Monday, 27 October 2014

Ngeblog dan Jalan-Jalan ke Luar Negeri?


Selamat Hari Blogger Nasional...

Aku punya blog sejak di pesantren, tapi baru aktif akhir 2013 lalu. Alhamdulillah dalam rentang waktu yang menurutku masih seumur jagung, blog ini udah sangat berjasa. Berkahnya banyak banget. Saking banyaknya berkah ngeblog, aku nggak  bisa bayangin berapa banyak rezeki dari blog komersial yang dikelola profesional. 

Okeh, karena hari ini nggak tahu mau nulis tentang apa, jadilah aku posting foto-foto lama aja. Bisa dapat foto plus lihat view ini, semuanya berkah ngeblog. 


Ini ceritanya view di pusat kota mana gitu... (Sok lupa). Fotografernya campur-campur sampai nggak terdeteksi siapa tepatnya. Ya awalnya cuma numpuk di folder tanpa tau mau diapain. Ternyata manis juga setelah diperhatiin.


Kalau yang di atas itu salah satu view pusat kota Singapura, ada seperti tangan yang mengangkat lingkaran. Bapak tour guide sempat memberi tahu filosofinya, sayang aku nggak ingat :(



Nah, foto yang di atas lebih nggak jelas lagi di mana persisnya. Mungkin di Orchad Road. Yang jelas waktu aku bongkar-bongkar file, eh menarik juga kesannya.



Nah yang ini anggap saja di London (jangan buru-buru sewot). Yup, ini dapatnya di Kuala Lumpur. Secara mereka kan bekas jajahan Inggris, jadi tetap ada peninggalan bangunan bergaya Eropa seperti di atas.



Kalian tebak sendiri sajalah di mana jalan ini berada. Asalkan nggak disangka di Eropa aja...



Duh, view di atas itu bikin pengen balik lagi ke sana. Sayang panasnya nggak nahan.



Hujan, no food, itu rasanya pengen cakar-cakar tembok... Saat hujan ini, kita duduk melamun di kaki lima gitu. Dan sepanjang hujan itu pula, aku cuma bisa mantengin bapak-bapak di bawah ini. Mereka itu katanya gembel ala Singapura, jadi rambutnya klimis, pakaiannya juga bersih.



Lihat, necis kan bapak-bapak di atas? Berbanding 360 derajat sama yang di tanah air. Hehe



Ini temenku Alfian ambilnya dari dalam mobil, aneh juga kenapa bisa secerah ini hasilnya. Padahal mobilnya nggak berhenti.



Bandara yang satu ini memang cukup keren, bahkan bagian atas sana (naik tangga itu), semuanya dilapisi karpet kayak di bioskop.

Nah, udah dulu ya... yang jelas blogging itu berkahnya subhanallah. Dan sekarang aku lagi nunggu untuk next trip... Happy blogging always!

Wednesday, 22 October 2014

[Fiksi] Mengapa Harus Berhenti Mencintai?

Source: click here
Negara cinta memiliki agama yang berbeda dari semua agama. Untuk para pecinta, hanya Tuhan sendirilah agama merekaMevlana Jalaluddin Rumi

“Kenapa kamu selalu memilih tempat pertemuan kita di tepi selat pada waktu senja?” tanya laki-laki itu pada perempuan di sampingnya. Ini kali kedua mereka duduk bersampingan menghadap selat dengan semburat keemasan di atasnya; untuk bercerita sesuatu yang sulit diungkapkan, sulit dipahami, bahkan hingga kini dan nanti ketika percakapan mereka usai.

Gadis itu tidak seketika menjawab. Sejenak ia melemparkan pandangan pada pucuk-pucuk menara runcing yang menjelma siluet di seberang sana. Senja sudah hampir tenggelam dan warna di ufuk Barat tampak kian pekat. Burung-burung camar yang biasanya terbang rendah, menari-menari di atas air dengan sesekali menukik, kini hanya tinggal satu dua. Senja adalah panggilan bagi mereka untuk pulang, bercengkerama dalam kekhusyukan menanti esok yang lebih cerah.

“Adakah yang lebih pandai menggambarkan cinta seorang wanita yang tak tersampaikan selain senja dan selat yang hening?” perempuan itu menjawab dengan sebuah pertanyaan. Lelaki di sampingnya menarik napas lalu mengembuskannya berat.

“Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Berhentilah mencintaiku.” Ucap sang lelaki.

“Mengapa aku harus berhenti ketika anugerah mencintaimu tidak diberikan Tuhan pada semua wanita? Kamu lihat gadis itu.” Perempuan itu menunjuk kecil pada seorang gadis yang sedang duduk seorang diri memandang Selat seolah melihat kesedihannya sendiri. “Apakah kamu berpikir ia juga mencintaimu? Tidak, sama sekali tidak. Tuhan telah menuliskan takdirku untuk mencintaimu, lalu kenapa aku harus mengingkari? Aku tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan ketika kamu luluh lantakkan semua harapanku, cinta ini tidak bisa pergi begitu saja.”

Laki-laki itu kembali hanya bisa diam. Aku tidak mengerti, akankah hatinya tersentuh saat mendengarkan penjelasan dari wanita di sampingnya. Atau justru semua itu tidak ubahnya senja sore itu, yang hadir sejenak, kemudian tenggelam tanpa bekas.

“Sungguh kamu hanya menyiksa dirimu sendiri. Cobalah menerima ia yang datang padamu.” Ucapnya memberi saran.

“Bagaimana aku bisa menerima, jika ia yang datang dan itu bukan dirimu, pada hakikatnya adalah tidak ada?” Perempuan itu merapatkan jaket. Angin mulai bertiup sekian kali lebih menggigit hingga menyusup ke balik kulit.

“Lalu apa yang bisa kulakukan?”

Perempuan itu menggeleng. Ia mengatakan bahwa sang lelaki tidak perlu melakukan apapun karena ia memiliki caranya sendiri untuk mencintai. Ketika para perempuan lain bisa melihat senyum di wajah lelaki yang dipujanya, perempuan itu juga bisa melihatnya pada wajahnya sendiri. Karena ketika ia menghadap cermin, ia kembali teringat bahwa perempuan yang wajahnya di dalam cermin itu sangat mencintai seorang lelaki. Lelaki yang wajahnya bahkan telah menyatu dengan wajahnya sendiri. 

Begitu pula ketika ia ingin mendengarkan suara sang lelaki, cukup baginya mendengarkan nyanyian para musisi yang sebahasa dengan lelaki itu. Lalu ketika sang perempuan menatap lanskap sebuah negeri sang lelaki, meskipun fotonya saja, itu sama artinya dengan ia menginjakkan kaki di negeri itu; menghirup aroma pepohonan di sana, merasakan gemerisik dedaunan yang berserakan di kala musimnya, dan mendengarkan percakapan orang-orang seperti di tanah sendiri.

“Mereka bilang cinta memiliki waktunya sendiri. Dua orang yang saling mencintai pun tidak dijamin akan hidup bersama bila mereka bertemu di waktu yang salah. Mevlana Rumi pernah berkata bahwa cinta adalah rumah Tuhan, dan para pecinta hidup di rumah itu. Cinta adalah milik-Nya, bagaimana bisa kita begitu egois ingin memintanya dengan paksa?” Usai berucap, wanita itu menoleh, berusaha tersenyum tipis. “Tenang saja, aku mengerti batas-batas mencintaimu, aku juga paham bagaimana harus mencintaimu. Namun ingatlah satu hal, ketika kamu meminta pada sahabat atau temanmu ‘Doakan aku’,  mereka akan membalas, ‘Aku selalu mendoakanmu’, namun kenyataanya hanya ada kemungkinan kecil namamu ada di setiap doa mereka. Tapi aku, meski tanpa diminta akan selalu menyebutmu dalam permintaanku pada Tuhan. Sungguh tidak sekali pun aku berdoa agar suatu hari kamu mengetahui cintaku kemudian juga menaruh rasa yang sama, setiap saat aku hanya mendoakan semoga Tuhan melimpahkanmu kebahagiaan dan cinta yang luas.”

“Terimakasih. Maaf aku tidak memiliki kemampuan mencintai sepertimu.”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, baik kamu atau diriku sendiri.”

Hanya sebatas itulah perbincangan mereka senja itu. Karena sesudah mereka kembali pada jalan masing-masing, matahari sempurna kembali ke peraduan dan gelap menyelimuti. Kerlap-kerlip kota di seberang sana hanya diam menyaksikan, saksi bahwa mereka pernah bertemu. 

