Friday, 14 April 2017

Untuk Sesuatu yang Tak Begitu Dipahami


Karena soal perasaan adalah satu hal yang tak begitu kupahami. Terkadang, menebak arah perasaan sendiri aku masih sering kebingungan. Terlebih perasaan pada seseorang yang tak memiliki kejelasan. Pada hakikatnya makhluk bernama wanita tak lah sepolos itu. Terkadang, meski merasa, kami lebih memilih berpura-pura tak paham apa-apa. Karena inilah satu-satunya langkah aman yang paling mungkin. Terkadang lagi, wanita hanya malas memikirkan terlampau jauh, terlebih bagi mereka yang pernah hancur hatinya. Karena apa? Karena mereka takut hancur untuk kedua kali. Pada suratmu yang bertumpuk itu (ah, bahkan kau menulisnya untuk banyak orang), aku hanya tak mengerti cara membalasnya. Akhir-akhir ini aku hanya malas berharap. Tak jarang berharap pada manusia hanya berujung luka. Biarlah berjalan apa adanya. Bukankah kau pernah berharap akan lebih baik jika semua kembali seperti sedia kala. Ya, kurasa sekarang harapanmu itu telah menjadi nyata.

Tuesday, 11 April 2017

Selain tentang Cinta




Hari ini mendung menggelayut di langit kota. Sejak pagi aku tidak melihat matahari menampakkan cahaya emasnya. Hanya ada semburat putih yang menyeruak dari gumpalan awan kelabu. Aku yang seharian menghabiskan waktu di apartemen sambil membaca beberapa buah jurnal kesehatan, akhirnya merasa bosan.

Di tengah kebosanan itu, aku berjalan menuju jendela dengan secangkir teh di tangan. Aku melirik ke bawah. Seorang wanita paruh paya tampak kesusahan membawa barang belanjaan, dan di sisi lain aku melihat anak-anak yang sedang bermain bola. Sementara di ujung jalan, ranting-ranting magnolia mulai mengeluarkan bunga-bunganya berwarna pink. 

Ah, sekarang sudah merangkak ke pertengahan musim semi. Aku hampir saja lupa. Di musim seperti ini, tulip-tulip yang ditanam di taman kota pasti sudah mulai berbunga, menciptakan hamparan warna-warni yang sayang untuk dilewatkan. Tapi lihatlah pada mendung yang menggantung di atas itu? Sesuatu yang membuat bibirku kembali terlipat. Aku yang sedetik lalu sudah membuat rencana untuk berjalan keluar, tiba-tiba didera kekecewaan.

“Mariam! Mariam! Kau di dalam?” seseorang memanggil dari luar. Dari suaranya seperti aku sudah tahu siapa dia.

“Alena? Kaukah itu?” aku berjalan menuju pintu.

Sebuah senyuman lebar mengembang ketika mata kami bertabrakan. Ya, benar Alena. Tanpa dipersilahkan pun dia sudah mengeloyor masuk.

“Aku bawakan noghut corbasi untukmu. Ayo dimakan mumpung masih panas. Tadi aku beli di restoran depan sana.” Alena langsung menuju dapur, mengambil dua buah mangkok.

Aku yang duduk di sofa hanya memperhatikan gerak-geriknya yang lincah.  

“Alena...” aku mengeluh. “Kau selalu membawakan makanan ini untukku.” Entahlah, akhir-akhir ini mungkin lidahku sudah jenuh dengan makanan penduduk negara ini. Aku merindukan makanan Indonesia yang bahkan bisa membuat berkeringat saat melahapnya.

“Hey!” Alena keluar dari dapur, tidak terima pada kekesalanku. “Sup ini baik untuk tubuhmu. Kudengar chikpea sangat bagus untuk dikonsumsi di masa kehamilan atau anak di usia pertumbuhan.” Dia nyengir. Lelucon yang ganjil.

Aku kembali mengeluh. “Alena yang baik, aku bukan anak-anak lagi. Dan aku tidak sedang hamil.”

