Anni
massaniyad durru wa anta arhamu rahimin
“Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit
dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”QS Al
Anbiya: 83
Seorang sahabat datang dengan setangkup derita. Padahal,
saya ingat, saat itu dua pekan pasca lebaran. Semestinya, sisa-sisa kemenangan
masih menyelimuti dirinya. Namun, air mukanya yang keruh, serta matanya yang
merah dan sayu mengabarkan setumpuk nelangsa tengah bergemuruh di benaknya.
Dugaan saya tidak meleset. Dodi, demikian sahabat saya itu acapkali dipanggil,
berkisah:
“Lebaran tahun ini, aku merasa sendirian. Aku
benar-benar menderita. Pertama, seminggu menjelang Idul Fitri, aku tergolek
sakit hingga dua minggu lamanya. Jelas, aku tidak bisa lebaran dan berbagi
bahagia seperti yang kau bayangkan. Kedua, ibuku ketahuan sakit tumor dan harus
berobat ke sebuah Rumah Sakit di negeri Jiran, Malaysia, tepat sehari setelah
Idul Fitri. Padahal, kau tahu, adik perempuanku yang semata wayang mengidap
kanker payudara. Ketiga, awal tahun baru ini, ayahku remi pensiun. Katanya,
akulah nanti yang harus ikut bertanggung jawab membiayai sekolah adik-adikku.
Dan kau kan tahu, sebagai anak sulung, aku sendiri belum mapan dalam karir dan
pekerjaan. Oh iya, satu lagi, bagaimana dengan rencana pernikahanku nantinya?
Cobalah kau pikir, Az! Begitu banyak penderitaan yang harus kutanggung. Aku
stressssss, Az! Stressss!”
Saya tercekat dengan ceritanya, dengan alur derita
hidupnya. Inilah kisah ke sekian kali ihwal kepiluan yang langsung menghujam
lubuk saya. Sebelum Dodi, beberapa sahabat saya kerap menuturkan hal yang sama.
Dan, kita tahu, sahabat saya ini tidak sendiri. Ia bukan orang pertama yang
menyimpan setumpuk nestapa dan derita.
Nun, jauh sebelumnya, hidup seorang nabi
yang juga hidup di tubir kegelapan derita; nabi yang besar di negeri Syria,
cicit Nabi Ibrahim alaihissalam, yang sebelumnya tersohor karena hartanya yang
berlimpah ruah sehingga membuatnya senantiasa hidup dalam kebajikan berderma. Dialah
Nabi Ayyub, putra Ish bin Ishaq, yang membuat masyarakat Hauran dan Tih sangat
menghormati dirinya lantaran sikap dermawannya. Mungkin, sebagian Anda pernah
membaca kisahnya dan menyerap iktibarnya. Tapi, di tulisan ini, saya ingin
menukil secuil hikayahnya.
Konon, iblis menyusun senarai rencana agar Ayyub
berpaling dari Ilahi. Karena itulah, siasat pertama, iblis menggoda Ayyub
dengan membuat rumah Ayyub terbakar. Seluruh harta bendanya ludes dilahap si
jago merah. Begitu pula dengan hewan-hewan ternaknya yang terserang penyakit.
Semuanya mati. Ayyub pun jatuh miskin dan melarat. Dua orang istrinya sendiri
tak sanggup menemaninya lagi. Yang tersisa hanya Rahmah, istrinya yang paling
setia.
Sayang, iblis salah dugaan, Ayyub bukanlah sosok yang imannya
payah. Ia masih tetap beriman, meski derita baru saja menimpanya. Maka iblis
pun menjalankan siasat kedua. Bersama para pembantunya, iblis membuat rumah
anak-anak Ayyub juga terbakar. Yang lebih menyakitkan, semua buah hati Ayyub
meninggal tertimbun reruntuhan rumah itu. Otomatis, Ayyub berduka. Air mata
berlinang-linang di pelupuknya. Belum pupus sejumput musibah, datang kabar
kematian anaknya yang meninggal secara mengenaskan.