Bogor, 23 Oktober 2014

Monday, 20 October 2014

Kisah Penjual Kerak Telor di Area Monas dan Selamat Bertugas Pak Jokowi!

Matahari sudah mulai bergerak ke ufuk Barat ketika aku dan seorang teman sampai di pelataran Monas hari itu. Kami baru saja menaiki delman yang mengantarkan dari area parkir. Delman dengan kuda paling gagah seantero Monas, begitu Sang Kusir—yang kuterka masih berumur 18-20 tahun—itu berucap bangga. Aku tidak peduli itu kuda paling gagah atau tidak karena menurutku rupa kuda itu masih sangat jauh tertinggal, jika dibandingkan kuda para kestaria dalam film yang pernah kutonton. Mungkin benar kuda yang gagah, tapi ia terlihat sangat kelelahan. Kuda yang malang.

Tulisan ini sebenarnya bukan untuk mengklarifikasikan kuda, baik itu famili, ordo, ataupun spesies. Apalagi mengarang dongeng bahwa di dunia ini  ada beberapa ekor kuda poni yang bisa terbang dengan sayap putih nan indah. Sama sekali tidak ada hubungannya.

Penjual kerak telor, dialah yang ingin kuceritakan. Seorang laki-laki paruh baya yang terlihat jauh lebih tua dari umurnya, berbaju motif petak-petak kusam dan tampak lebih besar dari ukuran tubuhnya, sore itu sedang duduk menghadap kompor kecil sambil meracik pesananku. Itu adalah kali pertama aku akan mencicipi makanan khas orang Jakarta. Jadi wajar kalau aku memperhatikan cara laki-laki itu bekerja seperti seorang anak kecil melihat sesuatu yang baru saja ditemuinya.

(photo was taken by me)
Di sampingku sudah duduk dua orang pemuda berpakaian santai dengan tanda pengenal tergantung di leher. Rupanya mereka jurnalis yang sedang mewawancarai Sang Bapak.
“Kenapa Bapak memilih jualan kerak telor?” tanya seorang wartawan, panggil saja Mas Pram.
“Bisanya ini Mas. Mau kerja berat sudah tidak mampu. Kalau muda dulu iya, masih bisa jadi buruh bangunan.” Bapak itu menjawab. Wajahnya seperti mengenang sesuatu, sementara tangannya lincah menekan-nekan kerak telor yang ada dalam panci kecil.
Si Bapak kemudian bercerita kisah petualangannya semasa muda, ketika tubuhnya masih kuat dan bugar untuk diajak memanjat bangunan berpuluh tingkat, bekerja di ketinggian. Namun kini, tubuh itu tidak lagi seperti dulu. Kakinya pun sudah bergetar jika diajak untuk mendaki gedung lagi. Pekerjaan sebagai buruh bangunan harus dihapus dari daftar mata pencariannya.