Tetap saja, Alena tidak pernah mau menggubris penolakanku. Dia justru duduk dengan manis, kemudian meniup sesendok sup lalu menyodorkan ke depan bibirku.

“Ayo buka mulutmu. Ini enak sekali.” Katanya dengan mata berbinar.

“Kau selalu memaksaku.” Mau tak mau aku pun membuka mulut.

Sup yang berbahan utama chikpea atau yang dikenal dengan kacang arab ini terpaksa kukunyah. Rasanya sedikit asam karena dicampur dengan pasta tomat dan bawang bombay. Yang membuat sup ini terasa gurih ya karena daging cincangnya. Kurasa kunci lezat tidaknya sup ini juga terletak pada teknik perebusan daging. Ah, entahlah. Aku hanya menerka.

“Sudah, Alena. Aku mual. Sungguh. Akhir-akhir ini perutku tak begitu bersahabat dengan makanan di sini. Mungkin karena aku begitu merindukan makanan Indonesia. Sejak malam tadi aku terus membayangkan nasi hangat, sambal terasi dan lalapan.” Aku cemberut.

Alena diam beberapa saat, tapi kemudian bergegas bangkit dari duduknya.

“Ayo belanja. Kita bisa masak di sini. Kau masih menyimpan terasi?”

Akhirnya kami memutuskan untuk keluar selama beberapa menit. Beruntung apartemenku tidak terlalu jauh dari pusat perbelanjaan. Tak lama kemudian kami sudah kembali membawa bahan masakan.

“Kau masih ingat Safiye?” tanya Alena saat kami sibuk di dapur.

“Dia temanmu yang kuliah di Uludag itu, kan? Rasa-rasanya aku masih ingat. Kenapa dia?”

“Minggu lalu dia menikah. Aku ingin mengajakmu datang ke pesta pernikahannya. Tapi kurasa kau tak akan mau menempuh perjalanan jauh. Jadi aku hanya datang berdua dengan Ahmed.”

“Baguslah. Sampaikan ucapan selamat dariku.” Responku datar.

“Dia dan suaminya saling mencintai. Ternyata mereka saling mengagumi satu sama lain sudah sejak lama. Hanya keduanya sama-sama diam. Suaminya bernama Osman, asli Istanbul. Seorang pengacara. Mereka bertemu di kampus. Tiba-tiba dua hari setelah Safiye wisuda, Osman mendatangi rumahnya.” Alena bersemangat menceritakan kisah Safiye.

“Baguslah.” Responku singkat.

“Kau kenapa, Mariam?” kini Alena menoleh ke arahku, memandang dengan tatapan cemas.

“Kau ingin aku jujur?” aku mengambil napas, “Berhentilah menceritakan kisah cinta padaku, Alena. Kau sudah tahu itu. Percuma, aku tak percaya ada dua orang yang bisa saling mencintai di dunia ini. Sejauh ini aku hanya menyaksikan banyak kisah cinta yang menyakitkan. Bahkan beberapa kali aku dihantui mimpi buruk, menikah dengan seseorang yang sama sekali tak kusukai.” Aku tersenyum getir. “Aku bahkan tak percaya akan menikah suatu hari nanti. Jadi kumohon, carilah cerita lain yang lebih menarik selain kisah cinta.”

“Mariam, Sayang...” Alena menatapku. “Selama kau tak bisa melupakan lelaki itu, maka kau akan terus dihantui cinta yang menyakitkan. Ayolah lihat di sekelilingmu, ada banyak hal-hal indah. Kau terlalu fokus pada luka itu.”

Mataku berair. Aku meninggalkan Alena untuk kemudian duduk di sofa. Alena menyusul, duduk di samping.

“Kau bisa bilang begitu karena kau tak pernah mengalami sendiri. Aku pernah jatuh cinta. Sekali. Cinta yang membuatku menanti hari esok, yang membuatku begitu bersemangat, yang membuat hari-hari terasa dua kali lebih indah. Cinta yang sederhana, Alena. Tapi kemudian cinta sederhana itupun harus berakhir dengan sederhana, dia menikah dengan wanita yang ia cintai, dan wanita itupun mencintainya. Kemudian hal sederhana yang paling mungkin untuk kulakukan adalah berbahagia untuknya. Bahagia yang menyakitkan. Bahkan hingga hari ini aku masih berharap Tuhan sudi mempertemukan kami, walau sebentar. Ya, mungkin jika dunia ini terlalu singkat sehingga Tuhan kesulitan mencari waktu yang tepat untuk pertemuan itu, kuharap di kehidupan selanjutnya Tuhan mau sedikit berbaik hati padaku.”

