Mendung menggantung di langit kota. Angin di luar seperti
berkejaran menggoyangkan segala yang mereka lalui. Aku yang seharian ini
mengurung diri di apartment, akhirnya memilih untuk berjalan keluar.
Aku sengaja keluar di tengah cuaca seperti ini, karena
sejak dulu aku menyukai langit mendung yang disertai angin. Cuaca yang cukup
sebagai wakil dari segala perasaan yang menyakiti batinku selama ini.
Angin menerpa wajah dan hijabku ketika pintu apartment
terbuka. Aku merapatkan jaket, menutup pintu, menuruni tiga buah anak tangga,
kemudian berjalan ke arah kiri. Daun-daun berwarna oranye hingga kecokelatan
berserakan di mana-mana. Kakiku yang terbungkus sepatu boot bertumit terdengar
ketukannya tiap kali menyentuh aspal, menjadi irama perjalanan.
Aku tak peduli pada orang-orang yang berjalan cepat di
sekitar jalan ini. Yang kuinginkan adalah bercengkerama dengan segenap luka dan
kepedihan yang terus terkurung dalam hati, seolah mereka tak punya jalan
keluar. Andai hidup ini seperti dalam film, tentu semuanya akan lebih mudah.
Nyatanya tidak! Nyatanya sampai saat ini tak ada satu ungkapan pun yang bisa
kuucapkan pada orang lain betapa hatiku begitu sakit. Betapa hati ini wujudnya
telah memar dan berdarah.
Terkadang aku iri pada orang lain ketika mereka mendapati
cinta sebagai sebuah anugerah terindah. Sementara yang kudapatkan adalah: cinta
merupakan petaka terbesar yang membuat hidupku tak tentu arah. Jika ditanya apa
dosaku? Maka jawabannya hanyalah karena aku berani jatuh cinta satu kali. Mungkin
aku yang tak tahu diri, karena telah menjatuhkan hati ke jurang yang paling
dalam sehingga tak ada jalan keluar untuk menariknya kembali. Hati itu, di
dasar jurang yang paling gelap, merintih sendirian, kedinginan, kesakitan, dan
segala penderitaan lainnya. Tak ada yang tahu, dan mungkin tak ada yang mau
tahu! Hhh... lagipula siapa yang mau peduli dengan sepotong hati yang tak lagi
utuh?
Aku tahu ini tak benar. Aku tahu semua ini terjadi akibat
kecintaanku pada Allah ta’ala yang belum sempurna. Tapi bisakah Tuhan, jika
Engkau membantuku menarik kembali hati itu seraya aku menyempurnakan cinta
kepada-Mu?
Wajah kuhadapkan ke langit yang hitam. Mendung-mendung di
atas sana berjalan seumpama asap, menuju ke suatu tempat. Setelah hampir 20
menit berjalan, sampailah aku di tepian sebuah selat. Jika biasanya air di
selat ini begitu tenang, tidak dengan hari ini. Airnya memercik ke segala sisi,
membasahi bebatuan di pinggirnya.
Aku duduk di sebuah kursi panjang. Sendirian. Selama
beberapa saat aku memandangi selat di depan, pada kapal-kapal yang entah ingin
ke mana atau dari mana. Gagak-gagak putih terbang di segenap penjuru kota.
Suara ringkikan mereka terdengar senada dengan angin yang mulai gemuruh.
Satu air mataku jatuh, dan aku tak mau menghapusnya. Aku
mengeluarkan sebuah buku berwarna cokelat, juga sebuah pulpen. Meski di kepala
ini belum ada ide tentang apa yang harus dituliskan, namun jari-jariku lebih
dulu menyentuhkan pulpen itu ke atas kertas.
Mustafa.
Sebuah nama yang indah. Sekaligus menyakitkan.
Sebuah nama yang ingin sekali tak kukenal, tapi justru
terus kudoakan.
Sebuah nama yang menjadi musim semi di hati, namun juga
menjadi musim paceklik yang mematikan.
Mustafa.
Aku berharap—saat ini—bisa mengintip sedikit saja
kehidupanmu di sana.
Apakah sudah ada malaikat kecil di antara kalian?
Aku ingin tahu apakah doa-doa yang selama ini kulangitkan
kepada Allah agar kau selalu berbahagia, telah dikabulkan?
Apa yang bisa kulakukan? Apa yang bisa kulakukan agar
berbahagia sementara mereka yang datang namun bukan engkau, pada hakikatnya
adalah tidak ada?
----