Thursday, 11 July 2013

Copy-Paste: Muslimah ke Masjid?

Assalamualaikum...
Tadi habis buka twitter dan nemuin tweets oke di TL nya Ust.Felix Siauw. Berikut saya susunkan dan diedit sedikit, semoga bermanfaat.
Check it out!!!

1.Nabi saw bersabda, “jangan kamu melarang istri-istrimu (shalat) di masjid, namun rumah sebenarnya lebih baik untuk mereka” (HR Ahmad)

2. Nabi juga bersabda, “sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) di rumahnya” (HR Ahmad)

3. Jadi jelas, keutamaan shalat Muslimah adalah di rumah, walau boleh saja berjamaah di masjid (karena shahabiyah juga lakukan itu).

4. Bagaimana dengan pahala jamaahnya Muslimah bila shalat sendiri? (insyaAllah shalat di rumah pahalanya lebih utama daripada di masjid).

5. Seringkali shalat berjama'ah memberikan semangat lebih, lebih-lebih bila ada kajian ilmu di masjid  (maka bagus pula bagi Muslimah hadirinya).

6. Adab wanita shalat berjamaah di masjid yaitu, tak memakai wewangian (wanita tak dibolehkan pakai wewangian kecuali hanya di depan muhrim).

7. “Perempuan mana saja yang pergi ke masjid maka jangan sekali-kali dia mendekati (memakai) minyak wangi” (HR Nasa'i).

8. “Tidaklah wanita pergi ke masjid menyebar bau wanginya diterima Allah shalatnya sampai dia kembali ke rumah dan mandi” (HR Baihaqi).

9. Adab lainnya, bahwa sebaik-baik shaf bagi perempuan adalah yang paling belakang, jadi penuhi bagian belakang lebih dahulu.

10. ...Sebaik-baik shaf bagi perempuan adl yg paling terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang paling pertama" (HR Muslim).

11. Juga termasuk adab, apabila Muslimah selesai berjamaah, segera pulang ke rumah mereka, kecuali ada taushiyah ilmu yang disimak :)

12. “Wanita yang ikut hadir shalat berjamaah, selesai salam segera bangkit ke rumah . Rasul saw dan lelaki tetap di tempat" (HR Bukhari).

13. Singkat cerita, nanti pas ramadhan, boleh saja wanita tarawih jama'ah (malah bagus karena bisa dengarkan kajian).

Saturday, 6 July 2013

A Feeling: Dilema Persinetronan Indonesia

"Paman Senopati, perintahkan semua prajurit kerajaan mencari Pangeran Setoketibanklopo!!!" Ratu kencanapink berteriak panik, wajahnya berkeringat. Bagaimana tidak? Putra sematawayang tiba-tiba raib tanpa jejak. Seluruh penghuni istana panik. Sang raja langsung bersemedi, menerawang keberadaan sang putra dengan mata batin, sesekali beliau memanggil "Anandaku, dengarkah suara ayahanda?" Tapi, gagal, tak ada balasan. Barangkali, signal sedang jelek. Nyai Gembring (asisten ratu) berkomat-kamit, lalu tangannya menari-nari di atas sebuah bola putih serupa globe "Ah, ada kekuatan hitam yang menutupi terawanganku!" Pekiknya keki. Tidak ketinggalan, Paman Patih pun ikut memejamkan mata, lalu 'cling', raib entah ke mana.

Di lain tempat, Paman Senopati dan pasukan telah masuk ke hutan kematian. Tak perlu menunggu satu menit, segerombol manusia menyerang rombongan istana. Paman Senopati langsung memainkan jurusnya, menari-nari ala pendekar, dan... "Wuush..." ada cahaya muncul dari kedua telapak tangan, cahaya merah yang berkekuatan halilintar itu seketika menyapu gerombolan musuh. Sedetik kemudian, semua musuh menggelepar di atas tanah, kejang-kejang, sekarat, dan ada juga yang tamat. Paman Senopati mengusap kedua tangannya dengan senyum bangga lalu segera melanjutkan perjalanan.

"Sudah gusti ratu, jangan menangis. Semua sudah kita kerahkan untuk mencari pangeran kecil" Pelayan istana membujuk sang ratu yang meraung-raung tangisnya. Air matanya sudah lebih segalon.
"Bagaimana aku bisa tenang? Sedang putraku entah di mana batang hidungnya, hiks, hiks" Ucap sang ratu.
"Jadi, sang ratu hanya kehilangan batang hidung pangeran?" pertanyaan dari salah satu pelayan itu membuat sang ratu keki.
"Oh, anandaku Setoketibanklopo, di mana kau, sayang?! Pulanglah..." Ratap sang ratu sekuat tenaganya.

___***___
Hfft...capek juga ngetik cerita ala sinetron kita, bisa-bisa blog-ku penuh jika aku harus menceritakan hingga tamat.