“Mariam, jika Tuhan berkehendak, jangankan pertemuan, kebersamaan kalian pun adalah hal mudah bagi-Nya. Kau tak bisa bersama dia, itu karena sudah kehendak-Nya. Sudahlah, lupakan dia. Kau telah banyak mengabaikan hal-hal baik di dunia ini hanya karena sibuk meratapi luka itu. Menganggap kaulah yang paling tersiksa di dunia ini. Masih ada banyak hal yang bisa kau kerjakan daripada harus berlama-lama dalam kubangan patah hati, Mariam.”

“Kau benar.” Aku mengangguk. “Minggu depan aku akan ikut tim relawan ke perbatasan. Aku juga sudah mendaftar di sebuah organisasi amal yang berfokus di bidang penyaluran dana untuk anak-anak korban perang. Di sana kami akan membangun pemukiman layak bagi mereka. Seperti katamu, masih ada banyak hal yang bisa aku kerjakan daripada harus berlama-lama dalam kubangan patah hati.”

“Mariam?” Alena kaget. Tidak percaya. "Bukan begitu maksudku." Ia menampakkan wajah bersalah.

“Kau tenang saja. Aku sudah memikirkan hal ini matang-matang. Aku akan berusaha rutin mengunjungimu.”

Ya, aku tidak berbohong. Minggu depan aku memang akan berangkat. Seorang teman asal Australia bersedia menjemput. Semuanya bermula dari satu malam dimana aku menangis sambil melihat satu per satu foto lelaki itu. Juga foto pernikahannya. Tapi kemudian seorang teman mengirim sebuah foto. Dalam foto itu terlihat seorang wanita Barat berhijab rapat sedang menyalurkan bantuan bagi wanita dan anak-anak korban perang. Mereka adalah para janda dengan beberapa anak yang bahkan rumah mereka telah hancur. Tak ada kasur hangat, tak ada televisi, tak ada hiburan, beberapa keluarga bahkan baru saja tewas kemaren lusa, lalu ada anak-anak yang menatap dengan wajah menahan lapar. Sementara aku di sini, juga mungkin kebanyakan kaum muda, terlalu khusyuk masyuk dengan urusannya sendiri: cinta! Mereka bermimpi akan ada lelaki bak pangeran yang akan datang dengan sikap dingin namun perhatian, seperti dalam drama kebanyakan. Tapi setelah mereka terbangun, yang didapati adalah kisah cinta yang nyilu, tak sesuai harapan, atau uluran tangan yang tak bersambut. Mungkin sudah saatnya aku meninggalkan khayalan yang dibuat manusia tentang cinta, tentang tak ada kebahagiaan yang lebih indah melebihi kebahagiaan cinta. Karena pada kenyataannya, faktanya, di dunia ini masih ada banyak hal menyakitkan yang membutuhkan uluran tangan dan sedikit kepedulian. 

*I think it will be the main idea for my upcoming novel. Sebenarnya inspirasi terbesar itu dari organisasi non profit bernama  one solid ummah yang saat ini terus menyalurkan dana untuk anak-anak yatim piatu di Syria. Founder-nya Abdullateef Khaled terus update perkembangan terbaru mereka on the spot. Kadang suka speechless aja, di tengah kehidupan jaman sekarang yang sayang dilewatkan, masih ada orang-orang yang setiap hari berjuang untuk kehidupan orang lain, untuk membahagiakan orang lain. Sering nangis, tapi nangis untuk diri sendiri yang lebih banyak ngurusin hal-hal gak penting, padahal di luar sana masih banyak hal yang membutuhkan perhatian kita. 

