Sebenarnya sejak sehabis Zuhur tadi saya sibuk menulis
tentang Umar ibn Khattab radhiallahu’anhu, hanya saja cerita pengalaman ini
lebih mudah untuk dituliskan hingga kemudian selesai terlebih dahulu. Cerita
ini ingin sedikit saya bagi akibat keresahan yang terus-terusan mendera
akhir-akhir ini. Akibat rasa berdosa saya kepada Bapak.
Selama libur Ramadhan dan Idil Fitri, alhamdulillah saya bisa
berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Rasanya tidak ada tempat di
dunia ini yang memiliki ruh begitu dahsyat sebagai tempat memulihkan segala
lelah badan dan pikiran, kecuali kampung halaman.
Bagi saya, kampung halaman juga merupakan tempat untuk
men-charge iman. Di rumah, saya bisa membaca banyak kitab-kitab tebal milik
Bapak, melakukan dzikir pagi dan sore dengan rutin, shalat sunnah, serta amalan
lain dengan lebih nyaman dan khusyuk. Mendapati Bapak yang selalu bangun pukul
tiga dini hari untuk kemudian menggelar sajadah dan shalat (terkadang beliau
shalat di Musola dan terkadang di depan pintu kamar saya), saya merasakan
seperti ada yang menggerakkan hati untuk beribadah lebih giat lagi.
Berkali-kali saya bertanya, bagaimana Bapak bisa
sedemikian istiqomah? Ya meskipun tak jarang kami bertiga (saya, ibuk, dan
adik) merasa bosan dengan beberapa cerita Bapak yang diulang-ulang. Contohnya saat
Bapak menceritakan kisah pembakaran Nabi Ibrahim alaihissalam oleh seorang raja
kejam bernama Namrud. Bapak bilang, saking besarnya api yang disiapkan raja
Namrud, ia sampai harus melempar Nabi Ibrahim dari atas bukit
mengenakan ketapel. Kemudian saat Nabi Ibrahim akan dilemparkan ke
dalam api, datanglah malaikat Jibril yang menawarkan bantuan.
“Apakah itu perintah Allah?” tanya nabi Ibrahim
alaihissalam.
“Tidak. Ini karena rasa kasihanku padamu.” Jawab
Jibril.
“Kalau begitu biarkan lah aku sampai Allah datang
keputusan Allah.”
Hingga akhirnya seperti yang kita baca dalam Al Quran,
pertolongan Allah datang melalui firman-Nya surat al-Anbiya ayat 69 yang
berbunyi “Wahai Api! Jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim”. Bahkan di dalam api itu pula Nabi Ibrahim
memperoleh berbagai kenikmatan yang sebelumnya tak pernah didapatkan di dunia.
Diriwayatkan dari Minhal bin Amr, Ibrahim tinggal atau berada
dalam kobaran api itu selama 40 atau 50 hari.
Ibrahim berkata, “Sebaik-baik kehidupan yang saya rasakan adalah
hari-hari ketika saya berada dalam kobaran api. Saya berharap, seluruh hidup
saya seperti yang saya rasakan dalam kobaran api itu.”
Bapak juga bercerita, bahwa pertumbuhan fisik Nabi
Ibrahim tidak sama dengan manusia pada umumnya. Pada masa itu semua
anak laki-laki yang lahir harus dibunuh, jadi demi melindungi putranya, ibu
Nabi Ibrahim meninggalkannya di dalam gua sejak ia dilahirkan. Dan
kuasa Allah subhanahu wa Ta’ala, Nabi Ibrahim tumbuh besar hanya dalam
waktu 15 bulan saja, tanpa diberi makan dan minum.
Bapak menambahkan di akhir cerita, “Di situlah
sebenarnya kelihatan sekali betapa ingkarnya ayah Nabi Ibrahim.
Sudah jelas-jelas dia lihat sendiri anaknya bisa besar dalam 15 bulan, tapi
masih belum percaya juga dengan kekuasaan Allah. Malahan dia termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang menentang risalah anaknya dan tetap tidak mau
berhenti menjadi pembuat berhala. Waktu sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi
Ibrahim pernah disuruh jualan berhala oleh bapaknya. Tapi
tidak ada yang mau beli karena dia teriak-teriak, ‘Saya jual berhala. Siapa
yang beli maka dia orang yang bodoh.’”