Tapi, Ayyub memang seorang nabi, ia tetap tidak
berpaling dari iman kepada Allah, ia malah lebih giat beribadah. Iblis pun
sangat kecewa, dan siasat ketiga telah disusunnya. Kali ini, ia sengaja membuat
Ayyub benar-benar menderita fisik dan psikis. Iblis menebar bermacam kuman pada
tubuhnya. Walhasil, Ayyub mendapati sekujur tubuhnya rusak. Kulitnya
mengelupas. Segenap belatung menyembul di sela-sela dagingnya. Seluruh
penduduk, akhirnya, mengucilkannya. Ia terusir. Ia tersisih bersama istrinya;
keluar dari desanya. Dan penyakit menjijikkan itu tidak sebentar merajah di
tubuhnya. Konon, bertahun-tahun menggerogoti dirinya.
Sayang, derita bertahun-tahun belum juga menegakkan
panji kemenangan di pihak iblis. Ayyub belum goyah. Imannya tetap kokoh dan
ibadahnya semakin tak terkira giatnya. Maka, iblis pun menggunakan jurus
terakhir; ia menggoda istri Ayyub untuk meninggalkannya. Di sinilah, benteng
terakhir Ayyub hampir luluh lantak. Istrinya tak kuat menahan bisikan sang
iblis. Ia, akhirnya, meninggalkan Ayyub seorang diri dalam segenap derita.
Ayyub terpuruk, Ayyub terluka, dan Ayyub, alkisah, hanya
ditemani Allah ta’ala. Pada titik nadir inilah, selarik doa meluncur dari
bibirnya: “Anni massaniyad durru wa anta arhamu rahimin” [Wahai Tuhanku,
sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang—QS Al Anbiya: 83]
Sebaris doa itulah yang menemani jiwanya; sebuah kalimat
yang menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al Misbahn-nya tidak sebanding
dengan penderitaanya. Ibnu ‘Asyur, seperti ditulis Quraish, menjelaskan bahwa
kata ‘durru’ yang dipanjatkan Ayyub itu bermakna segala kesulitan yang menimpa
diri seseorang. Hal ini mempertegas bahwa besarnya derita yang Ayyub pikul itu
beraneka ragam dan begitu panjang masanya.
Hebatnya, Nabi Ayyub alaihissalam, dalam doa tersebut
mengatakan kata ‘massani’ yang berarti ‘aku disentuh/tersentuh’, sebuah kata
yang menjelaskan kondisi tindakan yang kecil alias sedikit. Kenapa Ayyub,
misalnya, tidak mengatakan kata ‘ashaabany’ [aku ditimpa], padahal apa yang ia
alami sungguh sangat berat? Tidak hanya itu, di lain sisi, Ayyub malah
bermunajat kepada Allah azza wa jalla tanpa sedu sedan dan menggerutu. Ia,
bahkan, tiada memohon sebagaimana lazimnya sebuah kidung doa. Beliau hanya
menyebut sifat Allah yang paling menonjol, yakni kata ‘wa Anta arhaama rahimin’
seraya memasrahkan diri sepenuhnya pada kehadirat Allah. Sebab, bukankah
Dia-lah sumber Maha Mengetahui dan segala Rahmat?
Saya mafhum kenapa kata ‘massani’ yang dipilih Ayyub
untuk melukiskan deritanya. Pasalnya, dalam satu riwayat, Ayyub berkata dengan
lirihnya kepada sang istri:
“Allah sedang menguji kita. Akankah kita lulus atau
gagal dalam ujian ini. Sudah berapa lama kita hidup bahagia?”
“Delapan puluh tahun.” Jawab istrinya ketika tengah
bersiap meninggalkan Ayyub seorang diri.
“Lalu, sudah berapa lamakah kita hidup menderita?”
“Tujuh tahun.”
“Itu berarti sabar kita tak sebanding dengan syukur
kita.”
Demikianlah, Ayyub memaknai sebuah penderitaan. Ia
memandang rasa sabar kita seharusnya berbanding lurus dengan rasa syukur kita.
Penderitaan yang kita terima, selayaknya diredam dengan betapa besarnya
anugerah yang telah kita dapatkan.
