Byzantium,
Roma Baru, Konstantinopolis, Konstantiniyye, Carigrad, Dersaadet, Darul
Hilafetil Aliyye, dan Istanbul. Sangat mudah untuk memperbanyak label-label
kristal yang terpasang kepadanya...
Setiap
budaya memanggilnya dengan bahasa berbeda. Selama berabad-abad, dalam tidur
manusia namanya terucap dalam berbagai bahasa. Para legenda, sambil merangkai
banyak cerita, melewati perbatasan benua seperti sebuah arus air. Orang-orang
yang melihatnya dalam mimpi mereka, ketika membandingkan dengan kenyataan,
sulit memutuskan manakah yang lebih indah...?
“Assalamualaikum. Mbak Tia, apa benar hari Senin akan berangkat ke Turki? Bolehkah saya menitip sesuatu?”
Inilah pesan yang
kukirimkan dari inbox facebook kepada seorang teman blogger, Mbak Tia Yusnita.
Selain sebagai teman, aku juga belajar banyak hal dari sosok dan tulisannya.
Tak beberapa lama, pesan tersebut ia balas.
“Waalaikumussalaam. Iya Mbak Sofi, insya Allah berangkat besok. Ini baru aja mau ngabarin Mbak Sofi, eh sudah inbox duluan hehe. Boleh Mbak”
“Nanti tolong tulisin namaku Sofia Zhanzabila, di bawahnya ada tulisan 'Semoga Allah segera mengabulkan doamu untuk menginjakkan kaki di sini’. Lalu kertasnya difoto di depan Hagia Sophia dan Blue Mosque, lihatin backgroundnya ya Mbak. Semoga perjalanannya lancar dan berkah. Baarakallahu fi safar sampaikan salamku untuk Istanbul ya Mbak.” Aku mengetikkan kalimat ini dengan hati berdebar-debar, seolah-olah yang akan berangkat lusa adalah diriku sendiri.
“Aamiin terimakasih doanya. Siap insya Allah.” Mbak Tia membalas dengan emotion senyum di belakangnya.
Aku berseru ‘yess’ seorang diri, sampai-sampai
ketiga teman kamarku menoleh dengan tatapan heran. Kuberi tahu mereka bahwa aku
baru saja menitipkan bagian dari impianku kepada seseorang.
Sungguh, sejak hari
itu pula, setiap hari, selama dua minggu ke depan, hatiku terus berharap cemas. Lalu beberapa
hari saat Mbak Tia sudah tiba di Istanbul, ia membagikan sebuah foto bersama
pemandu wanita berwajah Turki di sampingnya. Aku senang, haru, ada juga rasa
iri, dan tentu saja air mataku menetes tanpa diminta. Ya Allah, kenapa hatiku
merasa begitu dekat dengan kota itu, dengan bangsa itu?
Dua minggu selesai
sudah. Mbak Tia kembali ke tanah air dan seperti ucapannya sebelum berangkat,
tentu ia tidak mungkin lupa. Ia kemudian mengirimkan dua buah foto sesuai yang
kuminta. Tidak ada yang bisa kuucapkan saat itu, kecuali air mata yang kembali menetes.
Aku sangat bahagia, bahkan melebihi kebahagiaan ketika mengetahui aku memenangi
sebuah lomba berhadiah jalan-jalan ke luar negeri dua minggu lalu.
Dua buah foto itu
sangat berarti bagiku. Rasanya impian itu semakin dekat saja, dan insya Allah semoga kelak aku bisa ke
sana bersama Bapak, Ibu dan adikku tercinta. Ingin kuceritakan pada mereka
semua hal yang membuatku jatuh cinta pada kota itu, tentang sejarahnya yang
agung dan juga tentang keruntuhannya. Kota itu adalah saksi tentang bangkit dan jatuh, bersinar dan redupnya sebuah peradaban. Setelah Tanah Arab, tanahnya
bangsa Turk adalah tempat bersejarah yang berada di urutan kedua dalam
impianku.
“Benua
Asia sekali lagi terpancar terang, seperti petir-petir yang memercikkan cahaya
di perairan. Sandal-sandal mungil para suami yang datang dari Istanbul Eropa bertemu
dengan sandal lainnya yang dipakai sang istri di Asia. Anak-anak mereka yang
datang ke pantai, berhenti, membalikkan badan mereka, lalu kemudian berlari
menuju pantai Eropa. Terdengar suara-suara musik dan lagu dari kedai-kedai.
Elang-elang beterbangan di sekitar bukit Yusa, burung camar menapaki perairan,
ikan-ikan berenang di sekitar kapal yang membelah selat, dan udara dingin yang
datang dari Laut Hitam menghantam wajah kita.
Di
manakah kita? Ke manakah kita akan pergi? Di waktu ini, semua kenangan yang
kita lihat sejak dua jam lalu di sepanjang bibir selat. Tempat para pendatang
dari empat arah dunia. Sebuah gambaran kota yang mencampurkan seluruh nikmat
dari Tuhan dan sebuah mukjizat yang selalu memberikan rasa hari raya. Dan penggambaran
ini memenuhi diri kita dengan perasaan sedih dan kerinduan.”
Istanbul, apakah mereka juga memiliki impian seambisius diriku untuk mengunjungimu? Aku tak peduli sama sekali, karena bukankah selalu ada alasan di setiap impian? Sementara aku selalu merasa kerdil jika diminta untuk menuturkan atau menuliskan tentangmu. Merasa tak pernah ada kata ataupun tulisan yang mampu menjabarkan segala haru, bahagia, sedih, dan semua rasa yang tersimpan dalam hatiku tentangmu.
Aku tahu bahwa mereka
banyak yang mengatakan, tidak ada yang begitu istimewa darimu, bahkan sampah
kuaci masih banyak berserakan di taman-taman dan garis pantaimu.
Bangunan-bangunanmu tampak kusam, seperti seorang wanita renta yang meratapi
masa senjanya. Bukankah Paris, Milan, London, jauh lebih memesona?
Aku tak bermaksud
membandingkan, namun bagiku keindahan bukanlah tentang seberapa cemerlang warna
sebuah kota, seberapa megah bangunannya, atau seberapa modern pakaian
orang-orangnya. Keindahan sebuah tempat adalah ketika aku berada di dalamnya,
aku bisa merenungi makna hidupku, makna sebuah kehidupan, dan makna mengapa
peradaban disilih bergantikan. Dengan begitu aku akan semakin menghayati sebuah
firman Tuhan, apakah semua ini diciptakan hanya sekadar main-main saja dan kita
tidak dikembalikan pada-Nya?
Untuk Mbak Tia, rasanya ucapan terimakasih tidak akan pernah cukup untuk membalas segala kebaikanmu. Jazakillah khairan, Allah Maha Adil, dan Ia akan memberikan balasan yang seadil-adilnya untuk semua kebaikan maupun kejahatan manusia. Semoga Ia melimpahkan segala kebahagiaan dan rahmatnya yang luas untuk Mbak Tia dan keluarga.
“Kalaulah
dunia ini sebuah negara maka Konstatinopel inilah yang paling layak menjadi
ibukota negaranya!”—Napoleon Bonaparte
Referensi: Muhammad Al Fatih karya Mustafa Armagan