yang mau berpikir, film ini menekankan satu hal, bahwa segala aksesoris dan pemujaan yang tidak masuk akal sebenarnya tidaklah dibutuhkan Tuhan. Dalam film diperlihatkan bagaimana susu yang digunakan orang-orang untuk ritual agama, pada akhirnya hanya disalurkan ke selokan. Mubazir. Sementara di luar kuil, ada banyak pengemis yang kelaparan. Tidak hanya itu, banyak di antara sekian banyak kuil yang berdiri di dunia ini, sejatinya hanya dijadikan ladang bisnis bagi para pemuka agama mereka. Contohnya, dalam Hindu, bekas tapak kaki si pemuka agama dihargai sekian rupee, dan siapa yang memilikinya akan diberkahi. Di Islam? Bukankah sering kita mendapati jimat-jimat dari Kiayi A , B, dan C? Syukurnya, tidak banyak yang bisa disindir oleh film ini tentang agama Islam. Termasuk dalam film Peekay yang mengambil tema sama. 

Justru dari film Oh My God maupun Peekay, kita akan menemui banyak hal rasional dalam ajaran Islam. Satu hal yang menurut Kanji salah dalam Islam adalah sumbangan selimut ke Masjid. Mungkin hal ini ada di India, tapi di banyak negara tidak ada, kan? Dalam Al Quran dan hadis pun tidak ada yang memerintahkan Muslim untuk menyumbang selimut ke Masjid, kecuali kalau selimut tersebut dimaksudkan untuk hal tertentu (misal disalurkan pada mereka yang butuh). 

Film ini sangat bagus. Bahkan menurutku ide cerita dan dialognya lebih bagus dibandingkan Peekay. Tapi karena Peekay diperankan oleh aktor terkenal (Aamir Khan), jadinya film ini lebih dikenal. But it’s okay, dalam Oh My God, kita juga bisa lihat manusia tampan, kok. Si Krishna diperankan oleh Akshay Kumar. Memang tidak begitu tenar seperti Sharukh, Salman, dan Aamir, tapi Akshay cukup punya nama. Intinya lupakan siapa aktornya, karena jalan cerita dan pesan di dalamnya jauh lebih penting.

“Tuhan bukanlah figur seorang ayah. Tuhan adalah temanku.”—Kanji dalam Oh My God





3 comments:

  1. ini agak lebih realistis daripada film Pe Kay yaaa :)

    ReplyDelete
  2. Film India berani ya. Saya aja dibuat tertegun dg film peekay. Baca sinopsis film ini jadi penasaran.

    ReplyDelete
  3. setujuuu... akhsay kumar lebih tampan dibanding SRK
    hahahahahhaa

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...