Tara...dilema persinetronan Indonesia, terdengar 'koran-is' ya diriku? Haha, tulisan ini terinspirasi dari guyonan yang sering kami (aku dan adik) tertawakan saat menonton sinetron di Indosiar atau MNC TV. Ah, betapa mudahnya mengusir para penjajah jika pendekar-pendekar nusantara sehebat yang ada di senetron. Tinggal bersilat sedikit, ratusan pasukan penjajah langsung terkapar, mati! Bambu runcing? Gak level, bro. Wong, tangan mereka bisa mengeluarkan aliran listrik.
Senapan? Alah, kalah cepat, cuy.

Terus nih, kalau mau berbicara dengan orang lain yang berada di tempat lain, hanya butuh memejamkan mata, berkomat-kamit, dan...nyambung deh. Pembicaraan via batin, katanya. Hadeh, handphone kalah oke, Tower gak butuh, apalagi kartu seluler, gak laku.

Hebatnya lagi, orang dulu itu gak butuh BBM. Kemana-mana tinggal memejamkan mata atau mengucap mantra, lalu...cling, udah pindah tempat. Hebat yak? Teknologi sekarang mah Ka-O. Gak butuh tu perahu, kuda, sepeda, apalagi sepeda motor yang ngabis-ngabisin duit buat beli bensin.

Ada lagi? Masih ada. Zaman dulu juga gak perlu capek-capek masak. Gak perlu tuh yang namanya menggoreng ikan, atau apalah. Tinggal mengucap mantra pendek, lagi-lagi 'CLING', tersajilah ayam goreng, nasi sebakul, ikan panggang, dan tumis kangkung di atas meja.
Jadi, gak usah ada petani dan nelayan. Karena gak bakal ada yang mau beli.

Wah, wah, mau tahu kehebatan lain orang Indonesia dulu? Ternyata zaman dulu, industri kosmetik sudah maju buanget. Desainer-desainer zaman dulu juga udah top banget. Make-up nya bukan main, fashionable pulak. Penampilan mereka mengalahkan penampilan para pengantin modern. Duh, aku juga mau hidup di zaman dulu kalau begitu.

Yah, begitulah majunya Indonesia di masa kekerajaan dulu, tentunya bukan di buku sejarah, melainkan di sinetron. Semuanya terlalu absurd. Bayangkan jika memang orang-orang dulu sehebat itu, betapa enaknya jadi orang dulu. kenyataannya kan gak gitu. Meskipun raja selalu identik dengan orang yang sakti mandraguna, tetap aja mereka melawan musuh menggunakan keris, panah atau pedang. Makanya ada yang namanya keris Mpu Gandring dan lain sebagainya. Sehebat apapun sang raja, kalau ditembak, ya pasti mati. Selain itu, pakaian dan tata rias yang digunakan pun terlalu berlebihan untuk ukuran orang dulu. Intinya, semua terlalu dilebih-lebihkan hingga kesannya tidak masuk akal.

Aku heran, padahal sinetron-sinetron jenis ini di beberapa tahun lalu sudah bagus sekali. Seperti 'Jaka Tingkir' yang tayang seminggu sekali, juga 'Jaka Tarub', Angling Darma, hingga 'Wiro Sableng'. Sinetron-sinetron tersebut sudah cukup bagus dan tampak lebih natural. Aku masih ingat pakaian yang dipakai Jaka Tingkir, hanya baju dan celana putih biasa serta topi putih sederhana. Tak ada embel-embel (atribut) seperti di pementasan ramayana. Kurasa, begitu lebih oke. Ohya, saat si Jaka Tingkir terluka pun disembuhkan dengan ramuan-ramuan dari tabib, bukan dengan cahaya berwarna yang disalurkan oleh seseorang. Rasanya kok semua serba easy. Ironis dengan fakta dan logika.

Okay, sekian dulu, ya. Lagi-lagi ini hanya a feeling. Setiap orang punya rasa yang berbeda dalam menerjemahkam sesuatu. So, don't mind if you are not agree. Just leave and forget it.
Thank you for reading. Ting! :-)

Copy-Paste: Renungan Untuk Wanita

Assalamualaikum sahabat, tulisan di bawah ini saya kutip dari salah satu status facebook yang muncul di beranda. Awalnya malu untuk mem-post di blog, kesannya kok seperti posting-an Mbak-Mbak yang sudah mau wisuda (biasanya tulisannya gak jauh-jauh tentang galau urusan jodoh, cinta karena Allah, de el el), hehe. Tapi, dipikir-pikir, isi tulisannya bagus juga. Biar saling mengingatkan, khususnya mengingatkan diri sendiri. Oke, cekidot, gais...!!!

RENUNGAN UNTUK PARA WANITA] - Ketika suatu saat dirimu akan menikah dengan seseorang , ataupun saat ini kau sudah terikat dalam sebuah pernikahan.

Tentunya pernikahan itu melewati proses AKAD-NIKAH bukan?
Yang intinya berbunyi ;
''Saya terima nikahnya si dia binti ayah si dia dengan mas kahwinnya ,,,,,,,''

Singkat, padat dan jelas. Tapi tahukan makna 'perjanjian/ ikrar'' tersebut ?
Ini diaa -->

''maka aku tanggung dosa-dosanya si dia dari ayah dan ibunya, dosa apa saja yang telah dia lakukan, dari tidak menutup aurat hingga ia meninggalkan sholat. Semua yang berhubungan dengan si dia, aku tanggung dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung, serta akan aku tanggung semua dosa  anak-anakku''.