Bagi yang baru pertama kali mendengar kisah seperti
ini tentu tidak seketika percaya. Demikian pula saya. Pertama kali Bapak
cerita, saya tidak seketika percaya.
“Ah, palingan Bapak cuma dengar cerita dari
orang-orang. Saya yang sudah tamat kuliah aja belum pernah dengar kok sejarah
Nabi Ibrahim seperti itu.” Pikir saya waktu itu.
Hingga kemudian qodarullah... Memang Allah sepertinya
ingin menyelamatkan Bapak dari prasangka buruk anaknya. Hanya berselang dua
hari kemudian, tanpa sengaja adik saya menonton salah satu tayangan televisi
tentang wisata sejarah ke sebuah tempat bernama Sanliurfa. Lokasinya ada di
Turki, dekat Suriah.
Saat itulah saya merasa tertampar sekaligus merasa
begitu berdosa pada Bapak. Sekarang semua yang Bapak ceritakan itu bukan hanya
dibenarkan oleh orang lain, melainkan juga ditunjukkan lagsung seperti apa
bukti sejarahnya. Gua tempat Nabi Ibrahim alaihissalam tumbuh dan berkembang
selama 15 bulan itu masih ada hingga sekarang, bahkan terpelihara dengan begitu
baik. Siapapun yang berkunjung ke sana bisa shalat di dalamnya. Tempat shalat
pria dan wanita pun dipisah.
Lalu tak jauh dari gua itu, kita juga bisa datang
langsung ke bukit tempat Nabi Ibrahim pernah dilempar menggunakan
ketapel. Di sana juga masih ada dua buah tiang tinggi yang
diyakini sebagai peninggalan Namrud, terletak di pinggir lembah di atas benteng
Kota Urfa.
Beberapa ahli sejarah seperti Yakut, sebagaimana
dikutip dalam Mu’jam al-Buldan tentang Babylonia, ia menggambarkan
bahwa negeri Babylon (Urfa) sebagai berikut, “Ia berada di antara Tigris dan
Eufrat yang disebut dengan As-Sawad.”
Menurut beberapa sumber, pada abad ke-12 SM saat
diperintah oleh Seleukus I, seorang jendral pada masa Alexander The
Great, didirikan sejumlah pondasi di sekitar lereng bukit di Urfa, tempat
kedua tiang besar itu berada. Ada pula yang mengatakan, keberadaan dua tiang
besar yang kini masih berdiri kokoh itu adalah bagian dari sebuah gereja
Kristen, yaitu Edessa. Konon, kedua tiang besar itu sebagai simbol atas
penyangga dari Romawi dan kekaisaran Persia. Wallahu’alam bissawab...
Yang lebih menarik adalah legenda yang berkembang di
masyarakat tentang makanan khas asal kota Sanlıurfa dan Adiyaman yang bernama Çiğköfte.
Konon makanan satu ini ada hubungannya dengan cerita pembakaran nabi Ibrahim alaihissalam. Diceritakan ketika para tentara Namrud menyuruh untuk mengumpulkan kayu
bakar, masyarakat pun berkumpul di dekat tempat pembakaran. Namun karena
lamanya menunggu, akhirnya bapak-bapak pun kelaparan dan pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah tidak ada makanan karena semua kayu bakar telah habis.
Kemudian secara cepat saji ibu-ibu pun mengambil bulgur, cabe, dan beberapa
rempah-rempah yang kemudian diaduk dan siap dimakan.
Pemerintah Turki saat ini juga mengembangkan kota ini
sebagai pusat tujuan wisata karena keberadaannya dengan situs purbakala yang
berkaitan dengan masa lalu seperti kisah Raja Namrud dan Nabi
Ibrahim alaihissalam.
Di sini saya tidak ingin mengklarifikasi apakah benar
Sanliurfa adalah tempat yang memiliki hubungan erat dengan Ibrahim
alaihissalam, melainkan adalah apa yang pernah Bapak ceritakan. Seperti yang
saya katakan, sebelumnya saya tidak percaya pada cerita Bapak bahwa Ibrahim
alaihissalam besar di gua, lalu dilempar menggunakan ketapel, hingga kemudian
saya menonton siaran tersebut dengan mata kepala sendiri.
