Tuesday, 30 April 2013

Kisahku Bersama ‘Angin’




Aku menyebutnya, ‘angin’!

Sejak tiga minggu yang lalu, aku mulai merasakan tanda-tanda kedatangan ‘angin’ ini. Kepalaku yang sakit seperti tengkuk dicengkeram erat oleh cakar elang raksasa, kalau sudah begitu selanjutnya ‘angin’ itu berhembus membuat bulu romaku berdiri hingga kedinginan dan panas tubuhku merangkak naik. Ya, ‘angin’ ini membuatku demam. Aku hanya membeli bodrex dan meminumnya. Alhamdulillah, kepalaku perlahan ringan, pun panasku mulai menurun.

‘Angin’ ini mendatangiku dalam dua hari sekali, tiga hari sekali, empat hari sekali, tak pasti. Begitu terus. Terkadang sewaktu ‘angin’ ini mendatangiku di pagi hari (hari kuliah) aku harus memaksakan diri untuk bisa mencapai kampus. Dalam dua minggu itu, aku sedang Ujian Tengah Semester. Jadi, aku benar-benar tak bisa belajar di waktu malam. ‘Angin’ itu semakin rajin mengunjungiku. Aku hanya bisa melirik modul kuliah sejenak.

Hingga, pada hari rabu, 17 April kemaren, aku mendatangi klinik. Aku mulai panik, sekarang memasuki minggu ke-3, ‘angin’ ini benar-benar mendatangiku setiap saat, setiap jam, selama tiga hari sudah, dan lebih aku jauh kedinginan saat sore hari hingga sering juga ‘angin’ ini membuatku menggigil ketika terbangun sekitar pukul 24.00.

‘Takutnya gejala typus dek, banyak minum ya….’ Kata Bu Dokter. Aku sendiri tidak percaya, orang dokternya hanya memeriksa lidahku. Menurutku, seorang dokter harus mampu memastikan penyakit pasiennya, bukan pakai kata ‘takutnya’.

Aku pulang dengan membawa beberapa tablet obat, aku berjalan sendirian. Memang, akhir-akhir ini aku selalu tidak tahan berdiri lama. Jadilah, perjalanan itu kucepat-cepatkan.

Sesampai di Rumah, aku langsung mencuci kaki, minum obat lalu segera menyelimuti tubuhku sendiri. Sambil menunggu tubuhku mengeluarkan keringat, aku membuka ponsel. Aku coba mencari tentang typus di internet. Aku ingin memastikan kata-kata Bu Dokter yang menggantung itu. Ah, aku sendiri tak tau apa itu penyakit typus, apa penyakit dari tikus ya?

Ini dia, aku dapat. Gejala typus itu di antaranya : bibir kering pecah-pecah, demam pada malam hari dan bisa juga panas-turun-panas berulang, urine berwarna seperti teh pekat, BAB jarang, tubuh terasa lemas, ada selaput putih di lidah dan kemerahan di tepi-tepinya dan gejala-gejala lain lagi. Aku sungguh tak habis pikir, semua gejala itu kualami.

Aku dicekam rasa takut. Mataku terus menyusuri artikel tersebut, kudapatkan alasan mengapa penderita typus harus dirawat inap, hal itu karena dokter bisa memastikan pasien tidak dehidrasi (pantas saja Bu Dokter memberikan berbungkus-bungkus oralit) yang bisa berakibat pendarahan pada usus, dengan terus diinfus, memastikan pasien makan bubur, dan memastikan pasien minum obat. Aku berfikir tak perlulah check ke RS, kan bisa gawat kalau harus dirawat, aku tak mau membebani orangtuaku dengan biaya yang mahal.

Aku menjalani masa penyembuhan sendiri. Tanpa waktu libur. Meskipun aku hanya bisa duduk sambil menyandarkan kepala di dinding atau meja kelas. Pernah, sewaktu praktikum peternakan unggas, aku dan teman sekelas harus mencuci bersih kandang bebek yang dipenuhi kotoran di mana-mana. Karena tak sanggup berdiri terlalu lama, aku terpaksa jongkok di kandang yang kotor dan bau itu.

Aku rutin makan bubur, minum obat dan antibiotik, dan banyak minum air putih. Alhamdulillah, hari ini keadaanku terasa membaik. Semoga berkelanjutan.

Nah, saat ‘angin’ ini datang, jangan dikira aku wanita tegar yang mengatakan baik-baik saja kepada orangtua. Aku cengeng. Aku selalu menelepon Ibu atau Ayah saat panas kembali datang. Bagiku, mereka kekuatanku. Dengan mendengar ucapan mereka, aku memiliki semangat untuk sembuh. Rindu ini semakin menyesak saja ketika sakit. Masakan Ibu menjadi hal yang paling dinanti lidah ini. Bahkan akhir-akhir ini, aku sering mencium aroma masakan Ibu seperti melintas di hidungku. Aku sungguh rindu.

Suatu pagi saat praktikum di laboratorium, aku sungguh tak sanggup lagi duduk dengan kursi tanpa sandaran. Kepalaku seperti mau jatuh ke lantai. Tanpa izin, aku berjalan terhuyung-huyung menuju musola. Menelepon Bapak.

Saat itulah Bapak berkata lembut ‘Ikhlas Nak, sakit panas itu menggugurkan dosa-dosa seperti daun yang berguguran. Bapak sama Ibu jauh, hanya bisa mendoakan. Terus berdzikir dan shalawat’ Aku menangis mendengar kalimat itu.

Bapak memang tak mengerti apa itu typus, baginya itu sama dengan penyakit demam biasa. Tapi, kata-kata yang ia ucapkan menyadarkanku satu hal yang tidak diucapkan dokter ‘penyakit ini adalah pertanda Allah menyayangiku’.

Bapak, banyak kisahku tentang sakit bersamanya. Sejak kecil aku memang sakit-sakitan. Batuk berbulan-bulan lamanya, deman dan asma. Bapaklah yang selalu mengantarku ke RS. Satu hari saja penyakitku belum membaik dengan obat-obat herbal dan obat-obat warung, Bapak akan langsung memaksaku ke dokter. Ia mengantarkan walau ke ujung dunia. Lalu, sesampai di rumah Ibu sudah menyiapkan makanan yang kuinginkan. Sayur bening. Ia juga memijiti tengkukku apabila aku tampak kesakitan. Ia memakaikan kaus kaki hangat, menunggu hingga aku tertidur bahkan menungguiku tidur.

Aku merindukan itu semua.

Dari adikku, aku belajar rasa persaudaraan. Suatu hari, ia harus dirawat inap akibat gejala step. Sepulang dari perawatan di RS, ia sempat mengingatkan Ibuku untuk membeli setoples sosiz untukku ‘Mbak suka sosiz, beli’in ya’. Aku sendiri ingin menangis saat memakan sosiz itu.

Malam hari saat aku menjenguknya ke RS (aku menunggu rumah ditemani sepupu,hanya Bapak dan Ibu yang menunggu adikku) aku sempat bercanda dengannya dan menyentuh selang infusnya, ia meringis sebentar tapi kemudian ia tersenyum kembali. Padahal saat pulang kondisinya lemas sekali akibat infus, belum lagi nyeri karena penyakitnya. Meskipun begitu, ia ingat kesukaanku. Ia ingat aku.

Inilah ceritaku dengan ‘angin’. Mengapa angin? Karena sakit bisa menggugurkan dosa-dosa sebagaimana angin menggugurkan dedaunan.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...