Jika aku GAGAL?
''maka aku adalah suami yang fasik, ingkar dan aku rela masuk neraka, aku rela malaikat menyiksaku hingga hancur tubuhku''.
(HR. Muslim)

Duhai para istri,,
Begitu beratnya pengorbanan suamimu terhadapmu, karena saat ijab terucap, Arsy_Nya berguncang karena beratnya perjanjian yang di buat oleh manusia di depan RABB nya, dengan disaksikan para malaikat dan manusia, maka andai saja kau menghisap darah dan nanah dari hidung suamimu, maka itupun belum cukup untuk menebus semua pengorbanan suami terhadapmu.

Yaa ALLAH...
Ku bersimpuh di hadapanMU, jadikanlah keluarga kami sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah mulai dari akad itu diikrarkan hingga menghadapMU di akhirat...

^_^
Salam...

Friday, 5 July 2013

Sebuah Rasa: My 'Permasakan' World

Pagi yang menyengat.Sudah hampir 2 bulan, hujan tidak pernah menyambangi desaku, itulah mengapa udara selalu panas meski pagi sekalipun. Kali ini aku tengah menjalani aktivitas seperti biasanya. Melihat-lihat tanaman bunga yang tak pernah kurawat lagi sejak ke pesantren.
"MBAK, BAU GOSOOONG!!!" adikku berteriak. Spontan aku langsung ambil langkah seribu. OMG! Aku lupa....kalau lagi masak!!!

Hfft...dengan wajah kecewa, aku memandang masakanku yang masih memenuhi kuali. Bentuknya saja membuat mual, apalagi sampai memakannya, bisa-bisa orang serumah terserang diare. Kubalik-balikkan semur kentang gosong itu. Hii...jadi gak ada beda sama arang. Wajar saja, masakan itu kutinggal di atas api besar selama hampir 20 menit. Kuambil potongan kecil kentang yang hitam lalu kumasukkan ke dalam mulut dengan wajah ngeri.
"PAHIT..." pahit dalam hatiku, pahit juga rasa kentangnya. Hiks...

Haai...itulah kejadian tragis yang kualami beberapa tahun lalu. Kejadian tragis yang rata-rata pernah dialami oleh para calon Ibu. Tidak hanya gosong, aku juga sering lupa memasukkan vetsin. Kadang keasinan, hambar, atau masakanku jadi berubah bentuk. Berubah bentuk bagaimana? Ya, niat awalnya mau memasak tumis kangkung, tapi jadinya kangkung rebus. Lha kok? Ku beri rahasia,ya. Kalau kamu memasak tumis kangkung dengan api yang sekarat, minyak goreng yang seupil, dan air yang jumlahnya over, niscaya bukan tumis kangkung yang kamu buat, melainkan itu tadi, kangkung rebus!

Sekembalinya aku ke kampung halaman, semua tugas rumah di lemparkan padaku, termasuk urusan masak-memasak. "Biar belajar. Lagipula, anak wedok di rumah cuma setahun sekali. Selagi masih di rumah, ya dimanfaatkan" begitu kata Ibuku.
Membahas tentang dunia permasakan, sebenarnya aku sudah hampir lupa. Bahkan jika aku tak pulang dua tahun saja, mungkin aku sudah tak bisa membedakan antara jahe dan lengkuas, antara merica dan ketumbar (parah amat). Tapi memang keempat jenis bumbu dapur itu sulit dibedakan. Aku saja bisa membedakannya ketika sudah di kelas VIII MTs.

Sekarang, kemampuan memasakku lumayan membaik. Setidaknya tumis kangkungku tak lagi jadi kangkung rebus. Meskipun rasanya tak sesempurna masakan Ibu, tapi sudah bisa dikatakan lauk jika masakanku disandingkan dengan nasi. Jujur saja, aku suka bereksperimen dalam dunia permasakan. Aku suka masak yang aneh-aneh dengan bumbu yang aneh pula. Pernah aku membuat sambal telur dengan bumbu yang ditambahi merica dan jahe. Kalian tahu rasanya? Kalau belum, cobalah sendiri membuatnya. Karena kata tak akan pernah sempurna mendeskripsikan rasa. Yang jelas, rasanya cukup membuat perut bergelombang (Wah!). Aku juga pernah membuat bakwan tempe. Bakwan tempe? Iya. Kan belum pernah ada. Biasanya adonan bakwan hanya dicampur wortel, jamur, kubis, sosis, jagung, kentang atau toge. Aku maunya yang beda, jadilah sesosok bakwan tempe. Setelah mencicipi rasanya, kusarankan kalian jangan mencoba membuatnya. Sungguh, tidak enak!
Eh, menyinggung soal bakwan, aku termasuk makhluk pecinta gorengan dari tepung gandum ini. Mau bakwan yang dibuat seperti cakram, bulat, lojong atau yang abstrak, semua kulahap. Biasanya, aku senang membuat bakwan jamur. Selain aku bakwan lovers, aku juga cinta jamur. Jamur apapun itu, asal bukan jamur beracun atau jamur kulit.
Nah, kalau aku sudah selesai menggoreng bakwan, selanjutnya harus ada saus. Paling enak pakai saus kacang. Adapun saran penyajiannya adalah dengan menaruh para bakwan di atas piring, lalu siram dengan saus kacang, then makan deh!