Jakarta memang kota tempat seribu impian digantungkan. Kota dengan gemerlap paling terang se-Nusantara. Kota dengan segala keindahan malam dan jutaan kemudahan bisa didapatkan. Tapi semua orang tidak akan lupa, Jakarta adalah kota yang kejam, yang siap melibas siapa pun tanpa ampun. Dan Sang Bapak adalah salah satu korban kekejaman Ibu Kota. Tidak ada lowongan pekerjaan yang sudi menerimanya selain buruh kasar—sementara raganya tidak lagi mampu, tidak ada buah hati yang bisa mensubsidinya setiap bulan, dan tidak ada keahlian apa pun yang bisa dibanggakan. Takdir akhirnya selesai dituliskan, Sang Bapak harus berjualan kerak telor di pelataran Monumen Nasional yang berdiri dengan jemawa. Satu-satunya keahlian yang berdasarkan pengakuannya bisa diandalkan.
“Lalu berapa penghasilan Bapak perharinya?” Mas Pram kembali bertanya. Tidak ada wajah belas kasihan sedikit pun tergambar di wajahnya. Aku tidak tahu, apakah semua pencari berita itu harus pandai memenjarakan ekspresi atau memang sudah wataknya seperti itu.
Sebelum menjawab, Sang Bapak menyerahkan sepiring kerak telor seukuran piring besar padaku. Oh seperti ini wujudnya, pikirku kala itu. Taburan abon berwarna keemasan menghiasi bagian atas jajanan itu sangat menarik. Aku mencicipinya perlahan. Enak dan gurih, hanya saja makanan itu sulit melewati tenggorokan karena sifatnya sangat kering.
“Satu porsi saya jual 15 ribu rupiah, dan paling banyak per hari hanya terjual empat porsi. Jadi sekitar 60 ribu perhari Mas.” Ucapnya menjawab pertanyaan Mas Pram.
Aku mendesis dalam hati. Sudahkah Sang Bapak menghitung berapa modal yang ia keluarkan? Apakah tenaganya yang seharian duduk menunggu, memanggil pembeli, kemudian meracik menu ia hargai dalam rupiah juga? Lalu dengan uang senilai itu, bagaimana ia bisa menghidupi keluarganya dengan layak? Belum lagi biaya untuk membeli bahan baku racikan kerak telor yang akan dijual esok hari. Cukupkah uang 60 ribu rupiah sebagai penghasilan kepala keluarga di pusat Ibu Kota? Spontan aku menjawab sendiri, itu tidak akan cukup.
“Sebenarnya tidak cukup Mas. Tapi mau bagaimana lagi. Ya dicukup-cukupkan saja.” Sambung Sang Bapak.
“Nah, kemaren kan sudah diumumkan kalau Pak Jokowi yang akan naik jadi presiden. Menurut Bapak bagaimana?” pertanyaan dari teman Mas Pram yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.
“Saya sangat senang Mas. Bersyukur Pak Jokowi yang terpilih. Saya bisa jualan di sini saja berkat Pak Jokowi. Dia membebaskan kami pedagang kecil berjualan di area Monas, biar ada pendapatan untuk menghidupi anak-istri. Selain Pak Jokowi tidak ada yang seadil ini pada rakyat kecil, bahkan dulu saya tidak diizinkan berjualan di sini. Saya bingung bagaimana caranya mendapatkan uang walaupun seribu rupiah saja.” Sang Bapak bercerita dengan wajah sedih sekaligus bangga.
Ini adalah kali kedua aku mendengar rakyat kecil yang memuji presiden kita—kala itu Pak Jokowi belum dilantik. Satu orang lagi adalah tetanggaku di kampung. Aku yang selama ini mengakui bukan menjadi bagian ‘salam dua jari’ itu pun tersentuh. Selama ini kita dicekoki berbagai berita yang simpang-siur dan tidak tersaring. Satu pihak dielukan, satu pihak dihempas hingga lumat. Begitu satu sama lain. Sehingga rasanya masyarakat sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang dongeng belaka.

Bahkan kalau boleh jujur, hingga detik itu pun hatiku masih belum mantap. Tapi lagi-lagi buat apa menuntut takdir yang sudah digariskan Tuhan? Jika kita lebih membuka hati dan menghapus semua anggapan buruk, sebaliknya memandang sesuatu dengan prasangka baik, nyatanya semuanya tidak seburuk apa yang diduga selama ini. Ada sisi baik, ada juga buruk, itu sudah sifat alamiah manusia, bahkan seorang Nabi yang sudah dijamin tempatnya di Jannah pun sempat berbuat khilaf. Kita tentu tidak lupa pada kisah Adam dan Hawa ketika mereka mengunyah buah terlarang dan kisah Yunus yang meninggalkan kaumnya. Salah dan khilaf adalah wajar, yang kurang ajar adalah ketika seseorang sengaja mengulanginya kembali.

Hari ini semua rakyat sibuk dengan kebahagiaan yang gegap gempita. Atmosfer kebahagiaan atas pelantikan Bapak Negara yang baru terasa dimana-mana. Bahkan pagi tadi semua stasiun televisi menayangkan momen serah terima jabatan secara bersamaan. Malam ini pun dilangsungkan pesta rakyat yang dihadiri ribuan masyarakat Indonesia di area Monumen Nasional. Semuanya datang untuk merayakan, untuk berbahagia, dan untuk menggantungkan sejuta harapan di pundak pemimpin negara kita. Saya ikut berbahagia, sangat berbahagia. Tidak lupa doa untuk Bapak penjual kerak telor, semoga pesta ini membawa berkah yang berlimpah untuknya. Semoga baik hari ini, malam ini, dan hari-hari selanjutnya, Allah membuka lebar pintu rezekinya dengan keberkahan yang luas.