Monday, 10 April 2017

[WANTED] A Man Who Loves to Read



Menurut survei UNESCO, hanya satu dari seribu orang membaca secara serius di Indonesia. Bila dihitung secara kasar, hanya ada 250.000 pembaca di antara 250 juta jiwa. Jadi tidak mengherankan kalau bangsa yang tingkat literasinya sedemikian rendah memiliki kecenderungan  untuk membaca berbagai hal secara literal. Tidak mengherankan juga kalau ada perempuan yang masih jomblo karena kriterianya dalam mencari pasangan hidup adalah siapapun lelaki itu, ia juga harus gemar membaca. 

Mari kita mencongak sedikit. Dari 250.000 pembaca itu, anggap saja setengahnya adalah perempuan. Kurangi setengahnya lagi, karena kemungkinan mereka berada di demografi lelaki berusia di bawah umur yang belum doyan perempuan atau lelaki usia tidak produktif. Lanjut kurangi lagi jumlahnya dengan lelaki yang sudah berumah tangga. Terakhir, kurangi lagi setengahnya dengan lelaki yang tidak doyan perempuan. Sudah? Tebak sisanya berapa. 

Hanya tersedia 15.000 lelaki (available) yang gemar membaca untuk satu bangsa.

Tidak heran perempuan tersebut masih jomblo. Ia  yang hanya bisa dirayu dengan kata-kata, luluh dengan bahasa, dan gemetar dengan majas yang digunakan secara sempurna tidak akan tertawan oleh lelaki yang tidak suka membaca. Agak susah, misalnya, ia bisa jatuh hati dengan lelaki yang mengirimkan WhatsApp dan tertawa dengan mengetik ‘wkwkwkwk’ seperti Donal Bebek. Tidak mungkin juga ia bisa terpesona dengan lelaki yang hanya bengong sementara ia tertawa terpingkal-pingkal dari awal hingga akhir saat menonton Zootopia dan humor sarkastik di sepanjang film itu. Sarkasme tidak akan bisa ditangkap oleh mereka yang literal. 

Kadang ia berpikir bahwa ia mungkin menginginkan terlalu banyak dari satu lelaki. Setia, pekerja keras, berbakti kepada orang tua dan ngga neko-neko sudah jauh dari cukup bukan? Cari suami yang “polos” adalah nasehat yang didengungkan oleh para tante yang khawatir kepadanya yang masih saja sendiri. “Polos” dalam Bahasa Bali berarti ketiga kriteria tadi di atas. Tapi ia selalu berpikir, harusnya ada yang lebih dari sekedar tiga kualitas itu saat mengatakan “saya bersedia” di hadapan Tuhan dan keluarga bukan?

Harusnya ada pertanyaan “buku apa yang sedang kamu baca hari ini?” saat ia dan lelakinya bertemu saat makan malam. Harusnya ada juga kunjungan rutin pada setiap akhir minggu ke toko buku yang dilanjutkan dengan sesi membaca di antara long black dan cafe latte. Harusnya lagi, ada hari Minggu dimana ia dan lelakinya dapat menyelesaikan teka-teki silang dan memutuskan untuk diam di rumah dengan koran-koran yang berserakan di kamar. Harusnya ada tawa, saat si lelaki tiba-tiba terkekeh di tengah bacaannya dan berkata,”Sayang, coba dengar...”lalu ia bacakan paragraf yang tadi membuatnya terbahak untuk membuat si perempuan ikut tertawa. Harusnya ada malam dimana si perempuan menemukan lelakinya tertidur dengan buku di dadanya dan sinar lampu di wajahnya,  dan bahwa di samping tempat tidur mereka, ada tumpukan buku yang sama tingginya.

