Sumber: ayunaja.com
Satu-satunya surat dalam Al-Qur’an yang diberi nama dengan nama sebuah keluarga adalah surat Ali Imran (keluarga Imran). Tentunya bukan sebuah kebetulan nama keluarga ini dipilih menjadi salah satu nama surat terpanjang dalam Al-Qur’an. Di samping untuk menekankan pentingnya pembinaan keluarga, pemilihan nama ini juga mengandung banyak pelajaran yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran. Satu hal yang unik adalah bahwa profil Imran sendiri -yang namanya diabadikan menjadi nama surat ini- tidak pernah disinggung sama sekali. Yang banyak dibicarakan justru adalah istri Imran (imra’atu Imran) dan puterinya; Maryam.
Hal ini seolah mengajarkan kita bahwa keberhasilan seorang kepala rumah tangga dalam membawa anggota keluarganya menjadi individu-individu yang saleh dan salehah tidak serta merta akan menjadikan profilnya dikenal luas dan tersohor. Boleh jadi dirinya tidak dikenal orang -kecuali hanya sekedar nama- tetapi rumah tangga yang dipimpinnya telah menjadi sebuah rumah tangga yang sukses dan teladan banyak orang.
Hikmah ini juga mengingatkan kita pentingnya mensucikan niat dalam setiap amal perbuatan untuk semata-mata mengharap ridha Allah swt., bukan ingin dikenal sebagai seorang kepala tangga yang sukses, ingin dipuji dan sebagainya. Niat sangat menentukan kualitas dan kontinuitas amal yang dilakukan. Orang yang niatnya dalam beramal hanya untuk memperoleh sesuatu -baik berupa pujian, penghargaan, materi dan sebagainya- maka amalnya akan berhenti setelah ia merasa telah memperoleh apa yang ia angankan.
Berbeda dengan orang yang beramal karena mengharap ridha Allah. Ia akan senantiasa beramal tanpa kenal lelah atau putus asa karena ia tidak tahu apakah ridha Allah yang ia harapkan itu sudah ia gapai atau belum.
Dikisahkan bahwa Imran dan istrinya sudah berusia lanjut. Akan tetapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak. Maka istri Imran bernazar, seandainya ia dikaruniai Allah seorang anak ia akan serahkan anaknya itu untuk menjadi pelayan rumah Allah (Baitul Maqdis).
Nazar itu ia ikrarkan karena ia sangat berharap agar anak yang akan dikaruniakan Allah itu adalah laki-laki sehingga bisa menjadi khadim (pelayan) yang baik di Baitul Maqdis.
Ternyata anak yang dilahirkannya adalah perempuan. Istri Imran tidak dapat berbuat apa-apa. Allah swt. telah menakdirkan anaknya adalah perempuan dan ia tetap wajib melaksanakan nazarnya. Ia tidak mengetahui bahwa anak perempuan yang dilahirkannya itu bukanlah anak biasa. Karena ia yang kelak akan menjadi ibu dari seorang nabi dan rasul pilihan Allah. Setelah itu, anak perempuan -yang kemudian diberi nama Maryam- tersebut diasuh dan dididik oleh Zakaria yang juga seorang Nabi dan Rasul, serta masih terhitung kerabat dekat Imran.
Kisah ini dapat dilihat pada surat Ali Imran ayat 35-37. Ada beberapa pelajaran berharga yang dapat dipetik dari potret keluarga Imran ini:
1. Apa yang menjadi keinginan besar dari istri Imran adalah bagaimana anaknya kelak menjadi abdi Allah seutuhnya. Bahkan, sebelum anaknya lahir ia telah bernazar bahwa anaknya akan diserahkan untuk menjadi pelayan di rumah Allah. Selayaknya, setiap orang tua muslim memiliki orientasi seperti halnya ibu Maryam ini. Ia tidak risau dengan nasib anaknya secara duniawi karena ia yakin bahwa setiap anak yang lahir sudah Allah jamin rezekinya. Apa yang menjadi buah pikirannya adalah bagaimana anaknya mendapatkan lingkungan yang baik untuk menjaga agama dan kehormatannya. Dengan orientasi seperti ini tidak mengherankan bila putrinya Maryam tumbuh menjadi seorang wanita yang paling suci di muka bumi. Lebih dari itu, ia dimuliakan oleh Allah dengan menjadi ibu dari seorang Nabi dan Rasul yang mulia; Isa bin Maryam melalui sebuah mukjizat yang luar biasa yaitu melahirkan anak tanpa seorang suami. Maka, orientasi orang tua tehadap anaknya adalah sesuatu yang sangat penting sebagaimana pentingnya membekali mereka dengan nilai-nilai keimanan sejak kecil.
2. Ketabahan dan kesabaran istri Imran dalam menerima takdir Allah swt. ketika anak yang dilahirkannya ternyata perempuan dan bukan laki-laki sebagaimana yang ia harapkan. Kesabaran dan sikap tawakal menerima keputusan Allah ini ternyata menyimpan rahasia yang agung bahwa kelak anak perempuan tersebut akan menjadi ibu seorang Nabi dan Rasul. Alangkah perlunya sikap ini diteladani oleh setiap keluarga muslim, terutama yang akan dikaruniai seorang anak. Boleh jadi apa yang Allah takdirkan berbeda dengan apa yang diharapkan. Namun yang akan berlaku tetaplah takdir Allah, suka atau tidak suka. Maka, kewajiban seorang muslim saat itu adalah menerima segala takdir Allah itu dengan lapang dada dan suka cita, karena Allah tidak akan menakdirkan sesuatu kecuali itulah yang terbaik bagi hamba-Nya.
3. Maryam kecil akhirnya diasuh oleh Zakaria yang masih famili dekat dengan Imran. Tentu saja asuhan dan didikan Zakaria -yang juga seorang Nabi dan Rasul ini- sangat berdampak positif bagi pertumbuhan diri dan karakter Maryam, sehingga ia tumbuh menjadi seorang gadis yang suci dan terjaga harga dirinya. Dikisahkan bahwa ketika malaikat Jibril menemuinya dalam rupa seorang lelaki untuk memberi kabar gembira kepadanya tentang ia akan dikaruniai seorang putra, Maryam menjadi sangat takut melihat sosok lelaki asing yang tiba-tiba hadir di hadapannya. Hal itu tak lain karena ia memang tidak pernah bergaul dengan laki-laki manapun yang bukan mahramnya. Inilah sifat iffah (menjaga diri) yang didapat Maryam dari hasil didikan Zakaria.
Untuk itu, setiap orang tua muslim selayaknya memilih lingkungan dan para pendidik yang baik bagi anak-anaknya, apalagi di usia-usia sekolah yang akan sangat menentukan pembentukan karakter dan pribadinya di masa-masa akan datang. Seandainya orang tua keliru dalam memilih lingkungan dan sarana pendidikan bagi anak-anaknya, maka kelak akan timbul penyesalan ketika melihat anak-anaknya jauh dari tuntunan etika dan akhlak yang mulia.
No comments:
Post a Comment