Selamat bertugas Pak Jokowi...!

Bogor, 20 Oktober 2014

Sunday, 19 October 2014

Mulai Mencintai Lagu Turki

Aku sudah mencintai segala sesuatu tentang Turki, sejarahnya, bahasanya, orang-orangnya, tanahnya, kota-kotanya, desanya, dan apapun itu. Hanya satu yang selama ini berusaha juga kucintai, yaitu lagu. 

Soal musik Turki aku udah familiar dengan Mehter yang kukenal sebagai musik penyemangat saat pasukan Ottoman berperang. Musiknya khas dan... memang benar membuat siapa aja yang denger jadi semangat. Nggak bisa kubayangkan gimana musik itu menggema di saat peperangan dulu, ketika getarannya bersatu padu sama bunyi  pedang yang saling beradu dan jerit semangat atau kematian. Duh, wajar aja kalau musik Mehter ini seperti memiliki ruh yang mampu merubah suasana hati. Bayangkan, orang lagi berperang loh, bunuh-bunuhan, musuh dan teman satu persatu mati di depan mata, terus di sisi lain sekelompok orang  lagi main musik. Gimana tuh perasaannya?


Musik lain yang kusuka dari Turki adalah instrumental sufisme yang biasa digunakan untuk Whirling Dance atau meditasi. Itu asli damai sejahtera dengarnya. Aku suka dengar kalau pas kepalaku berasa berat layaknya ditindih satu ton batu bara. Haaah, langsung adem dan tenang gitu. Pantas aja kalau musik ini bisa dipakai untuk meditasi, nggak perlu pakai jampi-jampi atau mantra bin pemanasan dulu juga udah nyentuh banget.


Nah, dua di atas itu musik, bagaimana kalau lagu? Sejauh ini aku suka dua lagu Turki yang bernuansa Islam, bahasa gaulnya nasyid. Lagu ini kalau nggak salah kudapatkan dari dinding facebook seorang teman Turki, udah lama banget kudownload, sekitar lima bulan lalu. Musiknya khas banget, pokoknya kalau kamu sering dengar lagu Turki, pasti familiar dengan keidentikan musik Turki. Kalau nasyid biasanya ada suara kayak desahan gitu (ngeri ya?). Tapi emang bener, aku juga nggak ngerti kenapa bisa ditambah suara nggak menyenangkan begitu. But, we should to empty our mind from negative visual aja. Haha (maksud?)


Awalnya aku punya lagu (selain nasyid) dari Om Ozdemir Erdogan (penyanyi Turki generasi Bapak kita), judulnya Bana Ellerini Ver, artinya Give Me Your Hand (dapat dari google translator). Dapat lagu ini sih dari seorang Teh Sri Zehra yang sekarang tinggal di Turki ikut suami. Katanya lagu ini so sweet. Pokoknya kalimat-kalimat serius dari seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita gitu deh. And i love the song, walau nggak ngerti artinya, taunya senin, bana, sana, dan guzel doang.


Baru deh tadi malam saat berselancar cari lagu India baru, ketemu sama lagu Turki yang nyaman banget. Penyanyinya tetap Om Ozdemir, judul lagu aja yang beda, yaitu Ayrilik Zor yang artinya Difficult Separation (thanks google translator). Pengen sih tau semua arti liriknya, tapi udah keliling google sampai tujuh kali pun aku nggak nemu yang di-translate ke Inggris (how sad). dan aku sangat, sangat, sangat suka sama lagu ini. Banget. Bahkan sampai kudengerin berulang-ulang. Kesannya sedih gimana gitu, syahdu... lalala.


Dua lagu lain yang kudapat dari Mustafa Ceceli, penyanyi yang cukup ganteng. Judulnya Sevgilim (My Love) sama Asikardir Zat-i Hak (maaf, artinya nggak terdeteksi google translator, hiks). Buat yang ingin berkenalan dengan lagu-lagu tersebut, bisa klik video-video yang kucantumin. Nggak mesti suka juga sih, it is just my opinion. But hope you like them.

Wednesday, 15 October 2014

Jika Memang Rasa Itu Tidak Pernah Sampai

Source: click here
Aku ingin melihat wajahmu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warnaJalaluddin Rumi

Siang itu di kotaku sedang berada di puncak musim panas, ketika seorang gadis berlari ke arahku. Debu dan dedaunan kering yang tersapu oleh kakinya beterbangan.