Ia tahu mencari lelaki “polos” jauh lebih mudah daripada lelaki yang tergila-gila oleh kata. Ia tahu tidak banyak lelaki seperti itu di Indonesia. Tapi, ia juga tahu bahwa lelaki yang suka membaca mempunyai dunia yang lebih kaya dan hati yang lebih peka. Ia tahu lelaki yang suka membaca adalah lelaki yang suka belajar, selalu penasaran, dan berpikiran terbuka. Ia tahu bahwa lelaki yang sanggup menyelesaikan buku setebal seribu halaman akan mampu bersabar saat ia sedang mengalami siklus bulanannya dan menggerutu kemana-mana. Ia tahu lelaki yang suka membaca akan senantiasa menantangnya dalam berpikir, bahwa mereka akan berargumentasi dan berbeda pendapat, hingga akhirnya mereka bersepakat dalam ketidaksepakatan. Ia tahu lelaki yang suka membaca akan menghormati pemikirannya dan menghargai perasaannya. Ia tahu, mereka akan saling memberi ruang untuk berkembang dan bertumbuh bersama. 

Kini, yang perlu ia lakukan hanyalah menemukan lelaki itu di antara kelangkaan 15.000 kaumnya.

                   *Thanks for Mbak http://www.evetedja.com for this bombing article. I do agree, haha

Tuesday, 4 April 2017

Something Called Friendship




Sahabatku, apa kabarmu? 

Malam ini aku kembali teringat tentangmu, tentang kita, tentang ladang jagung kita, tentang parit desa kita. Aku teringat pada mimpi-mimpi kita yang begitu sederhana, lalu seperti biasa semua kenyataan justru membuatku semakin menyalahkan diri sendiri. Tapi, sudahlah. Untuk apa menyesali sesuatu yang telah terjadi, kan? Bagaimana pun, di sini, entah bersama siapa pun, aku tidak akan pernah melupakan impian kita. Aku akan berjuang untuk mewujudkan impian-impian sederhana itu, setiap harinya.

Sahabatku, masih ingatkah engkau hari dimana kaki-kaki kecil kita berjalan di antara hamparan jagung yang menghijau? Masih ingatkah ketika kita mencari lubang sangkar burung pelatuk di semua dinding sumur yang ada di kebun? Ah, kau lah yang selalu berani memasukkan tangan ke dalam lubang-lubang itu, sementara aku hanya bisa menunggu dengan rasa penasaran. Terkadang tanganmu keluar dengan menggenggam beberapa butir telur, terkadang anak burung, dan tak jarang pula hanya dengan tangan kosong. Kita juga pernah mencoba memelihara beberapa ekor anak burung pelatuk, tapi kemudian mereka tak berumur panjang. Akhirnya kita pun membungkus bangkai-bangkai mereka dengan sobekan kain putih, menguburkan, kemudian menaburi kuburan mereka dengan bunga-bunga.



Jika kuingat-ingat, sejak dulu kau lah yang lebih berani dariku. Kau lah yang lebih tangguh dariku. Kau berani memanjat pohon rambutan yang tinggi, sementara aku hanya menunggu pada dahan paling rendah, menunggu buah-buah masak yang kau lemparkan ke bawah. Lihatlah, sejak dulu aku memang tak bisa diandalkan. Sejak dulu kau bermimpi menjadi dokter, tapi sayang keadaan selalu tak berpihak. Sejak dulu kau ingin berkuliah, dan aku selalu mengatakan ‘Tak perlu cemas, kau pasti bisa kuliah suatu hari nanti’. Tapi hingga detik ini aku belum kunjung bisa membantumu. Rasanya aku hanya bisa memberimu janji manis, hanya bisa menceritakan rencana-rencana membahagiakan, namun tak sekali pun aku bisa membuatnya nyata.

Sahabatku, aku tak begitu peduli pada kebahagiaanku sendiri. Aku sudah pernah berjalan ke beberapa negara orang, tapi di sana tak kutemui kebahagiaan. Lalu sejak itu, aku paham, ternyata kebahagiaan tidak mampu kuraih dengan cara seperti itu. Ketahuilah, tak ada yang membahagiakan ketika jasadku ini bebas terbang, namun impian masa kecil kita, keluarga kita, masih tetap tertinggal jauh di pulau itu. Sejak saat itu hatiku bertekad, suatu hari aku pun akan kembali menjejakkan kaki di tanah asing, namun tak lagi sendirian, aku akan bersamamu serta keluarga kita.

