Hati ini
perih. Perih menanggung rindu. Air mataku pun tak mampu tertahan saat
aku mendengar lagu Ibu yang dijadikan sound track dalam film Hafalan
Shalat Delisa. Bukan hanya kepada Ibu rindu ini menumpuk, namun jua
kepada Ayah, Adik, sanak keluarga, tetangga dan kampung halaman. Setiap
hari, Orangtuaku selalu menelepon, dan setiap hari juga rindu itu
semakin bertambah, bertumpuk-tumpuk.
Rabu, 24 April lalu, aku mengalami kecelakaan kecil yang menyebabkan
bibirku harus dijahit dan tubuhku memar. Aku tak memberitahu orangtuaku
hingga mereka tau keadaanku dari orang lain. Merekalah dua orang yang
ada di dunia ini yang mendoakanku, yang merelakan air matanya untukku,
yang mengorbankan waktu tidur hanya untuk sejenak mengingatku. Luka dan
sakit ini tak seberapa, tapi sakit saat aku harus mengatakan nominal
untuk mengganti biaya Rumah Sakit, jauh menyayat hatiku. Aku ingin
sekali tidak membebani mereka dengan biaya ini dan itu. Hal inilah yang
menjadi alasanku tidak mau memeriksakan penyakit typus ku ke Rumah
Sakit. Aku tak mau minta uang ke orang tua. Sudah cukup mereka membiayai
hidupku, seharusnya kini giliran aku yang membahagiakan mereka.
Aku ikut menangis saat mendengar tangis Ibu di ujung telepon. Ia
mencemaskanku. “Ya Allah, hanya Ibulah wanita satu-satunya yang
merasakan sakitku saat ini”. Sahabat, jangan pernah sakiti Ibu. Sungguh,
hanya dia wanita yang paling mencintaimu di dunia ini.
Ayahku memang tak menangis. Tapi, ia mengingatkanku akan satu hal. Ia
mengingatkanku untuk jangan lupa berdoa saat akan bepergian dan itu
yang kulupa akhir-akhir ini. Padahal Ayah mengajarkanku berdoa sejak aku
masih kecil, sejak aku masih terbata-bata ketika mengucap kata. Oh
Ayah, aku lupa. Aku lupa hal kecil itu.
|
Right???? |
Sakit ini sungguh penuh hikmah. Sakit ini membuatku menyadari betapa
besarnya cinta orang tuaku. Sakit ini membuatku memperbaiki langkahku
yang salah. Sakit ini mengajarkanku untuk memenuhi hatiku dengan cinta
saat bertemu, karena saat berjauhan begini, cinta itu begitu dibutuhkan
untuk meredam rindu.
Tak sampai dua bulan lagi waktuku untuk menyelesaikan semester dua
ini, Aku selalu menghitung hari. Jika jiwa ini berwujud, pastilah saat
ini ia tengah merangkak lemah. Ia butuh tenaga dan itu hanya bisa
didapat di kampung halaman. Sungguh, hati ini tengah menanggung rindu.
Rindu yang tak mampu kusempurnakan dalamnya dengan kata-kata berhias
majas apapun jua.
No comments:
Post a Comment