Selain Mr. Bakwan, aku pernah bereksperimen membuat mpek-mpek Palembang. Berbekal resep dari tetanggaku yang asli dari Palembang, aku mencoba membuatnya sendiri di dapur. Aku tidak tahu kalau adonan mpek-mpek terasa gurih karena diberi daging ikan tenggiri yang dihaluskan. Tapi meski tanpa ikan tenggiri, mpek-mpek buatanku jadi juga. Dari segi penampilan, sudah bisa dikenali kalau itu adalah bakwan. Dari segi tekstur, kurasa kucing pun akan mati jika dilempar dengan mpek-mpek buatanku. Oh ya, dari segi rasa? Hehe, aku malu mengatakannya.

Itulah tadi, sharing-ku seputar perdapuran dan permasakan :-D
Maaf jika ada bagian-bagian yang terkesan didramatisir. Kalian juga pasti tahu, tulisan yang apa adanya itu bagai asinan tanpa garam (?). Contohnya nih, aku mau menceritakan tentang kecelakaan. Kubuatlah kalimat sbb:
Senja itu, seorang anak bersepeda. Ketika sampai di dekatku, sepedanya menabrak batu, anak itu terjungkal dan kakinya yang kurus berdarah".

Datar banget kan? Yang baca bisa ngorok mendapati kalimat seperti itu. Coba kalau kubuat begini:
"Suasana ketika menjelang matahari tenggelam selalu membawa aroma sedih yang mencekam, seperti waktu itu. Seorang bocah melaju dengan sepedanya, kuyakin ia juga tengah menikmati angin senja. Namun, kepedihan senja segera menampakkan taringnya. Kulihat bocah itu terlempar dari sepedanya, tak jauh dariku. Sepedanya tanpa sengaja menghantam sebuah batu. Bocah itu terjungkal lalu menggelepar di atas tanah, darah segar muncrat dari kakinya yang kurus"

Ada feel-nya kan? Meskipun jadi sedikit lebih seram. Hehe
Eh, maap juga yak kalau contoh kalimatnya kagak nyambung ama tema tulisan. Intinya begitu dah.

A Feeling: You Can Call Me...

"Butir..."
Aku teringat panggilan yang dipakai oleh saudara-saudara sekontarakan. Semua memanggilku Butir, dan satu-dua memanggilku Bunda. Jika engkau bertanya sedang apa aku sekarang? Maka jawabannya, aku sedang senyum-senyum sambil mengetik tulisan ini. Kepalaku dijejali kata-kata yang beterbangan. Kata yang seabrek itu digunakan teman-teman untuk memanggilku. Ah, bahkan hanya orang yang mengenal kaku yang masih memanggilku 'SOFI'.

Di kampung dan sejak kecil, aku dipanggil ATUN. Panggilan yang lucu. Aku tidak mempermasalahkannya, hingga seorang guru yang paling dekat denganku ketika SD, melarang aku dipanggil Atun. "Kuno! Lebih manis dipanggil Sofi" Ucapnya kala itu.
Ah, Sofi. Kurasa tidak cocok dengan tempat tinggalku yang terletak di pulau antah berantah dan desa antah berantah ini. Atun, sajalah.

Lalu, ketika aku melanjutkan ke MTs di kecamatan, semua guru dan teman-teman memanggilku, Sofi. Panggilan Atun akan membuatku kaget apabila itu terlontar pada jam-jam sekolah. Hanya seorang guru yang memanggilku, Atun. Itupun karena aku cukup akrab dengannya.

Beranjak ke pesantren, aku memiliki setumpuk panggilan di sana. Ada yang tetap normal memanggilku Sofi, ada juga yang abnormal. Seperti:
1. "Tower", ini karena tubuhku yang tinggi, mungkin bisa dibilang tidak balance dengan berat badan.
2. Soping
Ini karena namaku Sofi, lalu disambung-sambungin jadi Soping. Kretif banget tuh anak.
3. Wowok
Duh...jelek banget, ya? Ini karena aku sukses meniru gaya bicara Wowok, laki-laki autis yang diperanin Anjasmara dalam sebuah sinetron.
4. Anna
Eh, yang ini malu-maluin. Aku dipanggil Anna oleh beberapa orang guruku di pesantren. Anna Althafunnisa. Hehe... Jujur sih, aku memang mirip Anna (Oki Setiana) kalau dilihat dari puncak mahameru, terus melihatnya juga dari lubang sedotan yang ada cincaunya. Hehe
Eh, bahkan guru bahasa Inggrisku mengungkapkan bahwa beliau nge-fan sama aku. Gak salah dengar? Itulah lucunya. Alasan aku dipanggil Anna karena pada masa akhir di pesantren, aku mengenakan jilbab yang sedikit lebih lebar :-D
5. Opi
Ini panggilan temen-temen yang sukanya sama yang simpel. Sofi dipadatkan jadi OPI.
6. Mbak Yu
Panggilan ini hanya dipakai oleh seorang sahabatku. Dia menganggapku kakaknya. Duh, seneeeng...