“Seorang laki-laki sangat setia menantiku, bahkan ia sudah terang-terangan mengatakan untuk datang melamar. Keluargaku sudah mengenalnya karena memang dia adalah tetanggaku. Dan, dia adalah ustadzku dulu ketika di Pesantren.” Ceritanya tanpa diminta. Aku menutup halaman sebuah buku yang sejak tadi kubaca, melihat ke wajahnya yang sembab. Sepertinya ia sudah memikirkan masalah ini selama beberapa hari terakhir.

“Lalu masalahnya? Bukankah seharusnya kamu bahagia?” aku bertanya. Dalam hati aku justru menganggap hal yang dialami sahabatku itu sebuah anugerah. Perempuan mana yang tidak bahagia jika mendapat kemuliaan dan penghargaan setinggi itu dari seorang laki-laki?

“Tidak sedikit pun aku mencintainya. Sungguh sejak bertahun-tahun lamanya dia terus mencoba, tapi selama itu pula hatiku tidak pernah tersentuh olehnya. Sofi, aku wanita sederhana dan juga menginginkan cinta yang sederhana. Aku hanya ingin suatu hari laki-laki yang kucintai juga mencintaiku dan datang pada orang tuaku. Pengorbanan, pembuktian cinta, atau segala macam pernak-pernik seperti yang sudah diberikan laki-laki yang tadi kuceritakan sama sekali tidak kubutuhkan. Aku hanya ingin hidup dan mengabdikan diriku kelak pada laki-laki yang kucintai. Itu saja.” Ceritanya dengan mata yang penuh harapan.

“Itu bukan perkara sederhana. Aku sendiri tidak memiliki kepandaian yang cukup untuk bisa menyederhanakan walau sekadar lewat kata-kata. Terkadang, kita memang harus mengikhlaskan dia yang kita harapkan. Bukan karena tidak mencintainya, tapi seperti itulah cara untuk menghargai. Menghargai takdir, menghargai pilihannya, dan menghargai kehidupan kita sendiri.”

Aku bukan seorang yang ahli dalam masalah seperti ini. Lebih sering jawaban yang kuberikan hanya diam dan lebih banyak mendengarkan. Namun dalam tulisan, aku merasa memiliki sedikit waktu lapang untuk berpikir sebelum menjawab atau mengungkapkan sesuatu. Itulah sebabnya kuberanikan untuk menuliskan cerita sahabatku ini, seorang gadis manis yang menurutku memang benar sangat sederhana.

“Lalu aku harus menerima laki-laki itu?” tanyanya kembali.

“Jika aku menjawab pertanyaanmu, akan ada pertanggung jawaban yang berat saat jawaban itu kamu tunaikan. Aku tidak bisa memberikan jawaban apapun. Namun, kamu bisa memantapkan hatimu dengan cara meminta petunjuk pada-Nya. Petunjuk dari-Nya adalah jaminan untukmu agar tidak ada penyesalan.”

“Baiklah...” ucapnya sambil melayangkan pandangan ke langit biru yang sangat cerah sekligus menyilaukan.

"Lalu, apakah kamu menyimpan seseorang dalam hatimu kini?" aku bertanya lagi.

Ia mengangguk kecil, "Tapi dia tidak pernah tahu dan aku pun tidak memiliki cukup keberanian untuk memberi tahu..."

Aku menelan ludah, tidak tahu harus menimpali seperti apa. Pembicaraan  kami berakhir setelah beberapa kalimat lagi. Ia harus pergi untuk mengikuti perkuliahan selanjutnya dan meninggalkan aku sendiri dengan seribu pertanyaan.

Berapa banyak wanita yang memiliki masalah sama seperti sahabatku itu, ketika ia yang diharapkan tidak pernah menyadarinya, sebaliknya yang tidak dikagumi justru datang berkali-kali? Dan untuk laki-laki yang setiap saat namanya disebut-sebut oleh sang wanita, yang sosoknya dikenang meski tanpa berani menyapa, tidak bisakah hatinya tersentuh sedikit saja? Lalu untuk ia para wanita yang menyimpan rapat-rapat rasanya, tidak jugakah laut dan daratan mau membantu menyampaikan perasaan itu?

