Aku menyebutnya, ‘angin’!
Sejak tiga minggu yang lalu, aku mulai merasakan tanda-tanda kedatangan
‘angin’ ini. Kepalaku yang sakit seperti tengkuk dicengkeram erat oleh
cakar elang raksasa, kalau sudah begitu selanjutnya ‘angin’ itu
berhembus membuat bulu romaku berdiri hingga kedinginan dan panas
tubuhku merangkak naik. Ya, ‘angin’ ini membuatku demam. Aku hanya
membeli bodrex dan meminumnya. Alhamdulillah, kepalaku perlahan ringan,
pun panasku mulai menurun.
‘Angin’ ini mendatangiku dalam dua hari sekali, tiga hari sekali,
empat hari sekali, tak pasti. Begitu terus. Terkadang sewaktu ‘angin’
ini mendatangiku di pagi hari (hari kuliah) aku harus memaksakan diri
untuk bisa mencapai kampus. Dalam dua minggu itu, aku sedang Ujian
Tengah Semester. Jadi, aku benar-benar tak bisa belajar di waktu malam.
‘Angin’ itu semakin rajin mengunjungiku. Aku hanya bisa melirik modul
kuliah sejenak.
Hingga, pada hari rabu, 17 April kemaren, aku mendatangi klinik. Aku
mulai panik, sekarang memasuki minggu ke-3, ‘angin’ ini benar-benar
mendatangiku setiap saat, setiap jam, selama tiga hari sudah, dan lebih
aku jauh kedinginan saat sore hari hingga sering juga ‘angin’ ini
membuatku menggigil ketika terbangun sekitar pukul 24.00.
‘Takutnya gejala typus dek, banyak minum ya….’ Kata Bu Dokter. Aku
sendiri tidak percaya, orang dokternya hanya memeriksa lidahku.
Menurutku, seorang dokter harus mampu memastikan penyakit pasiennya,
bukan pakai kata ‘takutnya’.
Aku pulang dengan membawa beberapa tablet obat, aku berjalan
sendirian. Memang, akhir-akhir ini aku selalu tidak tahan berdiri lama.
Jadilah, perjalanan itu kucepat-cepatkan.
Sesampai di Rumah, aku langsung mencuci kaki, minum obat lalu segera
menyelimuti tubuhku sendiri. Sambil menunggu tubuhku mengeluarkan
keringat, aku membuka ponsel. Aku coba mencari tentang typus di
internet. Aku ingin memastikan kata-kata Bu Dokter yang menggantung itu.
Ah, aku sendiri tak tau apa itu penyakit typus, apa penyakit dari tikus
ya?
Ini dia, aku dapat. Gejala typus itu di antaranya : bibir kering
pecah-pecah, demam pada malam hari dan bisa juga panas-turun-panas
berulang, urine berwarna seperti teh pekat, BAB jarang, tubuh terasa
lemas, ada selaput putih di lidah dan kemerahan di tepi-tepinya dan
gejala-gejala lain lagi. Aku sungguh tak habis pikir, semua gejala itu
kualami.
Aku dicekam rasa takut. Mataku terus menyusuri artikel tersebut,
kudapatkan alasan mengapa penderita typus harus dirawat inap, hal itu
karena dokter bisa memastikan pasien tidak dehidrasi (pantas saja Bu
Dokter memberikan berbungkus-bungkus oralit) yang bisa berakibat
pendarahan pada usus, dengan terus diinfus, memastikan pasien makan
bubur, dan memastikan pasien minum obat. Aku berfikir tak perlulah check
ke RS, kan bisa gawat kalau harus dirawat, aku tak mau membebani
orangtuaku dengan biaya yang mahal.
Aku menjalani masa penyembuhan sendiri. Tanpa waktu libur. Meskipun
aku hanya bisa duduk sambil menyandarkan kepala di dinding atau meja
kelas. Pernah, sewaktu praktikum peternakan unggas, aku dan teman
sekelas harus mencuci bersih kandang bebek yang dipenuhi kotoran di
mana-mana. Karena tak sanggup berdiri terlalu lama, aku terpaksa jongkok
di kandang yang kotor dan bau itu.
Aku rutin makan bubur, minum obat dan antibiotik, dan banyak minum
air putih. Alhamdulillah, hari ini keadaanku terasa membaik. Semoga
berkelanjutan.
Nah, saat ‘angin’ ini datang, jangan dikira aku wanita tegar yang
mengatakan baik-baik saja kepada orangtua. Aku cengeng. Aku selalu
menelepon Ibu atau Ayah saat panas kembali datang. Bagiku, mereka
kekuatanku. Dengan mendengar ucapan mereka, aku memiliki semangat untuk
sembuh. Rindu ini semakin menyesak saja ketika sakit. Masakan Ibu
menjadi hal yang paling dinanti lidah ini. Bahkan akhir-akhir ini, aku
sering mencium aroma masakan Ibu seperti melintas di hidungku. Aku
sungguh rindu.
Suatu pagi saat praktikum di laboratorium, aku sungguh tak sanggup
lagi duduk dengan kursi tanpa sandaran. Kepalaku seperti mau jatuh ke
lantai. Tanpa izin, aku berjalan terhuyung-huyung menuju musola.
Menelepon Bapak.
Saat itulah Bapak berkata lembut ‘Ikhlas Nak, sakit panas itu
menggugurkan dosa-dosa seperti daun yang berguguran. Bapak sama Ibu
jauh, hanya bisa mendoakan. Terus berdzikir dan shalawat’ Aku menangis
mendengar kalimat itu.
Bapak memang tak mengerti apa itu typus, baginya itu sama dengan
penyakit demam biasa. Tapi, kata-kata yang ia ucapkan menyadarkanku satu
hal yang tidak diucapkan dokter ‘penyakit ini adalah pertanda Allah
menyayangiku’.
Bapak, banyak kisahku tentang sakit bersamanya. Sejak kecil aku
memang sakit-sakitan. Batuk berbulan-bulan lamanya, deman dan asma.
Bapaklah yang selalu mengantarku ke RS. Satu hari saja penyakitku belum
membaik dengan obat-obat herbal dan obat-obat warung, Bapak akan
langsung memaksaku ke dokter. Ia mengantarkan walau ke ujung dunia.
Lalu, sesampai di rumah Ibu sudah menyiapkan makanan yang kuinginkan.
Sayur bening. Ia juga memijiti tengkukku apabila aku tampak kesakitan.
Ia memakaikan kaus kaki hangat, menunggu hingga aku tertidur bahkan
menungguiku tidur.
Aku merindukan itu semua.
Dari adikku, aku belajar rasa persaudaraan. Suatu hari, ia harus
dirawat inap akibat gejala step. Sepulang dari perawatan di RS, ia
sempat mengingatkan Ibuku untuk membeli setoples sosiz untukku ‘Mbak
suka sosiz, beli’in ya’. Aku sendiri ingin menangis saat memakan sosiz
itu.
Malam hari saat aku menjenguknya ke RS (aku menunggu rumah ditemani
sepupu,hanya Bapak dan Ibu yang menunggu adikku) aku sempat bercanda
dengannya dan menyentuh selang infusnya, ia meringis sebentar tapi
kemudian ia tersenyum kembali. Padahal saat pulang kondisinya lemas
sekali akibat infus, belum lagi nyeri karena penyakitnya. Meskipun
begitu, ia ingat kesukaanku. Ia ingat aku.
Inilah ceritaku dengan ‘angin’. Mengapa angin? Karena sakit bisa menggugurkan dosa-dosa sebagaimana angin menggugurkan dedaunan.
No comments:
Post a Comment