“Ternyata selama ini Bapak bercerita karena dia pernah
membaca sejarah itu, bukan hanya cerita dari mulut ke mulut.” Gumam saya malam
itu.
Ya, kejadian seperti ini sebenarnya seringkali
berulang. Terkadang saya merasa angkuh di hadapan Bapak. Merasa bahwa saya
lebih tahu soal sejarah dan pemahaman agama. Banyak kisah-kisah yang Bapak
ceritakan baru saya benarkan berbulan-bulan kemudian, tentu setelah saya
mendapati kisah itu dari referensi yang jelas.
Saya lupa bahwa Bapak juga punya banyak buku. Beliau memang hanya
tamatan sekolah dasar, namun beliau rajin membaca sejak dulu. Bahkan beberapa
tahun terakhir, Bapak menyempatkan ta’lim (membaca kitab-kitab yang ditulis
para alim ulama) setiap habis Magrib dan Subuh.
Terkadang saya jengkel pada Bapak. Tidak ada hal lain
yang ia ceritakan selain masalah agama. Dan seperti yang saya sebutkan di atas,
cerita beliau selalu diulang-ulang.
“Bapak sudah menceritakan ini kemaren. Ini yang
keempat kali.” Seringkali saya memotong dengan kalimat begini.
Tapi beliau menjawab, “Yang terpenting itu bukan soal
sudah berapa kali diulang, tapi sudah diamalkan atau belum? Ilmu itu tidak akan
ada manfaatnya sebelum diamalkan."
Kalimat yang jadi skak mat bagi saya. Jadi ingat ucapan Kyai Ahmad Dahlan ketika ditanya muridnya kenapa terus-terusan yang dikaji adalah surah Al Maa’un.
Kalimat yang jadi skak mat bagi saya. Jadi ingat ucapan Kyai Ahmad Dahlan ketika ditanya muridnya kenapa terus-terusan yang dikaji adalah surah Al Maa’un.
Saya mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Bapak.
Semua hal-hal sederhana yang ada dalam diri beliau selalu membuat saya rindu
untuk pulang ke rumah. Dari pengalaman ini, saya ingin mengatakan bahwa
selamanya seorang anak tak akan pernah lebih pandai dari orang tuanya. Jangan berlaku sombong karena merasa pendidikan kita lebih tinggi dari orang tua.
Karena bukan kah dahulu mereka yang berjuang siang malam agar anaknya bisa
sekolah? Tapi kebanyakan dari kita adalah pelupa. Kita lupa pada
kebaikan-kebaikan kedua orang tua.
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengungkapkan bahwa
saya begitu bersyukur memiliki ayah seorang Bapak. Sungguh beliau tak pernah
mengajarkan kepada anak-anaknya kecuali kebaikan-kebaikan. Sungguh ia tak
pernah mengatakan perkataan yang sia-sia. Semoga Allah membalas kebaikan kedua
orang tua kita, memberikan derajat yang tinggi untuk mereka, meridhoi mereka,
memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya yang luas. Semoga dosa kita sebagai anak
tidak pernah mengurangi pahala amal ibadah mereka, tidak menjadi penghalang
kasih sayang Allah kepada mereka. Semoga kita termasuk salah satu dari tiga
perkara yang akan menyelamatkan kedua orang tua kita di kehidupan selanjutnya.
Dan semoga Allah mengizinkan saya, juga kalian, beserta orangtua untuk berkunjung ke Sanliurfa dan negara para anbiya lainnya, suatu hari nanti. Aamiiin... insya Allah.
Alhamdulillah. Cerita yang bagus sekali, runut dan memberikan banyak inspirasi bagi kita semua. Alhamdulillah lebaran tahun ini kami sekeluarga di rumah saja tidak mudik. Kampung Halaman memang selalu menjadi impian kami sekeluarga agar bisa mudik dan berkumpul bersama keluarga. Insya Allah selalu istiqamah
ReplyDelete