Hanya saja malam ini—yang membuat tangisku tak kunjung reda—adalah ketika mendapati kenyataan: aku bahkan menghianati janji kita, impian kita! Aku bahkan belum mampu mewujudkan impian-impian kita yang paling sederhana. Kita belum bisa pulang kampung bersama, kita juga belum bisa mendatangi sebuah tempat bersama bapak dan ibu, kemudian menggelar tikar dan makanan di sana. Lihatlah, betapa dua impian itu sangat sederhana? Bukankah dua hal itu tak ada artinya bagi mereka yang sejak kecil sudah terbiasa berekreasi, jalan-jalan, bersama keluarga mereka?

Sahabatku, tiap kali teringat tentang kita, tentang impian yang dulu pernah membuat matamu berbinar saat mendengarnya, aku selalu tak mampu membendung air mata. Percayalah, aku mencintaimu melebihi cintaku pada diriku sendiri. Itulah mengapa dahulu, saat satu tahun kebersamaan kita, aku akan berusaha selalu ada tiap kali kau membutuhkan. 

Pernah suatu malam kau menelepon, minta diantar ke tempat kerja karena 15 menit lagi bisa jadi terlambat. Seseorang yang sudah berjanji akan mengantarmu ternyata berhalangan. Lalu aku pun bergegas datang, padahal tahukah kau jika waktu itu aku sudah hampir terlelap? Lalu sepulang dari tempat kerjamu, aku harus sendirian melewati jalanan yang sepi, belum lagi saat itu aku masih baru belajar mengendarai motor. Tak bisa dibayangkan lagi betapa aku begitu ketakutan. Tapi sekali lagi kutegaskan, kau bukan hanya sekadar sahabat kecil, sepupu, melainkan juga adik perempuanku. Apapun yang terjadi, kau lebih berharga dari diriku sendiri. Apapun yang terjadi, di sini, dan setiap hari, aku selalu berdoa untuk semua kebaikan-kebaikanmu.
 
***

Suatu hari di permulaan September 1995, aku dilahirkan. Di saat yang sama, Evi yang tak lain adalah tetangga dan sepupuku sudah memasuki usianya yang kedelapan bulan. Lalu di hari-hari berikutnya kita tumbuh bersama menjalin persahabatan hingga hari ini.

Ini adalah cerita tentang aku dan seseorang yang kucintai melebihi cinta pada diriku sendiri. Percayakah jika kukatakan bahwa aku selalu menangis saat ada seseorang yang bercerita buruk tentangnya? Percayakah jika kukatakan bahwa dosa terbesar yang hingga hari ini selalu kusesali adalah dosa karena tak memenuhi janji padanya? Percayakah jika kukatakan bahwa saat mengingatnya pun aku bisa menangis?

Kurasa tak banyak orang yang sudi percaya. Begitu pula dengan teman-temanku kebanyakan. Memang, bagi kalian yang tak pernah memiliki seorang teman kecil yang tumbuh bersama, akan sulit untuk memahami hal-hal semacam ini. Berbeda denganku dan segelintir orang yang bernasib sama. Wajar saja ketika aku membaca novel berjudul The Kite Runner, tangisku tak bisa berhenti hingga halaman terakhir. Novel itu membawaku menyusuri hari-hari kecil Hassan dan Amir, permainan layang-layang di kota Kabul, dan tentu rasa bersalah yang menghantui Amir hingga 20 tahun kemudian. Dosaku pada Evi memang tak seberat dosa Amir pada Hassan, namun sama seperti Amir, aku pun ingin kembali ke masa lalu kemudian memperbaiki segala kesalahan yang pernah kuperbuat.

Tak berbeda dengan anak-anak lain yang menikmati masa kecil di akhir tahun 90-an hingga 2000-an, aku dan Evi selalu berhasil menemukan kebahagiaan kami sendiri. Meskipun terlahir dan tumbuh di sebuah pulau yang cukup terpencil di perbatasan Riau dan Kepulauan Riau, kami tetap tak pernah kehilangan ide untuk selalu berbahagia.