Itulah enam panggilan yang diberikan teman-teman selama di pesantren. Lalu sekarang? Aku dipanggil Butir dan Bunda. Why? Aku keibuan kali yak? (keibuan tiri, hehe).
Jadi begini, aku dipanggil Butir karena peranku sebagai Ibu Tiri dalam sebuah drama berjudul "Cinderella" yang gagal kami tampilkan. Katanya aku berbakat jadi Ibu Tiri (di pesantren, aku mendapat peran sebagai wanita kejam sebanyak dua kali, dalam drama tugas pelajaran Bahasa Indonesia). Jadilah aku dipanggil Ibu Tiri. Karena kepanjangan, disingkat lagi jadi Butir. Then, kalau mereka memanggil, jadinya "Buuutt...!"
Ah, aku selalu malu sendiri ketika mereka memanggilku di tempat umum.

Beberapa orang ada yang memanggilku Bunda. Aku sendiri tidak ingat sebabnya. Panggilan ini asik-asik saja menurutku. Cuma, ada salah satu teman laki-laki yang uakraab buanget manggil, Bunda. Yah, kadang takut juga. Takut orang lain dengar lalu menyangka kita pacaran. Padahal, aku justru menganggap mereka yang memanggilku 'Bunda' sebagai adik.

Di kampus, Profesor Ketua Program Keahlianku, akrab memanggilku 'Atun'. Beliau juga selalu menyebut namaku untuk menyelingi pembicaraannya di kelas. Kadang aku malu sendiri, karena spontan semua isi kelas jadi melihat ke arahku.

Yap, itulah tadi panggilan-panggilan yang kumiliki. Hanya satu panggilan yang membuatku resah, yaitu 'Butir'. Aku takut menjadi kenyataan. Bukankah panggilan adalah ucapan, dan setiap ucapan adalah doa? Itu artinya setiap teman memanggilku Butir, setiap mereka mendoakanku menjadi Ibu Tiri. OMG!!! Bagaimana kalau terkabul?

O...iya, nama lengkapku adalah SOFIYATUN. Nama ini terinspirasi dari salah satu istri Baginda Nabi saw, beliau adalah wanita yang berasal dari kaum Yahudi, namanya Sofia. Bapak menambahkan 'Ta marbutoh' di akhirannya, jadilah berbunyi 'tun'. Nama ini adalah doa dan harapan dari kedua orangtuaku, semoga akhlakku bisa mentauladani Sofia, istri Rasulullah. InsyaAllah, Aameeen...

Sebuah Rasa: My 'Permasakan' World

Pagi yang menyengat.Sudah hampir 2 bulan, hujan tidak pernah menyambangi desaku, itulah mengapa udara selalu panas meski pagi sekalipun. Kali ini aku tengah menjalani aktivitas seperti biasanya. Melihat-lihat tanaman bunga yang tak pernah kurawat lagi sejak ke pesantren.
"MBAK, BAU GOSOOONG!!!" adikku berteriak. Spontan aku langsung ambil langkah seribu. OMG! Aku lupa....kalau lagi masak!!!

Hfft...dengan wajah kecewa, aku memandang masakanku yang masih memenuhi kuali. Bentuknya saja membuat mual, apalagi sampai memakannya, bisa-bisa orang serumah terserang diare. Kubalik-balikkan semur kentang gosong itu. Hii...jadi gak ada beda sama arang. Wajar saja, masakan itu kutinggal di atas api besar selama hampir 20 menit. Kuambil potongan kecil kentang yang hitam lalu kumasukkan ke dalam mulut dengan wajah ngeri.
"PAHIT..." pahit dalam hatiku, pahit juga rasa kentangnya. Hiks...

Haai...itulah kejadian tragis yang kualami beberapa tahun lalu. Kejadian tragis yang rata-rata pernah dialami oleh para calon Ibu. Tidak hanya gosong, aku juga sering lupa memasukkan vetsin. Kadang keasinan, hambar, atau masakanku jadi berubah bentuk. Berubah bentuk bagaimana? Ya, niat awalnya mau memasak tumis kangkung, tapi jadinya kangkung rebus. Lha kok? Ku beri rahasia,ya. Kalau kamu memasak tumis kangkung dengan api yang sekarat, minyak goreng yang seupil, dan air yang jumlahnya over, niscaya bukan tumis kangkung yang kamu buat, melainkan itu tadi, kangkung rebus!

Sekembalinya aku ke kampung halaman, semua tugas rumah di lemparkan padaku, termasuk urusan masak-memasak. "Biar belajar. Lagipula, anak wedok di rumah cuma setahun sekali. Selagi masih di rumah, ya dimanfaatkan" begitu kata Ibuku.
Membahas tentang dunia permasakan, sebenarnya aku sudah hampir lupa. Bahkan jika aku tak pulang dua tahun saja, mungkin aku sudah tak bisa membedakan antara jahe dan lengkuas, antara merica dan ketumbar (parah amat). Tapi memang keempat jenis bumbu dapur itu sulit dibedakan. Aku saja bisa membedakannya ketika sudah di kelas XIII MTs.

