Kuil A Ma dibangun
untuk memperingati Matsu, dewi pelaut dan nelayan. Menurut legenda ‘A Ma’
berasal dari nama seorang gadis miskin yang ingin pergi ke Canton namun tidak
diizinkan ikut kapal seorang pedagang kaya. Lantas seorang nelayan miskin
mengizinkannya ikut. Kemudian, sebuah badai menerjang dan menghancurkan semua
kapal di lautan kecuali kapal yang ditumpangi gadis miskin tersebut. Setibanya
di Makau gadis itu menghilang dan kembali menampakkan diri sebagai seorang dewi
di tempat dimana para nelayan membangun kuilnya.
Aku, Zahra dan Una sepakat untuk
mengunjungi A Ma Temple di hari terakhir perjalanan kami di Macau. Pukul 10.00
adalah keberangkatan menuju Ferry Terminal, jadi kami menyempatkan untuk pergi
ke A Ma secepat dan sesingkat mungkin. Setelah naik bus umum sekitar setengah
jam, akhirnya kami sampai juga di kuil berwarna merah tersebut.
A Ma Temple tidaklah sebesar yang
kubayangkan selama ini. Hanya ada ruangan ibadah mungil lengkap dengan
patung-patungnya dan lidi-lidi sembahyang, pavilion kecil, halaman, dan ada
tempat untuk menggantungkan tulisan berisi harapan atau doa-doa. Banyak turis
yang sibuk memotret atau sekadar melihat-lihat. Di depan A Ma Temple, terdapat
lapangan luas yang dipenuhi kursi-kursi di bawah pohon hijau.
Selanjutnya, aku dan Zahra melanjutkan
perjalanan mendaki bukit Penha. Jalanan yang menaik memberi kesan sepi dan
lengang. Hanya ada satu atau dua orang yang berpapasan dengan kami. Rupanya
daerah tersebut adalah area perkampungan, banyak rumah-rumah penduduk dibangun
di sana. Udaranya sangat sejuk, tentu saja karena ia berada di dataran tinggi. Kami
menuju Penha Church yang berdiri di puncak bukit bersama seorang Bapak. Laki-laki
tua itu—mungkin berusia 65-70 tahun—sedang jalan-jalan pagi bersama anjingnya.
Yang membuatku salut, ia tidak terlihat ngos-ngosan sama sekali, padahal aku
dan Zahra sampai mengeluarkan tetes terakhir energi untuk mencapai puncak bukit
tersebut.
Jalan menanjak menuju Penha Church |
Ini lokasi perumahan penduduk |
Karena pintu gerbang gereja masih tertutup,
kami hanya bisa melihat-lihat taman yang dibangun di sekelilingnya. Gereja
berwarna abu dengan gaya Eropa itu sangat indah bagian luarnya, terlebih bila
dilihat dari kejauhan. Setiap kali melintasi jembatan di Macau, semua orang
bisa melihat gereja ini di ketinggian. Bahkan gambar-gambarnya banyak
bertebaran di postcard Macau.
Beberapa perempuan setengah baya
tampak sedang bersantai di taman Penha Church. Menikmati udara pagi yang sejuk,
sinar matahari yang cerah, sambil memandangi lanskap kota di bawah sana, tentu
menjadi aktivitas yang begitu menyenangkan.
Taman di samping Penha Church |
“Sepertinya seluruh penduduk di sini hidupnya nyaman dan damai, ya.” Ucapku pada Zahra.
Aku sangat menyukai suasana pagi di
Penha. Rasanya ingin duduk beberapa saat di sana. Sayang, kami harus bergegas
turun, limit waktu tinggal setengah jam lagi.
Kami mengambil jalan turun yang
berbeda dengan saat naik tadi. Awalnya karena menyusuri jalan mencari Mandarin
House yang tadi ditemukan Zahra di plang jalan. Setelah belok sana-sini, berjalan
turun, kami memang menemukan rumah Mandarin tersebut, namun belum waktunya
buka. Jadilah kami bertanya arah jalan menuju A Ma Temple pada seorang penduduk
lokal. Ia seorang wanita berumur 30-an.
“I’ll go to the same point. Let’s we walk together.” Katanya seraya tersenyum ramah.
Sampai di hotel sekitar setengah jam
kemudian. Kami tertinggal bus rombongan, syukurnya Pak Alan masih menunggu dan
mengantarkan ke Ferry Terminal menggunakan taxi. Ia juga membayar ongkosnya.
Pukul sepuluh lebih ferry yang kita
tumpangi sempurna meninggalkan Macau. Selamat tinggal Macau, semoga nanti kita
bertemu lagi. Selanjutnya adalah penerbangan pukul 05.25 menuju Bandara
Soekarno-Hatta. Bismillah...
Macau Government Tourist Office Representative in Indonesia
Twitter : @macauindonesia
Facebook: MGTO Indonesia
Website : http://id.macautourism.gov.mo/