Aku masih ingat hari-hari saat ladang jagung orang tua kami mulai berbuah, burung-burung yang berterbangan menghiasi langit biru, kemudian angin yang berhembus dari hutan desa kami. Aku masih ingat hari-hari ketika kami memperebutkan walkman usang demi mendengarkan lagu-lagu kasidah, dangdut, atau lagu Malaysia. Aku masih ingat ketika pita kaset favorit kita kusut, kemudian kita merapikannya kembali dengan sebatang pensil atau pulpen. Dan tentu ada banyak hal lain yang tak bisa kulupakan hingga detik ini, seperti pada sampan-sampanan dari sebilah papan dan pelampung kelapa, uang-uang dari daun kopi, pot-pot bunga, mainan gembot yang selalu jadi rebutan, buku-buku rajutan, film-film India di siaran Malaysia TV3, ikan-ikan kecil di parit yang selalu jadi sasaran keisengan kita, para belalang yang ketakutan, anjing yang lari terbirit-birit saat kita kejar, sepeda yang melaju di atas tanah gambut berdebu, buah-buah rambutan, dan kebiasaan kita mendengarkan radio di hari-hari Ramadhan.



Waktu itu di desa kami belum ada yang punya diesel, juga tak ada televisi warna. Ada televisi, itupun masih hitam putih dan harus disambungkan pada baterai aki. Jangan harap antena di pulau kami bisa menangkap siaran-siaran TV nasional, yang ada hanya siaran Malaysia. Jadi, ketika anak-anak generasi kami yang tinggal di kota bisa menikmati masa kecil mereka bersama Jinny oh Jinny, Tuyul dan Mbak Yul, Pernikahan Dini, Westlife, Winter Sonata, Endless Love, Full House, majalah Bobo, atau novel-novel Harry Potter, maka kami tak bisa mengenal semua itu. Aku bahkan baru bisa menikmati semua itu ketika mulai duduk di bangku SMA. Terkadang saat mendengarkan lagu dan drama lama, aku bisa menangis sendiri. Tahu kenapa? Karena aku selalu menyayangkan satu hal, seharusnya aku menikmati semua itu di masa kecil dahulu.

Masa kecilku bersama Evi tak lah selalu berjalan menyenangkan. Pada pertengahan 2007, setelah melalui pertengkaran dan proses panjang, akhirnya kedua orang tua Evi bercerai. Tanah mereka harus dibagi dua, satu bagian untuk bibiku dan kedua anaknya, kemudian bagian yang lain untuk sang ayah. Karena rumah mereka berada di atas tanah milik sang ayah, akhirnya rumah tersebut harus dibongkar untuk dipindahkan ke tanah milik mereka. Dan untuk sementara waktu, bibi, Evi, dan adiknya tinggal di rumahku.



Aku masih begitu kecil saat itu. Masih banyak keegoisan yang belum bisa dikendalikan. Aku tak mengerti kalau Evi berada dalam situasi sulit dalam hidupnya. Terkadang kami bertengkar dan dan aku mengadukannya pada Bapak dan Ibu (di depan ibunya), terkadang aku mengeluarkan kata-kata sindiran yang membuatnya tak nyaman tinggal di rumahku. Terkadang aku memarahi adiknya, mem-bully adiknya, sedangkan di lain sisi aku begitu memanjakan adikku sendiri. Dan masih banyak lagi.

Ah, andai saja aku sudah mampu berpikir seperti sekarang. Tentu peristiwa-peristiwa menyakitkan seperti itu tak perlu terjadi. Kini Evi tak pernah lagi berkomunikasi dengan ayahnya, kurasa sudah hampir 10 tahun. Ia telah melalui berbagai rentetan hari yang sulit. Tidak hanya dia, tapi juga adiknya. Di masa seharusnya mereka memperoleh kasih sayang kedua orangtua, mereka malah dititipkan ke sana ke mari ketika bibiku kerja di Malaysia.

Kini saat mengenang semua itu, saat memposisikan diriku menjadi mereka, yang tersisa hanyalah rasa bersalah. Mengapa dulu—saat ia tinggal di rumahku—terkadang aku tak memperlakukan mereka dengan baik?