Sekarang, kemampuan memasakku lumayan membaik. Setidaknya tumis kangkungku tak lagi jadi kangkung rebus. Meskipun rasanya tak sesempurna masakan Ibu, tapi sudah bisa dikatakan lauk jika masakanku disandingkan dengan nasi. Jujur saja, aku suka bereksperimen dalam dunia permasakan. Aku suka masak yang aneh-aneh dengan bumbu yang aneh pula. Pernah aku membuat sambal telur dengan bumbu yang ditambahi merica dan jahe. Kalian tahu rasanya? Kalau belum, cobalah sendiri membuatnya. Karena kata tak akan pernah sempurna mendeskripsikan rasa. Yang jelas, rasanya cukup membuat perut bergelombang (Wah!). Aku juga pernah membuat bakwan tempe. Bakwan tempe? Iya. Kan belum pernah ada. Biasanya adonan bakwan hanya dicampur wortel, jamur, kubis, sosis, jagung, kentang atau toge. Aku maunya yang beda, jadilah sesosok bakwan tempe. Setelah mencicipi rasanya, kusarankan kalian jangan mencoba membuatnya. Sungguh, tidak enak!
Eh, menyinggung soal bakwan, aku termasuk makhluk pecinta gorengan dari tepung gandum ini. Mau bakwan yang dibuat seperti cakram, bulat, lojong atau yang abstrak, semua kulahap. Biasanya, aku senang membuat bakwan jamur. Selain aku bakwan lovers, aku juga cinta jamur. Jamur apapun itu, asal bukan jamur beracun atau jamur kulit.
Nah, kalau aku sudah selesai menggoreng bakwan, selanjutnya harus ada saus. Paling enak pakai saus kacang. Adapun saran penyajiannya adalah dengan menaruh para bakwan di atas piring, lalu siram dengan saus kacang, then makan deh!

Selain Mr. Bakwan, aku pernah bereksperimen membuat mpek-mpek Palembang. Berbekal resep dari tetanggaku yang asli dari Palembang, aku mencoba membuatnya sendiri di dapur. Aku tidak tahu kalau adonan mpek-mpek terasa gurih karena diberi daging ikan tenggiri yang dihaluskan. Tapi meski tanpa ikan tenggiri, mpek-mpek buatanku jadi juga. Dari segi penampilan, sudah bisa dikenali kalau itu adalah bakwan. Dari segi tekstur, kurasa kucing pun akan mati jika dilempar dengan mpek-mpek buatanku. Oh ya, dari segi rasa? Hehe, aku malu mengatakannya.

Itulah tadi, sharing-ku seputar perdapuran dan permasakan :-D
Maaf jika ada bagian-bagian yang terkesan didramatisir. Kalian juga pasti tahu, tulisan yang apa adanya itu bagai asinan tanpa garam (?). Contohnya nih, aku mau menceritakan tentang kecelakaan. Kubuatlah kalimat sbb:
Senja itu, seorang anak bersepeda. Ketika sampai di dekatku, sepedanya menabrak batu, anak itu terjungkal dan kakinya yang kurus berdarah".

Datar banget kan? Yang baca bisa ngorok mendapati kalimat seperti itu. Coba kalau kubuat begini:
"Suasana ketika menjelang matahari tenggelam selalu membawa aroma sedih yang mencekam, seperti waktu itu. Seorang bocah melaju dengan sepedanya, kuyakin ia juga tengah menikmati angin senja. Namun, kepedihan senja segera menampakkan taringnya. Kulihat bocah itu terlempar dari sepedanya, tak jauh dariku. Sepedanya tanpa sengaja menghantam sebuah batu. Bocah itu terjungkal lalu menggelepar di atas tanah, darah segar muncrat dari kakinya yang kurus"

Ada feel-nya kan? Meskipun jadi sedikit lebih seram. Hehe
Eh, maap juga yak kalau contoh kalimatnya kagak nyambung ama tema tulisan. Intinya begitu dah.

Thursday, 4 July 2013

M Part III: A Amatir Traditional Dancer

Kembali aku akan menulis apa-apa yang menarik dari lemari tuaku. Aku sendiri bingung, sejak kapan blog-ku jadi tong cerita begini? Ah, tak mengapa. Inikan blog pribadi tanpa diskriminasi, selagi kontennya tidak mengganggu dan meresahkan pihak lain, lanjut aja. Awalnya, aku tertarik membuat blog untuk sekedar coba-coba teori di buku Teknologi Ilmu Komunikasi ketika masih SMA dulu, tapi lama-kelamaan, nge-blog itu asik juga.

Eh, sebenarnya maksudku bukan ngalor-ngidul tentang blog, tapi tentang 'menari'. Aneh, ya?

Gini, fren. Tadi ketika bongkar ulang lemari tua, aku menemukan satu lembar foto. Could you guess it about? Itu adalah fotoku dan beberapa teman ketika menari melayu. tari payung, namanya. Duh, lucu sekali. Tubuhku juga masih mungil, tidak tinggi menjulang seperti sekarang.