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari
segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat
Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya (menghitungnya). Sesungguhnya
manusia itu sangat zamil dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim:
34)
Lalu, kenapa kita lebih banyak meratapi ujian Allah
sebagai sebuah penderitaan yang tak pernah usai? Kenapa penderitaan yang kita
lewati dalam beberapa waktu saja menghapus ingatan kita akan segala
kebaikan-Nya? Kenapa kita sering alpa menzikir-zikir rezeki dan nikmat Allah
yang pernah kita dapatkan dari-Nya? Pada posisi inilah, tak aneh bisa Allah
ta’ala, kerap meneguhkan, “Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa
kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami
hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali melalui jalannya yang sesat,
seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk menghilangkan bahaya yang
telah menimpanya.” (QS Yunus: 12, lihat juga ayat senada pada QS Fushshilat:
51; QS Az Zumar: 8; QS Al Hajj:11)
Mengolah Derita
“Manusia yang memiliki sebuah alasan untuk hidup dapat
menahan penderitaan apapun,” begitulah Friedrich Nietzsche, seorang filsuf
Jerman yang lahir pada tahun 1844 itu pernah berkata. Dan Nabi Ayyub, jauh
berabad-abad silam sebelum Nietzsche lahir, sudah terlebih dulu mengalami dan
menghitmatinya. Bahkan, menurut hemat saya, Ayyub lebih dari sekadar mempunyai
alasan untuk hidup; selain ia berharap dapat lulus atas ujian Allah, ia juga
berharap, kelak, Allah masih meliriknya agar tak pernah jera menggenapi
anugerah kepadanya.
Bagi saya, semangat hidup yang terus meletup-letup itu,
sejatinya, bukan milik Ayyub sendiri. Suatu saat, entah saya atau Anda, apapun
status dan profesi Anda, pasti bisa menjalaninya. Viktor Frankl, seorang pakar
psikolog humanis, misalnya. Ia membuktikan dirinya bisa bangkit dari beban
derita yang meruap di jiwanya. Viktor mengalami penderitaan yang tak kalah
hebatnya; istri, orang tua, dan saudara laki-lakinya meninggal di kamp
konsentrasi Nazi, Jerman. Ia sendiri, di tengah kelaparan, hawa dingin, dan
kekejaman selama di Auschwits dan Dachau, terus-menerus dimasukkan ke dalam
kamar gas. Ia kehilangan seluruh harta miliknya di hari pertama masuk kamp, dan
dipaksa menyerahkan sebuah manuskrip ilmiah yang merupakan hasil kerja seumur
hidupnya. Frankl, meski berada di dalam keadaan yang mengerikan itu, memutuskan
memilih bertahan hidup. Wajar, dalam buku Man’s Search for Meaning yang
dikarangnya, ia menuliskan, “Jangan biarkan penderitaan memicu munculnya gejala
penyakit jiwa, tetapi biarkan ia memicu munculnya pencapaian seseorang.”
Pencapaian itulah yang akhirnya Ayyub dapatkan. Allah
mengabulkan selarik doanya. Buah kesabaran yang selama ini diembannya, Allah
ganjar dengan akhir yang indah: Allah menyembuhkan penyakitnya seperti
sediakala. Istri Ayyub yang pernah minggat pun, akhirnya, kembali ke
pangkuannya. Tak hanya itu, Allah kembali mengkaruniainya anak yang banyak
serta kekayaan yang tiada tara. Dan, sudah pasti, surga tengah menantinya.
Pada titik ini, Nabi Ayyub, sepertinya, ingin menegaskan
kepada kita bahwa sebaris doa adalah selaksa harapan. Pada doalah segala yang
tidak mungkin bisa terjadi. Nabi salallahu ‘alahi wassalam sendiri bersabda,
“Takdir tidak ditolah kecuali oleh doa, dan tidak ada yang menambah umur
manusia kecuali kebaikan yang dilakukan olehnya...”
Dan, saya yakin, bibir kita seharusnya tidak hanya
memanjatkan selarik doa seperti yang dilakukan Nabi Ayyub, tapi juga menyemai
benih harapan yang tak pernah aus lantaran sejumlah derita. Saya yakin, Anda
juga berharap mendapatkan akhir yang indah seperti Nabi Ayyub dan kisah
orang-orang yang lulus ujian dari setangkup deritanya.
-Dikutip seluruhnya dari buku Doa-Doa yang Menjawab
Impian karya A Muaz