Begitulah. Jika kalian bertanya padaku, siapakah orang yang paling kusayang? Jawabannya adalah Evi, tanpa melupakan bahwa aku juga sangat menyayangi kedua orang tuaku. Bagiku, Evi tidak hanya sekedar sepupu, melainkan juga adik perempuan sekaligus sahabat masa kecil. Mengapa aku bisa begitu menyayanginya?

Karena ia menyimpan masa laluku, dan aku pun menyimpan masa lalunya. Karena ia telah membuat hari-hari lampau terasa begitu membahagiakan. Karena ia selalu percaya pada semua impianku. Benar sebuah pepatah mengatakan, “Friendship is not a big thing. It is million of little things”.



Suatu hari nanti di hari bahagia Evi, aku ingin sekali berada di sisinya. Aku ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan keindahan henna di tangannya. Aku ingin menonton ia yang didandani seperti seorang puteri. Aku lah yang akan berkomentar bila si perias salah ketika menggambar alis matanya.

Dulu, di masa kecil, aku pun pernah mendandaninya dengan bunga-bunga taman. Aku suka menghias rambutnya, kemudian memasang bunga aneka warna di atas kepalanya. Lalu teman-teman kecil kami akan menggiringnya ke pelaminan yang kami ciptakan dari kayu-kayu dan dedaunan. Waktu itu kami selalu kesulitan menemukan teman yang bisa berperan sebagai pengantin lelaki, karena di generasi kami tak ada anak lelaki yang sebaya. Ada satu, itu pun harus pindah ke Jawa dan kembali setelah ia duduk di bangku sekolah menengah. Jadi masa kecil kami benar-benar dikelilingi oleh teman-teman perempuan. 

Tapi sekarang, soal siapa yang akan jadi pengantin laki-laki, kami tidak perlu pusing lagi. Evi telah menemukannya. Aku berdoa semoga dia adalah sebaik yang aku lihat. Semoga akhlaknya seanggun yang kusimpulkan. Semoga ia mencintai sahabatku dengan segenap hati dan jiwa. Semoga ia memuliakan sahabatku laksana perhiasan yang tidak ternilai. Semoga pada diri lelaki itu ia menemukan kebahagiaan yang sejati.



Nanti, di hari bahagia itu, aku ingin sekali memberi hadiah berupa buket bunga tulip pada Evi. Sejak kecil kami menyukai bunga, dan aku ingin ia melihat bunga yang sebelumnya tidak pernah kami lihat. Bunga yang tidak tumbuh di Indonesia, terlebih di pulau kecil kami. Meski terkadang hidup selalu tak berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan, aku ingin ia tidak pernah putus asa untuk bermimpi. Masih ada banyak hal yang belum kita lihat, dan masih ada banyak kesempatan bagi mereka yang terus berjuang.

Untuk para pembaca blog ini, aku berharap kamu bisa mengambil pelajaran dari ceritaku ini. Ketika ingin menyakiti seseorang, cobalah posisikan diri sendiri sebagai orang yang ingin kita sakiti tersebut. Cobalah untuk menyayangi sanak famili dengan tulus. Ketika mereka menginap di rumahmu, perlakukan mereka dengan baik sebagaimana kamu memperlakukan dirimu sendiri. Jangan pernah pilih kasih pada anak-anak. Misalnya dengan memberikan es krim harga 10 ribu untuk anak sendiri, sebaliknya es krim harga 5 ribu untuk keponakan. Maksudku, cobalah untuk memperlakukan orang lain sebaik dan seadil mungkin. Aku hanya tak ingin ada kesalahan-kesalahan kecil yang kelak—mungkin pada detik-detik penghujung hidup—justru membuat kita begitu menyesal. Perbaikilah selagi ada kesempatan.

Saat pertemuan kami satu tahun lalu. Evi tidak berhijab.

Note: Untuk pembelian buket bunga segar, bisa dilakukan secara online di elevania. Tersedia banyak jenis bunga baik lokal maupun impor yang akan dikirim hari itu juga ke seluruh area Jabodetabek. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...