Sahabatku, barangkali sekali lagi kita harus tersadar. Apa yang tersimpan dalam hati seorang anak manusia di luar kendali manusia yang lain. Jika rasa itu memang tidak pernah sampai, tidak ada salahnya kita menuruti kalimat Rumi, yaitu dengan melihat wajahnya pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna. Semoga suatu saat kelak, wajah yang selalu kamu hadirkan itu mau tersenyum padamu, atau kamu yang sudah bisa mengganti wajah itu dengan ia yang selama ini menghadirkanmu dalam doa-doanya.

Bogor, 16 Oktober 2014


Saturday, 11 October 2014

[13] Happy Birthday My Brother

My Village's View 
After a girl is grown, her little brothers—now her protectors—seem like big brothers. [Terri Guillemets]

Pagi itu titik-titik embun masih belum hilang dari setiap helai daun yang tumbuh di kampung halamanku. Pagi yang sangat kukenali bahkan sejak aku mampu mengingat tentang hidupku sendiri. Dan seperti waktu-waktu yang lain, kampung halaman adalah tempat yang membuatku merasa hidup seutuhnya. Ketika di perantauan, terkadang aku menganggap diriku sendiri layaknya orang asing, namun ketika kembali ke rumah, ke tanah kelahiran, mereka semua mengingatkanku bahwa di sinilah semua kehidupanku dimulai, dan di sini pula semua tujuan perjalananku di perantauan sana...

Seorang  pemuda cilik mengikuti langkahku menyusuri jalanan desa kami. Langkahnya sangat riang dan menganggap keberadaanku di sana seumpama seorang peri baginya. Bahkan sejak awal kedatangan, pemuda cilik  itu juga yang berlari menyongsongku dengan senyum merekah. Aku sangat mempercayainya, meski aku diminta memilih antara sepuluh laki-laki lain atau pemuda cilik itu, sungguh sampai kapanpun aku akan tetap memilihnya karena kepercayaan itu. Dan aku tidak pernah meragukan satu hal: di saat semua orang tidak ada lagi yang mempercayaiku, pemuda cilik itu akan tetap membelaku.

Terkadang aku terbawa emosi saat bermain dengannya dan dengan begitu ringan tanganku memukulnya, tapi tak sekalipun ia mau membalas. Pernah satu kali tanganku bergerak sangat cepat lalu mendarat dengan keras di pipinya karena aku tak tahan ia mengejekku dengan seorang teman laki-laki, aku sangat yakin pukulan itu menyakitkan,  spontan ia mengangkat tangan untuk membalas. Namun tahukah, ia tidak pernah melakukan itu. Ia tarik kembali tangannya dan pergi begitu saja dengan wajah murung. Saat itu aku merasa sangat berdosa padanya. Pilihannya untuk tidak membalas justru membuatku sangat menyesal.

Dia adalah adikku. Adik satu-satunya. Saudara kandung satu-satunya yang sejak dulu sangat kunanti kehadirannya. Adik kecil yang saat kelahirannya membuatku menjadi gadis kecil yang paling bahagia di dunia karena telah diaugerahi seorang teman bermain. Aku menungguinya tidur di ayunan dengan senang hati. Memandanginya dimandikan Ibu. Menyuapinya meski aku belum pandai mengulurkan sendok dengan tepat kala itu. Ya, sejak kelahirannya dia adalah malaikat kecilku, dan sekarang pun tetap begitu.


Kemaren tanggal 03 Oktober ia genap berusia 13 tahun. Aku merasa sangat berdosa apabila tidak menyempatkan diri untuk sekadar membuat tulisan kecil untuknya. Walaupun sekarang ia tidak membaca tulisan ini, harapanku tetap sama seperti tahun sebelumnya, berharap suatu saat ia akan membacanya dan mengetahui betapa aku mencintainya.

Selamat ulangtahun Dik...

Mbak tuliskan ini tepat di hari ulang tahunmu, dan maaf baru sempat menerbitkannya hari ini.

Kamu adalah doa Mbak setiap hari, dan harapan Mbak hari ini semoga semua doa kebaikan untukmu dikabulkan Yang Maha Kuasa... Semoga kehadiranmu adalah berkah bagi semua orang...

There’s no other love like the love for a brother. There’s no other love like the love from a brother. [Terri Guillemets]


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...