Seingatku, aku sudah menarikan puluhan tarian Melayu dan tarian lain sejak SD hingga di pesantren kemaren. Aku sendiri sama sekali tak pernah merasa aku bisa menari. Tapi entahlah, mungkin para guru itu kehabisan siswa untuk diajari menari.

Aku mulai menari sejak naik di kelas IV SD. Tarian pertamaku adalah tarian untuk lagu SOLERAM. Ketika itu, kami menari dengan menggunakan kostum yang unik. Rok kami terbuat dari tali plastik aneka warna, persis anak-anak suku Dayak. Aku juga pernah menjadi penari kuda lumping di perkumpulan reog Ponorogo desaku. Sayangnya, untuk tarian kuda lumping ini, aku kurang bisa bergerak lincah. Jadi aku selalu ditempatkan di barisan paling belakang. Duh, kasian juga :'(.

Selama di sekolah dasar, aku bisa menari dua sampai tiga tarian ketika acara perpisahan. Rata-rata semua tarian Melayu. Aku paling suka saat akan tampil, karena aku suka didandani. Rasanya wajahku jadi sedikit lebih kinclong. Hehe

Nah, untuk sekarang, aku sudah malu mau ikut klub tari. Aku malu untuk menari lagi. Aku tak pernah merasa bisa menari. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa para guru hanya tak punya pilihan lain mengikutkanku dalam tarian kelompok. Aku tidak pernah bisa sempurna percaya diri. Tapi, memang tidak menari adalah yang terbaik. Lebih baik aku mengasah bakat yang lain, yang aku punya keyakinan di sana. Ya gak?

Foto lucu-lucu ketika aku menari ada di setiap album perpisahan sekolahku. Album SD, MTs dan pesantren. Setidaknya, itu semua bisa menghiburku, dan mengingkatkan rasa menjadi seorang penari, meski hanya penari udik yang amatiran. Hehe

Tuesday, 2 July 2013

Sebuah Rasa: Bayi siter!

"Mbak, kok Ilham dikasih telur mata sapi, Chici enggak?!" Seorang anak bertanya dengan memasang wajah cemburu. Duh, bukannya Chici baru selesai makan ya?
"Mbak, pedes.... Ambilin air!" Teriak yang satu lagi.
"Mbak, bonekaku diambil Mas Dayat"
"Mbak.... Mau dengar lagu dari HP-nya, Mbak!"
"Mbak, Mbek, Mbak, Mbek"

Huu....makhluk-makhluk unyu milik tetangga ini membuatku frustasi. Semua berteriak Mbak-mbek minta diperhatikan.Cukuplah aku punya adik satu saja. Syukur Alhamdulillah pula aku memiliki adik yang gampang diatur, tidak suka melawan, meskipun paling pemilih makanan. Bayangkan, sejak ia bisa memakan nasi hingga sekarang, kelas VI SD, hanya mau makan jika lauknya telur mata sapi plus kecap manis.

Nah, kembali pada kesibukan mengurus para balita rewel yang pengen kujitak. Karena, ayahnya bekerja di kebun Bapak, jadilah aku di bai'at menjadi bayi siter. Repot? So pasti. Apalagi aku itu fobia sama anak kecil yang manja dan pencemburu. Aku gak terlalu klop dengan anak yang maunya menjadi nomor satu di perhatikan. Rasanya ingin kumasukkan ke dalam kaleng biskuit lalu kalengnya kuhanyutkan ke sungai, anak-anak tipe seperti itu (duh, sadis).

Sebaliknya, aku paling suka dengan anak-anak penurut dan tidak begitu cerewet. Apalagi kalau anaknya lucu. Disuruh memetik bintang pun aku mau (serius?).

Sebenarnya apa sih inti dari kalimat-kalimatku? Jadi bingung. Intinya jangan punya anak. Nah kok? Maksudku, jangan punya anak yang rewel plus pencemburu. Gimana caranya? Mesen dulu ke pabriknya. Hehe
Pasti ada caranya, guys. Anak itu bisa dididik sejak ia masih berbentuk janin, dengan perilaku Ayah-Ibunya, sering dibacakan ayat-ayat Al-Quran, rajin beribadah, menjaga apa yang dimakan (halal lagi baik), selanjutnya tergantung bagaimana orangtua mendidiknya. Anak  akan menjadi anugrah atau musibah itu berawal dari orangtua, menjadi anak hebat atau bejat juga berawal dari orangtua, menjadi anak impian atau kutukan juga berawal dari orangtua.

Intinya begitulah, guys. Aku juga gak begitu ahli soal parenting. Cuma baca-baca dari buku-buku aja. Tulisan ini terinspirasi dari kenakalan anak-anak yang kujaga. Kadang sebal juga mendapati anak-anak orang yang menyusahkan, padahal adikku sendiri tidak pernah menyusahkanku.

It is my holiday, i keep the babbies all day long. Udah ngalahin mak-mak rempong aja. Haha. But, enjoy it.

Sebuah Rasa: Mengaji dan Kenangan

Desaku memang tak punya apa-apa yang bisa kubanggakan, desaku 'hanya' memiliki masa laluku dan keluargaku yang tak bisa kutemui di tempat lain, yang tak bisa kubeli dengan materi sebanyak apapun. Setidaknya, itu sudah cukup.

