"Wahai Nabi! Katakan kepada istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka' yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59).
Aku ingin menceritakan sedikit tentangnya, tentang seorang gadis yang saat ini berada di pulau yang berbeda denganku. Kisahnya telah kuurai sedikit pada tulisan yang lalu, dan sekarang aku ingin menyambungnya.
Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku dan dia berpisah di persimpangan jalan. Aku melanjutkan ke sekolah agama dan dia ke sekolah umum. Perbedaan ini membuat banyak perbedaan lainnya. Aku harus berjilbab karena tuntutan peraturan dan dia masih bebas dengan model-model rambutnya. Ketika itu, aku masih belum mengetahui esensi jilbab yang menempel di kepalaku, malahan aku merasa jilbab hanya menjadi penghalang untuk tampil trendi. Rambutku yang panjang pun harus tersimpan dan tak bisa dipamerkan.
Aku memang terpaksa masuk sekolah agama, biarpun begitu, aku tetap menaati peraturan. Aku menjadi anak rumahan yang tidak banyak ulah dan tentunya berjilbab.
Bagaimana dengan dia? Dia begitu bahagia dengan sekolahnya, teman yang banyak dan seragam yang bagus. Ketika sekolah, dia juga mengenakan jilbab namun ketika jalan-jalan ia bebas ingin bergaya seperti apa. Aku iri, tapi mau bagaimana lagi.
Ia tak lagi punya banyak waktu bersamaku. Ia lebih senang dengan temannya yang sejalan. Aku tak lagi bisa menjadi sahabat yang asik baginya, tak bisa diajak curhat tentang pacar atau laki-laki yang dikagumi. Hubungan kami terus menjauh. Aku iri ketika ia memilih jalan-jalan bersama temannya yang lain daripada aku. Aku ingin marah padanya karena aku tidak lagi mendapatkan kebersamaan seperti dulu. Tak ada menyerok ikan, tak ada memanjat pohon rambutan, tak ada mencari damar, dan tak ada semuanya. Aku merindukannya meski aku bisa melihatnya setiap hari.
Semua berlanjut hingga kami beranjak ke pendidikan yang lebih tinggi. Aku melanjutkan ke pesantren dan ia melanjutkan ke SMA. Di pesantren, lambat laun aku mulai mencintai jilbabku. Aku tak lagi melepasnya ketika keluar rumah. Ia masih sama seperti dulu, masih dengan rambutnya yang tergerai lembut dan pakaian trendi.
Kita hanya bertemu setahun sekali, karena letak pesantrenku yang sangat jauh dari pulau kecil kami. Aku selalu berharap ia mau mengikuti langkahku, menutup aurat. Aku tak pernah sekalipun mengingatkannya, aku hanya tetap istiqomah mengenakan jilbabku. Aku juga tetap menyayanginya, mencoba membantu apabila ia sesekali menceritakan masalahnya. Aku memahami dirinya, aku tahu sepak terjang dan perjuangan hidupnya yang tak ringan, aku tahu ini hanya soal waktu. Aku tak perlu berceramah padanya, cukuplah aku perlihatkan keteguhanku berjilbab.
Sekarang, aku menjalani semester dua di Kota Bogor, dan ia harus banting tulang di pulau sana, Tanjung Pinang. Keadaan mengubur mimpinya untuk mengecap bangku perkuliahan. Terakhir kita bertemu Juni 2012 lalu, ia mengantarkanku ke dermaga. Melambai tangan saat boat yang kutumpangi menuju tengah laut. Ia memakai jilbab ketika itu, aku bahagia sekali, karena itu artinya ada cahaya dan keinginannya untuk berjilbab.
Kemaren malam, 26 Mei 2013, ia mengirim pesan singkat (sms), memintaku untuk membelikannya buku-buku. Nanti ia akan mengganti uangnya dengan cara dititipkan lewat kakaknya yang pulang ke pulau kecil kami, lebaran nanti. Ia sendiri tidak bisa pulang, tidak mendapat cuti kerja. Aku tahu itu pasti berat baginya, tapi seperti ceritaku dulu, ia adalah wanita tertegar yang pernah kukenal.
Sungguh aku menangis ketika membaca sms darinya. Aku tahu ia tidak memiliki hobi membaca, apalagi yang dipesannya adalah dua buku motivasi dan satu buku islam tentang muslimah. Kenapa aku menangis? Cermatilah, dua buku motivasi? Aku menyimpulkan ia sedang dalam keadaan rapuh saat ini, terlebih beberapa waktu lalu ia menceritakan perihal kebingungannya pada masa depan dan jalan hidup yang abu. Aku bisa merasakan hal itu, sebagaimana dulu ketika kecil, aku ikutan sakit saat ia sakit dan sebaliknya. Andai kita bisa bersama.
Hal kedua yang membuatku menangis adalah buku tentang muslimah yang dipesannya. Untuk buku yang satu ini, aku akan menghadiahkan buku milikku yang berjudul 'Hijab I'm in Love' karya Oki Setiana Dewi. Semoga ia juga akan segera memahami perintah Allah pada surah Al-Ahzab ayat 59 lalu berjilbab dengan sempurna.
Malam ini aku kembali mengenang masa lalu kami, masa kecil kami. Semoga Allah memberkahimu dan memberkahiku, memberkahi keluarga kita. Amin...
Selesai ditulis pukul 12:32 dini hari.
Bogor, 28 Mei 2013
No comments:
Post a Comment