Terimakasih. Malam ini kamu membuatku bisa merasakan kehangatan seorang teman. Ternyata kamu juga sama dengan wanita sebaya kita kebanyakan. Entahlah, rasanya aku ikut bahagia tiap kali kamu menceritakan tentang sesuatu bernama perasaan. Tentang pembicaraan apapun bersama ibumu dan selalu berujung pertanyaan tentang 'siapa dia?'. Aku jadi ingin tertawa ketika ibumu memohon agar kamu sedikit merubah penampilan, atau sedikit memperhalus tutur bahasa. Lalu kamu pun selalu mencari seribu satu alasan untuk berkilah. Di saat cerita begini, aku seperti satu-satunya teman baikmu di dunia ini. Kau juga menyarankan agar aku kembali menjalin silaturrahim dengan semua orang yang pernah membantuku di masa lalu, beramah-tamah dengan mereka, terutama pada guru-guru.
Aku tidak melupakan mereka, tak satu pun, percayalah. Hanya saja aku punya kesulitan dalam menghadapi orang. Bahkan aku sendiri bingung bagaimana caranya menjalin sebuah komunikasi yang hangat. Jangankan pada mereka, pada nenek kakek saja aku canggung. Sudah beberapa kali aku berkonsultasi pada ahlinya, tapi tak satu pun paham bahwa aku dalam masalah. Jika aku bisa memilih, aku ingin jadi sepertimu yang akrab dengan siapa saja.
Kamu tahu, untuk sekadar berkunjung ke rumah tetangga, aku harus menunggu Ibu. Kenapa? Karena aku takut. Aku takut orang tidak mau bicara padaku, aku takut kehadiranku mengganggu, aku takut diacuhkan. Padahal aku sangat paham bahwa semua hanya dusta. Ketakutan ini hanya bermain dalam kepalaku saja. Kenyataannya, mereka selalu menanyakan tentangku pada bapak ibu, kapan aku pulang? Kenapa tak pernah berkunjung? Dan lain-lain.
Tiap kali berkenalan dengan orang asing, aku pasti mewanti-wanti sedini mungkin agar mereka paham kondisiku yang seperti ini. Mungkin semua sebab trauma di masa kecil. Kisah yang lumayan menyesakkan, bahkan aku menangis tiap kali mengenang. Biarlah bagian ini jadi ceritaku saja.
Dokter bilang, 'Ingatanmu tak mungkin bisa menjangkau masa kecil di umur 7 atau 8. Buktinya kau bisa lulus kuliah tanpa hambatan, berarti tidak ada masalah dengan komunikasi.' Ya, itu kata kebanyakan orang yang mengaku ahli di bidangnya. Mereka tak paham tentang ketakutanku setiap hari. Dan ini tak mudah. Soal ingatan yang tak mampu menjangkau, kata siapa? Aku bahkan ingat saat masih di ayunan, saat duduk di tengkuk Bapak, saat bicaraku belum lancar. Lalu sejak saat itu, aku jadi malas dengan orang-orang yang mengaku psikolog, dokter spesialis kejiwaan, atau sejenisnya.
Cukuplah dulu. Oh iya kini, aku sudah bisa menamaimu sebagai seorang teman dekat.
No comments:
Post a Comment