Malam ini sama dengan malam-malam sebelumnya, kemanapun mata kuarahkan ke segala ranah, semua gelap pekat. Hanya ada beberapa sorot lampu dari rumahku, musola dan rumah-rumah penduduk di kejauhan. Sehabis shalat maghrib berjamaah, aku mengulang kembali kegiatanku dulu, mengajar anak-anak desa ini mengaji. Menuliskan masalah mengaji, sudah beberapa generasi desa ini mengkhatamkan Al-quran di sini.

Berpuluh tahun lalu, Bapak merasa prihatin dengan keadaan para penduduk desa yang tak bisa membaca Al-quran, kalaupun ada, hanya beberapa saja. Para orangtua pun enggan mengajar anak-anaknya mengaji, atau lebih tepatnya mereka tidak bisa. Melihat keadaan ini, Bapak bersedia mengajar anak-anak desa mengaji. Aku masih mampu mengingat para generasi pertama-sekarang rata-rata sudah menikah, dengan begitu semangat menuju rumahku, belajar mengaji dari tidak mengenal alif-ba-ta, hingga khatam Al-quran. Aku masih kecil sekali, mungkin berumur lima tahunan. Ketika para generasi pertama 'naik' dari buku Iqra' ke Al-quran, generasi kedua-generasiku, masuk (baru alif-ba-ta), begitu seterusnya hingga sekarang sudah di generasi kelima dan keenam.

Dulu, ketika generasi pertama dan kedua belajar mengaji, rumahku masih rumah lama. Atapnya dari daun rumbia, pun hanya diterangi lampu minyak tanah. Para anak-anak desa ini berangkat sebelum maghrib dan pulang sesudah isya'. Belum ada yang memiliki diesel waktu itu, semua rumah hanya tampak remang oleh lampu minyak tanah. Para anak-anak desa pulang ke rumah masing-masing diterangi obor dari daun kelapa kering. Meskipun begitu, mereka tetap bersemangat. Terkadang, anak yang jahil menggantungkan pocong-pocongan di pohon di tepi jalan, mereka yang melihat ketika pulang mengaji pun lari tunggang langgang.

Dulu, mereka datang mengaji sekitar jam 4-5 sore, jadi masih butuh 1-2 jam menunggu waktu maghrib. Biasanya aku akan ikut bermain di halaman. Aku paling suka jika kami main pengantin-pengantinan (manten-mantenan, kami menyebutnya). Dua orang jadi pengantin, satu orang jadi Mak Andam (perias pengantin), dua orang jadi tukang kipas, tiga orang laki-laki jadi pemain band, dan sisanya jadi tamu undangan. Sebelum memulai bermain, kami sibuk menyiapkan tempat pesta. Ada yang mengumpulkan bunga-bunga, ada yang mencari janur kelapa, ada yang menghias pelaminan dan pengantin, dan para pemain band memasang panci bekas, kaleng minuman, dan botol pada kayu-kayu.

Sekarang, generasi pertama dan generasi kedua telah tumbuh dewasa. Banyak yang telah mewujudkan manten-mantenan kami dulu menjadi kenyataan, banyak juga yang masih sibuk bekerja di Batam atau Tanjung Pinang, dan beberapa yang masih kuliah.

Setelah aku khatam Al-quran, aku diperbolehkan Bapak untuk membantu mengajar mengaji generasi selanjutnya. Ah, sulit sekali menjadi guru itu. Kita harus sabar dan telaten. Mau marah tidak bisa, takut anak-anak kecil itu menangis dan mengadu pada orang tuanya. Ada sebagian anak yang mudah memahami dan segera bisa mengeja Al-quran, ada juga yang tidak bisa-bisa. Namun, berapapun waktunya, lambat laun mereka bisa juga membaca ayat-ayat Alqur'an. Semua hanya soal waktu dan kesabaran.

Dua tahun terakhir, anak-anak tidak lagi mengaji di rumahku, melainkan di Musola yang berdiri di samping rumahku. Adik-adik yang dulu baru belajar alif-ba-ta denganku, kini sudah lancar membaca Al-qur'an, hanya sesekali tajwid mereka kurang tepat. Mereka duduk melingkar saling menyimak bacaan sang teman, aku suka itu. Suasana itu mengingatkan ketika aku masih seperti mereka. Suasana itu membuatku sejenak teringat wajah-wajah generasi pertama dan generasiku yang kini merantau kemana-mana.

Semoga inilah yang sering Bapak katakan sebagai ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang Bapak dan aku ajarkan kepada anak-anak desa ini semoga kelak akan diajarkan kembali oleh mereka kepada orang lain, setidaknya kepada anak-anak mereka nanti. Dengan begitu, semoga akan membantu timbangan amalku kelak yang mungkin terlalu ringan di sebelah kanan. Semoga bisa diterima sebagai amalan jariyah yang bisa menolong ketika nafas telah terputus dari badan. Amin

(Kuala Kampar, 3 Juli 2013, 23.00 WIB)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...